BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata komitmen berasal dari bahasa latin commitere, to connect, entrust the

dokumen-dokumen yang mirip
PERAN KEPEMIMPINAN DALAM KONFLIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi

HP : Bisa diunduh di: teguhfp.wordpress.com

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini merupakan penelitian ex post facto, yaitu penelitian

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Komitmen organisasional menjadi hal penting pada sebuah organisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan saat ini, sangat diharapkan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. meliputi segala bidang, diantaranya politik, sosial, ekonomi, teknologi dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan sumber daya tersebut. Sebagai institusi pendidikan, sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman diabad 21 ini memperlihatkan perubahan yang begitu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di

MANAJEMEN KONFLIK. Disusun: Ida Yustina, Prof. Dr.

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan tamatan atau lulusan sebagai sumber daya manusia yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan

Bimbingan dan Konseling Sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

KEMAMPUAN KEPALA SEKOLAH MENGELOLA KONFLIK DI SDN 3 MOMALIA KECAMATAN POSIGADAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW SELATAN. Maryam Djafar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Prestasi kerja (job performance) merupakan tingkat keberhasilan karyawan dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat ini persaingan antar perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran atau serangkaian sasaran bersama (Robbins, 2006:4). Akibat

Tugas : Perilaku Organisasi Nama : Erwin Febrian Nim : Pertanyaan:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. a) Lingkungan kerja pada SMA Kecamatan Medan Tembung adalah cenderung

BAB V PEMBAHASAN. terhadap fokus penelitian yang telah diajukan dalam penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Disiplin Kerja Pegawai. kehidupan kelompok atau organisasi, baik organisasi formal maupun non

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Lamba dan Choudary (2013) menyebutkan bahwa komitmen adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbaiki lingkungan kerja di tempat kerja. Lingkungan kerja yang buruk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior (OCB) pertama kali dipopulerkan

BAB I PENDAHULUAN. dasawarsa terakhir ini, ternyata belum sepenuhnya mampu menjawab. kebutuhan dan tantangan nasional dan global dewasa ini.

Team Building & Manajeman Konflik

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dihasilkan dari analisis data dapat digeneralisasikan pada populasi penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi. perbincangan para pakar pendidikan dari tingkat daerah sampai dengan pusat,

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik dan lingkungannya. Artinya guru memiliki tugas dan tanggung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Quality Of Work Life

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah belum optimal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia (human resources) secara unggul. Sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya tugastugas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mereka yang memiliki komitmen tinggi cenderung lebih bertahan dan rendah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan sangat penting apabila berbicara tentang kualitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. pandangan karyawan ketika mereka telah diperlakukan dengan baik oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada jalur formal di Indonesia terbagi menjadi empat jenjang, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihindari tetapi harus diatasi atau diselesaikan bahkan. memungkinkan konflik yang diatasi dapat melahirkan kerjasama.

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN Penerapan Model Pembelajaran Active Learning Tipe Quiz Team Dengan Keterampilan Bertanya Probing Question

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Syah, tersebut (Wahab dan Umiarso, 2011: 138).

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya mempunyai sifat untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tugas yang mudah, karena sumber daya manusia yang berkualitas bukan hanya

BAB I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN. entitas yang wajib diaudit oleh Akuntan Publik kurang lebih entitas. Total

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kompetitif dengan mendorong sebuah lingkungan kerja yang positif (Robbins dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah sebagai salah satu komponen dari pendidikan yang eksistensinya

KONFLIK DAN NEGOSIASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Galih Septian, 2014

I. PENGANTAR Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia yang tinggi sangat dibutuhkan agar manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu: 2. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi;

BAB I PENDAHULUAN. Dinas pendidikan pemuda dan olahraga memiliki kebijakan mutu yaitu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu pilar dalam kemajuan bangsa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Penataan SDM perlu terus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB II URAIAN TEORITIS. a. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu:

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORITIS. A. Disiplin Kerja. penguasaan diri dengan tujuan menahan impuls yang tidak diinginkan, atau untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Semangat Kerja. Mathis (2002) mengatakan masalah semangat kerja di dalam suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tujuan pendidikan nasional seperti disebutkan dalam Undang-Undang. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal (3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Peran dari pendidikan tersebut adalah sebagai sarana dalam. meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. adanya quality controll yang mengawasi jalannya proses dan segala. Sekolah adalah sebuah people changing instituation, yang dalam

BAB I PENDAHULUAN. memasuki era pemerintahan yang kompetitif tersebut. Kemampuan ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. berjalansecara berkesinambungan, maka sangat dibutuhkan karyawan yang dapat

PROFESSIONAL IMAGE. Modul ke: Fakultas FIKOM. Program Studi Public Relations.

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

2.1.2 Tipe-Tipe Kepemimpinan Menurut Hasibuan (2009: ) ada tiga tipe kepemimpinan masing-masing dengan ciri-cirinya, yaitu:

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komitmen Kerja Guru Kata komitmen berasal dari bahasa latin commitere, to connect, entrust the state of being obligated or emotionally, impelled yaitu keyakinan yang mengikat sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakan perilaku menuju arah yang diyakininya (Tasmara, 2006: 26). Komitmen kerja guru adalah suatu keterkaitan antara diri dan tugas yang diembannya secara tersadar sebagai seorang guru dan dapat melahirkan tanggung jawab yang dapat mengarahkan serta membimbing dalam kegiatan pembelajaran. Komitmen kerja guru yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah organisasi sekolah, karena terciptanya komitmen yang tinggi akan mempengaruhi situasi kerja yang profesional. Berbicara mengenai komitmen kerja guru tidak dapat dilepaskan dari sebuah istilah loyalitas yang sering mengikuti kata komitmen. Keberhasilan seorang guru dalam pekerjaannya banyak ditentukan oleh tingkat kompetensi, profesionalisme juga komitmen terhadap bidang yang ditekuninya. Komitmen seseorang terhadap organisasi tempat dia bekerja menunjukkan suatu daya dari seseorang dalam mengidentifikasikan keterlibatan dalam organisasi tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Blau dan Boal (1995: 125) yang menyatakan bahwa komitmen organisasional sebagai suatu

10 sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karyawan terhadap organisasi. Mowday dalam Sopiah (2008: 156) mendefinisikan komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Komitmen organisasional merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen kerja guru dalam suatu organisasi sekolah adalah keinginan guru untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi sekolah dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi sekolah dan kualitas pendidikan yang lebih baik. Kualitas pendidikan sangat erat kaitannya dengan proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35 ayat 1 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, menyatakan bahwa untuk mengetahui mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang terdiri dari: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan pra sarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. 2.1.1 Bentuk Komitmen Kerja Guru Spector at. al dalam Sardiman (2005: 77) mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen komitmen kerja guru/ organisasional, yaitu:

11 1) Affective commitment, terjadi apabila guru ingin menjadi bagian dari organisasi sekolah karena adanya ikatan emosional. 2) Continuance commitment, muncul apabila guru tetap bertahan pada suatu organisasi sekolah karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karena guru tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. 3) Normative commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri guru. Guru bertahan menjadi anggota organisasi sekolah karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi sekolah merupakan hal yang seharusnya dilakukan. Kanter dalam Sopiah (2008: 158) juga mengemukakan tiga bentuk komitmen kerja guru/ organisasional, antara lain: 1) Komitmen berkesinambungan (continuance commitment), yaitu komitmen yang berhubungan dengan dedikasi guru dalam melangsungkan kehidupan organisasi sekolah dan menghasilkan orang yang mau berkorban dan berinvestasi pada organisasi sekolah. 2) Komitmen terpadu (cohesion commitment), yaitu komitmen guru terhadap organisasi sekolah sebagai akibat adanya hubungan sosial dengan anggota lain di dalam organisasi sekolah. Ini terjadi karena guru percaya bahwa norma-norma yang dianut organisasi merupakan norma-norma yang bermanfaaat. 3) Komitmen terkontrol (control commitment), yaitu komitmen guru pada norma organisasi sekolah yang memberikan perilaku ke arah yang diinginkannya. Norma-norma yang dimiliki organisasi sekolah sesuai dan mampu memberikan sumbangan terhadap perilaku yang diinginkannya.

12 2.1.2 Proses Terjadinya Komitmen Kerja Guru Robbins (1999: 69) menjelaskan bahwa komitmen kerja guru terhadap organisasi sekolah merupakan sebuah proses berkesinambungan dan merupakan sebuah pengalaman individu ketika bergabung dalam sebuah organisasi sekolah. Komitmen organisasional timbul secara bertahap dalam diri pribadi guru itu sendiri. Berawal dari kebutuhan pribadi terhadap organisasi kemudian beranjak menjadi kebutuhan bersama dan rasa memiliki dari para guru terhadap organisasi sekolah. Wursanto (2005: 15) mengemukakan bahwa rasa memiliki dari para guru dapat dilihat dalam hal-hal berikut: 1) Adanya loyalitas dari para guru terhadap guru lainnya. 2) Adanya loyalitas para guru terhadap sekolah. 3) Kesediaan berkorban secara ikhlas dari para guru baik moril maupun material demi kemajuan sekolahnya. 4) Adanya rasa bangga dari para guru apabila sekolah tersebut mendapat nama baik dari masyarakat. 5) Adanya niat baik (good will) dari para guru untuk tetap menjaga nama baik sekolahnya dalam keadaan apapun. Wursanto (2005: 16) mengemukakan kesepakatan bersama yang merupakan komitmen dari guru itu meliputi (1) tujuan yang akan dicapai, (2) menetapkan berbagai jenis kegiatan yang harus dilakukan dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (3) menetapkan ketentuan-ketentuan atau norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota organisasi sekolah, (4) menetapkan berbagai sarana yang diperlukan dalam usaha mencapai tujuan tersebut, dan (5) menetapkan cara atau metode yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut.

13 Dessler dalam Sopiah (2008: 159-161) mengemukakan sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk membangun komitmen guru pada sekolah, antara lain: 1) Make it charismatic, 2) Build the tradition, 3) Have comprehensive grievance procedures, 4) Provide extensive two-way communications, 5) Create a sense of community,6) Build value-based homogeneity,7) Emphasize barnaising, cross-utilization, and team work, 8) Get together, 9) Support employee development, 10) Commit to actualizing, 11) Enrich and empower, 12) The question of employee security, 13) Put it in writing, 14) Hire Right-Kind managers, 15) Walk the walk 2.1.3 Faktor-Faktor Pengaruh Komitmen Kerja Guru Owens (1995: 151) mengemukakan bahwa faktor-faktor pembentuk komitmen organisasional akan berbeda antara guru baru dan guru yang bekerja dalam tahapan lama yang menganggap sekolah atau organisasi tersebut sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Komitmen kerja guru pada organisasi sekolah tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen kerja guru pada organisasi sekolah juga ditentukan oleh sejumlah faktor. Steers dalam Sopiah (2008: 163) mengidentifikasikan ada tiga faktor yang mempengaruhi komitmen guru pada organisasi sekolah, antara lain: (1) ciri pribadi kinerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi sekolah, dan variasi kebutuhan serta keinginan yang berbeda dari tiap guru, (2) ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sesama guru. (3) pengalaman kerja, seperti keterandalan

14 organisasi di masa lampau dan cara guru-guru lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi sekolah. Winardi (2004: 73) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen kerja guru pada organisasi sekolah, yaitu: (1) Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian, dan lainlain, (2) Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik organisasi, tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dan lain-lain, (3) Karakteristik struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi sekolah, bentuk organisasi seperti sentralisasi atau desentralisasi, kehadiran serikat guru dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi sekolah terhadap guru. Berdasarkan kajian di atas, maka yang dimaksud dengan komitmen kerja guru adalah keinginan guru untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi sekolah dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi sekolah dan kualitas pendidikan yang lebih baik, dengan indikator afektif, kontinuitas (kesinambungan) dan normatif. 2.2 Kepribadian Guru Seorang guru (pendidik) dalam menjalankan perannya sebagai pengajar, pembimbing, pendidik dan pelatih bagi para muridnya (peserta didik), tentunya dituntut untuk memahami dan menguasai tentang berbagai aspek perilaku dirinya maupun perilaku orang-orang yang terkait dengan tugasnya, terutama perilaku murid dengan segala aspeknya, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya

15 secara efektif dan efisien, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian tujuan pendidikan. Dari pandangan psikologis, guru diposisikan sebagai pakar kepribadian, seorang guru harus memahami dan menguasai secara teoritis dan praktis kepribadian dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Guru harus memiliki kemampuan untuk menciptakan suasana hubungan antar manusia (human relations), khususnya dengan para murid sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan (Iskandar, 2012: 6). 2.2.1 Guru Sebagai Pribadi Kunci Secara keseluruhan guru adalah figur yang menarik perhatian semua orang, entah dalam keluarga, dalam masyarakat atau di sekolah. Di sekolah, guru merupakan pribadi kunci dan panutan utama bagi siswanya. Semua sikap dan perilaku guru akan dilihat, didengar dan ditiru oleh siswa. Sebagai pribadi yang selalu digugu dan ditiru, tidak berlebihan bila anak didik selalu mengharapkan figur guru yang senantiasa memperhatikan kepentingan mereka. Figur guru yang selalu memperhatikan kepentingan siswa biasanya mendapatkan ekstra perhatian dari siswanya. Siswa senang dengan sikap dan perilaku baik yang diperlihatkan oleh guru. Seperti dikutip oleh Bahri Djamarah (2011: 61), Frend W. Hart telah melakukan penelitian terhadap 3.725 orang anak didik HIG HTS School di Amerika Serikat. Dari hasil penelitiannya itu, dia menyimpulkan dengan mengemukakan sepuluh sikap yang baik dan disenangi anak didik sebagai berikut:

16 1) Suka menolong pekerjaan sekolah dan menerangkan pelajaran dengan jelas dan mendalam serta menggunakan contoh-contoh yang baik dalam mengajar. 2) Periang dan gembira, memiliki perasaan humor dan suka menerima lelucon atas dirinya. 3) Bersikap bersahabat, merasa sebagai seorang anggota dalam kelompok kelas. 4) Menaruh perhatian dan memahami anak didiknya. 5) Berusaha agar pekerjaan menarik, dapat membangkitkan keinginan-keinginan bekerja-sama dengan anak didik. 6) Tegas, sanggup menguasai kelas dan dapat membangkitkan rasa hormat pada anak didik. 7) Tidak ada yang lebih disenangi dan tak pilih kasih. 8) Tidak suka mengomel, mencela dan sarkastis. 9) Anak didik benar-benar merasakan bahwa ia mendapatkan sesuatu dari guru. 10) Mempunyai pribadi yang dapat diambil contoh dari pihak anak didik dan masyarakat lingkungannya. Diakui memang ada juga guru yang tidak disukai oleh anak didik di sekolah disebabkan budi pekerti guru dalam pandangan anak didik tidak baik. Dari waktu ke waktu, guru juga tidak terlepas dari pengamatan anak didik. Paling sedikit setahun, guru dan anak didik hidup bersama-sama dan dalam rentangan waktu bukan tidak mungkin semua sikap dan perilaku guru terlepas dari pengamatan anak didik. Karena anak didik mempunyai pandangan tersendiri terhadap guruguru yang mengajar dan mendidiknya. Menurut Bahri Djamarah (2011: 106), terdapat beberapa sifat-sifat guru yang tidak disukai oleh anak didik sebagai berikut: 1) Guru yang sangat sering marah-marah, suka merepek, tak pernah tersenyum, suka menghina, sarkastis, lekas mengamuk. 2) Guru yang tidak suka membantu dalam pekerjaan sekolah, tidak menerangkan pelajaran dan tugas-tugas dengan jelas. 3) Guru yang tidak adil, mempunyai anak-anak kesayangan, membenci anakanak tertentu. 4) Guru yang tinggi hati, menganggap dirinya lebih dari orang lain, ingin berkuasa dan menunjukkan kelebihannya, tidak mengenal anak didik di luar sekolah. 5) Guru yang tidak toleran, bertabiat kasar, terlampau keras dan kaku, menyusahkan anak didik di dalam kelas. 6) Guru yang tidak adil dalam memberi nilai pada ujian.

17 7) Guru yang tidak mengacuhkan perasaan anak didik, membentak-bentak anak didik di depan anak lain, anak-anak takut dan tak senang. 8) Guru yang tidak menaruh minat terhadap anak-anak dan tidak memahami mereka. 9) Guru yang memberi tugas dan pekerjaan rumah yang sulit. 10) Guru yang tidak dapat menjaga ketertiban kelas, tidak dapat mengendalikan kelas, tidak menimbulkan respek dari anak didik. Dari uraian di atas jelas bahwa yang dikehendaki oleh anak didik bukan hanya kecakapan guru mengajar di kelas, melainkan yang lebih penting adalah kepribadian guru. Kepribadian guru itu yang turut menentukan apakah belajar di kelas merupakan suatu penderitaan atau kebahagiaan bagi anak didik. 2.2.2 Guru Sebagai Pengajar dan Pendidik Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan. Unsur manusiawi lainnya adalah anak didik. Guru dan anak didik berada dalam suatu relasi kejiwaan. Keduanya berada dalam proses interaksi edukatif dengan tugas dan peranan yang berbeda. Guru yang mengajar dan mendidik, dan anak didik yang belajar dengan menerima bahan pelajaran dari guru di kelas. Oleh karena itu, walaupun mereka berlainan secara fisik dan mental, tetapi mereka tetap seiring dan setujuan untuk mencapai kebaikan akhlak, kebaikan moral, kebaikan hukum, kebaikan sosial dan sebagainya. Semua norma tersebut di atas tidak akan pernah dimiliki oleh anak didik bila guru tidak mentransformasikannya dalam kegiatan pembelajaran. Mengajar adalah tugas guru untuk menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik. Guru yang mengajar dan anak didik yang belajar. Mengajar selalu berlangsung dalam suatu kondisi yang disengaja dan diciptakan untuk mengantarkan anak didik ke arah kemajuan dan kebaikan.

18 Tetapi perlu diketahui bahwa mengajar tidak sama dengan mendidik. Mengajar hanya sebatas menuangkan sejumlah bahan pelajaran kepada anak didik di kelas atau di ruangan tertentu. Sedangkan mendidik adalah suatu usaha yang disengaja untuk membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif-kreatif dan mandiri. Karena itulah mendidik lebih dekat dengan transfer of values. Ruang lingkup kegiatan mendidik lebih luas dari areal kegiatan mengajar. Walaupun begitu, baik mengajar ataupun mendidik, keduanya adalah tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional. Sampai kapanpun anak didik selalu menghajatkan kehadiran guru untuk mendidik dan mengajarnya. Guru adalah spiritual father bagi anak didik. Kemuliaan guru akan tercermin dalam kebaikan perilaku anak didik. Kebaikan hati anak didik adalah sebagai manifestasi dari kebaikan pengajaran dan pendidikan yang diberikan oleh guru. Sekolah sebagai panti rehabilitasi anak merupakan laboratorium keilmuan bagi guru dalam mengajar dan membelajarkan anak didik dalam perspektif keilmuan. Di tempat ini anak didik belajar bebas terpimpin, aktif, kreatif dan mandiri, di bawah bimbingan dan pengawasan dari guru. Berdasarkan kajian di atas, maka yang dimaksud dengan kepribadian guru menurut Penulis adalah kemampuan guru untuk memahami orang lain dengan pengendalian diri, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain, dengan indikator kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial.

19 2.3 Konflik Organisasi Menurut bahasa, konflik dapat diartikan dengan perbedaan, pertentangan dan perselisihan. Sedangkan konflik dalam terminologi Al-Qur an dengan kata Ikhtilaf yang dapat berarti berlainan (to be at variance); menemukan sebab perbedaan (to find cause of disagreement); berbeda (to differ); mencari sebab perselisihan (to seek cause of dispute) dan sebagainya. Konflik juga dapat dikatakan merupakan suasana batin yang berisi kegelisahan karena pertentangan dua motif atau lebih, yang mendorong seseorang berbuat dua atau lebih kegiatan yang saling bertentangan pada waktu yang bersamaan. Konflik pada hakikatnya adalah segala sesuatu interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua pihak atau lebih. Konflik organisasi (organizational conflict) adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok-kelompok organisasi yang timbul karena adanya kenyataan bahwa mereka harus membagi berbagai sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan/ atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah pertentangan dalam hubungan kemanusiaan (intrapersonal atau interpersonal) antara satu pihak dengan pihak yang lain dalam mencapai suatu tujuan, yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan, emosi/ psikologi dan nilai (Rivai, 2009: 749-750). 2.3.1 Komponen Konflik Organisasi Menurut Rivai (2009: 750), secara umum konflik organisasi itu terdiri atas tiga komponen, yaitu:

20 a. Interest (kepentingan), yakni sesuatu yang memotivasi orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Motivasi ini tidak hanya dari bagian keinginan pribadi seseorang, tetapi juga dari peran dan statusnya. b. Emotion (emosi), yang sering diwujudkan melalui perasaan yang menyertai sebagian besar interaksi manusia seperti marah, kebencian, takut, penolakan. c. Values (nilai), yakni komponen konflik yang paling susah dipecahkan karena nilai itu merupakan hal yang tidak dapat diraba dan dinyatakan secara nyata. Nilai berada pada kedalaman akar pemikiran dan perasaan tentang benar dan salah, baik dan buruk yang mengarahkan dan memelihara perilaku manusia. 2.3.2 Sumber Konflik Organisasi Menurut Rivai (2009: 750-751), sumber-sumber konflik organisasi dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu: a. Biososial: Para pakar manajemen menempatkan frustasi-agresi sebagai sumber konflik. Berdasarkan pendekatan ini frustasi sering menghasilkan agresi yang mengarah pada terjadinya konflik. Frustasi juga dihasilkan dari kecenderungan ekspektasi pencapaian yang lebih cepat dari apa yang seharusnya. b. Kepribadian dan Interaksi: Termasuk di dalamnya kepribadian yang abrasif (suka menghasut), gangguan psikologi, kemiskinan, keterampilan interpersonal, kejengkelan, persaingan (rivalitas), perbedaan gaya interaksi, ketidaksederajatan hubungan. c. Struktural: Banyak konflik yang melekat pada struktur organisasi dan masyarakat. Kekuasaan, status dan kelas merupakan hal-hal yang berpotensi menjadi konflik organisasi, seperti tentang Hak Asasi Manusia (HAM), gender dan sebagainya. d. Budaya dan Ideologi: Intensitas konflik organisasi dari sumber ini sering dihasilkan dari perbedaan politik, sosial, agama dan budaya. Konflik organisasi ini juga timbul di antara masyarakat karena perbedaan sistem nilai.

21 e. Konvergensi (gabungan): Dalam situasi tertentu, sumber-sumber konflik organisasi itu menjadi satu, sehingga menimbulkan kompleksitas konflik organisasi itu sendiri. 2.3.3 Proses Pengendalian Konflik Organisasi Menurut Rivai (2009: 751) bahwa konflik merupakan pertentangan hubungan kemanusiaan, baik secara intrapersonal ataupun interpersonal yang dapat diibaratkan seperti api yang dapat membakar dan menjalar kemana-mana dan memusnahkan jika tidak ditangani secara baik. Proses pengendalian konflik organisasi itu bermula dari persepsi tentang konflik itu sendiri, apa komponennya dan bersumber dari mana, kemudian menuju ke tahap realisasi, penghindaran, intervensi, pemilihan strategi dan implementasi, serta evaluasi dampak yang ditimbulkan oleh konflik organisasi. Oleh karena itu, pengendalian konflik merupakan salah satu tugas pemimpin/ kepala sekolah dalam kepemimpinannya. Efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dinilai dari bagaimana ia mampu mengendalikan dan mengelola konflik. Kegagalan seorang pemimpin dalam mengendalikan dan mengelola konflik akan menimbulkan sesuatu yang antiproduktif dan destruktif, sebaliknya jika seorang kepala sekolah dalam mengendalikan pengelolaan konflik (baik konflik yang dialami oleh murid, guru ataupun karyawan yang berada di sekolah tersebut) secara baik. Konflik merupakan masalah yang pelik untuk segera dicarikan pemecahannya, meskipun selain itu konflik juga dapat bermanfaat terutama dalam: (1) menciptakan kreativitas, (2) perubahan sosial yang

22 konstruktif, (3) membangun keterpaduan kelompok dan (4) peningkatan fungsi kekeluargaan/ kebersamaan. 2.3.4 Cara-cara Mengendalikan Konflik Organisasi Menurut Rivai (2009: 752), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin dalam kepemimpinannya untuk mengatasi atau mengendalikan konflik, yaitu: a. Memberikan kesempatan kepada semua anggota kelompok untuk mengemukakan pendapatnya tentang kondisi-kondisi penting yang diinginkan, yang menurut persepsi masing-masing harus dipenuhi dengan pemanfaatan berbagai sumber daya dan dana yang tersedia. b. Cara lain yang sering ditempuh untuk mengatasi situasi konflik adalah dengan meminta satu pihak menempatkan diri pada posisi orang lain, dan memberikan argumentasi kuat mengenai posisi tersebut. Kemudian posisi peran itu dibalik, pihak yang tadinya mengajukan argumentasi yang mendukung suatu gagasan seolah-olah menentangnya, dan sebaliknya pihak yang tadinya menentang satu gagasan seolah-olah mendukungnya. Setelah itu masing-masing pihak diberi kesempatan untuk melihat posisi orang lain dari sudut pandang pihak lain. c. Kewenangan pimpinan sebagai sumber kekuatan kelompok. Seorang manajer yang bertugas memimpin suatu kelompok, untuk mengambil keputusan, atau memecahkan masalah secara efektif, perlu memiliki kemahiran menggunakan kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada perannya.

23 Selain itu ada beberapa cara untuk mengatasi konflik menurut Todd & Nader (2000: 315) dalam bukunya The Disputing Process Law in Ten Societies yaitu: a. Bersabar (Lumping), yaitu suatu tindakan yang merujuk pada sikap untuk mengabaikan konflik begitu saja atau dengan kata lain isu-isu dalam konflik itu mudah untuk diabaikan, meskipun hubungan dengan orang yang berkonflik itu berlanjut, karena orang yang berkonflik kekurangan informasi atau akses hukumnya tidak kuat. b. Penghindaran (Avoidance), yaitu suatu tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri hubungannya dengan cara meninggalkannya. Keputusan untuk meninggalkan konflik itu didasarkan pada perhitungan bahwa konflik yang terjadi atau dibuat tidak memiliki kekuatan secara sosial, ekonomi dan emosional. c. Kekerasan/ paksaan (Coercion), yaitu suatu tindakan yang diambil dalam mengatasi konflik jika dipandang bahwa dampak yang ditimbulkan membahayakan. d. Negosiasi (Negotiation), ialah tindakan yang menyangkut pandangan bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkonflik secara bersama-sama tanpa melibatkan pihak ketiga. Kelompok tidak mencari pencapaian solusi dalam term satu aturan, tetapi membuat aturan yang dapat mengorganisir hubungannya dengan pihak lain. e. Konsiliasi (Conciliation), yaitu tindakan untuk membawa semua yang berkonflik ke meja perundingan. Konsiliator tidak perlu memainkan secara aktif satu bagian dari tahap negosiasi meskipun ia mungkin bisa melakukannya dalam batas diminta oleh yang berkonflik. Konsiliator sering menawarkan kontekstual bagi adanya negosiasi dan bertindak sebagai penengah. f. Mediasi (Mediation), hal ini menyangkut pihak ketiga yang ikut menangani/ membantu menyelesaikan konflik agar tercapai persetujuan. Pihak ketiga ini bisa dipilih oleh pihak-pihak yang berkonflik atau perwakilan dari luar. Pihak-pihak yang berkonflik itu menyerahkan penyelesaian konflik kepada pihak ketiga tersebut. g. Arbitrase (Arbitration), kedua belah pihak yang berkonflik setuju pada keterlibatan pihak ketiga yang memiliki otoritas hukum dan mereka sebelumnya harus setuju untuk menerima keputusannya. h. Peradilan (Adjudication), hal ini merujuk pada intervensi pihak ketiga yang berwenang untuk campur tangan dalam penyelesaian konflik, apakah pihakpihak yang berkonflik itu menginginkan atau tidak.

24 Menurut Rivai (2009: 754-755), pendekatan berikut ini dapat digunakan sebagai kontribusi peran kepemimpinan dalam mengendalikan/ menyelesaikan konflik: a. Sanggup menyampaikan pokok masalah penyebab timbulnya konflik. Konflik tidak dapat diselesaikan jika permasalahan pokoknya terisolasi. Konflik sangat tergantung pada konteks dan setiap pihak yang terkait seharusnya memahami konteks tersebut. Permasalahan menjadi jelas tidak berdasarkan asumsi, melainkan jika disampaikan dalam pernyataan pasti. b. Mau mengakui adanya konflik. Pendekatan dengan konfrontasi dalam menyelesaikan konflik biasanya justru mengarahkan orang untuk membentuk kubu. Untuk itu, bicarakan pokok permasalahan, bukan siapa yang menjadi penyebabnya. c. Bersedia melatih diri untuk mendengarkan dan mempelajari perbedaan. Pada umumnya kemauan mendengarkan sesuatu dibarengi dengan keinginan untuk memberi tanggapan. Seharusnya kedua belah pihak berusaha untuk benar-benar saling mendengarkan. d. Sanggup mengajukan usul atau nasihat. Ajukan usul baru yang didasari oleh tujuan kedua belah pihak dan dapat mengakomodasi keduanya. Tawarkan juga kesediaan untuk selalu dapat membantu perwujudan rencana-rencana tersebut. e. Minimalisir ketidakcocokan. Cari jalan tengah di antara kedua belah pihak yang sering berbeda pandangan dan pendapat. Fokuslah pada persamaan dengan mempertimbangkan perbedaan yang sifatnya tidak mendasar.

25 Berdasarkan kajian di atas, maka yang dimaksud dengan konflik organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompokkelompok organisasi yang timbul, karena adanya kenyataan bahwa mereka harus membagi berbagai sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan/ atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi, dengan indikator kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar dan akomodasi (Robbins, 1999: 67) 2.4 Kerangka Pikir Merujuk pada uraian tentang komitmen kerja guru, kepribadian guru dan konflik organisasi, penulis mengajukan kerangka pikir tentang pengaruh kepribadian guru dan konflik organisasi terhadap komitmen kerja guru seperti dijelaskan di bawah ini. 2.4.1 Pengaruh Kepribadian Guru Terhadap Komitmen Kerja Guru Kepribadian guru adalah kemampuan guru untuk memahami orang lain dan pengendalian diri, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Guru merupakan bagian dari organisasi sekolah, kemampuannya dalam mengelola kepribadian dalam kaitannya dengan diri sendiri maupun orang lain sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan sekolah. Guru yang memiliki kepribadian yang baik, diharapkan mampu menguasai emosinya dengan baik, mampu berkomunikasi, bergaul dan memiliki motivasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Jika hal ini terjadi maka dipastikan guru

26 yang memiliki kepribadian baik akan mampu mengendalikan diri dan punya motivasi yang tinggi untuk mengembangkan sekolah. Guru yang demikian dikatakan memiliki komitmen kerja tinggi. Demikian sebaliknya jika guru tidak memiliki kepribadian yang baik maka ia akan kurang maksimal dalam melaksanakan tugasnya. 2.4.2 Pengaruh Konflik Organisasi Terhadap Komitmen Kerja Guru Konflik organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggotaanggota atau kelompok-kelompok organisasi yang timbul karena adanya kenyataan bahwa mereka harus membagi berbagai sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan/ atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau persepsi. Di sekolah diharapkan tercipta suasana kerja yang nyaman, aturan dan norma-norma yang telah disepakati dapat dipatuhi bersama oleh warga sekolah dan segala macam bentuk konflik dalam organisasi sekolah dapat ditekan. Jika kondisi tersebut dapat diciptakan di sekolah, diharapkan akan membuat guru merasa nyaman di tempat kerjanya. Guru merasa diperhatikan oleh atasannya, diberi kesempatan untuk terlibat secara langsung dalam mengembangkan sekolah. Demikian juga sebaliknya jika suasana lingkungan kerja kurang kondusif akan membuat guru merasa tidak nyaman di sekolah. Akibatnya guru tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dengan kata lain komitmen kerjanya buruk.

27 Secara teoritis pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat disajikan pada kerangka berpikir di bawah ini. X 1 2 r y1.2 X 2 2 r y2.1 2 R y.12 Y Gambar 2.1: Model teoritis pengaruh kepribadian guru (X 1 ) dan konflik organisasi (X 2 ) terhadap komitmen kerja guru (Y). Keterangan: 2 r y1.2 : derajat determinasi antara variabel X 1 dengan variabel Y 2 r y2.1 : derajat determinasi antara variabel X 2 dengan variabel Y 2 : derajat determinasi antara variabel X 1 dan X 2 dengan variabel Y R y.12 2.5 Hipotesis Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka di atas maka hipotesis umum yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah: 2.5.1 Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kepribadian guru terhadap komitmen kerja guru SMA Negeri di Kabupaten Pringsewu. 2.5.2 Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara konflik organisasi terhadap komitmen kerja guru SMA Negeri di Kabupaten Pringsewu. 2.5.3 Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kepribadian guru dan konflik organisasi secara bersama-sama terhadap komitmen kerja guru SMA Negeri di Kabupaten Pringsewu.