HUBUNGAN TINGKAT PENDAPATAN DAN PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN STATUS GIZI PADA BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS KELAYAN TIMUR BANJARMASIN Noorhidayah 1, Fadhiyah Noor Anisa 2, Titin eka wati 1 STIKES Sari Mulia Banjarmasin 2AKBID Sari Mulia Banjarmasin ISSN : 208-3454 ABSTRAK Latar Belakang: Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik atau bahkan buruk. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54 % kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 % kematian anak. Berdasarkan Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin Tahun 2013 penderita balita sangat kurus tertinggi terdapat 144 kasus di Puskesmas Kelayan Timur. Tujuan: Mengetahui Hubungan Tingkat Pendapatan dan Pendidikan Orang Tua dengan Status Gizi pada Balita. Sasaran penelitian ini adalah semua orang tua balita sebanyak 84 sampel. Metode : analitik dengan teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling. Hasil : diperoleh tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan orang tua dengan status gizi pada balita dengan nilai p=0,978, α=0,05, tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi pada balita dengan nilai p=0,180, α=0,05, dan tidak ada hubungan antara pendidikan ayah dengan status gizi pada balita dengan nilai p=0,14, α=0,05. Kesimpulan: penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara tingkat pendapatan orang tua dengan status gizi pada balita dan tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan status gizi pada balita. Kata Kunci : Pendapatan, Pendidikan, Status Gizi Balita 129
Pendahuluan Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang khususnya di Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab yang menonjol diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik atau bahkan buruk. Kondisi gizi anak-anak Indonesia ratarata lebih buruk dibanding gizi-gizi anak dunia meninggal dan bahkan juga anak-anak dari Afrika tercatat satu dari anak dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualiatas nutrisi. Sebuah riset juga menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 54 % kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 % kematian anak (WHO,2013). Persentase balita kurus berdasarkan berat badan menurut tinggi badan (bb/tb). Menurut Riskesdas tahun 2013 Angka ini menurun dibandingkan tahun 2010 dengan persentase 13,3%. Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 %, terdapat penurunan dibandingkan tahun 2010 (,0 %) dan tahun 2007 (,2 %). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar,8 % juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4 % (tahun 2007). Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi balita kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari prevalensi tertinggi, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten, Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku Utara (Riskesdes, 2013). Status gizi pada balita dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung berupa asupan makanan itu sendiri dan kondisi kesehatan anak misalnya infeksi. Faktor tidak langsung adalah pengetahuan ibu tentang gizi, pendapatan keluarga, pelayanan kesehatan dan sosial budaya. Makanan dan minuman dapat memelihara kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang dan status gizi bahkan mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku seseorang terhadap makanan tersebut (Notoadmojo, 2012). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin Tahun 2013 penderita balita sangat kurus tertinggi terdapat di 144 kasus Puskesmas Kelayan Timur, 48 kasus di Puskesmas Basirih Baru, 39 kasus di Puskesmas S. Sparman, 32 kasus di Puskesmas Pekapuran Raya, dan kasus di Puskesmas Sungai Bilu. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan dengan data sekunder di Puskesmas Kelayan Timur didapatkan angka kejadian status gizi buruk tahun 2014 menunjukkan 24 130
kasus. Sedangkan dengan data primer atau diskusi singkat yang dilakukan kepada 10 orang yang balitanya mengalami gizi buruk sebagai responden, didapatkan 7 orang tua tersebut dengan pendapatan rendah, 3 orang dengan pendapatan sedang. Dan 10 orang tersebut hanya menempuh pendidikan dasar. Tujuan Mengetahui Hubungan Tingkat Pendapatan dan Pendidikan Orang Tua dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. Metode Penelitian Penelitian menggunakan survey analitik yaitu penelitian yang menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan terjadi (Notoadmojo,2010). Rancangan yang digunakan adalah cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara tingkat pendapatan dan pendidikan orang tua dengan status gizi pada balita, dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat ( point time approach). Artinya setiap objek penelitian hanya diteliti sekali saja dengan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama (Notoadmojo, 2010). variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimilki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu, misal umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, penyakit, dan sebagainya (Notoadmojo, 2010). Pada penelitian ini variabel independen adalah tingkat pendapatan dan pendidikan orang tua. Dalam penelitian variabel dependen ini adalah status gizi pada balita. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti tersebut (Notoadmojo, 2010). Populasi dalam penelitan ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak balita di Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin pada bulan Januari tahun 2015 sampai dengan bulan Maret tahun 2015 sebanyak 509 orang. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmojo, 2010). Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling, yaitu mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia disuatu tempat sesuai dengan konteks penelitian, dengan jumlah 84 sampel. Analisis data meliputi langkah-langkah sebagai berikut: Penyusunan data, Klasifikasi data, Pengolahan data, dan Teknik analisis data. Hasil Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran umum mengenai objek penelitian yang tersaji dalam tabe. 131
1. Gambaran karakteristik orang tua yang memiliki balita berdasarkan umur, dan pekerjaan di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. a. Umur Berdasarkan penelitian, dihasilkan distribusi keluarga balita menurut umur sebagai berikut : Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. No Usia Ibu Ayah n % n % 1 < 20 tahun 3 3, 1 1,2 2 20-35 tahun 7 79,8 5,7 3 >35 tahun 14 1, 27 32,1 Jumlah 84 100 84 100 Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa distribusi berdasarkan umur orang tua yang memiliki balita dengan umur 20-35 tahun memiliki jumlah yang paling banyak, dari kategori umur ibu berjumlah 7 responden (79,8 %), sedangkan dari kategori ayah berjumlah 5 responden (,7 %). b. Pekerjaan Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan distribusi orang tua balita menurut tingkat pekerjaan sebagai berikut : Tabel 2 Distribusi Orang Tua Balita Berdasarkan Pekerjaan di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. No Pekerjaan Ibu Ayah n % n % 1 Ibu rumah tangga 9 82,1 0 0 2 Swasta 15 17,9 84 100 3 PNS 0 0 0 0 Jumlah 84 100 84 100 Berdasarkan Tabel 2 dari 84 sampel yang menjadi responden kategori ibu sebanyak 9 responden (82,1 %) sebagai ibu rumah tangga (tidak bekerja), sedangkan untuk kategori ayah semua responden memiliki pekerjaan. 2. Gambaran Frekuensi Status Gizi Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. Berdasarkan hasil penelitian Status Gizi Balita menurut BB/TB di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin adalah : Tabel 3 Distribusi Frekuensi Status Gizi Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. No Status gizi n % 1 Gemuk 4 4,8 2 Normal 2 73,8 3 Kurus 11 13,1 4 Sangat kurus 7 8,3 Jumlah 84 100 132
Berdasarkan Tabel diatas status gizi gemuk pada balita yaitu 4 sampel (4,8 %), sedangkan status gizi paling tinggi normal yaitu 2 sampel (73,8 %). 3. Gambaran Frekuensi Tingkat Pendapatan di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. Tingkat Pendapatan Orang Tua tentang Status Gizi Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin dapat dilihat pada Tabel berkut : Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pendapatan Orang Tua Tentang Status Gizi Balita Di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. No Pendapatan orang tua N % 1 Rendah 2 31 2 Sedang 50 59,5 3 Tinggi 8 9,5 Jumlah 84 100 Berdasarkan Tabel 4. menunjukkan bahwa pendapatan orang tua dengan status gizi balita di wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin Tahun 2015 dari kategori sedang memiliki frekuensi paling tinggi yaitu 50 sampel (59,5 %), sedangkan yang terendah kategori pendapatan tinggi sebanyak 8 sampel (9,5 %). 4. Gambaran Frekuensi Pendidikan di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. Berdasarkan hasil penelitian, dihasilkan distribusi orang tua balita menurut pendidikan sebagi berikut : Tabel 5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Orang Tua di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. No Pendidikan Ibu Ayah n % n % 1 Dasar 1 72, 2 73,8 2 Menengah 23 27,4 22 2,2 3 Tinggi 0 0 0 0 Jumlah 84 100 84 100 Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa dari 84 sampel orang tua yang memilki balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin yang berpendidikan kategori dasar merupakan frekuensi tertinggi dari ibu yaitu 1 sampel (72, %), dan ayah 2 sampel (73,8 %). 5. Hubungan Tingkat Pendapatan Orang Tua dengan Status Gizi Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin.. Tabel Hubungan Tingkat Pendapatan Orang Tua dengan Status Gizi Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin. Penda Status gizi Jumlah patan Orang Gemuk Normal Kurus Sangat kurus Tua N % n % n % n % N % Renda 2 7,7 17 5,4 3 11, 4 15, 2 100 h 5 4 Sedan 2 4 40 80 5 10 3 50 100 g Tinggi 0 0 5 2,5 3 37, 0 0 8 100 5 Jumla h 4 2 11 7 84 100 Dari hasil uji statistik rank spearman didapatkan nilai p=0,978, α=0,05 yang berarti 133
nilai p> α, maka Ha ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan orang tua dengan status gizi pada balita. 7. Hubungan Pendidikan Orang Tua Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin Tabel 8 Hubungan Pendidikan Ayah dengan Status Gizi Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin Pendidika Status gizi Jumlah n ayah Gemu k Normal Kurus Sangat kurus n % n % n % n % N % Dasar 4, 5 4 7 75, 8 5 8,1 9, 7 2 10 0 Tabel 7 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin Menenga h 0 0 1 9, 2, 1 1 4, 3 2 2 10 0 Pendidika n Status gizi Jumlah Gemu k Normal Kurus Sangat kurus n % n % n % n % N % Tinggi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 4 1 7 8 10 2 1 4 0 Dasar 4, 4 75, 4 5 8,2 9, 8 1 10 0 Menenga h 0 0 1 9, 2, 1 1 4, 3 2 3 10 0 Tinggi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 4 2 1 1 7 8 4 10 0 Dari hasil uji statistik rank spearman didapatkan nilai p=0,180, α=0,05 yang berarti nilai p> α, maka Ha ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan status gizi pada balita. Dari hasil uji statistik rank spearman didapatkan nilai p=0,14, α=0,05 yang berarti nilai p> α, maka Ha ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dengan status gizi pada balita. Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk melihat adanya Hubungan Tingkat Pendapatan dan Pendidikan Orang Tua dengan Status Gizi Pada Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin Tahun 2015 dengan jumlah responden 84 sampel. 1. Karakteristik Responden a. Umur Pada penelitian ini ada beberapa karakteristik responden, dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa berdasarkan umur orang tua yang memiliki balita dengan umur 20-35 tahun memiliki jumlah yang paling banyak, dari ibu berjumlah 7 responden (79,8 %), 134
sedangkan dari ayah berjumlah 5 responden (,7 %) dan yang paling sedikit pada umur < 20 tahun. Usia 20-35 tahun merupakan usia yang reproduktif bagi seseorang untuk dapat memotivasi diri memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya. Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun, semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang maka akan lebih matang dalam berfkir logis (Nursalam dan Siti Pariani, 2001). Menurut hasil penelitian Himawan (200) usia sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi sosial. Ibu dengan usia dewasa muda lebih mudah menerima instruksi sedangkan ibu dengan usia dewasa tua lebih berpengalaman dalam pola pengasuhan balitanya. Berdasarkan teori dan beberapa hasil penelitian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa tingkatan umur pada setiap individu mempengaruhi tingkat pengetahuan, daya tangkap dan pola pikir sesorang, dengan bertambahnya umur akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik terhadap masalah yang dihadapi, dimana pengalaman dan kematangan jiwa seseorang disebabkan semakin cukupnya umur dan kedewasaan dalam berfikir dan bekerja. Dengan semakin tua umur seseorang maka mempunyai kesempatan dan waktu yang lebih lama dalam memndapatkan informasi dan pengetahuan. b. Pekerjaan Berdasarkan hasil tabulasi data yang didapat dari Tabel 3 terdapat 84 sampel sebagian besar ibu balita memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga/ tidak bekerja dan semua ayah dari sampel memiliki pekerjaan. Menurut hasil penelitan supriatin (2004) pekerjaan orang tua mempengaruhi status gizi anak misalnya pada ibu yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga lebih banyak meluangkan waktunya dirumah dan dapat memberikan pengasuhan yang maksimal terhadap anaknya. Sedangkan orang tua yang bekerja memiliki waktu yang relatif banyak diluar rumah tidak dapat memberikan pengasuhan yang maksimal terhadap anaknya, maka dari itu cenderung orang tua yang bekerja status gizi pada balita kurang terpenuhi. Berdasarkan teori dan beberapa hasil penelitian orang lain, peneliti dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar ibu balita yang memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga/ tidak bekerja dikarenakan adanya faktor kesadaran tentang kesehatan dan menentukan besarnya perhatian orang tua terhadap hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan gizi pada balitanya. 2. Status Gizi Balita Berdasarkan Tabel diperoleh sebagian besar balita memiliki gizi normal yang berjumlah 2 orang, dan balita yang memiliki status gizi gemuk berjumlah 4 orang. 135
Hal ini disebabkan karena orang tua balita yang sudah mulai aktif membawa balitanya ke puskesmas/posyandu untuk menimbang dan lebih sering orang tua balita terpapar tentang pengetahuan status gizi balitanya, makin bertambah usia balita maka makin bertambah pula kebutuhannya. 3. Pendapatan Berdasarkan Tabel diperoleh sebagian besar pendapatan orang tua dengan status gizi balita dari kategori sedang memiliki frekuensi paling tinggi yaitu 49 sampel (58,3 %), sedangkan yang paling rendah kategori pendapatan tinggi sebanyak 8 sampel (9,5 %). Menurut Suhardjo (2003), umumnya jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung ikut membaik juga. Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan adanya tambahan uang. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula presentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli sayur, buah, dan berbagai jenis bahan pangan lainnya. Jadi penghasilan merupakan faktor penting bagian kuantitas dan kualitas. Berdasarkan teori dan penelitian dari peneliti semua orang tua balita memiliki faktor kesadaran tentang kesehatan, apabila pendapatan semakin tinggi maka makanan yang akan dimakan keluarganya cenderung membaik, karena dari pendapatan orang tualah menyesuaikan jenis makanan yang akan dibeli dan dimakan untuk keluarganya. 4. Pendidikan Berdasarkan Tabel 7 diperoleh sebagian besar orang tua balita dari 84 sampel yang memilki balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin yang berpendidikan kategori dasar (SD -SMP) merupakan frekuensi tertinggi dari ibu yaitu 1 sampel (72, %), dan ayah 2 sampel (73,8 %). Menurut suhardjo (2003), pendidikan merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, hygiene pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anakanak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan, dan tempat tinggal. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya. Berdasarkan teori diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pendidikan sangat erat berhubungan dengan pengetahuan yang dimiliki, karena dari pengetahuan lah kita bisa menentukan daya tangkap seseorang dalam menerima dan memahami informasi yang diperoleh dari bebrbagia sumber. 13
5. Hubungan Tingkat Pendapatan Orang Tua Dengan Status Gizi Balita Berdasarkan Tabel 8 dapat diperoleh gambaran Hubungan Tingkat Pendapatan Orang Tua dengan Status Gizi Balita di Wilayah Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin, dari 84 sampel yang terbanyak adalah status gizi normal yaitu 40 balita dari 50 sampel orang tua yang memiliki pendapatan sedang. Dari hasil uji statistik rank spearman didapatkan nilai p=0,978, α=0,05 yang berarti nilai p> α, maka Ha ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan orang tua dengan status gizi pada balita. Menurut hasil penelitian Djola (2011) yang menyatakan bahwa pendapatan orang tua tidak mempengaruhi asupan dan status gizi anak. Tingkat pendapatan menentukan makanan yang dibeli, dimana semakin tinggi pendapatan keluarga maka gizi anak juga akan tercukupi dan berpengaruh terhadap status gizinya. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi belum tentu memperbaiki komposisi makanan sehingga belum tentu mutu makananya lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Repi (2013) mengatakan tingginya pendapatan jika tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup bisa menyebabkan seseorang menjadi konsumtif dikarenakan pemilihan makanan bukan didasarkan dari aspek gizi melainkan dari aspek selera makan. Hal ini membuat sebagian besar orang yang berpenghasilan tinggi dan memiliki aktifitas yang padat membuat mereka tidak sempat menyiapkan makanan sendiri sehingga mereka sering membeli makanan yang siap saji saja sehingga status gizi anak tidak diperhatikan. Berdasarkan dari hasil penelitian orang lain, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pendapatan memang mempengaruhi dari makanan yang dibeli oleh seseorang, tetapi orang tua yang memiliki pendapatan tinggi belum tentu membelikan makanan yang sesuai dengan gizi makanan yang dibutuhkan oleh balitanya.. Hubungan Pendidikan Orang Tua Dengan Status Gizi Balita Berdasarkan hasil penelitian terhadap 84 responden di wilayah puskesmas kelayan timur banjarmasin tahun 2015 dan hasil distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan orang tua dengan status gizi balita diperoleh data bahwa orang tua yang berpendidikan dasar mempunyai presentase paling tinggi sedangkan yang berpendidikan tinggi (PT) tidak ada (0). Adapun keja dian status gizi balita yang normal dengan orang tua yang berpendidikan dasar sebanyak 4/47 orang, orang tua yang berpendidikan dasar dengan status gizi gemuk ada 4 orang, orang tua yang berpendidikan dasar dengan status gizi balita sangat kurus sebanyak orang. Dari hasil uji rank spearman didapatkan nilai p=0,180, α=0,05 yang berarti nilai p> α, maka Ha ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan status gizi pada balita, dan Dari hasil uji statistik rank spearman didapatkan nilai 137
p=0,14, α=0,05 yang berarti nilai p> α, maka Ha ditolak, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah dengan status gizi pada balita. Hal ini sesuai dengan pendapat suhaimi (2008), bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang belum menjamin tingginya tingkat pengetahuan pangan dan gizi, namun status gizi ditentukan oleh konsumsi makanan dan kemampuan tubuh menggunakan zat-zat gizi. Berdasarkan data diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan orang tua sebagian besar tergolong sedang, namun status gizi balita cenderung normal walaupun masih banyak sebagian status gizi balita yang kurus. Hal ini dikarenakan adanya faktor kesadaran tentang kesehatan dan menentukan besarnya perhatian orang tua terhadap hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan gizi. Pendidikan orang tua bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi status gizi balita namun banyak faktor yang mungkin mempengaruhi status gizi balita diantaranya faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Ucapan terima kasih Saya sangat berterima kasih kepada Akademi Kebidanan Sari Mulia Banjarmasin yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian dan ucapan terima kasih kepada Puskesmas Kelayan Timur Banjarmasin yang telah memberikan izin serta tempat untuk penelitian. Daftar pustaka Akademi Kebidanan Sari Mulia. 2014. Panduan Karya Tulis Ilmiah (KTI). Banjarmasin : Akademi Kebidanan Sari Mulia. Djola R. 2011. Hubungan antara Tingkat Pendapatan Keluarga dan Pola Asuh dengan Status Gizi Anak Balita di Desa Bongkudai Kecamatan Modayag Barat [skripsi]. Universitas Sam Ratulangi. Hamsinah. 2013. Hubungan Pengetahuan Dan Pendidikan Ibu Dengan Status Gizi Pada Balita Di Puskesmas Gadang Hanyar Banjarmasin. Banjarmasin : Akademi Kebidanan Sari Mulia. Himawan AW. 200. Hubungan antara Karakteristik Ibu dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang [skripsi]. Universitas Negeri Semarang. Notoatmojo, Soekitdjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta Rineka Cipta. Repi, A. (2013). Hubungan antara Status Sosial Ekonomi dengan Status Gizi Anak Sekolah Dasar Kelas 4 dan Kelas 5 SDN 1 Tounelet DANSD 138
Katolik St.Monica Kecamatan Langowan Barat. (Skripsi) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Suhaimi, Ahamda. 2008. Ketahanan Pangan. Banjarmasin: UNLAM. Riskesdes.2013.(http://www.depkes.go.id/res ources/download/pusdatin/profilkesehatan-indonesia/profil-kesehatanindonesia-2013.pdf. diakses 09 maret 2015) 139