BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Jenis Kelamin Tahun Agustus Agustus

BAB II LANDASAN TEORI

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola Asuh Orang Tua dan Persepsi Definisi Menurut Kastutik & Setyowati (2014) orang tua memiliki kecenderungan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 12 tahun), usia remaja madya (13-15 tahun) dan usia remaja akhir (16-19 tahun).

REGULASI EMOSI DAN RESILIENSI PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA. Abstract. Keywords: college student, emotion regulation, resilienc.

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

DITA RACHMAYANI, S.PSI., M.A YUNITA KURNIAWATI, S.PSI., M.PSI

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013

REGULASI EMOSI PADA PEREMPUAN PEDAGANG PASAR KLEWER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI. Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

LAMPIRAN A PEDOMAN WAWANCARA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. diwarnai dengan berbagai macam emosi, baik itu emosi positif maupun

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : B. Definisi Operasional

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Masa kini semakin banyak orang menyadari arti pentingnya pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

REGULASI EMOSI PERSONIL BATALYON ARTILERI MEDAN 12 NGAWI OLEH BERNIKE GRASIKA TAMEDYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Salusu (2004), pengambilan keputusan adalah proses memilih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dari variabel-variabel yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRESS DALAM PEKERJAAN. Armaidi Darmawan, dr, M.Epid Bagian Kedokteran Komunitas/Keluarga FKIK Unja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. upaya-upaya dalam rangka mendapatkan kebebasan itu. (Abdullah, 2007

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengkonsumsi alkohol dapat berpengaruh langsung pada lingkungan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

SS S TS STS SS S TS STS

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pengertian Regulasi Emosi. mengatasi, mengelola dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Valentina, 2013). Menurut Papalia dan Olds (dalam Liem, 2013) yang dimaksud

REGULASI EMOSI PADA PENDERITA HIV/AIDS

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BABI. kehidupan yang memiliki tugas perkembangan yang berbeda-beda. Tahap-tahap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

Bagi sebagian orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah. melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

BAB II LANDASAN TEORITIK

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menyebutkan bahwa kondisi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

Bayi tidak bisa mengungkapkan perasaan mereka, untuk mengungkapkan emosi yang seg mereka alami adalah suatu tantangan. Meskipun vokalisasi gerakan- ge

Pengolahan Informasi dan Pengambilan Keputusan. Modul 2 TEORI BELAJAR MOTORIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah bagian yang penting dalam masyarakat, terutama di negara

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap hari orang-orang menolak dorongan untuk melakukan hal-hal

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Regulasi Emosi 2.1.1 Definisi Regulasi Emosi Regulasi emosi mempunyai beberapa definisi dari para ahli. Menurut Shaffer, (2005), regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang berhubungan dengan emosi, dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (Shaffer, 2005). Menurut Gross (1998) regulasi emosi mengacu pada kemampuan individu untuk mempengaruhi emosi yang dimiliki, kapan emosi dirasakan, dan bagaimana individu mengalami serta mengekspresikan emosinya. Menurut Berk (2004), regulasi emosi didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam membuat suatu strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai intensitas dari reaksi emosional ke tahap yang lebih baik dalam mencapai suatu tujuan. Sedangkan menurut Wilson (1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. 2.1.2 Proses Regulasi Emosi Menurut Gross (2007) yang berdasar pada model modalitas emosi terdapat lima point dimana individu dapat meregulasi emosinya. Lima point tersebut adalah situation selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change, dan response modulation. Lima point tersebut mewakili lima kelompok proses regulasi emosi yaitu: 1. Situation Selection merupakan jenis regulasi emosi yang menentukan tindakan yang seharusnya bagaimana kita akan berakhir pada situasi yang kita harapkan, yang bisa menyebabkan emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, 1

dengan kata lain menentukan tindakan berdasarkan dampak emosional yang mungkin muncul 2. Situation modification adalah usaha yang langsung dilakukan dalam memodifikasi situasi agar efek emosinya teralihkan. Contoh dari modifikasi ini adalah dengan hadirnya individu lain misalnya teman, orangtua dan tindakan atau intervensi dari individu tersebut 3. Attentional deployment merupakan cara seseorang mengubah perhatiannya dengan mengarahkan ke dalam sebuah situasi untuk mengatur emosinya. Dua strategi attentional yang utama adalah pengalihan perhatian (distraksi) dan konsentrasi. Distraksi memfokuskan perhatian pada aspek berbeda dari sebuah situasi, atau memindahkan perhatian jauh dari sebuah situasi secara bersamaan, misalnya apabila seorang bayi mengalihkan pandangannya dari stimulus yang bisa menimbulkan emosi ke stimulus yang kurang menimbulkan emosi (Rothbart & Sheese, dalam Gross 2007) 4. Cognitive change mengacu pada perubahan cara seseorang dalam menilai situasi yang terjadi untuk mengubah signifikansi emosinya, baik dengan mengubah cara berpikir mengenai situasi tersebut atau mengenai kemampuan untuk mengatur tuntutan-tuntutannya 5. Response modulation terjadi di akhir proses emotion-generative, setelah kecenderungan respon emosi yang telah terjadi. Modulasi respon mempengaruhi respon emosi yang telah muncul berupa aspek fisiologis, eksperiensial, dan perilaku secara langsung. Upaya modulasi respon pada aspek fisiologis misalnya obat-obatan yang digunakan untuk mengobati respon fisiologis seperti ketegangan otot (anxiolytics) atau aktivitas berlebihan syaraf simpatis (beta blockers). Olahraga dan relaksasi juga bisa digunakan untuk mengurangi aspek fisiologis dan eksperiensial dari emosi negatif, alkohol, rokok, narkoba, dan bahkan makanan juga bisa digunakan untuk memodifikasi pengalaman emosi. Menurut Gross (2007) bentuk yang paling baik menggambarkan modulasi respon adalah expressive suppression, mengacu pada upaya seseorang untuk mengurangi perilaku ekspresi emosi yang sedang berlangsung seperti menyembunyikan rasa gugup ketika akan melakukan wawancara pekerjaan. 2

Ada dua bentuk strategi regulasi emosi yaitu : antecedent-focused, dan responsefocused. Regulasi emosi antecedent-focused merupakan regulasi dengan memanipulasi input dari sistem emosi, yang mengubah cara seseorang berpikir tentang rangsangan emosional tertentu (dilakukan sebelum respon emosional sepenuhnya muncul), sehingga seseorang mampu mengantisipasi dan meregulasi sebelum emosi itu muncul terdiri dari beberapa bagian yaitu situation selection, situation modification, attentional deployment dan cognitive change. Kemudian regulasi emosi response-focused merupakan cara meregulasi dengan memanipulasi output dari sistem emosi, yang menekan atau mengubah cara seseorang menanggapi situasi emosional (dilakukan setelah respon emosional muncul). Kemudian regulasi emosi response-focused terdiri atas response modulation (Gross, 2007). 2.1.3 Strategi Regulasi Emosi Menurut Gross dan John (2003) ada 2 strategi spesifik yang membedakan seseorang dalam meregulasi emosinya yaitu cognitive reappraisal dan expressive suppression. Cognitive Reappraisal adalah bentuk perubahan kognitif yang melibatkan menafsirkan situasi yang berpotensi memunculkan emosi dengan cara yang mengubah dampak emosional (Lazarus & Alfert, dalam Gross & John, 2003). Sedangkan Expressive Suppression adalah bentuk modulasi respon yang melibatkan penghambatan perilaku ekspresi emosi yang sedang berlangsung (Gross, dalam Gross & John, 2003). Sebuah studi penelitian telah menunjukkan bahwa konsekuensi dari cognitive reappraisal dan expressive suppression jelas berbeda (Hofmann dkk, 2009; Memedovic dkk, 2010; Ortner & Koning, 2013, dalam Gong, 2013). Cognitive reappraisal menurunkan perasaan negatif dan ekspresi perilaku yang negatif sedangkan expressive suppression tidak mengubah jumlah emosi negatif yang dirasakan oleh individu, meskipun ekspresi perilaku berkurang. Selain itu, aktivasi fisiologis yang lebih besar ditemukan pada individu-individu yang menggunakan expressive suppression (Gross, 1998). Expressive suppression juga mengakibatkan gangguan memori selama interaksi sosial karena hal itu meningkatkan penggunaan kontrol (Richards & Gross, 1999, 2000, dalam Gong, 2013). Konsekuensi sosial yang timbul dari strategi regulasi emosi yaitu Cognitive reappraisal dan expressive suppression juga berbeda. Cognitive reappraisal adalah 3

strategi untuk mengatur emosi seseorang dengan mengalami perasaan yang lebih positif, dimana strategi regulasi emosi ini cenderung berfungsi lebih baik dalam pengaturan sosial. Sedangkan strategi regulasi emosi expressive suppression mengambil banyak sumber daya kognitif, individu yang mengadopsi strategi ini biasanya tidak dapat menyerap informasi dari mitra sosial, sehingga gagal untuk merespon dengan baik dalam situasi sosial, yang mengarah pada masalah komunikasi dan gangguan dalam interaksi sosial (John & Gross, dalam Gong, 2013). Maka dari itu, individu yang menggunakan cognitive reappraisal untuk mengatur emosi mereka, cenderung memiliki kesejahteraan diri yang lebih baik daripada mereka yang mengadopsi expressive suppression (Gross & John, 2003). 2.2 Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan adalah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai situasi. Proses tersebut untuk menemukan dan menyelesaikan masalah organisasi. Menurut Brinckloe (dalam Salusu, 2000) Suatu aturan kunci dalam pengambilan keputusan ialah sekali kerangka yang tepat sudah diselesaikan, keputusan harus dibuat. Janis dan Mann (1977) beranggapan bahwa konflik terjadi ketika seseorang dihadapkan dengan mengambil sebuah keputusan, hal ini menimbulkan tekanan dan ketidakyakinan. Proses dimulai ketika pembuat keputusan menjadi waspada akan ancaman yang ia rasa perlu untuk dipertimbangkan (misal suara alarm kebakaran). Proses ini berlanjut melewati beberapa langkah yang dapat digambarkan dengan runtutan pertanyaan yang jika dijawab dengan benar, memerlukan tindakan yang membawa ke pertanyaan berikutnya dan ketika dijawab dengan salah akan menimbulkan gangguan terhadap proses pengambilan keputusan. Jadi pengambilan keputusan adalah proses mengidentifikasikan alternatif yang ada sehingga dapat dipilih yang paling sesuai dengan nilai dan tujuan individu untuk mendapatkan solusi dari masalah tertentu. Tetapi pada umumnya ketika individu dihadapkan oleh dua pilihan, biasanya timbul konflik dalam mengambil keputusan tersebut. 4

2.2.1 Tahapan dalam Pengambilan Keputusan Janis dan Mann (1977) mengemukakan 5 tahapan dalam pengambilan keputusan yaitu: 1. Menilai Masalah Masalah dapat dikatakan sebagai suatu konflik atau permasalahan yang terjadi, antara situasi nyata dengan situasi yang dijadikan tujuan atau yang diharapkan oleh seseorang. Dengan demikian masalah membuat atau memaksa individu untuk mengambil tindakan baru. Pemahan akan maslaah dapat membuat individu melihat masalah dengan kemungkinan resiko yang dapat terjadi. 2. Mencari Alternatif Setelah mendapatkan pemahaman yang baik dari masalah yang dihadapi, individu biasanya memikirkan kembali tindakan yang biasa ia lakukan. Saat individu menyadari kalau tindakannya tersebut dianggap tidak tepat lagi, individu mulai memusatkan perhatian pada beberapa alternatif pilihan. Biasanya dalam mencari alternatif pilihan tersebut, individu akan mencari informasi dari pihak lain yang dianggapnya lebih kompeten dalam mengatasi sebuah masalah yang dihadapinya. Kemudian individu akan mulai tidak menggunakan alternatif pilihan yang tidak tepat, dan pada akhirnya akan membatasi pada alternatif pilihan yang dianggap dapat menjadi solusi yang tepat bagi masalah tersebut. 3. Mempertimbangkan Alternatif Pada tahap ini mulai mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pada setiap alternatif pilihan, hinggan pada akhirnya menuju tindakan yang tepat atau yang diinginkan. Tidak jarang individu mengalami kebimbangan pada tahap ini, karena biasanya individu akan memperhatikan informasi lain yang mungkin terlewatkan. 4. Membuat Komitmen Pada tahap membuat komitmen, individu sudah mendapatkan solusi dan tindakan yang tepat bagi masalahnya, dan mulai merealisasikan keputusan dalam kehidupannya. Pada akhirnya, individu sudah dapat termotivasi untuk merealisasikan keputusannya agar tidak mendapat tantangan dari pihak-pihak lain. 5

5. Mempersiapkan diri menghadapi umpan balik Keputusan yang diambil sudah ditetapkan dan sudah dianggap tepat, dan individu yakin akan keputusannya. Di tahap ini individu sudah siap ketika menghadapi kemungkinan terjadinya umpan balik yang negatif. Umpan balik negatif disini terjadi apabila resiko yang sebelumnya diperhitungkan terjadi dan keuntungan yang diharapkan tidak terjadi. 2.2.2 Model Konflik Pengambilan Keputusan Teori conflict model yang diungkapkan oleh Janis dan Mann (1977), pada dasarnya adalah sebuah teori psikologi sosial dalam pengambilan keputusan, dimana ada atau tidak adanya 3 kondisi sebelumnya yang dimilki seseorang untuk menetapkan ketergantungan terhadap pola dalam mengatasi konflik tertentu. Ketiga kondisi tersebut adalah 1) kesadaran yang dimiliki seseorang akan suatu resiko yang serius didalam pilihan alternatif yang dimiliki, 2) harapan untuk menemukan pilihan alternatif yang lebih baik, 3) percaya bahwa ada waktu yang cukuo untuk mencari dan mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan. 2.2.3 Gaya Pengambilan Keputusan Mann dkk (1997) mengidentifikasi sejumlah gaya pengambilan keputusan yaitu: 1. Vigilance Gaya yang paling efektif, dimana individu mempertimbangkan tujuan dan sasaran dari situasi yang membutuhkan solusi, individu mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan tujuan, menguraikan strategi untuk mencapai tujuan tersebut, dan mencapai keputusan yang paling efektif serta mencapai hasil yang diinginkan dengan adanya konsekuensi terburuk yang sangat kecil. 2. Buck-Passing Melibatkan penghindaran dalam pengambilan keputusan, pengambilan keputusan melalui orang lain atau kelompok yang bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan diri seseorang. Hal ini juga terkait dengan adanya keragu-raguan dalam mengambil keputusan. 6

3. Procrastination Gaya pengambilan keputusan dengan adanya suatu penundaan yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang, dengan melakukan aktivitas lain yang tidak diperlukan dalam pengambilan keputusan yang penting. Seseorang yang memiliki kesulitan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditentukan, sering mengalami keterlambatan mempersiapkan diri secara berlebihan, maupun gagal dalam menyelesaikan tugas sesuai batas waktu. 4. Hypervigilance Gaya pengambilan keputusan melibatkan pendekatan dengan adanya rasa kecemasan untuk mencari jalan keluar dari masalah. Karena adanya tekanan waktu, pengambilan keputusan secara spontan dan tergesa-gesa dalam mengambil solusi. Hypervigilance dikaitkan dengan gaya pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh stres yang dialami oleh individu. 2.3 Remaja Menurut Santrock (2003) remaja (adolescence) individu yang berada pada rentang 11 sampai 14 tahun yang diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Ia melanjutkan masa remaja awal (early adolescence) individu yang berada pada rentang usia 15 sampai 19 tahun, kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Papalia dkk (2008), menyatakan bahwa masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 tahun sampai masa remaja akhir atau awal usia dua puluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan dengan semua ranah perkembangan. Selanjutnya menurut Monks (2002), masa remaja berlangsung antar usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun. 7

2.4 Kerangka Berpikir Fenomena penggunaan Narkoba pada remaja Faktor penyebab remaja menggunakan Narkoba Strategi Regulasi Emosi - Cognitive Reappraisal - Expressive Suppression Gaya Pengambilan Keputusan - Vigilance - Buck Passing - Procrastination - Hypervigilance Hubungan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraisal dan expressive suppression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan. Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian ini dilatar belakangi oleh fenomena meningkatnya kasus penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh kalangan remaja, berdasarkan data Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya pada tahun 2014 yang berakhir bulan Agustus, penggunaan Narkoba pada remaja mencapai 158 anak. Salah satu faktor yang menyebabkan remaja menggunakan Narkoba adalah kemampuan regulasi emosi remaja yang buruk, oleh karena itu penting bagi remaja untuk memiliki kemampuan meregulasi emosi dengan baik. Menurut Gross dan John (2003), menjelaskan bahwa ada 2 strategi regulasi emosi yang dapat diterapkan oleh individu untuk mengelola emosinya yaitu pertama cognitive reappraisal merupakan strategi yang melibatkan mengubahan cara berfikir tentang situasi untuk mengatur dampak emosional yang akan muncul dan 8

expressive suppression yang melibatkan upaya individu menghambat terbentuknya reaksi emosi individu. Peneliti ingin melihat ada atau tidak adanya hubungan antara kedua strategi regulasi emosi dengan kecenderungan gaya atau cara pengambilan keputusan Andik terpidana Narkoba di Lapas Anak Pria Tangerang. Menurut Mann dkk (1997) gaya pengambilan keputusan diidentifikasi menjadi 4, yang pertama vigilance adalah individu mencari dan mengumpulkan banyak informasi yang berhubungan dengan tujuan sebelum mengambil keputusan, kedua buck passing adalah cara individu untuk menghindari tanggung jawab dengan menyerahkan pengambilan keputusan kepada orang lain, ketiga procrastination adalah gaya pengambilan keputusan dengan adanya penundaan yang dilakukan secara sengaja, dan keempat hypervigilance adalah gaya pengambilan keputusan secara spontan serta tergesa-gesa dengan adanya rasa kecemasan karena tekanan waktu sehingga keputusan yang diambil tidak maksimal. Penelitian ini secara spesifik ingin mengetahui hubungan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraisal dan expressive suppression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan pada anak didik tindak pidana narkoba di Lapas Anak Pria di Tangerang. 2.5 Hipotesis Ho 1 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan vigilance dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak pria di Tangerang. Ho 2 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan buck passing Ho 3 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan procrastination 9

Ho 4 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan hypervigilance Ho 5 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan vigilance dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak pria di Tangerang. Ho 6 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan buck passing Ho 7 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan procrastination Ho 8 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan hypervigilance Ha 1 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan vigilance dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak pria di Tangerang. Ha 2 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan buck passing Ha 3 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan procrastination 10

Ha 4 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan hypervigilance Ha 5 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan vigilance dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak pria di Tangerang. Ha 6 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan buck passing Ha 7 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan procrastination Ha 8 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan hypervigilance 11