JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

dokumen-dokumen yang mirip
Deskripsi dan Analisis

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Monitoring Realisasi APBD Triwulan I

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN TRIWULAN III

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PULAU JAWA DAN KALIMANTAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA GORONTALO (Studi Kasus Pada DPPKAD Kota Gorontalo) Jurusan Akuntansi Universitas Negeri Gorontalo ABSTRAK

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mendorong terciptanya. rangka bentuk tanggungjawab pemerintah kepada masyarakat.

PROFIL KEUANGAN DAERAH

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH

III BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

2012, No NO NAMA PENERIMA ALAMAT PENERIMA JUMLAH (Rp) Dst

2 menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Sistem Perbendahar

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah.

I. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada

BEBERAPA CATATAN ATAS APBD PROVINSI RIAU TAHUN 2012 FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN (FITRA RIAU) APBD 2012 Bagi-Bagi Untuk Siapa?

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Adanya otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat mandiri

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Kata Pengantar. Kupang, Februari 2014 KEPALA BAPPEDA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR,

Transkripsi:

ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang Abtraksi Dalam melakukan analisis pendaptan terdapat empat rasio yang dapat dilihat secara detail, yaitu rasio pajak ( tax ratio ),rasio pajak perkapita ( tax perkapita),ruang fiskal ( fiscal space) serta ketergantungan fiskal. Dua rasio pertama ( tax ratio dan tax perkapita ) menyoroti pajak daerah sebagai sumber utama PAD yang diperbandingkan dengan PDRB dan jumlah penduduk, sedangkan dua rasio yang terakhir menyoroti pengelolaan pendapatan daerah untuk memenuhi kebutuhan belanjanya, serta kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan daerah dengan tidak tergantung dari pihak eksternal. Ruang fiskal ( fiskal space ) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasi APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Oleh karena itu bagi pemerintah daerah yang memiliki ruang fiskal yang terbatas, diperlukan kejelian dan strategi yang tepat dalam mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah dan mempunyai daya ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomiannya. Rasio ketergantungan daerah dicerminkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan, serta rasio transfer terhadap total pendapatan. Dua rasio tersebut memiliki sifat berlawanan, yaitu semakin tinggi rasio PAD, semkin rendah ketergantungan daerah dan sebaliknya untuk rasio transfer, semakin tinggi rasio transfer semakin tinggi ketergantungan daerah. Terkait dengan belanja daerah analisis meliputi rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio belanja modal per total belanja, rasio belanja modal per jumlah penduduk, rasio bantuan sosial terhadap total belanja daerah. Mencermati perkembangan APBD 2009 2012 dan APBD Tahun Anggaran 2012 yang dikonsolidasikan, maka melalui analisis APBD dapat diketahui seberapa besar kemampuan suatu daerah dapat menggerakan roda perekonomian daerah dan tinggi rendahnya pelayanan publik yang menggambarkan peran pemerintah daerah sebagai aktor dan fasilitator pembangunan. Kata Kunci : Analisis, APBD PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Pemerintah memiliki peran sebagai aktor sekaligus sebagai fasilitator dalam menggerakan roda perekonomian. Peran sebagai aktor dilakukan pemerintah terutama menyangkut belanja-belanja yang mampu mendorong dan menggerakkan roda perekonomian baik ditingkat nasional maupun lokal, misal melalui pembangunan infrastruktur ataupun pembangunan sarana publik yang vital. Sementara itu peran sebagai fasilitator ditunjukkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi baik melalui kebijakan fiskal maupun non fiskal. Dalam konsteks 1

pembangunan di daerah kedua peran tersebut nampak dalam kebijakan fiskal daerah. Instrumen kebijakan fiskal yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam rangka melakukan pelayanan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi akan tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ). Belanja daerah merupakan keseluruhan pengeluran yang dilakukan pemerintah daerah untuk mendanai seluruh kegiatan/program yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah. Dalam pengganggaran bisa terjadi selisih antara pendapatan dan belanja daerah. Penyebabnya bisa beragam. Bila terjadi surplus atau SilPA, maka pemerintah daerah dapat mengoptimalisasi dana tersebut untuk kegiatan yang teah direncanakan, akan tetapi bila terjadi defisit, maka pemerintah daerah perlu mencari alternatif pembelanjaan yang lain, bisa berupa pinjaman daerah atau melakukan penghematan anggaran dengan menunda pelaksanaan kegiatan atau penyisiran kegiatan yang tidak perlu. Analisis APBD tahun 2012 ini memberikan gambaran atau tentang kondisi fiskal daerah diseluruh wilayah Indonesia berdasarkan data terutama APBD tahun anggaran 2012 dari seluruh pemerintah propinsi, kabupaten dan kota. Analisis ditelaah berdasarkan aspek pendapatan dan belanja daerah. PEMBAHASAN PENTINGNYA ANALIS APBD Analisis APBD akan memberikan gambaran pada publik apakah pemerintah daerah telah menjalankan secara optimal peran sebagai fasilitator dan aktor dalam rangka menggerakan roda perekonomian dan pelayanan kepada publik. Publik perlu mengetahui karena sebagian besar sumber pendanaan berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat sebagai perwujudan kontribusi rakyat, oleh karena itu selayak rakyat mendapatkan pelayanan publik yang memadai. GAMBARAN UMUM APBD TAHUN 2012 Komposisi APBD tahun 2012 secara nasional dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu, PAD, Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Gambar grafik 1 menunjukan besaran uang dan prosentase dari ketiga sumber pendapatan daerah. Terlihat bahwa dana perimbangan masih mendominasi pendapatan daerah yaitu sebesar 69 % atau sebesar Rp 380,601 trilyun, sedangkan PAD hanya sebesar 20,4 % atau sebesar Rp 112,720 trilyun dan lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar 10,6 % atau Rp 58,262 trilyun. 2

Gafik 1. Kompoisi Pendapatan Daerah Sumber : Data APBD 2012 ( Diolah ) Sedangkan komposisi belanja daerah seperti tampak pada grafik 2 Garfik 2. Komposisi Belanja Daerah Sumber : Data APBD 2012 ( diolah ) Belanja daerah secara nasional Tahun Anggaran 2012 mencapai Rp 581,887 trilyun. Belanja pegawai masih dominan yaitu sebesar 44,1 % atau sebesar Rp 261,153 trilyun, belanja modal mencapai Rp 137,438 trilyun atau 23,2 %. Belanja barang dan jasa mencapai Rp 71,071 trilyun atau 12,0% 3

Tabel 1. Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah ) Pembiayaan 40.998.593 Penerimaan Pembiayaan 52.001.860 Pengeluaran Pembiayaan 11.003.266 Pembiayaan daerah secara nasional mencapai Rp 40.998 trilyun dengan penerimaan pembiayaan ( SiLPA, Pinjaman dan lain-lain ) mencapai Rp 52.001 trilyun serta pengeluaran pembiayaan dianggarkan sebesar Rp 11.003 trilyun. 1.TREND APBD 2009 2012 Berdasarkan data APBD 2009 2012 yang telah dikonsolidasikan, maka kita dapat memperoleh gambaran sebagai berikut : Grafik 3. Trend APBD (dalam milyard rupiah ) Sumber :Data APBD Konsolidasi 2009 2012 ( diolah ) Dari grafik tersebut menggambarkan bahwa setiap tahun sejak 2009 2012 seluruh daerah di Indonesia mengganggarkan kenaikan pendapatan daerah yang secara rata-rata peningkatannya mencapai 14,7 % pertahun. Peningkatan tertinggi tahun 2012 sebesar 19,9 % dimana pendapatan daerah tahun 2011 sebesar Rp 459,9 trilyun meningkat menjadi Rp 4

551,6 trilyun pada tahun 2012. Secara nasional anggaran belanja daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2009 2012 sebesar 12,8 %. Belanja daerah yang dianggarkan tahun 2011 sebesar Rp 495,3 trilyun meningkat 19,5 % pada tahun 2012 atau sebesar Rp 591,9 trilyun. Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif. Tahun 2009 2012 cenderung mengalami penurunan, akan tetapi pada tahun 2012 defisit anggaran mencapai 13,9 %. Trend pembiayaan neto relatif sama polanya. Peningkatan persentase pembiayaan neto pada tahun 2012 sebesar 13,5% 2.TREND BELANJA DAERAH 2009 2012 Trend Belanja Daerah pada grafik 4 menggambarkan bahwa belanja pegawai cenderung meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan 13,1 % Demikian pula untuk Belanja Barang dan Jasa peningkatannya rata-rata 13 % Grafik 4. Trend Belanja Daerah 2009 2012 (dalam milyard rupiah ) Sumber :Data APBD Konsolidasi 2009 2012 ( diolah Fenomena yang menarik adalah trend belanja modal yang meningkat 7,7 % dari tahun 2009 hingga 2012. Bila dilihat secara nominal cenderung fluktuatif. Tahun 2010 Belanja modal 5

mengalami penurunan kemudian meningkat lagi tahun 2011 dan tahun 2012. Belanja lainlain juga cenderung fluktuatif tahun 2011 menglami penurunan kemudian tahun 2012 meningkat. Peningkatan belanja lain-lain ini secara rata-rata dari tahun 2009 hngga tahun 2012 sebesar 22,3 % ANALISIS PENDAPATAN DAERAH 1. Rasio Pajak Grafik 5 menggambarkan rasio pajak agregat seluruh propinsi, kabupaten dan kota pada 33 propinsi di Indonesia Grafik 5. Rasio pajak Agregat Propinsi,Kabupaten dan Kota Sumber :Data APBD Konsolidasi 2012 ( diolah) Dilihat dari penerimaan pajak daerah, maka Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta merupakan merupakan daerah yang memiliki penerimaan pajak daerah tertinggi. Namun demikian PDRB DKI Jakarta juga paling tinggi diantara 33 propinsi lainnya. Hal inilah yang menyebabkan rasio pajak Propinsi DKI Jakarta menjadi rendah. Rata-rata rasio pajak daerah secara nasional sebesar 1,39 %. Tingginya rasio pajak menggambarkan tinggi sumber penerimaan daerah dari pajak. Sedangkan rendahnya rasio pajak ini menggambarkan rendahnya potensi ekonomi di 6

daerah yang bersangkutan dalam penerimaan pajak daerah. Rasio pajak ini juga dapat menggambarkan sumber potensi pada sektor ekonomi pada suatu daerah. 2. Pajak Per Kapita Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak disuatu daerah dengan jumlah penduduknya. Pajak ini juga menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah. Grafik 6 menggambarkan rasio pajak perkapita di wilaah propinsi,kabupaten dan Kota. Grafik 6. Rasio Pajak Perkapita Sumber :Data APBD Konsolidasi 2012 ( diolah) Pada grafik 6 tersebut Propinsi DKI Jakarta memiliki rasio pajak perkapita sebesar Rp 1.276.186 yang berarti setiap penduduk DKI memiliki kontribusi sebesar Rp 1.276.186 dalam menghasilkan penerimaan daerah berupa pajak daerah. Propinsi dengan rasio pajak perkapita yang terendah diantara 33 propinsi adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar Rp 74.361. 3. Ruang Fiskal Ruang fiskla merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal, maka semakin besar flesibilitas 7

daerah untuk mengalokasi kegiatan dalam APBD nya dalam prioritas pembangunan daerah. Ruang fiskla diperoleh dengan cara mengurangi pendapatan daerah dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarket) serta belanja yang sifatnya mengikat seperti belanja pegawai dan belanja bunga. Efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran daerah juga mendukung terciptanya ruang fiskal. Demikian pula kebijakan kebijakan Pemerintah daerah yang kondusif akan mendorong pula terciptanya ruang fiskal, misalnya kebijakan one door service Grafik 7 menggambarkan ruang fiskal Agregat Propinsi, Kabupaten dan kota. Ruang fiskal perpropinsi merupakan total pendapatan daerah dikurangi pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarket) dan belanja wajib ( belanja pegawai dan belanja bunga ) yang beasal dari akumulasi APBD 2012 seluruh pemda disuatu propinsi dan dibagi dengan total pendapatannya. Grafik 7 Ruang Fiskal Agregat Propinsi,Kabupaten dan Kota Sumber :Data APBD Konsolidasi 2012 ( diolah) Pada grafik 7 Propinsi Kalimantan Timur meiliki ruang fiskal tertinggi yaitu 62,5 %, sementara itu Propinsi Nanggroe Aceh yang terendah yaitu 22,5 %. Rata-rata secara nasional ruang fiskal sebesar 37,85 %. Tabel dibawah ini merupakan 14 propinsi yang memiliki ruang fiskal diatas rata-rata daerah secara nasional 8

Tabel 2. Propinsi yang meiliki Ruang Fiskal diatas rata-rata Gregat Propinsi, Kabupaten dan Kota ( % ) Ratio 44,82 43,91 42,90 42,70 40,77 38,85 Nama Daerah Ratio Nama Daerah Provinsi Kalimantan Timur 62,55 Provinsi Maluku Utara Provinsi DKI Jakarta 57,76 Provinsi Bangka Belitung Provinsi Kepulauan Riau 53,39 Provinsi Kalimantan Barat Provinsi Riau 51,74 Provinsi Papua Barat Provinsi Sumatera Selatan 47,74 Provinsi Jambi Provinsi Kalimantan Tengah 46,82 Provinsi Papua Provinsi Banten 46,03 Provinsi Kalimantan Selatan 37,95 4. Rasio Ketergantungan Daerah Rasio keterantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap bantuan pihak eksternal. Semakin tinggi ketergantungan daerah semakin tinggi ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal. Rasio ini ditunjukkan rasio PAD terhadap total pendapatan serta rasio dana transfer terhadap total pendapatan Dua rasio yang mewakili tersebut, meskipun menunjukkan ketergantungan daerah, namun memiliki makna yang berbeda atas angka-angkanya. Rasio PAD terhadap total pendapatan memiliki makna yang berkebalikan dengan rasio dana transfer terhadap total pendapatan. Semakin besar angka rasio PAD maka ketergantungan daerah semakin kecil. Sebaliknya, makin besar angka rasio dana transfer, maka akan semakin besar tingkat ketergantungan daerah dalam mendanai belanja daerah. Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio dana transfer yang rendah. Grafik 8 juga menunjukkan bahwa sebanyak 8 daerah memiliki rasio PAD terhadap pendapatan di atas rata-rata nasional yang sebesar 15,9%, dan sebanyak 13 daerah memiliki rasio transfer terhadap pendapatan di bawah rata-rata2 nasional (79,3%). 9

Secara keseluruhan, grafik tersebut menunjukkan tingkat ketergantungan daerah seluruh provinsi di Indonesia sebagaimana digambarkan berikut ini. Grafik 8. Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Sumber :Data APBD Konsolidasi 2012 ( diolah) ANALISIS BELANJA DAERAH Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila terealisasi dengan baik. Dengan demikian, secara ideal seharusnya Belanja Daerah dapat menjadi komponen yang cukup berperan dalam peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Pada gilirannya, apabila kesejahteraan masyarakat telah meningkat maka diharapkan akan berdampak kepada perekonomian daerah secara luas. Untuk menggambarkan seberapa besar belanja pemerintah daerah yang digunakan dalam upaya untuk menyejahterakan penduduk di suatu daerah, dapat digunakan berbagai macam tool misalnya dengan pengukuran rasio Belanja Daerah terhadap jumlah penduduk (Belanja Daerah per kapita). Semakin besar nilai rasio Belanja Daerah per kapita, semakin besar besar belanja yang dikeluarkan untuk menyejahterakan satu orang penduduk wilayah tersebut sehingga semakin besar kemungkinan tercapainya. 10

Sebaliknya, semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan pemda untuk menyejahterakan penduduknya. 1. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total Belanja Daerah Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja perwilayah di Indonesia digambarkan pada grafik 9. Grafik 9. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Perwilayah Sumber :Data APBD Konsolidasi 2012 ( diolah) Pada grafik tersebut rasio ang terbesar di wilayah Sulawesi ( 50,4%) dan terkecil di wilayah Kalimantan ( 36 %). Dengan demikian wilayah Sulawesi Total Belanja Daerah sebesar 50,4 % untuk belanja Pegawai. 2. Belanja Modal Terhadap Jumlah Penduduk Rasio ini menunjukkan seberapa besar belanja modal dialokasikan berupa pembangunan infrastruktur daerah per penduduk. Belanja modal mempunyai hubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi. Pada grafik 10, menggambarkan bahwa rata-rata rasio belanja modal per kapita Rp 1,02 juta Provinsi yang memiliki rasio Belanja Modal per kapita tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar Rp4,3 juta, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 0,2 juta 11

Grafik 10. Rasio Belanja Modal Agregat per kapita Propinsi,Kabupaten dan Kota Sumber :Data APBD Konsolidasi 2012 ( diolah) 3. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Bantuan Sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD), di mana keduanya menggunakan dana dari APBD. Sebagai contoh, Bantuan Sosial kepada masyarakat di lingkungan kumuh, pondok pesantren, bantuan untuk bidang sanitasi, penyediaan akses air bersih, dan sebagainya yang juga dilaksanakan oleh SKPD. Oleh karena itu, perlu adanya pemantauan terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial. Agar pengelolaan Belanja Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan pengaturannya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio Belanja Bantuan Sosial maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk bantuan belanja sosial. 12

Grafik 11. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat Propinsi, Kabupaten dan Kota Sumber :Data APBD Konsolidasi 2012 ( diolah) Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah untuk Belanja Bantuan Sosial adalah 1,13%. Dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota ada 22 provinsi dan selebihnya 11 provinsi angka rasionya melebihi angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah yang terkecil terdapat pada Provinsi DKI Jakarta dengan nilai sebesar 0,09%, sedangkan daerah yang memiliki rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah terbesar secara agregat adalah Provinsi Aceh, yaitu sebesar 3,38%. PENUTUP Analisis APBD akan membantu semua pihak para stkeholder daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk mengetahui sejauh mana Pemerintah Daerah memiliki komitmen, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, terutama dalam menggerakan roda 13

perekonomian dan pelayanan publik. Artinya kebijakan pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota apakah memiliki keberpihakan terhadap rakyat atau hanya segelintir elite tertentu. Pengawasan APBD oleh DPRD belumlah cukup kalau tanpa ada pengawasan dari rakyat terutama kalangan akademisi, kelompok LSM, dan masyarakat lainnya agar pemerintah benar- benar membawa amanat bagi kepentingan rakyat. DAFTAR PUSTAKA APBD 2012 Konsolidasi BPS Pusat, Perkembangan APBD 2009 2012 Marwanto Harjowiryono, Diskripsi APBD 2012 Dirjen Perimbangan Keuangan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD ) 2012, Dirjen Perimbangan Keuangan 14