HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODA PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Dibagi menjadi: biofuel (5%), panas bumi (5%), biomasa nuklir, tenaga air dan tenaga angin (5%), batu bara cair (2%)

ANALISIS KINETIKA REAKSI TRANSESTERIFIKASI PADA PRODUKSI BIODIESEL SECARA KATALITIK DENGAN STATIC MIXING REACTOR SULASTRI PANGGABEAN

TINJAUAN PUSTAKA Bahan Bakar Biodiesel

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Lampiran 1 Data metode Joback

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

ABSTRACT Study on Mixing Process Using Static-mixer Method to Increase Transesterification Efficiency of Refined Palm Oil into Biodiesel.

Kinetika Reaksi Transesterifikasi CPO terhadap Produk Metil Palmitat dalam Reaktor Tumpak

LAPORAN SKRIPSI PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS PADAT BERPROMOTOR GANDA DALAM REAKTOR FIXED BED

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

c. Kenaikan suhu akan meningkatkan konversi reaksi. Untuk reaksi transesterifikasi dengan RD. Untuk percobaan dengan bahan baku minyak sawit yang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN A. : ton/thn atau kg/jam. d. Trigliserida : 100% - ( % + 2%) = 97.83% Tabel A.1. Komposisi minyak jelantah

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP.

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

PENGARUH PENAMBAHAN KARBON AKTIF TERHADAP REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma) YANG SUDAH DIPERLAKUKAN DENGAN KITOSAN

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

Bab IV Hasil dan Pembahasan

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Karakteristik Biodiesel Dari Minyak Jelantah Dengan Menggunakan Metil Asetat Sebagai Pensuplai Gugus Metil. Oleh : Riswan Akbar ( )

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

kimia LAJU REAKSI 1 TUJUAN PEMBELAJARAN

Rerkayasa Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Proses Transesterifikasi Minyak Nabati Menjadi Biodiesel 1

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB II DISKRIPSI PROSES

Reaksi Transesterifikasi Multitahap-Temperatur tak Seragam untuk Pengurangan Kadar Gliserol Terikat

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kinetika Reaksi Transesterifikasi Minyak Goreng Bekas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

ANALISIS METODE RESPONSE SURFACE PADA PRODUKSI BIODIESEL SECARA KATALITIK DENGAN STATIC MIXING REACTOR AGUSTINO LEONARD PARDAMEAN ARITONANG

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Produksi Biodiesel

Sulistyani, M.Si.

Esterifikasi Asam Lemak Bebas Dari Minyak Goreng Bekas

PEMBUATAN BIODIESEL. Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu Tanggal : 27 Oktober 2010

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

4 Pembahasan Degumming

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

LEMBAR KERJA SISWA 4

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN REAKTOR BERPENGADUK STATIS UNTUK PRODUKSI BIODIESEL SECARA KONTINYU SIGIT EKO PRASTYA

BAB 3 PEMODELAN TANGKI REAKTOR BIODIESEL

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

ANALISIS PENGARUH PENGGUNAAN STATIC MIXING TERHADAP KEBUTUHAN KATALIS DALAM PRODUKSI BIODIESEL SRI PURNAMA SARI

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA PERSAMAAN ARRHENIUS DAN ENERGI AKTIVASI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

Oleh : Wahyu Jayanto Dosen Pembimbing : Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

Bab III Pelaksanaan Penelitian

BAB III PERANCANGAN PROSES. bahan baku Metanol dan Asam Laktat dapat dilakukan melalui tahap-tahap sebagai

Termodinamika apakah suatu reaksi dapat terjadi? Kinetika Seberapa cepat suatu reaksi berlangsung?

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PRODUKSI BIOFUEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS PADAT CaO/γ-Al 2 O 3 dan CoMo/γ-Al 2 O 3

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan bahan bakar fosil yang bersifat tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan Percobaan 1.3. Manfaat Percobaan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab III Metodologi Penelitian

BABffl METODOLOGIPENELITIAN

MODIFIKASI PROSES IN SITU ESTERIFIKASI UNTUK PRODUKSI BIODIESEL DARI DEDAK PADI

Sunardi 1, Kholifatu Rosyidah 1 dan Toto Betty Octaviana 1

III. METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli September 2013 bertempat di

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April September 2013 bertempat di

METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 2.1 Reaksi Saponifikasi tripalmitin

c. Suhu atau Temperatur

LAMPIRAN A DATA BAHAN BAKU

PENGGUNAAN CANGKANG BEKICOT SEBAGAI KATALIS UNTUK REAKSI TRANSESTERIFIKASI REFINED PALM OIL

MODUL PRAKTIKUM LABORATORIUM INSTRUKSIONAL TEKNIK PANGAN

PEMBUATAN BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL (CPO) SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF MELALUI PROSES TRANSESTERIFIKASI LANGSUNG

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kebutuhan Daya Static Mixing Reactor Alat penelitian dirancang dan dibangun tanpa perhitungan rancangan struktural yang rinci. Meskipun demikian, perhitungan lebih rinci untuk pompa dan pemanas dilakukan agar proses dapat berlangsung dengan baik selama percobaan. Berikut adalah hasil perhitungan nilai parameter yang dibutuhkan dalam penentuan kebutuhan daya pompa dan pemanas. Tabel 3 Nilai parameter hasil perhitungan Parameter Nilai Satuan Fraksi Minyak 0.143 massa Metanol 0.857 Minyak 2392 ml Volume Metanol 608 ml Total 3000 ml μ mix 9.31E-04 kg m -1 s -1 ρ mix 794.23 kg m -3 ν mix 6.217E-06 m 2 s -1 m minyak 2.117 kg q 134.95 kj Laju aliran Ujung masuk pipa 2.1 m s -1 Belokan 1.9 m s -1 Pembesaran penampang secara mendadak 2.1 dan 0.5 m s -1 4.7 dan 0.5 m s -1 Pengecilan penampang secara mendadak 0.5 dan 2.1 m s -1 Ujung keluar pipa 4.7 m s -1 Hasil perhitungan nilai head yang terjadi selama fluida mengalir terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai head terbesar terjadi akibat keberadaan static mixer pada pipa reaktor yaitu sebesar 19.19 m. Besarnya nilai head ini disebabkan oleh elemen static mixer yang berbentuk heliks. Fluida yang pada awalnya bergerak mengikuti jalur pipa mengalami tahanan pada saat melewati elemen static mixer akibat bentuk elemen tersebut. Tahanan ini

29 menyebabkan terjadinya penurunan tekanan yang sangat besar pada aliran fluida yang pada awalnya mendapatkan tekanan dari pompa (head pompa). Tabel 4 Kebutuhan Head pompa Head Nilai Satuan Head kerugian gesek dalam pipa (hfg) 1.77 m Head kerugian gesek housing static mixer 0.45 m Head kerugian jalur pipa (hfp) 1. Ujung masuk pipa 0.11 m 2. Belokan 1.29 m 3. Pembesaran penampang secara mendadak 0.14 m 4. Pengecilan penampang secara mendadak 1.09 m 5. Ujung keluar pipa 1.14 m Head kerugian pada katup (hfk) 0.12 m Head Static mixer (hfm) 19.19 m Head statis (hfs) 0.35 m Head Total 25.65 m Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai head total pada fluida (campuran minyak dan metanol-koh) yang mengalir sebesar 25.65 m. Dengan demikian, maka pompa yang digunakan harus memiliki head tekan lebih besar dari head total perhitungan. Sehingga pompa dapat bekerja dengan baik untuk menjalankan fungsinya sebagai pengalir fluida melewati jalur pipa dan static mixer. Daya yang dibutuhkan untuk mengalirkan fluida dan untuk memanaskan fluida dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kebutuhan daya berdasarkan perhitungan Daya Nilai Satuan Daya fluida (Pf) 119.72 W Daya pompa (P) 171.03 W Daya heater 856.26 W Tabel 5 menunjukkan bahwa daya minimum yang dibutuhkan untuk mengalirkan fluida sebesar 119.72 W dan daya minimum pompa sebesar 171.03 W. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan pompa dengan daya sebesar 200 W. Sedangkan pemanas reaktor yang dipakai sebesar 900 W.

30 Proses Produksi Biodiesel secara Katalitik dengan Static Mixing Reactor Proses produksi biodiesel secara katalitik merupakan proses produksi yang membutuhkan bantuan katalis untuk mempercepat terjadinya reaksi. Katalis yang digunakan dalam penelitian ini adalah katalis basa (KOH) dengan jumlah pemakaian yang dikurangi dari kondisi biasa (Tabel 1) menjadi sebesar 0.3%, 0.4% dan 0.5% (w/w). Dalam produksi biodiesel, terdapat beberapa variabel yang dapat mempengaruhi produk yang dihasilkan. Antara lain, temperatur, jumlah katalis serta mol rasio antara reaktan dan pereaksi. Selain itu, terdapat faktor lain yang juga sangat berperan dalam proses tersebut, yaitu faktor frekuensi tumbukan. Tumbukan dapat ditingkatkan dengan peningkatan temperatur. Namun, peningkatan temperatur akan menambah biaya produksi dan tumbukan yang terjadi kurang optimal untuk menghasilkan reaksi. Karena, minyak dan metanol merupakan larutan yang immiscible sehingga sangat sulit untuk bercampur. Oleh karena itu, jika kedua bahan ini dicampur dan didiamkan, maka akan terbentuk dua layer (layer minyak pada bagian bawah dan layer metanol di bagian atas). Sehingga, apabila temperatur terus ditingkatkan untuk menghasilkan tumbukan, maka metanol akan menguap (metanol merupakan fluida yang mudah menguap meskipun di temperatur ruang, titik uap metanol berkisar 64.5 o C) dan reaksi akan sangat sulit terjadi akibat perbedaan fase dari kedua bahan tersebut. 1 Pengaruh Static Mixing Reactor Proses terjadinya tumbukan dapat dibantu melalui pengadukan. Alat yang biasa digunakan adalah blade agitator. Proses pencampuran dengan blade agitator terjadi karena putaran yang diciptakan oleh motor yang disalurkan menuju blade agitator oleh batang pengaduk. Sistem pengadukan dengan alat ini memiliki kelemahan yaitu, proses pencampuran sebagian besar terjadi di sekitar pengaduk (blade) sehingga fluida yang berada jauh dari pengaduk kurang mengalami pencampuran atau cenderung tidak tercampur (Livenspiel 1972). Biasanya, untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan dengan membuat putaran yang sangat tinggi (rigorous stirring). Proses pengadukan dengan putaran tinggi ini akan memudahkan terjadinya kerusakan pada pengaduk. Karena, pengaduk harus memberikan gaya yang besar terhadap fluida yang disalurkan oleh blade yang terdapat pada batang pengaduk.

31 Akibat tahanan yang diberikan oleh fluida yang diaduk (terlebih lagi fluida yang diaduk memiliki viskositas yang tinggi), maka blade yang digunakan akan mudah mengalami abrasi dan batang pengaduk akan mudah mengalami aus akibat tahanan gesek pada saat batang pengaduk diputar. Permasalahan tersebut dapat dikurangi oleh sistem pegadukan statis, karena pada pengadukan statis proses pencampuran terjadi karena aliran fluida yang melewati elemen pengaduk. Pengaduk melakukan fungsi pengadukan tanpa menggerakkan elemen pengaduk dan proses pengadukan yang terjadi akan menghasilkan produk yang lebih homogen, karena susunan elemen static mixer membuat aliran mengalami pembelahan, pencampuran dan pembalikan selama melintasi elemen-elemen tersebut. Sistem pengadukan statis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan oleh elemen-elemen yang berbentuk heliks yang disusun sehingga dapat menciptakan fungsi pembelahan, pencampuran dan pembalikan fluida. Fluida yang mengalir melewati elemen ini akan terbagi menjadi beberapa lapisan aliran yaitu sebesar 2 n aliran (n adalah jumlah elemen). Dalam penelitian ini digunakan 6 buah elemen sehingga ketika fluida keluar dari reaktor, maka seolah-olah fluida telah mengalami pembelahan aliran sebanyak 32 kali. Apabila aliran dilewatkan melalui elemen static mixer berulang kali, maka fluida akan mengalami pencampuran yang lebih homogen dan seolah-olah telah mengalami pencampuran dengan sistem batch konvensional dalam tangki. Gambar 14 Pola pencampuran dalam static mixer (Kenics 1998) 2 Pengaruh Jalur Pipa dan Pompa Bentuk sistem secara keseluruhan juga ikut berpengaruh terhadap proses reaksi transesterifikasi dalam penelitian ini. Dimana, jalur pipa maupun pompa

32 sentrifugal yang digunakan dalam penelitian juga memungkinkan mempengaruhi laju reaksi. Pompa sentrifugal terdiri dari beberapa impeler yang berfungsi untuk mengangkat fluida dari tempat yang lebih rendah ke tempat yang lebih tinggi. Daya dari luar diberikan kepada poros pompa untuk memutarkan impeler. Sehingga, fluida yang ada di dalam impeler ikut berputar karena adanya dorongan dari sudu-sudu impeler dan mengalir dari tengah impeler ke luar melalui saluran di antara sudu-sudu (Sularso dan Tahara 2000). Karena putaran tersebut, campuran fluida (minyak dan metanol-koh) dapat mengalami pencampuran di dalam pompa (Alamsyah 2010). Pada saat fluida mengalir masuk ke dalam tangki sebelum akhirnya dihisap oleh pompa, juga terjadi reaksi dan pencampuran saat campuran fluida jatuh ke dasar tangki dan membentur dinding tangki maupun pipa hisap pompa yang berada di tengah-tengah tangki. 3 Produksi Biodiesel Berikut adalah langkah-langkah dalam proses produksi biodiesel secara katalitik: KOH dilarutkan ke dalam metanol terlebih dahulu sebelum dicampur dengan minyak di dalam tangki pengumpul. Pemanas dan pompa dijalankan sehingga variabel temperatur dan fungsi pengadukan dapat tercapai. Pengambilan sampel dilakukan tiap 10 menit waktu pemutaran bahan. Sampel yang diambil masih mengandung KOH, sisa metanol, dan gliserol. Oleh karena itu, biodiesel kotor (crude biodiesel) harus dipisahkan terlebih dahulu dari gliserol dengan cara diendapkan (didiamkan), kemudian biodiesel crude dicuci dengan menggunakan akuades untuk memisahkan KOH dari biodiesel crude. Setelah dicuci, biodiesel dikeringkan sehingga metanol yang masih tersisa bisa teruapkan.

33 (a) (b) (c) (d) Gambar 15 Sampel (a) minyak (RBDPO), (b) biodiesel crude (layer atas) dan gliserol (layer bawah), (c) biodiesel crude, dan (d) biodiesel Untuk melihat bagaimana pengaruh static mixer terhadap produk yang dihasilkan dapat dilihat dari nilai konversi reaksi, produksi metil ester dan yield biodiesel yang dihasilkan selama reaksi berlangsung. Konversi Reaksi Nilai konversi reaksi dalam proses produksi biodiesel menyatakan banyaknya jumlah trigliserida yang bereaksi membentuk biodiesel (% mol/mol) (cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 8). Jumlah katalis dapat mempengaruhi nilai konversi reaksi seperti yang terlihat pada Gambar 16. 120 Konversi (%mol/mol) 100 80 60 40 20 0 0 10 20 30 Waktu (menit) KOH= 0.3% KOH= 0.4% KOH = 0.5% Gambar 16 Konversi reaksi pada temperatur 60 o C dengan KOH 0.3 %, 0.4 % dan 0.5 % (w/w).

34 Penggunaan KOH 0.3% sebagai katalis menyebabkan konversi reaksi lebih rendah sejak awal proses jika dibandingkan dengan KOH 0.4% dan 0.5%. Pada umumnya, penambahan katalis akan memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan konversi reaksi. Namun, konversi reaksi pada penggunaan KOH 0.4% tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan penggunaan KOH 0.5%. Hal ini membuktikan bahwa meskipun dilakukan penambahan katalis (dari 0.4% menjadi 0.5%) untuk perlakuan temperatur 60 o C dalam penelitian ini, maka pengaruh yang diberikan tidak terlalu besar lagi. 100 Konversi reaksi (%mol/mol) 80 60 40 20 0 0 10 20 30 T = 30 C T = 40 C T = 60 C Waktu (menit) Gambar 17 Konversi reaksi pada KOH 0.5 % (w/w) dan temperatur 30, 40, 60 o C Gambar 17 menunjukkan konversi reaksi tiap 10 menit waktu pemutaran bahan pada temperatur yang berbeda yaitu 30, 40 dan 60 o C dengan perlakuan jumlah KOH yang sama untuk ketiga perlakuan temperatur yaitu sebesar 0.5% (w/w). Nilai konversi reaksi meningkat dengan meningkatnya temperatur reaksi. Hal ini sesuai dengan teori distribusi Maxwell-Boltzmann, yaitu partikel-partikel hanya dapat bereaksi ketika mereka bertumbukan. Jika suatu benda dipanaskan, maka partikel-partikelnya akan bergerak lebih cepat sehingga frekuensi tumbukan akan semakin besar. Hal ini akan mempercepat laju dari reaksi (Clark 2004). Nilai konversi reaksi juga meningkat dengan bertambahnya waktu pemutaran bahan (Gambar 17). Dengan menambah waktu pemutaran bahan berarti campuran minyak dan larutan metanol-koh mengalami peningkatan intensitas pengadukan statis yang terjadi di dalam reaktor. Hal ini memberikan dampak positif terhadap reaksi yaitu dapat meningkatkan frekuensi tumbukan.

35 Menurut Reyes et al. (2010), reaksi yang melibatkan campuran fluida yang tidak terlarut membutuhkan intensitas pengadukan yang besar agar terjadi reaksi. Dengan kata lain, jumlah reaktan yang terkonversi menjadi produk akan semakin bertambah hingga mencapai kinerja maksimumnya. Nilai konversi reaksi tertinggi terjadi pada temperatur 60 o C dengan waktu pemutaran bahan selama 30 menit, yaitu sebesar 95.82% (mol/mol). 100 10 menit Kadar Produk (%) 95 90 85 80 20 menit 30 menit 75 Gambar 18 Hubungan antara temperatur dan produk yang dihasilkan tiap waktu pemutaran bahan Peran static mixer dalam meningkatkan persentase produk terlihat melalui proses pengadukan dan pencampuran dalam reaktor. Persentase produk meningkat dengan meningkatnya waktu pemutaran bahan. Dengan kata lain, jika sirkulasi bahan melewati static mixer ditingkatkan, maka pencampuran dan pengadukan akan menjadi lebih baik. 30 40 50 60 Temperatur ( o C) Produksi Metil Ester dan Yield Biodiesel Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengurangi pemakaian katalis. Sehingga dengan sedikit jumlah katalis diharapkan akan mampu menghasilkan metil ester yang masuk ke dalam standard SNI (min. 96.5 %w/w). Keberadaan static mixer di dalam reaktor, diharapkan dapat membantu tercapainya tujuan di atas. Dari hasil pengujian diperoleh nilai persentase metil ester tertinggi sebesar 95.82% (w/w) yang terjadi pada perlakuan KOH sebanyak 0.5 % (w/w) dan temperatur 60 o C dengan waktu pemutaran bahan selama 30 menit.

36 Nilai metil ester yang dihasilkan memang berada sedikit di bawah nilai standard SNI. Namun, nilai tersebut masih bisa dinaikkan dengan cara meningkatkan intensitas tumbukan yang terjadi, yaitu dengan menambah waktu pemutaran bahan ataupun dengan memperpanjang reaktor yang dilengkapi dengan static mixer. Dengan demikian, kinerja sistem dapat dimaksimalkan dan diharapkan menghasilkan % metil ester yang masuk standard SNI. Karena, grafik konversi reaksi (Gambar 16) terlihat masih mengalami peningkatan walaupun sudah mulai melambat. Gambar 19 menunjukkan pengaruh konsentrasi katalis terhadap yield yang dihasilkan. Yield merupakan persentase massa yang menunjukkan banyaknya metil ester yang dihasilkan per massa minyak awal (cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 8). Dari Gambar 19 terlihat bahwa dengan temperatur yang sama dan pemakaian jumlah katalis yang berbeda, mengahasilkan yield yang berbeda pula yaitu nilai yield semakin meningkat karena adanya peningkatan jumlah katalis. Pengaruh katalis terlihat dari yield yang dihasilkan dalam waktu 10 menit dengan KOH 0.3 % (88.76%), lebih kecil dari yield yang dihasilkan dengan KOH 0.4 % (94.23%). Katalis akan menyediakan rute agar reaksi berlangsung lebih cepat. Sehingga, dengan menambah jumlah katalis dapat membantu mempercepat terjadinya reaksi. 100 Biodiesel Yield % (w/w) Gambar 19 95 90 85 80 75 KOH = 0.3% KOH = 0.4% KOH = 0.5% 10 20 30 Waktu (menit) Hubungan antara yield biodiesel dan waktu pemutaran bahan berdasarkan % KOH

37 Tabel 6 Data hasil penelitian % KOH (w/w) Suhu ( o C) Waktu (menit) ME (%) Konversi (%mol/mol) Yield (%w/w) 0.3 60 10 88.45 88.45 88.76 0.3 60 20 89.66 89.66 89.97 0.3 60 30 92.57 92.57 92.89 0.4 60 10 93.90 93.90 94.23 0.4 60 20 95.27 95.27 95.61 0.4 60 30 95.48 95.48 95.82 0.5 60 10 94.77 94.77 95.10 0.5 60 20 95.54 95.54 95.87 0.5 60 30 95.82 95.82 96.15 0.5 30 10 79.88 79.88 80.16 0.5 30 20 81.68 81.68 81.96 0.5 30 30 84.54 84.54 84.84 0.5 40 10 87.37 87.37 87.67 0.5 40 20 90.17 90.17 90.49 0.5 40 30 92.50 92.50 92.82 Untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengaruh pemakaian static mixer pada reaktor, maka perlu dianalisis mengenai kinetika reaksi transesterifikasi selama reaksi berlangsung. Kinetika Reaksi Transesterifikasi Laju Reaksi Laju reaksi kimia merupakan perubahan konsentrasi reaktan terhadap waktu. Laju reaksi transesterifikasi dalam penelitian ini menunjukkan perubahan nilai konsentrasi metil ester tiap menit pengambilan sampel (Gambar 20). Dari gambar diketahui bahwa pembentukan metil ester pada 10 menit pertama berlangsung sangat cepat.

38 100 Kadar metil ester (%mol/mol) 80 60 40 20 0 0 10 20 30 T = 30 C T = 40 C T = 60 C Waktu (menit) Gambar 20 Kadar metil ester tiap perlakuan suhu dengan KOH 0.5% selama 30 menit pada alat static mixing reactor Berdasarkan hasil penelitian Alamsyah (2010) pada proses produksi biodiesel dengan menggunakan blade agitator (Gambar 21), pembentukan metil ester pada 10 menit pertama berlangsung lambat jika dibandingkan dengan menggunakan static mixing reactor pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa esfektifitas proses pengadukan dengan menggunakan static mixing reactor dalam menciptakan kondisi yang sesuai agar reaksi transesterifikasi dapat berlangsung dengan cepat, lebih baik jika dibandingkan dengan blade agitator. 100 Kadar Metil Ester (% w/w) 80 60 40 20 T 50 C T 55 C T 60 C T 65 C T 70 C 0 0 5 10 15 20 25 30 Waktu (menit) Gambar 21 Kadar metil ester (% w/w) tiap perlakuan suhu dengan KOH 1% selama 30 menit pada alat blade agitator (Alamsyah 2010)

39 Orde Reaksi dan Konstanta Laju Reaksi Besarnya laju reaksi dipengaruhi oleh konsentrasi reaktan itu sendiri dan sebuah tetapan yang sering disebut dengan konstanta laju reaksi. Nilai konstanta laju reaksi dihitung dengan menggunakan data konsentrasi bahan yang dihasilkan melalui eksperimen dan orde reaksi yang berlaku selama reaksi transesterifikasi. Data konsentrasi bahan yang diperoleh dari penelitian (tiap 10 menit pengambilan sampel) adalah data metil ester (ME). Sehingga, data konsentrasi ume (unmethyl esterified) dapat dihitung dan digunakan dalam perhitungan orde reaksi. Penelitian mengenai transesterifikasi minyak kelapa sawit pada sistem batch, telah dilakukan sebelumnya oleh Darnoko dan Cheryan (2000) yang menggunakan katalis KOH 1% (w/w) dengan menggunakan reaktor yang dilengkapi dengan magnetic stirrer. Penentuan nilai konstanta laju reaksi dilakukan dengan menggunakan asumsi reaksi berlangsung dengan model pseudoorde kedua untuk kondisi awal, dan dilanjutkan dengan orde pertama atau orde nol kinetika reaksi. Hal ini dilakukan karena distribusi pada menit ke 4 waktu reaksi, konversi TG menjadi ME telah mencapai nilai 73% pada temperatur 50 o C dan 82% pada temperatur 65 o C. Namun, pada menit selanjutnya kenaikan nilainya melambat. Hal ini juga terlihat pada Gambar 21, ketiga perlakuan KOH menunjukkan model yang sama dalam pembentukan metil ester. Dalam hal ini, laju reaksi terlihat sangat cepat sebelum 10 menit pertama, kemudian melambat setelah 10 menit. Meskipun konversi reaksi betambah setelah 10 menit, namun kecepatan reaksinya sudah berkurang. Hal ini dijadikan sebagai dasar untuk membuat asumsi bahwa kinetika reaksi mengikuti model reaksi orde lebih besar dari satu.

40 Metil ester (% w/w) 120 100 80 60 40 20 KOH= 0.3% KOH= 0.4% KOH = 0.5% 0 0 10 20 30 Waktu (menit) Gambar 22 Perubahan kadar metil ester tiap 10 menit pemutaran bahan pada temperatur 60 o C Dari hasil pengujian pada masing-masing model orde reaksi, diperoleh bahwa model yang paling sesuai untuk menggambarkan reaksi transesterifikasi secara keseluruhan (dari awal reaksi hingga 30 menit) dalam penelitian ini adalah model reaksi pseudo-orde ketiga. Dengan persamaan dasar sebagai berikut:... (32) Jika persamaan (32) diintegrasikan antara limit konsentrasi [ume] o pada t = 0 dan [ume] pada waktu t, maka diperoleh hasil integrasi seperti pada persamaan (33)... (33) umeo menyatakan kondisi unmethyl esterified (%mol/mol) pada waktu awal (t = 0), ume menyatakan kondisi unmethyl esterified (% mol/mol) pada waktu t, k adalah konstanta laju reaksi (1/menit) dan t adalah waktu (menit). Dengan demikian, konstanta laju reaksi merupakan gradien yang terbentuk dari garis linear hubungan antara dan waktu (t). Sehingga diperoleh grafik seperti Gambar 23:

41 1/2(1/uME 2-1/uMEo 2 ) 0.01 0.008 0.006 0.004 0.002 0 y = 2.85E-04x - 2.02E-05 R² = 9.89E-01 0 5 10 15 20 25 30 Waktu (menit) Gambar 23 Model reaksi transesterifikasi pseudo-orde ketiga pada perlakuan temperatur 40 o C Tabel 7 menunjukkan nilai konstanta laju reaksi (untuk semua perlakuan dalam penelitian ini) yang diperoleh berdasarkan persamaan linear yang terbentuk dari grafik. Tabel 7 Konstanta laju reaksi Suhu ( o C) % KOH (w/w) k R 2 ln k 30 0.5 0.0000638 0.92-9.660 40 0.5 0.000285 0.99-8.163 0.3 0.000279 0.95-8.184 60 0.4 0.000823 0.91-7.103 0.5 0.000924 0.88-6.987 Tabel 7 menunjukkan bahwa penambahan katalis akan mempercepat laju reaksi yang ditandai dengan meningkatnya nilai konstanta laju reaksi, sama halnya dengan penambahan temperatur. Dengan menambah temperatur reaksi, maka molekul-molekul reaktan akan menjadi lebih aktif sehingga memudahkan terjadinya reaksi. Proses yang melibatkan penambahan temperatur terlihat lebih cepat dibandingkan hanya melakukan penambahan katalis. Hal ini terlihat pada nilai konstanta laju reaksi pada perlakuan KOH 0.5% pada temperatur 30 o C lebih kecil jika dibandingkan dengan perlakuan KOH 0.3% pada temperatur 60 o C. Sehingga, meskipun energi aktivasi dapat diturunkan malalui penambahan katalis, namun jika molekul-molekul reaktan tidak memiliki energi kinetik yang sama atau lebih besar dari nilai energi aktivasi, maka reaksi tidak akan terjadi. Energi kinetik dapat ditingkatkan melalui pengadukan dan penambahan temperatur.

42 Energi Aktivasi dan Faktor Frekuensi Tumbukan Reaksi akan terjadi jika semua molekul-molekul yang bertumbukan memiliki energi yang cukup untuk bereaksi. Tumbukan yang mampu menghasilkan reaksi adalah tumbukan yang efektif (terkait dengan orientasi molekul atau faktor sterik). Jika tumbukan yang terjadi tepat atau memiliki polaritas molekul reaktan yang sama, maka reaksi akan terjadi. Namun, jika molekul yang bertumbukan memiliki polaritas molekul yang berbeda (salah satu molekul dalam keadaan non-polar), maka meskipun tumbukan terjadi namun reaksi tidak akan terjadi. Sifat minyak yang pada awalnya non-polar dapat diubah secara kimia, yaitu dengan cara penambahan katalis. Dimana, katalis KOH yang dilarutkan dalam metanol akan melepaskan ion OH - pada metanol sehingga membentuk larutan metoksida, kemudian larutan metoksida ini akan mengionisasi ikatan ester pada minyak sehingga terlepas dari gliserol dan membentuk asam lemak metil ester. Sedangkan ion K + bereaksi dengan gliserol dan kemudian akan terpisah membentuk gliserol dan KOH. Selain faktor sterik dan tumbukan, syarat lain agar reaksi dapat terjadi adalah energi kinetik total molekul harus sama atau melampaui energi aktivasi yang dibutuhkan agar reaksi dapat terjadi. Atau dengan kata lain, molekulmolekul yang bertumbukan harus memiliki energi yang cukup untuk memutuskan ikatan-ikatan kemudian bereaksi. Peningkatan laju reaksi dapat dilakukan dengan penambahan temperatur. Dengan menambah temperatur akan meningkatkan energi rata-rata molekul sehingga jumlah molekul yang mencapai energi aktivasi bertambah dan meningkatkan laju reaksi. Dari nilai konstanta laju reaksi pada Tabel 7, maka nilai energi aktivasi pembentukan biodiesel dan faktor frekuensi tumbukan yang terjadi selama reaksi berlangsung dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Arrhenius (34): ln k = lna...(34) A merupakan faktor frekuensi tumbukan, Ea adalah energi aktivasi, T adalah temperatur perlakuan dan R adalah nilai konstanta gas. Nilai ln k dari Tabel 7 diplotkan ke dalam grafik terhadap temperatur (1/T), sehingga diperoleh grafik

43 seperti Gambar 24. Persamaan linear yang terbentuk dari grafik digunakan untuk menghitung nilai A dan Ea. 0 2.9 3 3.1 3.2 3.3 3.4-2 ln k -4-6 -8-10 -12 1/T x 10 3 (1/K) ln k = -8.64(1/T) + 19,09 R² = 0.95 Gambar 24 Penentuan nilai energi aktivasi dengan model reaksi pseudo-orde ketiga Dari grafik diperoleh persamaan Arrhenius sebagai berikut: ln k = -8.64 (1/T) + 19.09... (35) Dengan menggunakan persamaan (35), maka nilai frekuensi tumbukan dapat dihitung, yaitu sebanyak 1.95.10 8 /menit. Nilai faktor frekuensi tumbukan menunjukkan tingginya frekuensi terjadinya tumbukan antar partikel-partikel fluida selama reaksi transesterifikasi berlangsung (mulai awal hingga akhir pemutaran bahan), dengan energi aktivasi sebesar 71.83 kj/mol atau setara dengan 17.17 kkal/mol. Berikut (Tabel 8) adalah beberapa hasil penelitian yang menghitung energi aktivasi dalam proses produksi biodiesel secara katalitik dan non-katalitik.

44 Tabel 8 Perbandingan energi aktivasi pada beberapa penelitian lain Ea (kj mol -1 ) A (menit -1 ) Tahapan reaksi Model orde reaksi Metode 69 6.94 x 10 3 (supercritical Non-katalitik MeOH) 31 4.2 60.77 60.29 27.02 1.33 16.71 10.49 2.29 1.18 x 10 8 2.03 x 10 8 2.78 x 10 3 6.48 8.89 TG DG DG MG MG GL Awal Akhir Pseudo-orde pertama Pseudo-orde kedua dan orde pertama atau nol Pseudo-orde pertama Pseudo-orde pertama 71.83 1.95 x 10 8 Pseudo-orde ketiga Non-katalitik (superheated MeOH) Katalitik Katalitik (static mixer) Katalitik (blade agitator) Katalitik (static mixer) Sumber Kusdiana dan Saka (2001) Joelianingsih (2008) Darnoko dan Cheryan (2000) Alamsyah (2010) Alamsyah (2010) Penelitian ini Energi aktivasi dalam proses produksi dengan static mixing reactor dalam penelitian ini cukup besar jika dibandingkan dengan beberapa penelitian lain. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan model orde reaksi yang digunakan dalam perhitungan konstanta laju reaksi. Dalam penelitian ini, konstanta laju reaksi dihitung dengan menggunakan model pseudo-orde ketiga mulai dari awal hingga akhir reaksi, karena model inilah yang paling sesuai dengan data hasil penelitian. Meskipun nilai energi aktivasi tinggi, namun reaksi tetap dapat terjadi karena faktor frekuensi tumbukan yang besar, sehingga tumbukan yang berhasil (mengahasilkan reaksi) cukup besar. Keberadaan static mixer dalam membantu molekul-molekul reaktan untuk bereaksi terlihat dari faktor ini. Dimana, dengan meningkatkan intensitas tumbukan dan disertai dengan temperatur yang sesuai, maka molekul-molekul reaktan akan mendapatkan energi kinetik total yang sama atau melebihi energi aktivasi. Dengan demikian, molekul-molekul reaktan yang memiliki energi yang cukup untuk bereaksi bertambah sehingga reaksi dapat berlangsung dengan cepat meskipun jumlah katalis yang digunakan sedikit. Nilai-nilai tersebut (Tabel 8) dapat dibandingkan jika dilakukan perhitungan dengan cara yang sama (menggunakan model orde reaksi yang sama). Apabila perhitungan energi aktivasi dalam penelitian ini menggunakan orde kedua pada tahap awal dan orde pertama pada tahap akhir, maka karena keterbatasan data, perubahan konsentrasi reaktan (untuk perhitungan dengan dua tahapan orde

45 reaksi) selama reaksi berlangsung diperoleh dari persamaan dengan model orde ketiga. Tabel 9 Energi aktivasi dengan menggunakan dua tahap perhitungan Ea (kj mol -1 ) 37.87 0.92 A (menit -1 ) Tahapan reaksi 1.14 x 10 4 3.8 x 10-2 Awal Akhir Model orde reaksi Pseudo-orde kedua dan orde pertama atau nol Metode Katalitik (static mixer) Sumber Penelitian ini Dari Tabel 8 dan Tabel 9 terlihat bahwa, pemakaian model orde reaksi yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pada nilai energi aktivasi dan faktor frekuensi tumbukan. Sehingga, penentuan secara tepat mengenai model orde reaksi yang dapat mewakili kondisi selama reaksi berlangsung sangat diperlukan agar diperoleh data yang lebih baik. Dari hasil perhitungan dengan menggunakan dua tahapan orde reaksi diperoleh bahwa energi aktivasi dapat diturunkan menjadi 37.87 kj mol -1 untuk tahap awal dan 0.92 kj mol -1 untuk tahap akhir. Dari nilai tersebut terlihat bahwa pada tahap awal molekul reaktan membutuhkan lebih banyak energi dan pengadukan agar reaksi dapat berlangsung sedangkan pada tahap akhir energi yang dibutuhkan sudah mulai menurun. Kedua tahap reaksi tersebut dianggap sebagai dua tahap reaksi yang benarbenar terpisah antara tahap awal dan akhir. Sehingga, untuk menggambarkan model yang paling sesuai untuk keseluruhan reaksi mulai awal hingga akhir reaksi pada penelitian ini adalah pseudo-orde ketiga. Berbeda dengan penelitian Alamsyah (2010) yang menggunakan KOH sebanyak 1% pada alat static mixing reactor. Energi aktivasi dapat diturunkan hingga mencapai nilai 1.33 kj mol -1 pada tahap awal dan 16.71 kj mol -1 pada tahap akhir. Sedangkan faktor frekuensi tumbukan yang terjadi sebesar 6.48 menit -1 pada tahap awal dan 8.89 menit -1 pada tahap akhir. Dari nilai tersebut terlihat bahwa katalis memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap reaksi, sedangkan tumbukan sangat kecil. Pada alat yang dilengkapi blade agitator pada pemakaian KOH 1% (Alamsyah 2010), nilai energi aktivasi sebesar 10.49 kj mol -1 dan frekuenesi tumbukan sebesar 2.29 menit -1. Kadaan ini juga memperlihatkan bahwa reaksi yang terjadi sangat dipengaruhi oleh katalis. Dengan demikian, meskipun

46 tumbukan yang terjadi sedikit, namun dengan kaberadaan katalis yang cukup banyak akan mampu menurunkan energi aktivasi, sehingga reaksi dapat berlangsung. Pada penelitian Kusdiana dan Saka (2001), reaksi dapat terjadi karena kondisi supercritical methanol vapor dapat meningkatkan energi kinetik molekulmolekul reaktan. Nilai energi aktivasi pada proses ini sebesar 69 kj mol -1 dengan faktor tumbukan sebesar 6.94 x 10 3 menit -1. Reaksi dapat terjadi karena kondisi temperatur dan tekanan yang sangat tinggi membuat ikatan ester (rantai asam lemak) pada minyak terlepas dari gliserol dan ikatan alkohol pada metanol juga terlepas kemudian bereaksi dengan ester membentuk asam lemak metil ester (biodiesel). Berbeda dengan penelitian Darnoko dan Cheryan (2000) yang membagi penentuan nilai energi aktivasi ke dalam tiga tahap yaitu, TG menjadi DG (60.77 kj mol -1 ), DG menjadi MG (60.29 kj mol -1 ), dan MG menjadi Gliserol (27.09 kj mol -1 ). Dari data tersebut terlihat bahwa energi aktivasi pada reaksi TG menjadi DG dan DG menjadi MG dapat dikatakan sama, namun perubahan MG menjadi GL terlihat lebih kecil. Hal ini dapat terjadi karena ketika TG menjadi DG maupun DG menjadi MG, rantai ester masih kuat sehingga energi yang dibutuhkan untuk melepaskan rantai tersebut harus besar. Namun pada saat MG menjadi Gl, rantai ester sudah lebih mudah dilepas karena rantai ester yang berikatan dengan reaktan sudah tinggal satu rantai. Simulasi Pendugaan Waktu Proses Transesterifikasi Sebelum 10 menit pertama, reaksi transesterifikasi berlangsung cepat. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis reaksi yang berlangsung pada waktu tersebut. Untuk mengetahui kinetika transesterifikasi yang berlangsung sebelum 10 menit pertama, maka diperlukan data perubahan konsentrasi reaktan pada waktu tersebut. Karena keterbatasan data, maka data tersebut disimulasikan dengan menggunakan data yang ada, dan dengan asumsi yang telah ditentukan sebelumnya yaitu reaksi yang terjadi mengikuti model reaksi pseudo orde ketiga, sehingga diperoleh grafik seperti Gambar 25.

47 Kadar Metil ester (w/w) 100 80 60 40 20 Simulasi Eksperimen 0 0 10 20 30 Waktu (menit) Gambar 25 Hasil simulasi model reaksi pseudo-orde ketiga pada perlakuan temperatur 60 o C dan KOH 0.5% w/w Gambar 25 menunjukkan bahwa reaksi berlangsung sangat cepat kemudian melambat setelah 10 menit. Hal ini membuktikan bahwa pengaruh katalis dan pengadukan sangat terlihat sebelum 10 menit waktu pemutaran bahan, kemudian melambat. Melambatnya laju reaksi ini dapat disebabkan oleh pengaruh katalis, temperatur ataupun static mixer yang digunakan telah mendekati kinerja maksimumnya. Untuk membuktikan bahwa hasil simulasi pada Gambar 25 dapat menggambarkan keadaan sebelum 10 menit pertama, maka pola grafik berdasarkan simulasi (untuk waktu 6 menit) dicocokkan dengan grafik yang terbentuk pada 6 menit waktu reaksi hasil penelitian Frascari et al. (2009). Dalam hal ini, Frascari et al. (2009) menggunakan alat yang dilengkapi dengan static mixer, dan reaktor yang dilengkapi dengan mechanical agitation (100 rpm) yang berfungsi untuk menyeragamkan temperatur di dalam reaktor. Katalis yang digunakan adalah KOH sebanyak 0.8% (w/w) dan temperatur reaksi sebesar 60 o C, dengan beberapa perlakuan kecepatan aliran bahan melewati static mixer. Agar mendapatkan perbandingan yang lebih baik untuk masing-masing perlakuan, maka Frascari et al. (2009) menggunakan nilai fraksi massa biodiesel yang telah dinormalisasi (ω norm ). Nilai tersebut dihitung dengan persamaan (36):... (36) Dimana, ω norm merupakan fraksi massa biodiesel yang telah dinormalisasi, ω adalah fraksi massa biodiesel pada waktu t dan ω akhir adalah fraksi massa biodiesel pada akhir pengambilan sampel (proses selesai). Dari persamaan (36) tersebut,

48 diperoleh nilai fraksi massa yang telah dinormalisasi, kemudian nilainya diplotkan ke dalam grafik berdasarkan waktu (selama 6 menit). Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 26). Gambar 26 Nilai fraksi massa biodiesel selama 6 menit waktu reaksi pada perlakuan temperatur 60 o C (Frascari et al. 2009) Dari Gambar 26 terlihat pola perubahan fraksi massa selama 6 menit waktu reaksi. Dengan menerapkan persamaan yang sama dalam menghitung nilai fraksi massa biodiesel yang dinormalisasikan, maka diperoleh grafik seperti Gambar 27. norm. fraksi massa biodiesel 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 1 2 3 4 5 6 Waktu (menit) Gambar 27 Hasil simulasi fraksi massa biodiesel selama 6 menit waktu reaksi pada perlakuan temperatur 60 o C dan KOH 0.5% w//w Nilai fraksi massa pada Gambar 27 merupakan nilai fraksi massa berdasarkan simulasi yang telah dinormalisasikan. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pola grafik yang terbentuk dari hasil simulasi transesterifikasi (berdasarkan fraksi massa) pada Gambar 27 mendekati pola grafik transesterifikasi yang terjadi

49 selama 6 menit waktu reaksi hasil penelitian Frascari et al. (2009). Sehingga, Gambar 27 dianggap bisa mewakili data reaksi yang berlangsung selama 6 menit waktu pemutaran bahan dan model reaksi pseudo-orde ketiga dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sebelum 10 menit pertama. Dengan menggunakan asumsi bahwa model tersebut juga dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi setelah 30 menit waktu pemutaran bahan. Maka, waktu pemutaran bahan yang diperlukan agar metil ester yang dihasilkan memenuhi SNI dapat disimulasikan. Berikut adalah hasil simulasi pendugaan waktu pemutaran bahan (waktu proses) yang dibutuhkan untuk mendapatkan nilai metil ester yang sesuai dengan SNI (minimal 96.5% w/w). Kadar Metil ester (w/w) 100 80 60 40 20 0 Gambar 28 Hasil simulasi nilai metil ester selama 50 menit waktu reaksi pada perlakuan temperatur 60 o C dan KOH 0.5% w/w Dari hasil simulasi dengan mengunakan persamaan model reaksi pseudoorde ketiga untuk menduga waktu pemutaran bahan (Gambar 28), maka diperoleh waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai metil ester yang sesuai SNI pada perlakuan temperatur 60 o C dan KOH 0.5% yaitu 44 menit. Dengan demikian, untuk meningkatkan konversi reaksi, selain dengan cara menambah jumlah pemakaian katalis atau meningkatkan temperatur, juga dapat dilakukan dengan menambah waktu pemutaran bahan. Dengan kata lain, menambah intensitas bahan (campuran) melewati static mixer sehingga mengalami pengadukan yang lebih baik. Dan apabila seluruh perlakuan disimulasikan, maka akan diperoleh hasil seperti Tabel 10. 0 10 20 30 40 50 Waktu (menit) SNI (96.5 %)

50 Tabel 10 Simulasi waktu proses pencapaian nilai SNI Suhu ( o C) % KOH (w/w) t (menit) 30 0.5 639 40 0.5 143 0.3 146 60 0.4 50 0.5 44 Berdasarkan simulasi, pada perlakuan KOH 0.5%, waktu proses yang dibutuhkan untuk mencapai metil ester yang sesuai SNI pada temperatur 60 o C lebih cepat jika dibandingkan dengan temperatur 30 ataupun 40 o C. Hal ini membuktikan bahwa temperatur memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap reaksi, yaitu kenaikan temperatur akan meningkatkan kecepatan reaksi yang ditandai dengan waktu reaksi yang semakin cepat. Pada kondisi temparatur yang sama, juga terlihat bahwa dengan penambahan jumlah katalis (KOH) maka waktu reaksi juga semakin capat. Dimana, pada temperatur 60 o C, waktu pencapaian nilai metil ester sesuai SNI pada perlakuan KOH 0.3% lebih lama (146 menit) jika dibandingkan dengan perlakuan KOH 0.4 dan 0.5% (50 menit dan 44 menit). Pengaruh temperatur pada reaksi juga terlihat dari Tabel 10. Dimana, pemakaian katalis dengan jumlah yang lebih besar (KOH 0.5%) namun temperatur yang digunakan dalam proses tersebut lebih rendah (30 o C atau tanpa pemanasan dengan heater), menghasilkan waktu reaksi yang jauh lebih lama (639 menit) jika dibandingkan dengan pemakaian KOH yang lebih rendah (KOH 0.3% dan 0.4%) akan tetapi temperatur yang digunakan lebih tinggi (60 o C). Apabila dibandingkan antara perlakuan KOH 0.4% dan 0.5% pada temperatur yang sama (60 o C), maka waktu yang dibutuhkan hampir sama. Dengan demikian, penambahan katalis dari 0.4% menjadi 0.5% dalam penelitian ini, tidak terlalu berpengaruh terhadap waktu pencapaian nilai SNI. Sehingga, jika dilihat dari segi konsumsi katalis yang tentunya akan menambah biaya produksi baik dalam hal pencucian maupun pengurangan dampak lingkungan akibat pemakaian katalis, maka pemakaian KOH dalam jumlah yang lebih rendah akan sangat bermanfaat.