BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Cairns Group adalah sebuah koalisi campuran antara negara maju dan negara berkembang yang merasa kepentingannya sebagai pengekspor komoditas pertanian selain dua kubu besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa). Cairns Group berusaha untuk mendorong perluasan akses pasar bagi komoditas pertanian negara-negara anggotanya. Indonesia sudah tergabung dalam Cairns Group sejak berdiri pada tahun 1986. Indonesia yang merupakan pengekspor komoditas pertanian memiliki kepentingan yang sama dalam Cairns Group, bahkan Indonesia memiliki posisi yang cukup strategis dalam kepemilikan pangsa pasar dunia diantara negara-negara anggota Cairns Group lainnya. Isu pertanian adalah isu yang sangat krusial dan menjadi isu yang menghambat jalannya perundingan isu lain dalam WTO, hal ini terjadi karena kepentingan negara-negara didalamnya yang menginginkan proteksi pasar domestik akan produk asing tetapi ingin pihak lain untuk melakukan pembukaan pasar. Pemberlakuan AoA dianggap sebagai alat bagi negara maju untuk memberikan subsidi terhadap para petaninya, seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara OECD. Pemberian subsidi domestik dalam jumlah besar tersebut mengakibatkan harga komoditas pertanian dunia turun dan berdampak pada petani-petani kecil dan menengah di negara 95
96 berkembang. Petani-petani di negara berkembang dan terbelakang tidak dapat bersaing dengan petani-petani kaya dari negara maju. Pemberlakukan AoA dan liberalisasi pertanian pada tahun 1995 dianggap terlalu cepat bagi pertanian Indonesia yang belum siap menerima gempuran komoditas pertanian asing dalam pasar domestik. AoA sendiri mengikat peraturan Indonesia sehingga Indonesia merasa tidak leluasa untuk memberikan bantuan subsidi kepada para petaninya. Pemberlakuan AoA, membatasi kemungkinankemungkinan bantuan yang dapat diberikan pemerintah Indonesia kepada para petani kecil. Seperti yang dialami negara-negara berkembang lainnya, pembukaan pasar dan pengurangan subsidi menyebabkan penurunan pembangunan pedesaan, mengancam ketahanan pangan, tidak berkurangnya jumlah kemiskinan, penurunan tingkat harga komoditas pertanian (terutama komoditas pangan), peralihan status negara pengekspor menjadi negara pengimpor, menurunnya intervensi negara dalam perdagangan komoditas pangan dan tidak siapnya negara untuk menghadapi persaingan internasional. Sektor pertanian Indonesia terpuruk, dimana Indonesia saat ini menjadi negara net pengimpor beras dan berbagai komoditas pangan lainnya. Kejatuhan sektor pertanian Indonesia ditimpakan pada AoA dan WTO yang dianggap tidak mampu mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan di negara berkembang melalui liberalisasi pertanian. Keanggotaan Indonesia dalam Cairns Group dirasa berbagai pihak tidak lagi sesuai dengan kepentingan sektor pertanian Indonesia, karena Indonesia saat ini sudah menjadi negara net pengimpor komoditas pangan. Dalam mendorong dan mendukung sektor pertanian Indonesia, pemerintah diharapkan untuk lebih
97 konsentrasi pada keanggotaan G-33 karena G-33 memperjuangkan konsep SP dan SSM yang cocok dengan kepentingan Indonesia. Tapi ada pula pendapat bahwa Indonesia tidak perlu keluar dari Cairns Group, karena Indonesia dapat memanfaatkan kedua koalisi dengan maksimal melalui diplomasi yang baik. Dalam melindungi petani komoditas pangan dan pertanian yang terkena dampak impor, perjuangan kebijakan dapat diperkuat melalui G-33, apalagi Indonesia berstatus sebagai koordinator G-33. Sedangkan perlindungan dan promosi bagi petani komoditas ekspor dapat dilakukan melalui keanggotaan dalam Cairns Group dengan Cairns Group menyetujui perhatian kepada perdagangan yang adil dan S&D bagi negara berkembang, sehingga kepentingan petani kecil dan petani komoditas pangan juga dapat terbantu. 5.2. Saran AoA memang mengakomodir sebagian kepentingan negara berkembang yang merupakan eksporter komoditas pertanian, tetapi saat ini status Indonesia lebih condong kepada negara importer daripada sebagai negara eksporter. Indonesia melakukan ekspor komoditas perkebunan tetapi melakukan impor besar dalam produk pangan. Keadaan ini menyebabkan Indonesia kurang maksimal dalam mengembangkan dan mempertahankan sektor pertanian domestik dari gempuran komoditas impor terkait dengan komoditas pangan. Selain perberlakuan AoA, Indonesia juga ditekan oleh berbagai organisasi internasional lain, seperti IMF dan Bank Dunia sehingga Indonesia menjalankan pasar bebas dengan proteksi minimal bagi komoditas pertanian. Keanggotaan
98 Indonesia dalam berbagai koalisi perundingan di WTO menyiratkan bahwa Indonesia masih lemah dalam melakukan perundingan tunggal dengan negaranegara maju, seperti yang dialami oleh banyak negara berkembang. Liberalisasi pertanian yang dilakukan Indonesia sangat kontradiktif dengan keadaan sektor pertanian di Indonesia yang tidak dapat bersaing dengan baik. Pertanian Indonesia masih sangat rentan terhadap banjir impor yang terjadi dalam pasar Indonesia. Dengan segala keterbatasannya, Indonesia masih sulit untuk memberikan subsidi domestik kepada para petaninya secara memuaskan. Selain memberikan subsidi domestik, pemerintah perlu mendorong sektor pertanian Indonesia dengan cara lain, seperti perbaikan infrastruktur dan peningkatan teknologi pertanian. Kedua hal tersebut akan sangat membantu pertanian Indonesia untuk dapat bangun kembali dari keadaan yang terpuruk. Perbaikan infrastruktur akan mempermudah laju distribusi komoditas pertanian dari produsen kepada penjual dan konsumen. Peningkatan teknologi pertanian akan berdampak pada produktivitas sektor pertanian sehingga produk domestik dapat bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar domestik. Jika kedua hal tersebut dapat diperbaiki oleh pemerintah, para petani kecil dan menengah di Indonesia dapat berharap untuk mulai berdiri, berusaha untuk memperbaiki dan mengembangkan sektor pertanian untuk dapat bersaing secara kompetitif. Selain itu, pemerintah dapat berusaha menyeimbangkan kepentingan sektor pertanian Indonesia dengan kepentingan negara anggota lain baik dalam Cairns Group dan G-33. Pemerintah tidak perlu keluar dari Cairns Group seperti yang dikumandangkan segelintir pihak, tetapi sebisa mungkin memanfaatkan
99 Cairns Group secara maksimal dalam mendorong pertumbuhan sektor pertanian komoditas perkebunan Indonesia yang memang memerlukan akses pasar internasional yang lebih luas. Mengenai komoditas pangan pertanian, pemerintah dapat memperjuangkan kepentingan sebagai negara berkembang serta melindungi petani kecil perlakuan S&D dalam perundingan Cairns Group. Sedangkan dalam G-33, pemerintah dapat berusaha untuk terus mendorong konsep SP dan SSM didalam perundingan WTO sehingga kedepannya, Indonesia akan mendapatkan privilege (keistimewaan) sebagai sebuah negara berkembang dalam memasuki pasar komoditas pertanian negara maju bersama dengan negara-negara berkembang lainnya. Adapun konsep SP dan SSM harus jelas serta sebisa mungkin terdiri atas komoditas-komoditas pertanian yang strategis di Indonesia, misalnya beras, jagung, dan kacang kedelai. Upaya pengurangan impor ataupun penutupan akses pasar komoditas pertanian bukan menjadi satu-satunya jawaban untuk meningkatkan sektor pertanian Indonesia. Pengurangan impor berlebihan malahan akan menyakiti konsumen yang memiliki kebebasan dalam memilih dan membeli beragam produ yang tersedia. Peningkatan efektifitas dan produktivitas harus dikejar oleh pemerintah melalui berbagai program dan pembelajaran sosial untuk meningkatkan tingkat kompetitif sektor pertanian Indonesia.