BAB I PENDAHULUAN. disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Katolik, Hindu, dan Budha. Negara menjamin kebebasan bagi setiap umat bergama untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pertama (SMP) atau sederajat. Jenjang pendidikan ini dimulai dari kelas X sampai kelas XII

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memegang peranan penting agama dalam

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. Agama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal

BAB I PENDAHULUAN. gereja, tetapi di sisi lain juga bisa membawa pembaharuan ketika gereja mampu hidup dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. berbeda-beda. Salah satu universitas swasta, yaitu Universitas Y, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. berdiri sebagai Sinode (dulu Rad - Rageng) pada tanggal 14 November Gereja ini tidak

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam agama Katolik, terdapat struktur kepemimpinan gereja. Pemimpin tertinggi

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia adalah agama. Terdapat enam

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa berelasi dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Attachment menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama. Ketergantungan dengan

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hubungan romantis. Hubungan romantis (romantic relationship) yang juga

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cinta. kehilangan cinta. Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai tingkatan

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. hakikatnya Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, antara pria dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penting menuju kedewasaan. Masa kuliah akan menyediakan pengalaman akademis dan

Henni Anggraini Universitas Kanjuruhan Malang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini akan dijelaskan mengenai definisi, tahapan, dan faktor-faktor yang

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

1.PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan

Bab 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila, yaitu sila pertama,

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

PENDAHULUAN. seperti ayah, ibu, dan anak. Keluarga juga merupakan lingkungan yang

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

DATA SUBJEK SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

ABSTRAK. Kata Kunci : anggota komunitas sel Superheroes, attachment to God, attachment to parent. vii

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan kecemburuan, pola

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

Apakah Jodoh Pilihan Tuhan atau Pilihan Sendiri? oleh Hengki Wijaya

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah masa dewasa muda. Pada masa ini ditandai dengan telah tiba saat bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelekatan. melekat pada diri individu meskipun figur lekatnya itu tidak tampak secara fisik.

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

BAB I PENDAHULUAN. penerapan teori yang didapat sebelumnya dari periode praklinik untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

FINDING YOUR LIFE PURPOSE #3 - MENEMUKAN TUJUAN HIDUPMU #3 GROWING IN THE FAMILY OF GOD BERTUMBUH DALAM KELUARGA ALLAH

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN (ATTACHMENT) DAN INTIMACY PADA MAHASISWA YANG BERPACARAN. : Elfa Gustiara NPM : : dr. Matrissya Hermita, M.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya. resiprokal antara bayi dan pengasuhnya, yang sama-sama memberikan

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. dengan target atau yang disebut sebagai standar keahlian. keahlian atau pun standar keunggulan (standard of excellent).

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Koping Religius. menimbulkan masalah dinamakan koping. Koping adalah kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri atas berbagai macam

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Bab ini akan dibahas beberapa landasan teori sebagai dasar untuk melihat

PENGINJILAN I. PENTINGNYA VISI DAN MISI PENGINJILAN DALAM GEREJA LOKAL

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. biasa atau persahabatan yang terjalin dengan baik. Kecenderungan ini dialami

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Arnett (dalam Santrock, 2011) masa transisi dari remaja ke dewasa disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood) yang terjadi dari usia 18 sampai 25 tahun. Masa ini ditandai oleh eksperimen dan eksplorasi, banyak individu masih mengeksplorasi jalur karier yang ingin mereka ambil. Individu ingin menjadi seperti apa, gaya hidup seperti apa yang mereka inginkan, hidup melajang, hidup bersama, atau menikah. Mahasiswa merupakan individu yang berada pada rentang usia 18 sampai 23 tahun. Individu diusia 18 tahun berada pada masa remaja akhir yang beralih ke masa dewasa awal. Kemudian menurut Erikson, individu diusia 19 tahun sampai 40 tahun berada pada masa dewasa awal (http://www.ocfcpacourts.us/assets/files/list-758/file- 1038.pdf). Menurut Arnett (dalam Santrock, 2011) individu yang berada pada masa peralihan dari remaja akhir ke dewasa awal memiliki beberapa ciri yaitu individu mengeksplorasi idenditas khususnya dalam relasi romantis dan pekerjaan, ketidakstabilan dalam relasi romantis, dan pendidikan, terfokus pada diri sendiri, feeling in between, dan masa dimana ada banyak kemungkinan/peluang untuk mengubah kehidupan mereka. Menurut Erikson (dalam Papalia, 2012) pada masa ini individu menghadapi tugas untuk membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Erikson menggambarkan keintiman sebagai penemuan diri sendiri pada diri orang lain tanpa kehilangan diri 1

2 sendiri. Intimacy merupakan hal yang penting dalam kehidupan orang dewasa untuk membangun pertemanan, romantic love, dan affectional love. Saat anak muda membentuk persahabatan yang sehat dan relasi yang akrab serta intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai, jika tidak individu akan mengalami isolasi. Isolasi dapat membuat individu menolak, mengabaikan, atau menyerang orang-orang yang membuat mereka kesal sehingga membahayakan kepribadian individu. Erikson (dalam Crain, 2011) mengemukakan bahwa pada masa dewasa awal individu dihadapkan pada intimacy yaitu menjalin relasi yang akrab dan komitmen pribadi yang mendalam dengan orang lain. Ciri perkembangan eksplorasi relasi romantis di masa peralihan dari remaja akhir ke dewasa awal ini terbentur dengan aturan yang diberlakukan oleh lembaga pelayanan X. Demikian hal nya dengan tugas perkembangan individu di masa dewasa awal untuk mencapai intimacy terbentur oleh peraturan lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai lembaga pelayanan X. Individu yang menjadi anggota lembaga pelayanan X dilarang untuk menjalin relasi romantis dan pacaran dalam kurun waktu tertentu. Hal ini menghambat pencapaian intimacy dalam diri individu dan membuat anggota pelayanan X harus menunda pemenuhan tugas perkembangan tersebut. Lembaga pelayanan X adalah salah satu lembaga kerohanian yang berada di bawah naungan Persekutuan Mahasiswa Kristen di Universitas X Bandung. Di dalam lembaga ini diberlakukan aturan bagi anggotanya untuk tidak menjalin relasi romantis apalagi berpacaran sampai pada tahun ke empat masa studi mereka. Aturan

3 ini diterapkan demi menjaga fokus mahasiswa anggota lembaga pelayanan X dalam mencapai visi dan misi lembaga. Dalam rangka pengembangan iman kepada Tuhan, lembaga pelayanan X memiliki misi untuk menjangkau mahasiswa agar lebih mengenal dan dekat kepada Tuhan dengan berangkat dari kota asal pelayanan, ke kota lain, untuk merintis cabang pelayanan baru disana atau mengunjungi cabang perintisan yang sudah ada. Lembaga pelayanan X memiliki visi menjadi tempat persemaian bagi mahasiswa untuk memberkati almamater, kampus-kampus lain, Indonesia, dan sampai kepada bangsabangsa. Individu-individu dalam lembaga pelayanan X diharapkan taat dan berkomitmen melayani sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang lembaga. Individu dilarang berpacaran supaya mereka dapat fokus menjalankan visi dan misi, selain itu juga untuk mencegah individu jatuh dalam dosa seks yang akan menghambat mereka dalam melakukan pelayanan kepada sesama. Ada enam nilai yang dipegang oleh lembaga pelayanan X yaitu Radical (rooted in the Bible), Commited (devoted), Servanthood (somebody who serves another), Submissive (ready to submit to others), Integrity, dan Compassion. Nilai-nilai lembaga pelayanan X disampaikan kepada jemaatnya melalui beberapa kegiatan antara lain ibadah raya untuk mahasiswa-mahasiswa baru, pendalaman Alkitab untuk mahasiswa baru yang datang menjadi anak rohani dan terlihat di acara-acara lembaga pelayanan X. Selanjutnya melalui persekutuan doa Selasa untuk mahasiswa yang telah menjadi anak rohani dan terlihat diacara-acara lembaga pelayanan X serta telah mengikuti training untuk menjadi pekerja. Ada satu kegiatan yang dinamakan

4 ibadah komsel yaitu kegiatan yang diadakan secara berkelompok khusus untuk mahasiswa baru, untuk menyampaikan peraturan melalui khotbah dan memperjelas visi dan misi lembaga pelayanan X. Individu berada pada tahap perkembangan yang membuat mereka memiliki ketertarikan dan ingin menjalin relasi dengan lawan jenis. Disisi lain, lembaga pelayanan X melarang individu untuk berpacaran sampai pada tahap tertentu. Hal ini bersifat kontradiktif dan tidak mudah untuk dihadapi. Kenyataan yang terlihat beberapa dari individu di lembaga tersebut ada yang menjalin kedekatan yang romantis seperti penjajakan dan ada yang berpacaran yang kemudian ditegur oleh pemimpin lembaga. Mahasiswa yang ditegur oleh pemimpin ada yang taat dan kemudian menjauh dari pasangan, namun ada pula yang mundur secara perlahan sampai akhirnya menghilang dari lembaga. Dalam wawancara yang dilakukan kepada seorang pemimpin lembaga pelayanan X terungkap bahwa masalah berpacaran ditemukan di kalangan individu yang merupakan angkatan baru. Dari 40 individu yang menjadi jemaat, terdapat 10 orang yang berpacaran maupun yang menjalin kedekatan ke arah berpacaran. Masalah lain adalah masalah ketaatan untuk menghadiri kegiatan pendalaman Alkitab dan kegiatan-kegiatan lembaga pelayanan X. Individu dinilai kurang taat, mereka sering tidak hadir dalam kegiatan lembaga pelayanan X. Beberapa individu tidak memenuhi harapan kehadiran minimal 60% dalam kegiatan-kegiatan lembaga pelayanan X. Individu yang melakukan pelanggaran akan menerima konsekuensi berupa teguran langsung dari pemimpin.

5 Demi mempertahankan komitmen dan memahami dengan sunguh-sungguh visi dan misi lembaga, mengerjakan visi dan misi, serta mau menunda pemenuhan kebutuhan untuk pacaran, individu memerlukan kedekatan dengan Tuhan. Individu yang memiliki kedekatan dengan Tuhan akan mengandalkan dan mencari Tuhan saat menemui masalah. Individu yang dekat dengan Tuhan akan merasa bahwa Tuhan adalah figur yang setia dan mengasihi mereka tanpa syarat. Tuhan tetap setia dan dengan kasih yang begitu besar mengampuni mahasiwa baru yang melakukan pelanggaran. Ketika individu melanggar aturan, mareka bukannya pergi menjauhi Tuhan karena merasa tidak layak, namun justru meskipun merasa tidak layak mereka tetap datang minta ampun dan minta pertolongan Tuhan untuk tetap dapat menjalankan missi nya di lembaga ini. Dalam konteks psikologi, kedekatan antara individu dengan Tuhan disebut sebagai attachment to God. Menurut Okozi (2006) attachment to God adalah ikatan afeksi yang terjadi antara individu dengan Tuhan sebagai sosok attachment. Attachment to God dibentuk dari dua dimensi yaitu avoidance of intimacy dan anxiety about abandonment (Beck& McDonald 2004). Anxiety about abandonment adalah kekhawatiran ditolak oleh Tuhan, kebencian atau frustrasi karena merasa kurang disayang oleh Tuhan, kecemburuan akan kedekatan orang lain dengan Tuhan, takut Tuhan tidak menyayanginya, dan kekhawatiran mengenai hubungannya dengan Tuhan. Avoidance of intimacy adalah kebutuhan untuk bergantung kepada dirinya sendiri dari pada Tuhan, kesulitan untuk bergantung kepada Tuhan, dan ketidakmauan untuk dekat secara emosional dengan Tuhan.

6 Ada empat tipe attachment to God yaitu secures, preoccupied, dismissing, dan fearful. Tipe secures ditandai oleh derajat anxiety about abandonment dan avoidant of intimacy yang rendah. Cirinya adalah adanya keyakinan pada diri mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan X, bahwa Tuhan secara konsisten responsif dan hadir. Kedua, preoccupied ditandai dengan derajat anxiety about abandonment yang tinggi dan derajat avoidant of intimacy yang rendah. Mahasiswa yang preoccupied menghayati bahwa Tuhan responsif bila diperlukan, namun mahasiswa sering menghayati dirinya tidak layak menerima kasih Tuhan, mereka sering merasa cemas Tuhan akan meninggalkan mereka (Karen, 1998; Solomon & George, 1999). Ketiga, dismissing ditandai dengan derajat anxiety about abandonment yang rendah dan derajat avoidant of intimacy yang tinggi. Mahasiswa menghayati dirinya sebenarnya layak dihadapan Tuhan, namun Tuhan secara konsisten tidak responsif dan tidak hadir dalam hidup mereka, mereka merasa doadoa mereka tidak dijawab oleh Tuhan, sehingga mereka merasa lebih baik mengandalkan kekuatan sendiri dari pada bergantung kepada Tuhan. (Karen, 1998; Solomon & George, 1999). Keempat, fearful ditandai dengan derajat anxiety about abandonment dan avoidant of intimacy yang tinggi. Mahasiswa yang menunjukkan ketidakteraturan atau kebingungan dengan hubungan dan attachment dari Tuhan (Cassidy & Shaver, 1999; Solomon & George, 1999). Demi mengembangkan kedekatan mahasiswa dengan Tuhan, mahasiswa membutuhkan pengembangan religiusitas. Menurut Glock &Stark (1986) religiusitas

7 adalah suatu bentuk kepercayaan adi kodrati yang di dalamnya terdapat penghayatan dalam kehidupan sehari hari dengan menginternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari-harinya. Individu pada masa dewasa awal berada pada tahap individuatif-reflektif dari perkembangan religiusitas (dalam Scarlet; Warren, 2012). Menurut James W.Fowler dalam buku (Hasan, 2006) pada masa dewasa dini individu mulai bertanggung jawab atas kepercayaan, sikap, komitmen, serta gaya hidup mereka. Individu juga mulai mengembangkan tanggung jawab pribadi terhadap kepercayaan dan perasaannya. Melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang mengembangkan religiusitas dalam diri mahasiswa, dapat mengembangkan kedekatan mahasiswa dengan Tuhan. Berdasarkan survei awal yang dilakukan kepada 10 orang mahasiswa baru diperoleh data bahwa 60% mahasiswa setuju dengan peraturan lembaga untuk tidak berpacaran, dan 40% mahasiswa kurang setuju dengan peraturan lembaga. Dari 60% mahasiswa baru yang setuju untuk tidak berpacaran, memiliki penghayatan yang secure, fearful, dan preoccupied kepada Tuhan. Mahasiswa secure yang setuju dengan aturan tidak berpacaran menghayati bahwa doa mereka kepada Tuhan sangat emosional. Ketika mahasiswa berdoa dengan sangat emosional, mereka menghayati kedekatan dengan Tuhan. Kedekatan membuat mereka merasa nyaman dan tidak merasa takut untuk mengekspresikan perasaan ke dalam doanya kepada Tuhan, sehingga mahasiswa mengahayati bahwa Tuhan merupakan figur yang available ketika mereka membutuhkan dan mereka mematuhi aturan lembaga untuk tidak

8 berpacaran. Mahasiswa fearful menghayati adanya ketakutan ketika mahasiswa berbuat salah, maka mereka tidak di terima Tuhan. Mahasiswa menghayati dirinya negatif, tidak layak untuk dikasihi dan tidak berharga di hadapan Tuhan ketika mereka melanggar aturan tidak berpacaran yang merupakan visi lembaga dan mereka menghayati bahwa Tuhan tidak responsif terhadap masalah mereka, sehingga mereka memilih untuk tidak bergantung terlalu banyak kepada Tuhan. Preoccupied yang setuju untuk tidak berpacaran menghayati bahwa mereka merasakan iri ketika tidak dapat merasakan kehadiran Tuhan, sedangkan orang lain dapat. Mereka yang tidak menaati aturan untuk tidak berpacaran menghayati dirinya negatif dan tidak layak di hadapan Tuhan sehingga menimbulkan kecemasan bahwa Tuhan tidak konsisten hadir available saat dibutuhkan. Mahasiswa yang setuju dengan peraturan lembaga menghayati bahwa visi dalam diri mereka sesuai dengan aturan lembaga, mahasiswa merasa bahwa mereka belum waktunya untuk berpacaran. Kemudian dari 40% mahasiswa baru yang kurang setuju untuk tidak berpacaran, memiliki penghayatan yang preoccupied dan secure. Mahasiswa preoccupied yang kurang setuju dengan aturan tidak berpacaran menghayati ketakutan tidak diterima Tuhan ketika berbuat salah. Berbuat salah yang dimaksud adalah ketika mereka melakukan hal-hal yang tidak membangun dan negatif dalam berpacaran. Mahasiswa secure yang kurang setuju dengan peraturan lembaga mendiskusikan semua masalah dan pergumulan mereka setiap hari dengan Tuhan. Mereka berusaha untuk mencari

9 Tuhan dan mendapatkan jawaban doa melalui kegiatan doa pribadi mereka setiap hari untuk membuat mereka menerima aturan tidak berpacaran itu dengan lebih sungguh. Mahasiswa yang kurang setuju dengan peraturan lembaga tersebut, mengatakan bahwa mereka akan tetap berdoa agar memperoleh pengertian dan penerimaan yang sungguh-sungguh mengenai aturan tersebut dan ada pula yang mengatakan bahwa merasa bingung untuk keluar atau tidak dari lembaga pelayanan X. Mahasiswa yang setuju dengan peraturan lembaga pelayanan X memandang Tuhan itu baik. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menyosialisasikan Tuhan di dalam lembaga pelayanan X, mahasiswa menghayati bahwa Tuhan itu baik walaupun ada tuntutan dari lembaga untuk menunda pemenuhan tugas perkembangannya yang bertujuan untuk mencapai visi demi menjalankan firman Tuhan. Mahasiswa yang kurang setuju ini berupaya untuk meminta pemahaman dan pengertian dari Tuhan melalui kegiatan doa mereka untuk dapat menerima aturan lembaga dan menjalankan visi serta misi lembaga demi menjalankan firman Tuhan. Supaya mahasiswa mampu mempunyai attachment to God yang secure dan memiliki gaya hidup yang sesuai dengan lembaga pelayanan X, mahasiswa didampingi oleh kakak pembimbing. Kakak pembimbing bertanggung jawab untuk membimbing, mengingatkan, menegur, dan mendoakan mahasiswa yang menjadi anak bimbingnya. Selain pengembangan religiusitas, lembaga pelayanan X ini juga berupaya mengembangkan karakter dan talenta/bakat mahasiswa lewat kegiatan pendalaman Alkitab. Karakter yang lebih matang dan dewasa akan membuat mahasiswa lebih bijak dalam menjalani perkuliahannya, kehidupan pribadi, hubungan pribadi dengan Allah, dan

10 eksistensinya dalam lembaga pelayanan X. Kakak pembimbing memegang peranan penting seperti yang telah di sebutkan di atas untuk menimbulkan penghayatan bahwa Tuhan adalah figur attachment yang responsif dan available setiap saat dibutuhkan. Setiap aspek kehidupan mahasiswa memiliki tantangan masing-masing dan mahasiswa perlu sadar bahwa mereka butuh Tuhan dan menghayati bahwa Tuhan merupakan figur attachment yang secara konsisten hadir dan responsif saat mereka membutuhkan. Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Attachment to God mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan pada bagian latar belakang masalah, dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah seperti apakah tipe attachment to God mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini ialah ingin mengetahui tipe attachment to God yang dihayati oleh mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan X Bandung.

11 Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana tipe attachment to God dan faktor-faktor yang memengaruhi mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk bidang Psikologi integratif tentang attachment to God. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengembangan penelitian lain yang berkaitan dengan attachment to God. 1.4.2 Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini secara praktis merupakan bahan masukan kepada lembaga pelayanan X berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan attachment to God mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan X Bandung. 1.1 Kerangka Pikir Mahasiswa angkatan 2014 yang melayani di lembaga pelayanan X berusia 18-20 tahun berada di masa transisi dari remaja akhir menuju ke dewasa awal dan ada juga yang berada di masa dewasa awal. Di tahap perkembangan ini, individu

12 mengeksplorasi idenditas khususnya dalam relasi romantis dan pekerjaan, ketidakstabilan dalam relasi romantis, pekerjaan, dan pendidikan, terfokus pada diri sendiri, feeling in between, dan masa dimana ada banyak kemungkinan dan peluang untuk mengubah kehidupan mereka. Menurut Erikson (dalam Papalia, 2012) pada masa ini individu menghadapi tugas untuk membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Erikson menggambarkan keintiman sebagai penemuan diri sendiri pada diri orang lain tanpa kehilangan diri sendiri. Intimacy merupakan hal yang penting dalam kehidupan orang dewasa untuk membangun pertemanan, romantic love, dan affectional love. Pada masa dewasa awal mahasiswa juga diharapkan mendapat pekerjaan dan pasangan hidup. Masa kerja merupakan masa yang penting untuk dipersiapkan dengan matang mulai dari awal perkuliahan. Mahasiswa harus mampu menyelesaikan setiap tugas perkuliahan mereka dan pada akhirnya menyelesaikan studi dengan tepat waktu. Salah satu karakteristik penting pada masa transisi dari remaja akhir menuju dewasa awal dan dewasa awal adalah membangun relasi yang romantis dan intim dengan lawan jenis. Individu di masa transisi sering mengalami ketidakstabilan dalam relasi romantis, pekerjaan, dan pendidikan. Selain itu menurut Arnett (Santrock, 2011), individu terfokus pada dirinya sendiri, mereka belum mampu memenuhi kewajiban sosial dan membangun komitmen dengan orang lain Sebagai anggota lembaga pelayanan X mereka harus memenuhi komitmen terhadap lembaga X. Menurut James W.Fowler (dalam Hasan, 2006) pada masa dewasa awal mahasiswa baru mulai bertanggung jawab atas kepercayaan, sikap, komitmen, serta gaya hidup

13 mereka. Selain mengembangkan komitmen, mahasiswa baru mulai aktif mengikuti kegiatan kerohanian untuk mengembangkan religiusitas mereka. Salah satu lembaga yang mengadakan kegiatan kerohanian untuk mengembangkan religiusitas mahasiswa baru adalah lembaga pelayanan X. Lembaga pelayanan X adalah lembaga pelayanan yang berfokus melakukan pemberitaan Injil ke kampus-kampus. Selain itu mahasiswa baru dituntut menaati aturan tidak berpacaran terlebih dahulu sampai pada tahun keempat. Aturan ini di berlakukan untuk mengarahkan fokus mahasiswa pada pencapaian visi dan misi, agar konsentrasi mahasiswa tidak terpecah oleh pikiran tentang relasi romantis. Anggota yang terlibat di dalam lembaga ini ini adalah mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas di kota Bandung. Aturan tidak boleh berpacaran menghambat pencapaian intimacy dan menimbulkan isolasi. Mahasiswa baru berada di tahap dewasa awal memiliki kebutuhan berpacaran, namun di sisi lain harus memiliki komitmen menunda kebutuhan berpacaran sampai tahun ke empat. Mahasiswa baru yang melanggar aturan dan tidak mengerjakan visi merasakan kecemasan (anxiety) dan rasa kuatir ditolak Tuhan. Mahasiswa baru bisa menghindari (avoidance) Tuhan karena menganggap aturan lembaga pelayanan itu menghambat pencapaian tugas perkembangan intimacy mereka dan merasa tidak layak dihadapan Tuhan. Jika mereka dekat dengan Tuhan, mereka merasa nyaman dalam berhubungan dengan Tuhan dan merasa diterima oleh Tuhan, maka ketika mengalami kesulitan dalam menjalankan visi yang berkontradiksi dengan pemenuhan kebutuhannya sebagai

14 individu di masa dewasa awal dan masa peralihan, mereka cenderung akan mencari dan mengandalkan Tuhan dalam masalah yang mereka hadapi. Mahasiswa yakin bahwa Tuhan available dan responsif terhadap kebutuhan mereka. Dalam konteks psikologi, kedekatan individu dengan Tuhan disebut attachment to God. Attachment to God adalah ikatan afeksi yang terjadi antara manusia dengan Tuhan sebagai sosok attachment (Okozi, 2006). Menurut Kirkpatrick (2005) attachment to God adalah persepsi tentang availability dan responsivity figur attachment yang supernatural. Menurut Kirkpatrick (2005) terbentuknya attachment to God dibentuk oleh internal working model. Internal working model adalah hasil internalisasi individu tentang semua pengalaman aktual selama berinteraksi dengan orang tua atau pengasuh utama. Hasil dari internalisasi ini adalah penghayatan akan diri dan lingkungan, yang disebut sebagai internal working model tentang diri dan lingkungan. IWM terbagi menjadi dua dimensi, yaitu IWM tentang diri dan lingkungan. Pada awal kehidupan, IWM berkaitan dengan sejauh mana pengasuh utama dapat diandalkan, mencintai, care, dan melindungi disebut IWM tentang orang lain (others). IWM ini juga berkaitan dengan sejauh mana dirinya layak, berharga untuk dicintai, dipedulikan dan dilindungi, ini adalah IWM tentang diri (self). Beck dan McDonald (2004) mengembangkan pengukuran attachment to God berdasarkan dua dimensi yaitu avoidance of intimacy dan anxiety about abandonment. Anxiety about abandonment. yang tinggi menggambarkan IWM diri yang negatif, yaitu individu mencemaskan dirinya yang tidak layak dihadapan Tuhan.

15 Anxiety about abandonment. rendah menggambarkan IWM diri yang positif, artinya individu tidak cemas karena merasa dirinya cukup berharga di hadapan Tuhan. Avoidance of intimacy menggambarkan IWM tentang Tuhan. Avoidance of intimacy yang tinggi menggambarkan IWM tentang Tuhan yang negatif, Tuhan dipandang sebagai figur yang tidak responsif dan tidak available ketika dibutuhkan, sehingga individu menghindari kedekatan dan kebergantungan kepada Tuhan, dan bergantung kepada dirinya sendiri. Sebaliknya avoidance of intimacy rendah menggambarkan IWM terhadap Tuhan yang positif, individu tidak menghindari Tuhan. Kedua dimensi IWM dapat menghasilkan empat tipologi yaitu secure, preoccupied, fearful, dan avoidant attachment (Bartholomew, 1990). Mahasiswa yang securely attached to God pada umumnya memahami dan mengalami Tuhan dalam pengertian positif, misalnya caring dan protective (memiliki internal working model yang positif tentang Tuhan). Individu tahu bahwa dirinya layak dicintai dan berharga untuk mendapat kasih Tuhan (internal working model tentang diri yang positif). Insecure avoidant (dismissing) adalah mahasiswa menghayati bahwa dirinya layak dicintai dan berharga, namun Tuhan dianggap menarik diri, Tuhan mengabaikan, khususnya saat dibutuhkan. Mahasiswa merasa bahwa Tuhan tidak dapat dipercaya, Tuhan tidak available ketika dibutuhkan, dan Tuhan tidak mudah dijangkau ketika sedang ada masalah. Mereka mengembangkan internal working model yang negatif tentang Tuhan dan internal working model positif tentang diri.

16 Anxious ambivalent atau preoccupied adalah mahasiswa yang merasa cemas, bingung, atau terpaku pada keinginan yang sangat besar untuk mendapatkan respons dari Tuhan dalam situasi ancaman, direfleksikan dalam keyakinan bahwa Tuhan itu tidak konsisten available dan responsif untuk dirinya, karena merasa dirinya tidak layak menerima cinta kasih Tuhan. Mereka mengembangkan internal working model yang positif tentang Tuhan dan internal working model yang negatif tentang diri. Fearful avoidant adalah mahasiswa memandang dirinya negatif (internal working model of self) dan Tuhan (internal working model of God) yang ditunjukkan dalam penghayatan berjarak dan atau tidak tertarik untuk dekat dengan Tuhan, keyakinan bahwa Tuhan tidak available dan tidak responsif dalam situasi ancaman, mengganggap Tuhan menarik diri dan mengabaikan, khususnya saat dibutuhkan, tidak menganggap penting hubungan dengan Tuhan, dan meminimalisasi hubungan dengan Tuhan di dalam kehidupannya, serta menghindari kebergantungan kepada Tuhan. Tipe attachment to God dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor yang pertama yaitu attachment antara mahasiswa dan orang tua (caregiver) yang dilihat dari the correspondence hypothesis dan the compensation hypothesis. The correspondence hypothesis mengatakan bahwa attchment to God pada dasarnya merupakan cermin yang dimiliki seseorang dalam hubungannya dengan caregiver. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Granqvist dan Hagekull (1999) individu yang attachment dengan orang tuanya insecure, akan insecure pula dengan Tuhan (Granqvist dan Hagekull, 2001). Individu yang pada kanak-kanaknya memiliki

17 hubungan bermasalah dengan orang tua, cenderung akan meningkatkan kemungkinan untuk mencoba-coba beberapa keyakinan dalam jangka waktu singkat, seolah-olah melihat keyakinan mana yang paling cocok. Menurut hipotesis korespondensi individu yang secure dengan orang tuanya akan secure pula dengan Tuhan. Orang tua sebagai fasilitator bagi individu pada masa kanak-kanak untuk mengenal agama dan cenderung menimbulkan keyakinan yang konsisten kepada Tuhan. The compensation hypothesis mengatakan bahwa relasi dengan Tuhan membantu individu untuk mengkompensasikan kurangnya ikatan afeksi dengan caregiver. Pada hipotesis kompensasi individu yang memiliki attachment dengan caregiver secure, akan menghasilkan attachment to God yang secure pula. The compensation hypothesis mengatakan, kurangnya attachment individu mungkin dapat memotivasi kepercayaan kepada Tuhan. Anak-anak yang gagal membangun attachment yang secure dengan orang tua cenderung untuk mencari tokoh attachment pengganti. Pengganti yang dimaksud yang lebih kuat, bijaksana, handal dan terbukti dapat diakses serta responsif terhadap individu yaitu Tuhan (Ainsworth, 1985). Hipotesis kompensasi akan memprediksi bahwa bahwa orang yang masa kanakkanaknya insecure, kemungkinan besar akan mencari Tuhan untuk memperoleh keselamatan dan kenyamanan yang tidak diperoleh saat masa kecil dengan orang tua. Faktor kedua yaitu sosialisasi tentang Tuhan melalui kegiatan-kegiatan di dalam lembaga pelayanan X. Serangkaian kegiatan pendalaman Alkitab, Komsel, Korps, Herritage Camp, Herritage Workshop, Ibadah Raya, dan persekutuan doa Selasa merupakan bentuk pensosialisasian tentang Tuhan dalam lembaga.

18 Serangkaian kegiatan dalam lembaga tersebut bertujuan untuk membuat mahasiswa saling menguatkan, mendukung, membangun, memperdalam visi dan misi lembaga yang dilakukan dengan beberapa cara yaitu doa dan sharing serta didasarkan pada firman Tuhan. Mahasiswa diwajibkan untuk hadir minimal 60% dalam setiap kegiatan pelayanan agar lebih memahami visi dan misi. Kegiatan tersebut akan memengaruhi tipe attachment to God pada mahasiswa baru di lembaga. Kegiatan tersebut berisi pengenalan mengenai Tuhan, setelah melalui kegiatan tersebut mahasiswa menghayati dan mengenal Tuhan. Penghayatan setiap mahasiswa kepada Tuhan akan berbeda-beda dan ini mempengaruhi kedekatan dengan Tuhan. Ketika mahasiswa mengikuti kegiatan didalam lembaga pelayanan X maka akan menumbuhkan attachment to God pada diri mahasiswa. Mahasiswa yang lebih aktif mengikuti kegiatan tersebut berpeluang memiliki attachment to God yang secure dibandingkan mahasiswa yang kurang aktif mengikuti kegiatan di lembaga pelayanan X. Faktor yang ketiga adalah faktor situasional yang terdiri atas krisis dan distress. Argyle dan Beit Hallahmi (1975) mengatakan individu lebih banyak berdoa dibandingkan pergi ke gereja saat mengalami stress. Situasi sulit yang dialami mahasiswa berpeluang membuat mahasiswa mencari Tuhan sehingga berpeluang menimbulkan attachment to God yang secure. Dalam faktor ketiga ketika mahasiswa menghadapi penyakit dan cedera, doa adalah metode coping yang paling umum dilakukan saat menghadapi penyakit serius. Penyakit dan cedera yang dihadapi

19 mahasiswa berpeluang mendorong mahasiswa untuk mencari Tuhan dan hal ini berpeluang menimbulkan attachment to God yang secure. Berikutnya kematian dan griefing ada tiga faktor yang berkorelasi nyata dengan attchment pada respons dalam menghadapi kehilangan. Pertama, kehilangan orang yang dicintai karena sakit. Kedua, kehilangan yang disertai dengan sejumlah stressor. Ketiga kehilangan figur attachment utama mengakibatkan individu mencari figur attachment pengganti, yakni Tuhan. Loveland (dalam Kirkpatrick, 2005) mengatakan bahwa mahasiswa yang kehilangan figur orang tua akan banyak berdoa. Aktifitas berdoa tersebut berpeluang untuk menimbulkan attachment to God yang secure. Faktor-faktor di atas dapat menimbulkan ketegangan emosional, sebagai manusia dalam kelompok usia dewasa dini, mahasiswa mungkin merasakan keresahan emosional dan bingung dalam menghadapi hal-hal diatas. Dari sudut pandang attachment, alasan kematian dari figur attachment itu traumatik karena menyebabkan perpisahan permanen dengan orang tua. Tuhan dapat menjadi pengganti figur attachment yang baik.

20 1. Attachment dengan orang tua (caregiver) 2. Sosialisasi tentang Tuhan melalui kegiatan-kegiatan dilembaga pelayanan X 3. Faktor-faktor situasional : Krisis dan Distress Penyakit dan cedera Kematian dan griefing Secure Mahasiswa baru yang melayani di Pelayanan X Attachment to God Avoidant Anxiety Preoccupied Dismissing Fearfull Bagan 1.1 Kerangka pikir

21 1.6 Asumsi Banyak tantangan yang ditemui oleh mahasiswa angkatan 2014 yang menjadi anggota di lembaga pelayanan X Bandung dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk mewujudkan visi lembaga pelayanan X. Salah satu tantangan tersebut adalah mahasiswa baru yang berada pada masa dewasa awal memiliki kebutuhan untuk berpacaran, namun di sisi lain aturan lembaga pelayanan X melarang berpacaran. Tantangan di atas, membuat mahasiswa penting untuk memiliki attachment to God yang secure. ATG dapat diukur melalui dua dimensi yaitu anxiety dan avoidance Dari dimensi anxiety dan avoidance, diperoleh empat model attachment to God yaitu secure attachment, avoidant attachment, fearfull attachment, dan dismissing attachment. Atachment mahasiswa dengan orang tua, sosialisasi yang diterima mahasiswa mengenai Tuhan melalui rangkaian kegiatan di dalam lembaga pelayanan X dan faktor-faktor situasional merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi tipe Attachment to God pada diri mahasiswa.