BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendapatan Perkapita Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Di Provinsi Riau. Vol. II, No. 02, (Oktober, 2015), 1-2.

Data Pokok Pembangunan 2014 PEMBANGUNAN MANUSIA

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB IV GAMBARAN UMUM INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENDAHULUAN. pada akhirnya melakukan perbaikan perbaikan untuk mencapai taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

pendidikan juga terbatas. Gunardo (2014) menjelaskan daerah dataran rendah memiliki pembangunan infrastruktur transportasi yang masif dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

PENDAHULUAN. 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN PASER

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

EXECUTIVE SUMMARY PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development)

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI BANTEN

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam Millenium Development Goals (MDGs). MDGs berisi delapan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera dalam wadah. rupa sehingga setiap tahap semakin mendekati tujuan.

BAB I PENDAHULUAN. terutama negara sedang berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan terjadi tatkala

VISI DAN MISI BAKAL CALON BUPATI KABUPATEN KAIMANA

I. PENDAHULUAN. jangka panjang (Sukirno, 2006). Pembangunan ekonomi juga didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang dalam. yang sangat kompleks karena mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional secara makro pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

BAB I PENDAHULUAN. telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Implementasi Kebijakan Pengembangan Pertanian dalam Revitalisasi Pertanian Daerah Tertinggal Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan.

Analisis Isu-Isu Strategis

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi)

Jurnal Sains Manajemen Vol. 2 No.1 Januari 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai upaya dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah semata-sama

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu modal pembangunan karena sasarannya

RGS Mitra 1 of 5 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI BANTEN

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

BAB I PENDAHULUAN. selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dilihat dari demografi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan pengembangan wilayah yang mencoba merubah sistem sentralistik menjadi desentralistik. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan pada tingkat lokal, memberi ruang gerak pada bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga muncul formulasi dan model pembangunan daerah yang efisien dan terdesentralisasi. Konsep desentralisasi yang telah digulirkan tersebut kemudian secara sistematik telah memaksa daerah sebagai satuan dari wilayah administratif untuk meningkatkan perannya dalam mengelola segala potensi lokal yang ada. Pada akhirnya, konsep desentralisasi ini diharapkan mampu mempercepat proses pencapaian tujuan pembangunan. Pada konteks teori dan kebijakan pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan merupakan dua bagian dari tujuan pembangunan yang mendasar. Terlepas dari faktor penentu lainnya, kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat penting. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan, dan pendidikan adalah hal mendasar untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan lebih berharga. Jadi pendidikan dan kesehatan menjadi faktor fundamental dalam pembentukan kemampuan manusia yang lebih luas dan berada pada inti makna pembangunan. Dua bagian faktor tujuan pembangunan ini lebih sering disebut sebagai modal manusia atau human capital. Modal manusia memainkan dua peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara. Pertama, kualitas pendidikan beperan menyerap teknologi modern dan mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan pembangunan yang berkesinambungan. Kedua, kesehatan merupakan pra-syarat bagi peningkatan produktivitas, sementara keberhasilan pendidikan juga kembali bertumpu pada kesehatan yang baik.

2 Pembangunan sumberdaya manusia atau human resources development itu sendiri merupakan suatu proses pengembangan kualitas diri manusia agar memiliki lebih banyak pilihan untuk memperbaiki taraf hidup maupun tingkat kesejahteraannya. Pilihan yang dimaksud adalah pilihan dalam hal pendidikan, kesehatan, pendapatan, lingkungan fisik dan lain sebagainya. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia, sebagian besar alat yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Fakta penting yang perlu disimak adalah perbaikan human capital selama separuh abad terakhir yang meningkat tajam. Menurut United Nation (2009), pada tahun 1950, sebanyak 280 dari setiap 1.000 anak di semua negara berkembang meninggal sebelum mecapai usia lima tahun. Namun di tahun 2008, angka tersebut telah menurun menjadi 120 per 1.000 di negara-negara miskin dan 7 per 1.000 untuk berkembang dan kaya. Pada tahun 2008, usia harapan hidup negaranegara maju berkisar 80-90 tahun, sementara di negara berkembang berkisar 40-60 tahun. Pendidikan juga mengalami peningkatan yang cukup fenomenal sejak beberapa dekade terakhir ini. United Nation (2009) melaporkan bahwa masih terdapat 63 persen penduduk di atas usia 15 tahun yang buta huruf di dunia pada tahun 1970, namun di tahun 2008, 80 persen penduduk dunia telah mampu membaca dan menulis. Angka lama sekolah sekolah untuk negara-negara maju sangat tinggi yakni lebih dari 12 tahun, sedangkan di negara berkembang jauh tertinggal dengan rata-rata berkisar 4-6 tahun. Sehingga secara umum masih terdapat disparitas pembangunan human capital dua kutub pertumbuhan yakni antara negara maju dengan negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu negara yang masih berkutat dalam dunia ketiga, atau negara berkembang pun masih memiliki kondisi human capital yang jauh dari harapan. Tercatat bahwa di tahun 2009 Angka Harapan Hidup Indonesia adalah sebesar 61,34 tahun, sedangkan Angka Melek Huruf penduduk adalah sebesar 91,45 tahun (BPS, 2009). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa human capital di Indonesia dikategorikan berada pada level rendah.

3 Pada konteks pembangunan wilayah, kondisi human capital di wilayahwilayah Indonesia mengalami kenyataan yang tidak jauh berbeda. Terdapat disparitas human capital atau kualitas sumberdaya manusia antara wilayah timur dengan barat Indonesia, disparitas antar kabupaten dalam satu provinsi, hingga adanya disparitas antar kecamatan dalam lingkup satu kabupaten. Dalam penelitian ini, akan lebih khusus membahas disparitas pembangunan wilayah dalam satu kabupaten. Kabupaten yang terpilih menjadi objek penelitian adalah Kabupaten Lebak yang terletak di Provinsi Banten. Terdapat beberapa hal yang cukup menarik dalam pembangunan sumberdaya manusia di tingkat Kabupaten Lebak. Pertama, secara geografis Kabupaten Lebak ini berada dalam zona strategis, baik dalam sektor pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan hingga industri. Selain itu, Jarak kabupaten hanya 70 km dengan pusat pemerintahan negara, Jakarta. Namun yang terjadi justru kualitas sumberdaya manusia Kabupaten Lebak tertinggal jauh jika dibandingkan dengan angka IPM antar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Rendahnya IPM tersebut mencerminkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia Kabupaten Lebak. Secara umum, terjadi disparitas kualitas sumberdaya manusia antar kabupaten di Provinsi Banten, hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1. 76 74 72 70 68 66 64 62 67,38 67.10 70,73 67,45 74,41 74,43 Kabupaten Pandeglang Kabupaten Lebak Kabupaten Tangerang Kabupaten Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Sumber: Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2009 Gambar 1. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten tahun 2008 Pada tahun 2008, Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Kabupaten Lebak adalah 63,11 tahun. Angka tersebut masih di bawah rata-rata Provinsi Banten yang telah mencapai 64,45 tahun (Dinkes Kab. Lebak, 2009). Dengan kata

4 lain, kualitas hidup sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak masih di bawah kabupaten/kota lain di Provinsi Banten. Berdasarkan hasil pendataan SUSENAS (2009), persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis adalah 94,20 persen, sedangkan rata-rata provinsi banten sebesar 95,68 (Bappeda Kab. Lebak, 2009). Pada indikator rata-rata lama sekolah, Kabupaten Lebak masih tergolong rendah yakni hanya 6,3 tahun pada tahun 2008, atau setara dengan lulus SD. Pada tingkat Provinsi Banten, rata-rata lama sekolah telah mencapai 8,2 tahun atau hampir setara dengan kelas dua SLTP. Tingginya rata-rata lama sekolah di tingkat provinsi ini disumbangkan oleh daerah lain yang jauh lebih maju, khususnya daerah perkotaan seperti Kota Cilegon dan Kab/Kota Tangerang. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1 yang menerangkan informasi perbandingan lama sekolah antara Lebak dengan Banten. Tabel 1 Perkembangan Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lamanya Sekolah Kabupaten Lebak dan Rata-rata Provinsi Banten Tahun 1999-2008 Tahun Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama Sekolah (tahun) Kab. Lebak Prov. Banten Kab. Lebak Prov. Banten 1999 90.80 91.50 5.50 6.60 2000 91.03 92.14 5.94 6.80 2001 91.30 92.47 6.22 7.10 2002 90.19 93.84 5.30 7.90 2003 91.40 94.20 5.50 8.10 2004 93.90 94.70 6.10 8.50 2005 94.10 95.60 6.20 8.00 2006 94.10 95.60 6.20 8.10 2007 2008 94.10 94.20 95.60 95.68 6.20 6.30 8.10 8.20 Sumber: Bappeda Kabupaten Lebak, Tahun 2010 Hal menarik kedua adalah terjadinya disparitas pembangunan modal manusia antar wilayah di Kabupaten Lebak. Disparitas terlihat dari rendahnya implementasi pelayanan publik dari infrastruktur. Pada tahun 2009, kondisi bangunan sekolah dasar hanya 59.60 persen yang kondisinya baik, sedangkan 40.40 persen dalam keadaan rusak. Wilayah Lebak di luar Kecamatan Rangkasbitung masih kekurangan sekitar 2.000 tenaga pengajar dan 1.000 tenaga

5 kesehatan (Bappeda Kab. Lebak, 2009). Sebagian besar infrastruktur yang rusak berada di daerah lebak bagian selatan dan tengah. Kurangnya pelayanan publik baik berupa infrastruktur serta tenaga pengajar dan kesehatan tersebut menyebabkan proses pembangunan human capital pun berjalan lambat. Terbukti bahwa sebagian besar penduduk usia sekolah di wilayah Lebak bagian selatan dan tengah adalah lulusan sekolah dasar yakni berkisar 80 persen. Penduduk usia sekolah yang berhasil menamatkan sekolah menengah hanya 5 persen. Jumlah penduduk yang berpendidikan sarjana pun masih bisa dihitung dengan jari. Selain itu juga ditambah dengan banyaknya kasus gizi buruk di wilayah Lebak selatan dan tengah, di tahun 2008 ditemukan sekitar 5.000 kasus gizi buruk. Fakta-fakta yang menunjukan disparitas ini dilatarbelakangi oleh dua faktor yang sangat menentukan, yakni rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat buruknya pelayanan publik. Lingkaran setan berupa buruknya pelayanan publik terhadap pembangunan sumberdaya manusia atau human capital menyebabkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan akhirnya memunculkan atau meningkatkan angka disparitas pembangunan di Kabupaten Lebak. 1.2.Perumusan Masalah Proses implementasi otonomi daerah dalam perjalanan selama sepuluh tahun ini masih sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan pada awal perumusannya. Akan tetapi, bukan berarti berjalan tanpa masalah, justru tantangan yang dihadapi sebanding dengan opportunity dan utility yang didapatkan. Konsep desentralisasi ini seperti sebilah dua sisi pedang yang saling memberikan dampak positif dan juga arah menuju angka defisit pembangunan. Sebagian yang pro demokrasi mengatakan setuju terhadap perkembangan yang diberikan dari konsep desentralisasi melalui otonomi daerah ini. Karena memang telah terjadi peningkatan yang cukup berarti pada sebagian daerah dari sisi PDRB per kapita penduduknya. Proses partisipasi masyarakat pun telah menunjukan perbaikan yang cukup menggembirakan. Hal tersebut terlihat dengan

6 semakin luasnya ruang politik bagi para politisi lokal dalam mengaspirasikan suara-suara rakyat bawah. Namun bagi yang pro pemerataan pembangunan tentu akan berkomentar sebaliknya terhadap hasil yang diberikan oleh otonomi daerah ini. Proses otonomi daerah ini masih dipandang belum berkeadilan secara sosial, tidak populis secara politik, kontraproduktif secara ekonomi, mengingkari etika pembangunan berkelanjutan secara ekologis dan jauh dari ruh yang dinamis secara kultural. Masalah pengangguran, kemiskinan, rendahnya mutu dan kesempatan memperoleh pendidikan, serta rendahnya tingkat kesehatan adalah beberapa contoh permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dalam implementasi otonomi daerah. Terlepas dari pro-kontra dua kubu yang saling bertolak belakang, maka dalam penelitian ini mencoba untuk memandang proses desentralisasi ini dari sisi yang lebih objektif. Tinjauan kritis yang dianalisis harus melalui indikatorindikator penilaian pembangunan. Untuk menspesifikasikan tujuan penelitian, maka secara khusus akan membahas permasalahan kualitas sumberdaya manusia atau human capital sebagai pemegang peran penting dalam pembangunan daerah. Karena meningkatnya human capital berupa pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang paling mendasar. Kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak masih rendah, hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya angka IPM tahun 2008 yakni sebesar 67,10. Pembangunan wilayah yang berfokus untuk mengembangkan human capital di era otonomi daerah masih terkendala oleh pelayanan publik yang jauh dari harapan. Buruknya pelayanan publik ini dapat terlihat dari kurangnya infrastruktur serta tenaga pendidik dan kesehatan di wilayah tengah dan selatan. Secara ideal, perbandingan antara tenaga pendidik dan siswa sekolah dasar adalah 1 : 32, namun untuk wilayah Lebak Bagian tengah dan selatan, rata-rata perbandingannya adalah 1 : 60 siswa (Disdik Kab. Lebak, 2010). Perbandingan ideal tenaga kesehatan adalah 1 : 15.000 untuk dokter spesialis, 1 : 5.000 untuk dokter umum, 1 : 800 untuk perawat dan 1 : 1.000 untuk bidan. Akan tetapi untuk wilayah lebak bagian tengah dan selatan sama sekali tidak ada dokter spesialis, perbandingan dokter umum 1 : 18.000, perawat adalah 1 : 4.900 dan bidan sebesar

7 1 : 6.700 (Dinkes Kab. Lebak, 2010). Angka tersebut menunjukkan Pemkab Lebak belum memberikan pelayanan publik bidang pendidikan dan kesehatan yang optimal untuk seluruh wilayah di Kabupaten Lebak. Kabupaten Lebak sebetulnya tidak sulit untuk bisa mendapatkan tenaga pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi banyak calon tenaga pendidik dan kesehatan yang tidak bersedia ditempatkan pada wilayah lebak bagian tengah dan selatan. Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah aksesibilitas jalan kabupaten yang sangat buruk sehingga menyebabkan sulitnya akses ekonomi. Menurut penuturan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lebak (2009), dari keseluruhan jalan Kabupaten, hanya 20 persen saja yang layak pakai selebihnya rusak ringan hingga berat. Untuk bisa meraih wilayah Lebak bagian selatan, masyarakat harus menempun jarak sepanjang 150 km, karena harus melalui jalan putar jalur Kabupaten Pandeglang. Padahal jarak tempuh terjauh apabila melalui jalan Kabupaten Lebak adalah sepanjang 70 km. Besarnya ongkos perjalanan ekonomi ini secara tidak langsung menjadi faktor penghambat laju pertumbuhan ekonomi sekaligus faktor penyebab ketertinggalan sumberdaya manusia. Permasalahan yang muncul adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini sebagian besar disebabkan oleh kekurangan dan penyebaran tidak merata dari tenaga pendidikan dan kesehatan serta kondisi kultur sebagian masyarakat yang belum sadar akan pentingnya pendidikan dan kesehatan. Dampak lanjutannya adalah terjadinya disparitas pembangunan human capital di Kabupaten Lebak Dengan beragam kondisi pendidikan dan kesehatan Kabupaten Lebak yang cukup memprihatinkan di atas, maka diperlukan suatu paradigma baru dalam menetapkan rencangan pembangunan modal manusia. Paradigma tersebut adalah adanya perubahan paradigma pembangunan yang harus memberikan keterlibatan dan partisipasi masyarakat secara aktif. Sehingga proses pembangunan pun akan berjalan beriringan baik dari sisi kebutuhan masyarakat sebagai akar rumput maupun pemerintah daerah sebagai ranting naungan pembangunan. Dalam proses pembangunan wilayah yang terdesentralisir di era otonomi daerah, peran masyarakat dalam pengambilan kebijakan sangat penting. Karena otonomi daerah dilahirkan agar tercapainya percepatan kesejahteraan masyarakat

8 dengan peningkatan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan. Sehingga preferensi masyarakat merupakan hal mutlak pada salah satu tahapan proses perumusan kebijakan umum pembangunan wilayah. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh kinerja pelayanan publik terhadap kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak? 2. Bagaimana pengaruh kualitas sumberdaya manusia terhadap struktur ekonomi dan disparitas pembangunan wilayah 3. Bagaimana strategi alternatif kebijakan pembangunan sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak? 1.3. Tujuan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan tugas akhir tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pengaruh kinerja pelayanan publik terhadap kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak 2. Menganalisis pengaruh kualitas sumberdaya manusia terhadap struktur ekonomi dan disparitas pembangunan wilayah 3. Menyusun strategi alternatif kebijakan pembangunan sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak 1.3. Manfaat Tesis ini diharapkan akan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1. Bagi Penulis Kegiatan penulisan ini merupakan sarana bagi penulis untuk mengasah kemampuan menulis karya ilmiah, mengamati dan menganalisis suatu permasalahan sosial untuk kemudian berusaha menemukan solusi atas permasalahan sosial tersebut. Penulis juga dituntut untuk lebih peka terhadap permasalahan pembangunan wilayah yang berfokus pada pembangunan modal manusia.

9 2. Bagi Pemerintah atau Pihak-pihak yang Terkait Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan gambaran penilaian atas kondisi umum kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam pelayanan publik bidang kesehatan dan pendidikan di era otonomi daerah yang telah berlangsung beserta kebijakan terkait dan memberikan sumbangan saran berupa solusi konstruktif yang dapat dilakukan pemerintah daerah. 3. Bagi Pembaca dan Masyarakat Memberikan gambaran dan informasi mengenai realisasi kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam mewujudkan good governance pada proses pembangunan wilayah di bidang pendidikan dan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan minimal dan persepsi masyarakat. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian 1. Penelitian dilakukan pada instansi terkait dengan tujuan penelitan, dua kecamatan dan empat desa di wilayah tertinggal. Objek penelitian adalah masyarakat, dinas pendidikan, dinas kesehatan, Bappeda dan Anggota Legislatif Komisi IV. 2. Kecamatan yang diteliti adalah Cibeber dan Maja yang dianggap sebagai representasi kecamatan tertinggal di Kabupaten Lebak. Masing-masing kecamatan tertinggal tersebut diambil dua desa, yakni desa yang relatif maju dan desa yang relatif tetinggal.