PERMINTAAN BAWANG PUTIH DI INDONESIA DEMAND OF GARLIC IN INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
PENAWARAN BAWANG PUTIH DI INDONESIA. Jl. Veteran Malang Telp Keywords: garlic, Nerlove supply model, elasticity, short run, long run

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI LADA DI INDONESIA FACTORS THAT INFLUENCE THE PRODUCTION OF PEPPER IN INDONESIA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode two stage least squares (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil

IV. METODE PENELITIAN. Indonesia sehubungan dengan tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor

ELASTISITAS HARGA DAN PENGARUH IMPOR KEDELAI TERHADAP PRODUKSI DALAM NEGERI

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

ANALISIS TREND DAN ESTIMASI HARGA BAWANG MERAH DI KABUPATEN BANYUMAS PERIODE JANUARI 2008 DESEMBER 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Akar Unit (Unit Root Test) bahwa setiap data time series yang akan dianalisis akan menimbulkan spurious

METODE ANALISIS SUPPLY DAN DEMAND KOMODITAS PERTANIAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI INDONESIA

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK SUMATERA UTARA

PROYEKSI PERMINTAAN KEDELAI DI KOTA SURAKARTA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

ANALISIS PERMINTAAN IMPOR BAWANG MERAH DI INDONESIA. Theresia Wediana Pasaribu Murni Daulay

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB III METODE PENELITIAN. dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Food and

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kestasioneran data diperlukan pada tahap awal data time series

ANALISIS PERMINTAAN KEDELAI DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA JAGUNG PIPIL DITINGKAT PRODUSEN SUMATERA UTARA

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengandung akar-akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit

PERKEMBANGAN SITUASI PASAR DAN INTEGRASI HARGA JAGUNG DI INDONESIA PENDAHULUAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. atas, data stasioner dibutuhkan untuk mempengaruhi hasil pengujian

BAB III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN BERAS DI PROPINSI JAMBI. Edison dan Pera Nurfathiyah

ELASTISITAS PERMINTAAN BERAS ORGANIK DI KOTA MEDAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000

III METODE PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENGARUH HARGA KOMODITAS PANGAN TERHADAP INFLASI DI KOTA MALANG TAHUN Dicky Zunifar Rizaldy BRI Life

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1) Dalam jangka pendek produksi beras Indonesia berpengaruh negatif dan. terhadap besarnya impor beras Indonesia.

III. METODELOGI PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah current account

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Model Fungsi Respons Produksi Kopi Robusta. Pendugaan fungsi respons produksi dengan metode 2SLS diperoleh hasil

ANALISIS PENAWARAN KOPI ROBUSTA DI PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS KERAGAAN PERMINTAAN DAN PENAWARAN CABAI RAWIT DI KOTA GORONTALO JURNAL ILMIAH MEIKO SAIDI

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISA

ANALISIS PERAMALAN KONSUMSI KEDELAI (Glycine max L.) DI INDONESIA TAHUN

BAB III METODE PENELITIAN

V. SPESIFIKASI MODEL DAN HUBUNGAN CONTEMPORANEOUS

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE)

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN DAGING AYAM BROILER DI KOTA MEDAN Helmi Mawaddah *), Satia Negara Lubis **) dan Emalisa ***) *)

III. METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Analisis Faktor-Faktor Yang

Economics Development Analysis Journal

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. metode Vector Auto Regression (VAR) dan dilanjutkan dengan metode Vector

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BERAS DI INDONESIA TAHUN (Pendekatan Error Correction Model) Erikson Manurung

III. METODE PENELITIAN

III. METODELOGI PENELITIAN. Dalam penelitian yang berjudul Analisis Determinan Nilai Aktiva Bersih Reksa

INTEGRASI PASAR CPO DUNIA DAN DOMESTIK

METODE PENELITIAN. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDB, Ekspor, dan

STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING LADA PUTIH INDONESIA MELALUI ANALISIS PENAWARAN EKSPOR DAN PERMINTAAN IMPOR LADA PUTIH DUNIA

III METODE PENELITIAN. dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan provinsi ini merupakan wilayah

BAB III METODE PENELITIAN. minyak kelapa sawit Indonesia yang dipengaruhi oleh harga ekspor minyak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi Uji Akar Unit (Unit Root Test) Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang

ANALISIS PERMINTAAN DAN PENAWARAN KEDELAI DI SUMATERA UTARA Apriyani Barus *), Satia Negara Lubis **), dan Sri Fajar Ayu **)

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder menurut runtun

VI. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN RUMAH TANGGA TERHADAP CABAI MERAH KERITING

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA EKONOMI GULA KRISTAL DI INDONESIA THE FACTORS THAT AFFECT THE CRYSTAL SUGAR ECONOMIC PERFORMANCE IN INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN BERAS DAN JAGUNG DI PROVINSI SUMATERA UTARA

IV. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dalam bentuk time series

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN BERAS DI KABUPATEN WONOGIRI

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series

METODOLOGI PENELITIAN. Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang dijadikan objek

3. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODE PENELITIAN

Boks.1 PENGARUH PERUBAHAN HARGA TERHADAP JUMLAH PERMINTAAN KOMODITI BAHAN MAKANAN DI KOTA JAMBI

III. METODE PENELITIAN. penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR KOPI SUMATERA BARAT KE MALAYSIA. Indria Ukrita 1) ABSTRACTS

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN DAN PERMINTAAN GULA DI PASAR DOMESTIK DAN DUNIA

ELASTISITAS PERMINTAAN PRODUK PAKAN DARI KEDELAI DI INDONESIA 1)

III. METODE PENELITIAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BERAS INDONESIA TAHUN JURNAL PUBLIKASI

METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis dan Sumber Data

PENGARUH GDP TERHADAP INFLASI DI INDONESIA: TAHUN Novi Darmayanti Universitas Islam Darul Ulum Lamongan

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

III. METODE PENELITIAN. gabungan dari data runtun waktu (time series) tahunan. Data yang digunakan

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan

Transkripsi:

Habitat Volume XXV, No. 2, Bulan Agustus 2014 ISSN: 0853-5167 PERMINTAAN BAWANG PUTIH DI INDONESIA DEMAND OF GARLIC IN INDONESIA Putra Aditama Hariwibowo 1), Ratya Anindita 2), dan Suhartini 2) 1) Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya 2) Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya 1) E-mail: hputraaditama@yahoo.com ABSTRACT This study aims to analyze the factors that affect the demand of garlic in. The type of model used in the estimation process is partial adjustment demand model. The results showed that all equations in the model are qualified to statistical tests. The factors that significantly affect the demand for garlic among others the real price of imported garlic and garlic demand at previous year. Import tariffs significantly affect the real price of imported garlic. Meanwhile, real retail price of garlic is significantly affected by n garlic demand, n garlic supply, and real price of imported garlic. The demand adjustment value of n for garlic is inelastic. It means that n demand alteration response for garlic is not bigger than it price altertation. In the short run, the entire exogenous variables in model are inelastic on its endogenous variables. But in the long run only import tariffs that elastic on real prices of imported garlic. So that import tariff could be appropriate policy instrument to control the price of imported garlic. Key words: garlic, partial adjustment demand model, elasticity, short run, long run ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan bawang putih di. Model yang digunakan untuk estimasi adalah model penyesuaian permintaan parsial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh persamaan dalam model memenuhi syarat uji statistik. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap permintaan bawang putih meliputi harga riil bawang putih impor dan permintaan bawang putih tahun sebelumnya. Tarif impor berpengaruh nyata terhadap harga bawang putih impor. Sementara itu, harga bawang putih eceran dipengaruhi secara nyata oleh permintaan bawang putih, penawaran bawang putih, dan harga bawang putih impor. Nilai respon penyesuaian permintaan masyarakat untuk komoditi bawang putih adalah inelastis. Artinya respon perubahan permintaan masyarakat akan bawang putih tidak lebih besar daripada perubahan harga bawang putih yang terjadi. Dalam jangka pendek, seluruh variabel eksogen dalam model inelastis terhadap variabel endogennya. Namun dalam jangka panjang hanya tarif impor yang elastis terhadap harga bawang putih impor. Dengan demikian tarif impor dapat menjadi salah satu instrumen kebijakan yang penting terkait pengendalian harga bawang putih impor. Kata kunci: bawang putih, model penyesuaian permintaan parsial, elastisitas, jangka pendek, jangka panjang

Putra Aditama Hariwibowo Permintaan Bawang Putih Di... 79 PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan menurunnya volume produksi bawang putih menimbulkan kondisi disequilibrium dalam pasar bawang putih dalam negeri. Menurunnya produksi bawang putih antara lain disebabkan oleh berkurangnya minat petani terhadap usahatani bawang putih. Rendahnya produksi bawang putih antara lain juga disebabkan oleh penerapan kultur teknis yang belum sesuai dengan SOP (standar operasional prosedur) dalam budidaya bawang putih, juga disebabkan oleh penggunaan bibit dengan kualitas yang belum memadai (Pramono dkk, 2011). Selain itu, membanjirnya produk bawang putih impor yang memiliki harga murah, dan ukurun umbi yang besar juga turut menurunkan minat petani untuk menanam bawang putih. Kondisi ini merupakan penyebab utama meningkatnya volume permintaan impor bawang putih. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah pun terlalu fokus pada pengaturan impor semata. Sehingga pada prakteknya, pemerintah tidak menyiapkannya secara terencana dan baik terhadap adanya liberalisasi, sehingga pemerintah tidak bebas lagi dalam menentukan kebijakan. Selain itu, bawang putih bawang putih merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura yang pada saat ini kondisinya masih relatif kurang mendapatkan perhatian, prioritas penanganan dan kebijakan pemerintah. Untuk itu perlu dianalisis faktor-faktor yang berpengaruh serta elastisitas masing-masing faktor terhadap permintaan bawang putih. Hal tersebut penting dilakukan karena faktorfaktor tersebut dapat menjadi instrumen yang tepat untuk perbaikan kebijakan pemerintah terkait kinerja ekonomi bawang putih di. Kebijakan yang diharapkan adalah kebijakan yang mampu memacu petani bawang putih domestik untuk menanam bawang putih sehingga akan tercapai peningkatan produksi bawang putih domestik yang signifikan demi memenuhi kebutuhan bawang putih. Penjelasan di atas mendasari tujuan penelitian ini, yaitu untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan bawang putih di. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data time series dari tahun 1983 hingga 2013. Analisis data dilakukan dengan pendekatan ekonometrika melalui metode 2SLS. Model permintaan bawang putih tersusun atas empat persamaan struktural. Bentuk fungsional model menggunakan double log (log x t = lx t ) yang memungkinkan untuk melihat nilai elastisitas dari koefisien parameter secara langsung (Gujarati, 2004). Fungsi permintaan menggunakan Partial Adjustment Model (PAM). Model ini sudah sering digunakan dalam penelitian respon permintaan produk pertanian terutama untuk tanaman semusim seperti bawang putih. Hal ini dikarenakan konsumen dalam merencanakan permintaan tahun ini berpedoman pada tingkat permintaannya tahun sebelumnya (Adnyana, 2013). Untuk fungsi lain seperti harga bawang putih impor dan harga bawang putih eceran dalam bentuk statis. Model permintaan bawang putih dalam penelitian ini terdiri atas fungsi permintaan, harga riil bawang putih impor dan harga riil bawang putih eceran yang dijelaskan sebagai berikut. Permintaan Bawang Putih Fungsi permintaan bawang putih menggunakan bentuk model penyesuaian permintaan parsial. Model tersebut dapat melihat permintaan yang diharapkan dalam jangka panjang dengan terlebih dahulu mengestimasi fungsi permintaan dalam jangka pendek. Secara matematis, fungsi permintaan bawang putih di dijelaskan sebagai berikut. Fungsi jangka pendek: lqdb t = d 0 + d 1 lpbir t + d 2 lpbmr t + d 3 lipk t + d 4 lpop t + d 5 Dkm t + d 6 lqdb t-1... (1) Fungsi jangka panjang: lqdb t * = d 0 + d 1 lpbir t + d 2 lpbmr t + d 3 lipk t + d 4 lpop t + d 5 Dkm t... (2) Dimana : lqdb t = Permintaan bawang putih (ribu ton) lqdb t * = Permintaan bawang putih yang diharapkan (ribu ton) lpbir t = Harga riil bawang putih impor (USD/ton) lpbmr t = Harga riil bawang merah (Rp/kg) lipk t = Pendapatan per kapita (ribu Rp)

80 HABITAT Volume XXV, No. 2, Bulan Agustus 2014 lpop t = Populasi penduduk (ribu jiwa) Dkm t = Dummy krisis moneter (selain tahun 1997&1998 = 0,tahun 1997&1998= 1) lqdb t-1 = Permintaan bawang putih tahun sebelumnya (ribu ton) Harga Riil Bawang Putih Impor Bentuk fungsi harga riil bawang putih impor adalah bentuk statis yang sama dengan bentuk fungsi permintaan dalam jangka panjang. Sehingga fungsi harga ini diasumsikan juga dalam jangka panjang untuk menjaga konsistensi. Fungsi harga riil bawang putih impor secara matematis dijelaskan sebagai berikut. lpbir t = e 0 + e 1 lpbwr t + e 2 ltib t + e 3 lmbp t... (3) Dimana: lpbir t = Harga riil bawang putih impor (USD/ton) lpbwr t = Harga riil bawang putih dunia (USD/ton) ltib t = Tarif impor bawang putih (persen(%)) lmbp t = Impor bawang putih (ribu ton) Harga Riil Bawang Putih Eceran Bentuk fungsi harga riil bawang putih eceran sama dengan bentuk harga bawang putih dan fungsi permintaan dalam jangka panjang. Sehingga fungsi ini juga diasumsikan dalam jangka panjang. Fungsi harga riil bawang putih eceran secara matematis dijelaskan sebagai berikut. lpber t = f 0 + f 1 lqdb t + f 2 lqsb t + f 3 lpbir t (4) Dimana: lpber t = Harga riil bawang putih eceran (Rp/kg) lqdb t = Permintaan bawang putih (ribu ton) lqsb t = Penawaran bawang putih (ribu ton) lpbir t = Harga riil bawang putih impor (USD/ton) ldentifikasi model struktural dilakukan berdasarkan order condition model permintaan bawang putih dalam penelitian ini adalah over identified. Sebelum dilakukan estimasi model, dilakukan uji stasioneritas dan kointegrasi untuk melihat ada tidaknya unsur trend dalam data serta untuk menghindari terjadinya hasil estimasi yang palsu (spurious regression). Uji stasioneritas menggunakan metode Augmented Dickey Fuller Test (ADF Test) sementara uji kointegrasi menggunakan metode Johansen. Setelah diperoleh hasil estimasi selanjutnya dilihat hasil uji sidik ragam yang meliputi ujif, uji t, dan nilai koefisien determinasinya (R 2 ). Uji ada tidaknya gangguan autokorelasi menggunakan uji Durbin h yang dihitung berdasarkan nilai Durbin Watson yang diperoleh. Selanjutnya dilihat nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjang setiap variabel dalam model. elastisitas digunakan untuk mendapatkan kuantitas respon suatu fungsi terhadap faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Model log yang digunakan dalam penelitian ini memungkinkan untuk melihat nilai elastisitas jangka pendek secara langsung. Jika kondisi model tergolong dinamis, dapat diperhitungkan elastisitas jangka pendek dan jangka panjangnya (Gujarati, 2004). HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Produksi dan Permintaan Bawang Putih Laju penurunan pertumbuhan produksi bawang putih sejalan dengan penurunan pertumbuhan luas lahannya. Berdasarkan gambar 1. dapat diketahui bahwa setelah mengalami puncak produksi sebesar 152.42 ribu ton pada tahun 1995, produksi bawang putih cenderung terus menurun. Rata-rata pertumbuhan per tahun hanya sebesar 2.82%. Permintaan bawang putih sejak tahun 1983 hingga 2013 menunjukkan tren yang terus meningkat (gambar 1). Pada tahun 1983, permintaan bawang putih baru sebesar 49.03 ribu ton dan kemudian meningkat signifikan pada tahun 1998 menjadi sebesar 125.10 ribu ton ketika krisis moneter terjadi. Menjelang krisis ekonomi dunia pada tahun 2007 terjadi peningkatan sebesar 478% menjadi 1,517 ton dan terus meningkat hingga sekarang.

Putra Aditama Hariwibowo Permintaan Bawang Putih Di... 81 3000.00 2500.00 2000.00 1500.00 1000.00 500.00 0.00 Produksi (Qbi) dan Permintaan (Qdb) Bawang Putih 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Qdb (000 tons) Qbi (000 tons) Sumber: FAO Statistic, 2013 Gambar 1. Produksi dan Permintaan Bawang Putih Tahun 1983-2013 Figure 1. Production and Demand of Garlic in Year 1983-2013 Peningkatan permintaan bawang putih ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi bawang putih. Sehingga untuk menutupi kesenjangan ini pemerintah melakukan impor. Kondisi ini diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terpusat di pulau Jawa memaksa lahan bawang putih di sentra-sentra seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk beralih fungsi menjadi kawasan hunian atau fungsi lain. Perkembangan Harga Bawang Putih Harga bawang putih impor memiliki fluktuasi yang cukup tinggi daripada harga bawang putih dunia (China). Seperti ditunjukkan gambar 2, pada tahun 1997 yang mencapai 892 dollar per ton menurun hingga 331 dollar per ton pada tahun 1998 dan kemudian melonjak sangat drastis pada tahun 2009 yang mencapai 2,400 dollar per ton (gambar 2). Sementara itu, harga bawang putih dunia (China) relatif stabil. China menerapkan kebijakan dumping untuk komoditi ekspornya. Untuk bawang putih, China mengekspornya dengan harga di bawah biaya produksinya. Selain itu, perhatian pemerintah China yang besar terhadap pengembangan komoditi ini menyebabkan tingkat efisiensi usahatani bawang putih China yang tinggi dan berperan dalam rendahnya harga bawang putih mereka. 1200.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00 Harga Bawang Putih Impor (Pbi) dan Dunia (Pbw) 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Pbw Pbi Sumber: FAO Statistic, 2013 Gambar 2. Harga Bawang Putih Impor dan Dunia (China) Tahun 1983-2013 Figure 2. Imported and World (China) Garlic Price Year 1983-2013 Perkembangan harga bawang putih eceran berkebalikan dengan harga bawang putih dunia (China). Fluktuasi harga bawang putih eceran cukup tinggi dengan tren yang menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun (gambar 3). Pada tahun 1983 harga bawang putih eceran masih pada

82 HABITAT Volume XXV, No. 2, Bulan Agustus 2014 kisaran 3,464.80 rupiah per kilogram. Menjelang krisis ekonomi harganya meningkat tajam menjadi 13,416 rupiah per kilogram. 25000.00 Harga Bawang Putih Eceran (Pbe) 20000.00 15000.00 10000.00 5000.00 Pbe (Rp/kg) 0.00 Sumber: FAO Statistic, 2013 Gambar 3. Harga Bawang Putih Eceran Tahun 1983-2013 Figure 3. Retail Price of Garlic Year 1983-2013 Peningkatan harga bawang putih eceran yang tajam kembali terjadi pada tahun 2010 yang mencapai 20,615 rupiah per kilogram atau meningkat 112% dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan pada pertengahan tahun 2013 silam harganya sempat mengalahkan harga daging sapi, yakni sekitar 80,000 rupiah per kilogram. Harga bawang putih eceran dapat lebih tinggi daripada harga bawang putih impor maupun dunia (China) dikarenakan bawang putih menjadi komoditi yang dilepas bebas di pasar. Peran BULOG yang dulu memonopoli komoditi ini juga sudah dihilangkan. Sementara itu pemerintah kerap tidak konsekuen dengan kebijakan untuk meningkatkan produksi bawang putih domestik. Hasil Estimasi Model Permintaan Bawang Putih Sebelum dilakukan estimasi terhadap model permintaan bawang putih, terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas dan uji kointegrasi untuk melihat unsur trend dalam data sekaligus untuk meghindari hasil regresi yang palsu. Hasil uji stasioneritas dengan metode Augmented Dickey Fuller test menunjukkan bahwa hanya variabel pendapatan per kapita (lipk) yang stasioner pada tingkat level sementara variabe harga riil bawang putih impor (lpbir), permintaan bawang putih (lqdb), tarif impor bawang putih (ltib), nilai tukar riil (lerr), harga riil baw ang merah (lpbmr), populasi penduduk (lpop), dummy krisis moneter (Dkm), dan harga riil bawang putih eceran (lpber) stasioner pada tingkat first difference. Perlu diketahui bahwa pelaksanaan prosedur differencing pada uji stasioner ini bukan untuk mengubah data menjadi stasioner, melainkan sebagai syarat untuk melakukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi mensyaratkan data berada dalam kondisi ordo yang sama oleh karena itu jika data nonstasioner pada level, maka harus dilakukan differencing untuk melihat pada ordo berapa data tersebut stasioner seluruhnya. Karena seluruh data stasioner pada tingkat first difference, maka dapat dikatakan data berordo 1. Sementara hasil uji kointegrasi dengan metode Johansen menunjukkan bahwa seluruh variabel yang digunakan dalam setiap model memiliki nilai trace dan maximum eigenvalue yang lebih besar dari nilai critical value pada tingkat signifikansi 10%. Maka hipotesis nol yang menyatakan bahwa tidak ada kointegrasi antara variabel dapat ditolak. Dengan demikian estimasi persamaan dapat dilanjutkan tanpa kekhawatiran hasil yang palsu (spurious). Hasil estimasi seluruh persamaan dalam model menghasilkan koefisien parameter yang sekaligus menunjukkan nilai elastisitas. Hal ini memungkinkan karena bentuk fungsional persamaan dalam double log. Adapun hasil estimasi tersebut merupakan estimasi untuk model jangka pendek. Estimasi koefisien parameter untuk model jangka panjang diperoleh dengan menghitung nilai elastisitas jangka panjang menggunakan nilai elastisitas jangka pendek yang sudah diperoleh sebelumnya. Sementara untuk fungsi statis seperti harga diasumsikan telah memenuhi bentuk model jangka panjang.

Putra Aditama Hariwibowo Permintaan Bawang Putih Di... 83 Tabe l. Hasil estimasi model permintaan bawang putih Table 1. Estimation result of garlic demand model No. Variabel yang Signifikan Notasi 1. Permintaan Bawang Putih Harga riil bawang putih impor Lag permintaan bawang putih R 2 Adj R 2 DW 2. Harga Bawang Putih Impor Tarif impor lqdb lpbir Qdbl 0.914 0.891 2.36322 lpbir Koefisien Parameter -0.00262** 0.900509* F hit Prob > F Dh Prob > t 0.0920 <.0001 40.65 < 0.0001-0.7021 Elastisitas Short Run -0.00262 0.900509 Long Run -0.02633 α 0.09949 ltib 814.6489* 0.0171-814.6489 - R 2 Adj R 2 DW 3. Harga Bawang Putih Eceran Permintaan bawang putih Penawaran bawang putih Harga bawang putih impor 0.842 0.816 1.9337 lpber lqdb lqsb lpbir F hit Prob > F -5.63815** -8.59036* 0.058165* 33.23 < 0.0001 0.0741 0.0124 0.0317 - - - -5.63815-8.59036 0.058165 R 2 Adj R 2 DW 0.974 0.969 2.3413 Keterangan: (*) = signifikan pada taraf 15% (**) = signifikan pada taraf 10% (***) = signifikan pada taraf 5% F hit Prob > F 234.28 < 0.0001 Hasil estimasi model permintaan bawang putih menunjukkan bahwa permintaan bawang putih dipengaruhi oleh harga riil bawang putih impor dan permintaan bawang putih tahun sebelumnya. Harga bawang putih impor dalam jangka pendek berpengaruh nyata pada tingkat signifikansi 10% dan memiliki tanda koefisien parameter negatif. Jika terjadi peningkatan harga bawang putih impor akan menyebabkan penurunan permintaan bawang putih. Hal ini dapat dijelaskan melalui kondisi riil dimana sebesar 95 % bawang putih yang beredar di merupakan hasil impor. Dengan demikian produksi bawang putih hanya berkontribusi 5% saja. Maka tidak salah jika konsumen menjadi lebih peka terhadap perubahan harga bawang putih impor karena bawang putih domestik hanyalah komoditi substitusinya. Konsumen baru akan membeli bawang putih domestik jika bawang putih impor sudah benar-benar langka di pasar. Selain itu bawang putih domestik harganya relatif lebih mahal daripada bawang putih impor. Penyebabnya adalah belum efisiennya usahatani bawang putih di sehingga biaya produksi tinggi dan mustahil bagi petani untuk menjual hasil panennya sama atau lebih rendah daripada harga bawang putih impor (Pramono dkk, 2011). Kemudian permintaan bawang putih tahun sebelumnya dalam jangka pendek berpengaruh nyata pada tingkat signifikansi 5% dan memiliki tanda koefisien parameter yang positif. Artinya konsumen dalam menentukan rencana tingkat permintaan bawang putih tahun ini ditentukan oleh tingkat permintaan tahun sebelumnya.nilai respon penyesuaian permintaan bawang putih masyarakat (α) sebesar 0.099491 yang berarti penyesuaian permintaan

84 HABITAT Volume XXV, No. 2, Bulan Agustus 2014 masyarakat untuk komoditi bawang putih inelastis. Artinya respon perubahan permintaan masyarakat akan bawang putih tidak lebih besar daripada perubahan harga bawang putih yang terjadi. Seluruh variabel yang signifikan inelastis baik dalam jangka pendek maupun panjang. Adnyana (2010) juga menemukan bahwa respon produk pertanian baik dalam jangka pendek maupun panjang adalah inelastis terhadap harga komoditas itu sendiri. Sesungguhnya dalam jangka panjang, kondisi seperti ini dapat berdampak positif bagi perkembangan usahatani bawang putih mengingat bawang putih domestik merupakan substitusi bagi bawang putih impor. Permasalahannya kembali kepada pemerintah, kebijakan peningkatan produksi bawang putih sangat penting untuk diintensifkan. Sehingga dalam jangka panjang produksi bawang putih domestik dapat meningkat signifikan dan secara tidak langsung mampu menekan impornya. Harga riil bawang putih impor dalam jangka panjang dipengaruhi oleh tarif impor. Hasil estimasi ini diasumsikan dalam jangka panjang karena bentuk persamaan harga riil bawang putih impor sama dengan bentuk persamaan permintaan bawang putih dalam jangka panjang. Asumsi ini diberikan untuk menjaga konsistensi hasil estimasi dan penulisan. Tarif impor bawang putih dalam jangka panjang berpengaruh nyata pada tingkat signifikansi 5% dan memiliki tanda koefisien parameter yang positif. Hal ini sesuai dengan teori, logika ekonomi dan tanda koefisien parameter yang diharapkan. Tarif impor untuk bawang putih secara bertahap diturunkan sebesar 5% pada periode pasca liberalisasi hingga kini menjadi 0%. Akibatnya harga bawang putih impor menjadi lebih murah daripada harga bawang putih domestik. Pemberlakuan tarif seharusnya menyebabkan peningkatan harga bawang putih impor. Namun kondisi riil menunjukkan bahwa semasa tarif masih belum 0 %, harga bawang putih impor tetap lebih rendah daripada harga bawang putih domestik. Penyebabnya kembali pada efisiensi usahatani bawang putih. Respon variabel tarif impor bawang putih dalam jangka panjang adalah elastis terhadap harga bawang putih impor. Sehingga tarif impor dapat menjadi instrumen kebijakan yang penting terkait pengendalian harga bawang putih impor. Sementara harga bawang putih eceran dipengaruhi oleh permintaan bawang putih, penawaran bawang putih, dan harga bawang putih impor. Permintaan bawang putih dalam jangka panjang berpengaruh nyata pada tingkat signifikansi 10% dan memiliki tanda koefisien parameter negatif. Hal ini sesuai dengan teori, logika ekonomi dan tanda koefisien parameter yang diharapkan. Artinya jika terjadi peningkatan permintaan maka harga bawang putih eceran juga akan meningkat. Kondisi ini terkait dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sedangkan sarana pemenuhan kebutuhan tersebut terbatas. Begitu pula dengan bawang putih, permintaannya selalu meningkat setiap tahun sementara penawarannya terutama dari produksi domestik berfluktuasi dan menunjukkan tren yang menurun. Ketika ketersediaan bawang putih di pasar menurun, maka sesuai teori penawaran akan terjadi kenaikan harga. Variabel penawaran bawang putih berpengaruh nyata pada tingkat signifikansi 5% dan memiliki tanda koefisien parameter negatif yang sesuai dengan teori, logika ekonomi dan tanda koefisien parameter yang diharapkan. Jika terjadi penurunan penawaran bawang putih baik yang berasal dari produksi domestik maupun impor, maka harga bawang putih eceran akan meningkat sebagai respon atas kelangkaan bawang putih di pasar. Variabel harga bawang putih impor berpengaruh nyata pada tingkat signifikansi 5% dan memiliki tanda koefisien parameter positif. Berarti jika terjadi peningkatan harga bawang putih impor akan menyebabkan peningkatan harga bawang putih eceran. Seluruh variabel inelastis dalam jangka panjang. Respon variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap harga bawang putih eceran adalah inelastis dalam jangka panjang. Sehingga variabel-variabel tersebut tidak dapat menjadi instrumen yang baik untuk kebijakan terkait pengendalian harga bawang putih eceran. Pemerintah diharuskan kreatif untuk menentukan instrumen kebijakan yang tepat untuk dapat memberikan dampak positif bagi pengendalian harga bawang putih eceran. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Permintaan bawang putih dipengaruhi secara nyata dan negatif oleh harga riil bawang putih impor dan secara positif oleh permintaan bawang putih tahun sebelumnya. Penyesuaian permintaan masyarakat akan bawang putih adalah inelastis, artinya respon perubahan permintaan masyarakat akan bawang putih tidak lebih besar daripada perubahan harga bawang putih yang terjadi. Sementara itu harga riil bawang putih impor dipengaruhi secara nyata dan

Putra Aditama Hariwibowo Permintaan Bawang Putih Di... 85 positif oleh tarif impor yang elastis dalam jangka panjang. Sehingga tarif impor merupakan instrumen yang baik untuk kebijakan mengendalikan harga bawang putih impor. Sedangkan harga bawang putih eceran dipengaruhi secara nyata dan negatif oleh permintaan bawang putih dan penawaran bawang putih serta secara positif oleh harga bawang putih impor. Seluruh variabel tersebut memiliki respon yang inelastis terhadap harga bawang putih eceran sehingga bukan merupakan instrumen yang baik untuk kebijakan pengendalian harga bawang putih eceran. Saran 1. Penggunaan data cross section di samping data time series disarankan untuk dilakukan karena kondisi tiap daerah di yang memungkinkan variasi data yang sangat beragam. 2. Model permintaan bawang putih disarankan untuk dibagi menjadi dua komponen, yaitu permintaan rumahtangga dan industri pengolahan mengingat bawang putih hampir selalu menjadi bahan baku makanan yang diproduksi industri pengolahan. Manfaatnya adalah agar dapat dilihat komponen mana yang paling menentukan dalam tingkat permintaan bawang putih. Bagaimanapun tingkat permintaan akan menentukan tingkat impor bawang putih. 3. Pemberlakuan kembali tarif impor bawang putih dalam jangka panjang penting untuk diupayakan oleh pemerintah. Alternatif lain adalah mengusahakan bawang putih untuk masuk dalam kategori general exception dengan mengedepankan diplomasi yang baik dengan negara-negara produsen utama bawang putih dunia. 4. Pemerintah disarankan untuk mengendalikan harga bawang putih eceran melalui pemberlakuan kebijakan harga atap untuk bawang putih. Kebijakan ini ditujukan untuk melindungi konsumen dari lonjakan harga bawang putih ketika memasuki masa paceklik atau hari raya. DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M. O. 2013. Penerapan Model Penyesuaian Parsial Nerlove Dalam Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan: Bogor. FAO Statistics. 2013. Garlic Production [online] http://www.faostat.org. Diakses pada tanggal 5 April 2014. FAO Statistics. 2013. Garlic Demand [online] http://www.faostat.org. Diakses pada tanggal 5 April 2014. FAO Statistics. 2013. Imported Price of Garlic [online] http://www.faostat.org. Diakses pada tanggal 5 April 2014. FAO Statistics. 2013. China Price of Garlic [online] http://www.faostat.org. Diakses pada tanggal 5 April 2014. FAO Statistics. 2013. Retail Price of Garlic [online] http://www.faostat.org. Diakses pada tanggal 5 April 2014. Kusumaningrum, R. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor. Gujarati, D. N. 2004. Basic Econometrics. Third Edition. Mc Graw-Hill, Inc., New York. Pramono, J., Prastuti, T. R. dan Samijan. 2011. Intensifikasi Budidaya Bawang Putih. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian: Jawa Tengah. Tambunan, T. 2008. Ketahanan Pangan di, Mengidentifikasi Beberapa Penyebab. Pusat Studi Industri dan UKM Universitas Trisakti: Jakarta. Oktaviani, R. dan E. Puspitawati. 2004. Produk Pertanian Menghadapi Era Globalisasi. Dalam Jurnal Agrimedia Volume 9 No. 2.