BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MAKALAH TUTORIAL ASMA BRONKIAL

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN ASMA

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Achmad Hudoyo SpP Dept Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/ SMF Paru RS. Persahabatan Jakarta Timur. SEJARAH ASMA

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing),

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang banyak dijumpai,

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma dapat timbul pada segala umur, di mana 30% penderita mempunyai gejala

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

Asma adalah inflamasi pada saluran nafas, dimana melibatkan banyak elemen sel dan selular seperti, sel mast, eosinofil, limfositt, makrofag,

PENGARUH PEMBERIAN SENAM ASMA TERHADAP FREKWENSI KEKAMBUHAN ASMA BRONKIAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan

- Asma pada Anak. Arwin AP Akib. Patogenesis

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB II TUJUAN TEORITIS. sesak dan batuk, terutama pada malam hari atau pagi hari (Wong, 2003).

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kronis yang paling umum di antara anak-anak. Sebagian besar kematian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP),

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Asma Bronkial. Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas

BAB I PENDAHULUAN. bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma

BAB I PENDAHULUAN. mengi, sesak nafas, batuk-batuk, terutama malam menjelang dini hari. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

AKTIVITAS FISIK (OLAHRAGA) PADA PENDERITA ASMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT GOLONGAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN ASMA PEDIATRI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hiperreaktif). 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini

HUBUNGAN ANTARA LAMA SENAM ASMA DENGAN FREKUENSI SERANGAN ASMA DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBKPM) SURAKARTA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata Asthma berasal dari bahasa yunani yang berarti terengah-engah atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

A S M A PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA

MODUL PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI ASMA BRONKIAL. NOMOR MODUL : Penyakit Obstruksi Paru

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

PEDOMAN PENGENDALIAN PENYAKIT ASMA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. satunya sehat secara fisik. Tujuan tersebut memicu seseorang untuk menjaga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

ASMA BRONKHIAL. inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi asma Asma dikenal sebagai penyakit alergi, biasanya dimulai pada masa kanakkanak, dengan karakteristik obstruksi aliran udara yang reversibel dan bersifat episodik dan prognosis yang menguntungkan karena responnya yang baik terhadap obat anti inflamasi (Papaiwannou et al., 2014). GINA (2012) dengan spesifik mendefinisikan asma menurut karakteristiknya secara klinis, fisiologis, dan patologis. Secara klinis, adanya episodik sesak napas terutama pada malam hari, sering disertai dengan batuk yang merupakan ciri utamanya. Karakteristik utama fisiologisnya yaitu, terdapat obstruksi saluran napas dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi. Berdasarkan patologisnya terdapat inflamasi jalan napas yang berhubungan dengan perubahan struktur jalan napas. Asma melibatkan komponen genetik dan lingkungan, dengan patogenesisnya belum jelas, sehingga penjelasan operasional asma menurut konsekuensi secara fungsional dari inflamasi jalan napas yaitu, merupakan penyakit inflamasi kronik pada jalan napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan episode berulang mengi, sesak napas, sesak di dada, dan batuk terutama saat malam atau dini hari. Episode ini bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Dijelaskan dalam ICSI (2012), penyakit inflamasi jalan napas ini melibatkan sel-sel inflamasi seperti eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitelial, dan juga mengaktivasi limfosit yang mengeluarkan berbagai sitokin, molekul adhesi dan mediator lainnya. Ciri lain yaitu hiperesponsifitas terhadap rangsangan alergen, iritan lingkungan, infeksi virus dan olahraga, dimana setiap penderita memiliki stimulus yang tidak selalu sama (Djojodibroto, 2012).

6 2.2. Faktor resiko Faktor yang mempengaruhi resiko terjadinya asma dapat dibagi menjadi faktor yang menyebabkan perkembangan asma, faktor penjamu (genetik) dan faktor yang memicu asma, faktor lingkungan. Bukan hanya kedua faktor tersebut yang berperan tetapi juga diperlukan adanya interaksi antara keduanya dan telah diketahui gen yang berhubungan dengan interaksi gen-lingkungan misalnya CD14, TLR2 dan TLR4 (Vercelli, 2010). Gambar 2.2.1 Faktor penjamu dan faktor lingkungan Faktor Penjamu Genetik, misalnya Genetik atopi Genetik hipereaktivitas bronkus Genetik asma Obesiti Jenis kelamin Faktor Lingkungan Alergen Dalam ruangan : tungau domestik, serpihan kulit, bulu binatang (anjing,kucing), kecoa, jamur, dll. Luar ruangan : tepung sari, jamur, infeksi terutama virus Sensitisasi lingkungan : dalam rumah, luar rumah dan tempat kerja Asap rokok (aktif & pasif) Asap dapur (biomassa, gas) Asap kendaraan Asap pabrik ASMA Sumber : Dewan Asma Indonesia

7 2.3. Patogenesis asma Keterbatasan aliran udara yang masuk disebabkan oleh banyaknya faktor yang berperan dalam patogenesis asma. Faktor utama yaitu terjadi inflamasi pada saluran napas. National Heart, Lung, and Blood Institute dalam Expert Panel Report 3 (2007) menjelaskan ada beberapa perubahan yang terjadi pada jalan napas. Perubahan yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus sehingga saluran napas menjadi sempit. Hal ini merupakan respon utama terhadap paparan berbagai rangsangan termasuk alergen atau zat iritan. IgE terutama sebagai antibodi pada reaksi alergi fase cepat setelah fase sensitisasi. Alergen yang masuk diendositosis oleh APCs, terdeteksi oleh sel T lalu sel T berdiferensiasi menjadi sel Th2. Selanjutnya, sel Th2 menginduksi produksi IgE oleh sel B. IgE kemudian menempel pada reseptor nya di permukaan sel mast dan basofil (Ishmael, 2011). Akibat aktivasi oleh antigen ini maka dilepaskan mediator-mediator yang menginisiasi bronkospasme seperti histamin, leukotriens, tryptase, prostaglandin D2 dan mediator inflamasi sitokin lainnya. Proses inflamasi yang progresif dan persisten membuat aliran udara semakin terbatas. Banyak sel yang berperan dalam proses inflamasi ini, dimana melibatkan peningkatan eosinofil dan sitokin Th2 sebagaimana juga digunakan sebagai biomarker dalam pengobatan (Manuyakorn, 2012). Meningkatnya jumlah eosinofil berkorelasi dengan derajat keparahan asma karena eosinofil mengandung enzim-enzim inflamasi, leukotriens, dan sitokin pro-inflamasi. Th2 dan IL-5 yang dihasilkan oleh sumsum tulang meningkatkan jumlah eosinofil (Ishmael, 2011). Selanjutnya eosinofil akan masuk ke matriks saluran napas dan bertahan lama akibat adanya IL-4 dan GM-CSF. IL-4 penting untuk diferensiasi Th2, dan diperlukan IL-13 untuk pembentukan IgE. Banyaknya mediator yang berperan tersebut menyebabkan inflamasi yang persisten, termasuk edema lokal, hipersekresi mukus, hipertropi serta hiperplasia otot polos jalan napas (NHLBI, 2007). Hiperresponsif jalan napas termasuk dalam salah satu fakto resiko dalam perkembangan gejala asma pada dewasa dan anak-anak, yang terkait dengan

8 keparahan gejala, penurunan fungsi paru, dan sebagai penentu pengobatan. Hiperresponsif bronkus merupakan respon obstruksi jalan napas yang berlebihan akibat stimulus obat-obatan, kimia dan fisik termasuk histamin, metakolin, AMP, sulfur dioksida, asap, dan udara dingin (Meurs et al., 2008). Struktur utama jalan napas yaitu sel epitel, fibroblas, dan sel otot polos. Respon terhadap inflamasi adalah dengan perbaikan jalan napas, akan tetapi perbaikan jalan napas pada penderita asma merupakan perbaikan patologis dengan perubahan struktur jalan napas yang disebut remodelling. Remodelling mempunyai karakteristik penebalan subepitel oleh karena deposisi kolagen, denudasi epitel dengan metaplasia sel goblet, meningkatkan lapisan otot polos, angiogenesis, dan masuknya komponen matriks ekstraselular seperti kolagen, proteoglikan, glikoprotein pada dinding saluran napas (Manuyakorn, 2014). 2.4. Diagnosis asma Diagnosis asma bisa ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa berupa keluhan utama, riwayat penyakit keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan gejala, bagaimana dan kapan terjadinya keluhan. Karakteristik gejala asma yaitu lebih dari satu gejala berupa mengi, sesak napas, batuk, dada terasa berat, yang semakin buruk saat malam atau pagi hari dengan waktu dan intensitas yang bervariasi, bisa dipicu oleh infeksi virus, olahraga, paparan allergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan seperti asap (GINA, 2014). Simptom yang dikeluhkan pasien sangatlah bervariasi, dengan pemeriksaan fisik auskultasi, temuan abnormal yang paling sering didapatkan adalah mengi. Mengi (wheezing) adalah napas yang berbunyi seperti suling yang menunjukkan adanya penyempitan saluran napas, baik secara fisiologis (oleh karena dahak) maupun secara anatomik (oleh karena konstriksi) (Djojodibroto, 2012). Namun, mengi kadang tidak ditemukan atau hanya ditemukan bila dengan ekspirasi paksa saat eksaserbasi asma yang berat, hal ini disebut juga silent chest.

9 Untuk menegakkan diagnosis asma dibutuhkan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru sebagai paramater objektif yang standar dipakai yaitu pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow (PEF). Pemeriksaan spirometri dan PEF sangat membutuhkan kemampuan dan kerjasama penderita bersamaan dengan pemahaman yang jelas oleh intruksi pemeriksa. Spirometer adalah alat pengukur faal paru yang penting dalam menegakkan diagnosa untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan (Rengganis, 2008). Peak flow meter yang merupakan alat sederhana dibuat untuk monitoring dan bukan alat diagnostik, karena dengan spirometer lebih sensitif dari PFM. Namun PEF dapat menegakkan diagnosa asma jika pasien tidak bisa melakukan pemeriksaan FEV1 (Rengganis, 2008). Monitor PEF dibuat untuk self-monitoring untuk melihat respon pengobatan. Setelah menggunakan ICS, monitor PEF jangka pendek dilakukan dua kali sehari selama 3 bulan. Pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan IgE, tanda inflamasi, dan uji hiperaktivitas bronkus juga dapat membantu menegakkan diagnosa asma. Foto thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. Skin prick test untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit dimana uji ini untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Uji hiperreaktivitas bronkus dapat dilakukan dengan tes provokasi, dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik (Rengganis, 2008). 2.5. Klasifikasi asma Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahan atau asma terkontrol. Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi

10 pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma dan sangat penting dalam penatalaksanaan asma. Tabel 2.5.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru Intermitten Bulanan APE 80% - Gejala<1x/minggu. - Tanpa gejala diluar serangan. - Serangan singkat. 2 kali sebulan - VEP 1 80% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik. - Variabiliti APE<20%. Persisten ringan Mingguan APE>80% - Gejala>1x/minggu >2 kali - VEP 1 80% nilai tetapi<1x/hari. sebulan prediksi APE 80% - Serangan dapat nilai terbaik. mengganggu aktifiti dan tidur - Variabiliti APE 20-30%. Persisten sedang Harian APE 60-80% - Gejala setiap hari. - Serangan mengganggu aktifiti dan tidur. - Membutuhkan bronkodilator setiap hari. >2 kali sebulan - VEP 1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik. - Variabiliti APE>30%. Persisten berat Kontinyu APE 60 % - Gejala terus menerus - Sering kambuh - Aktifiti fisik terbatas Sering - VEP 1 60% nilai prediksi APE 60% nilai terbaik

11 - Variabiliti APE>30% Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004 2.6. Penatalaksanaan asma Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai asma terkontrol agar memiliki kualitas hidup baik yang tidak mengganggu aktivitas dan mencegah kematian saat serangan. Penatalaksaan asma ini dikutip berdasarkan GINA (2012), yang mengklasifikasikan pengobatan asma menjadi dua yaitu sebagai obat kontrol asma (controllers) dan obat pelega asma (reliever). Obat controllers adalah obat asma yang digunakan setiap hari dalam jangka waktu panjang pada asma persisten untuk mencegah asma menjadi semakin parah dan mempertahankan asma menjadi terkontrol melalui interaksi dengan proses inflamasi. Sebagai berikut adalah jenis-jenis obat pengontrol : a. Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid inhalasi mempunyai efek anti-inflamasi terhadap sel dan jaringan spesifik. Kortikosteroid yang masuk secara langsung dan diabsopsi di paru akan berikatan dengan reseptornya, menghambat sintesis sitokin proinflamasi, dan menurunkan jumlah sel T limfosit, sel dendrit, eosinofil juga sel mast. Penggunaan kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru, menurunkan hiperesponsif bronkus, menurunkan eksaserbasi asma dalam kunjungan gawat darurat (Raissy et al, 2013). Kepatuhan menggunakan obat ini menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan 21% penurunan resiko kematian akibat serangan asma (Sloan et al, 2013). Efek samping yang mungkin pada penggunaan kortikosteroid inhalasi lebih minimal daripada kortikosteroid sistemik. Hal ini bergantung pada dosis, potensi bioavailabiliti, metabolisme hati, dan waktu paruhnya. Obat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi yang digunakan jangka panjang bisa menimbulkan efek

12 sistemik seperti purpura, supresi adrenal dan penurunan densitas tulang. Namun, dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek samping sistemik dengan menurunkan bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk mengurangi efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat iritasi saluran napas atas. b. Kortikosteroid sistemik Penggunaan kortikosteroid jangka lama lebih direkomendasikan secara inhalasi daripada sistemik akibat efek samping pemberian sistemik lebih serius. Namun, pemberian sistemik dapat diberikan pada penderita asma persisten berat yang tidak terkontrol. Penggunaan sistemik secara oral lebih dianjurkan dari parenteral (intramuskular, intravena, subkutan) karena pertimbangan waktu paruh oral lebih singkat dan efek samping yang muncul lebih sedikit. Efek samping yang ditakutkan misalnya osteoporosis, hipertensi, diabetes, obesitas, penekanan axis hipotalamus-hipofisa-korteks adrenal, purpura, penipisan kulit, striae, disfoni. c. Agonis beta-2 kerja lama (Long-acting β2-agnonist) inhalasi Mekanisme kerja obat beta-2 agonis yaitu melalui reseptor β2 yang mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol termasuk dalam golongan LABA ini, kedua obat itu memiliki lama kerja obat >12 jam. Namun, obat golongan LABA sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi jangka panjang karena tidak mempengaruhi respon inflamasinya justru meningkatkan angka kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi dengan kortikosteroid inhalasi telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala asma dan eksaserbasi dengan menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih baik. Kombinasi LABA dan kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan untuk pasien yang gagal mencapai asma terkontrol dengan kortikosteroid dosis rendahmedium. d. Kromolin: sodium kromoglikat dan sodium nedokromil

13 Kromolin dan nedokromil merupakan obat alternatif dalam pengobatan asma persisten ringan. Kromglikat dan nedokromil memiliki sifat yang sama yaitu sebagai obat anti-inflamasi. Obat ini memblok kanal klorida dan modulasi pelepasan mediator sel mast dan eosinofil (NHLBI, 2007). Kromolin juga bisa menghambat reaksi asma fase cepat dan fase lambat, meskipun permulaan percobaan obat ini hanya berperan pada sel mast untuk mensupresi pengeluaran histamin, ternyata dapat menghambat generasi sitokin juga (Yazid et al, 2013). Namun, efek anti-inflamasi kromolin lemah dan kurang efektif jka dibandingkan dengan inhalasi kortikosteroid dosis rendah. e. Methyxanthine Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot polos bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosin maupun inhibisi PDE (fosfodiesterase). Adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan mediator dari sel mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis kompetitif reseptor adenosin, maka hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi pasien asma. Selain itu, penghambatan PDE mencegah pemecahan camp dan cgmp sampai terjadi akumulasi camp dan cgmp dalam sel yang mengakibatkan relaksasi otot polos termasuk otot polos bronkus (Louisa dan Dewoto, 2011). Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa teofilin efektif sebagai kontrol gejala dan perbaikan terhadap fungsi paru, sehingga teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai pengontrol. Kombinasi kortikosteroid dengan teofilin sebagai alternatif menunjukkan perbaikan fungsi paru namun teofilin tidak lebih efektif dari inhalasi beta-2 agonis. f. Leukotriene modifiers Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat reseptor cysteinyl-leukotriene 1 (CysLT1) dan enzim 5-lipoksigenase. Leukotrin merupakan derivat asam arakidonat. Asam arakidonat dipecah fosfolipase A2 menjadi arakidonat bebas.

14 Enzim 5-lipoksigenase ini selanjutnya mengkonversi asam arakidonat bebas menjadi leukotrin A4 dan akhirnya akan diubah menjadi leukotrin C4, D4, E4. Leukotrin yang sudah terbentuk berikatan dengan reseptornya yaitu CysLT1 yang ditemukan pada eosinofil, monosit, sel-sel otot polos saluran napas, neutrofil, sel B, sel plasma, dan makrofag jaringan. Dari mekanisme di atas, terlihat bahwa leukotrin dianggap sebagai mediator inflamasi yang mampu mengaktivasi eosinofil, meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, sekresi mukus, proliferasi dan penyempitan otot polos, serta diduga efek bronkokonstriksi yang disebabkan oleh leukotrin lebih besar daripada efek oleh histamin (Scichilone, 2013). Leukotriene modifiers digunakan sebagai terapi tambahan dengan kombinasi inhalasi glukokortikosteroid. Namun, beberapa penelitian mengatakan bahwa leukotriene modifiers kurang efektif jika dibandingkan dengan inhalasi β2 agonis sebagai tambahan terapi. Zileuton menghambat langsung kerja enzim 5- lipoxygenase; montelukas, pranlukas, dan zafirlukas menghambat reseptor leukotrin. Prinsip kerja obat pelega (relievers) adalah sebagai bronkodilator untuk membantu mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan gelaja yang menyertainya seperti sesak, mengi, batuk, dan dada terasa berat. a. Short-acting β2 agonis inhalasi (SABA) SABA merupakan obat yang paling efektif mengatasi bronkospasme saat eksaserbasi asma akut dan juga dapat mencegah exercice-induced asthma. Golongan SABA dapat diberikan secara inhalasi, oral, atau parenteral. Namun pemberian yang lebih direkomendasikan adalah dengan inhalasi karena mempertimbangkan kerja obat yang cepat juga efek samping yang minimal. SABA memiliki mekanisme sama seperti obat β2 agonis lain yaitu dengan merelaksasi jalan napas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permiabilitas vaskuler, dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan eosinfil. Yang termasuk obat golongan SABA adalah salbutamol, levalbuterol, biltolterol, pirbuterol, isoproterol, metaproternol, terbutaline,epinephrine.

15 b. Anticholinergic Obat golongan ini berupa ipatropium dan oxitropium bromida. Mekanisme kerja obat golongan ini adalah sebagai bronkodilatasi dengan kompetitf menghambat reseptor muskarinik kolinergik, menurunkan tonus intrinsik vagus, blokade reflex bronkokonstriksi akibat zat iritan atau reflux esofagus, dan menurunkan sekresi mukus. Pemberian secara inhalasi bronkodilator antikolinergik ini kurang efektif jika dibandingkan dengan SABA. Namun, Obat ini dapat diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap SABA atau sebagai alternatif pada penderita yang memilik efek samping seperti takikardi, aritmia, tremor dengan pemakaian SABA. c. Methylxantin Pemberian teofilin dapat dipertimbangkan karena efek bronkodilatasinya akibat inhibisi aktivitas PDE untuk mengatasi gejala asma. Tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dari short-acting beta-2 agonis. Penambahan teofilin kerja singkat dengan obat golongan SABA tidak memperkuat respon bronkodilatasi namun dapat bermanfaat untuk respiratory drive. Pemberian teofilin kerja singkat tidak dianjurkan pada pasien yang sudah mendapat terapi teofilin lepas lambat kecuali ada dilakukan monitoring kadarnya dalam darah. Tabel 2.6.1. Pengobatan sesuai berat asma Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari. Berat Asma Medikasi pengontrol harian Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain Asma Tidak perlu -------- ------- Intermiten Asma Persisten Ringan Glukokortikosteroid inhalasi Teofilin lepas lambat Kromolin ------ Asma Persisten (200-400 ug BD/hari atau ekivalennya) Kombinasi inhalasi Leukotriene modifiers Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD Ditambah agonis

16 Sedang glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat,atau beta-2 kerja lama oral, atau agonis beta-2 kerja lama Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau Ditambah teofilin lepas lambat Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers Asma Persisten Berat Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah 1 di bawah ini: Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat - teofilin lepas lambat - leukotriene modifiers

17 - glukokortikosteroid Oral Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol