PENGARUH PERLAKUAN TEKNIK KONSERVASI AIR TERHADAP EVAPOTRANSPIRASI TANAMAN KELAPA SAWIT (Studi kasus: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau)

dokumen-dokumen yang mirip
θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kelapa Sawit

II. TINJAUAN PUSTAKA Teknik Konservasi Tanah dan Air

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelapa Sawit(Elaeis guineensis) tanaman kelapa sawit diantaranya Divisi Embryophyta Siphonagama, Sub-devisio

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Syarat Tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

BAB I PENDAHULUAN Indonesia menguasai ekspor pasar minyak sawit mentah dunia sebesar

DAMPAK KEKERINGAN DAN GANGGUAN ASAP AKIBAT EL NINO 2015 TERHADAP PERFORMA TANAMAN KELAPA SAWIT DI BAGIAN SELATAN SUMATERA

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

Frequently Ask Questions (FAQ) tentang kaitan lingkungan dan kelapa sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENDAHULUAN. yang penting di Indonesia dan memiliki prospek pengembangan yang cukup

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit

Gambar 1 Hubungan impedansi listrik (kω) dengan KAT(%) kalibrasi contoh tanah.

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit Syarat Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

TINJAUAN PUSTAKA Akar Tanaman Kelapa Sawit Ekologi Kelapa Sawit

PENGELOLAAN TENAGA KERJA PANEN DAN SISTEM PENGANGKUTAN TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

KARAKTERISTIK KADAR AIR TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT UNIT USAHA REJOSARI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII, LAMPUNG

ANALISIS HUJAN PADA KEBUN KELAPA SAWIT DENGAN MODEL KESEIMBANGAN AIR (WATER BALANCE) DI KEBUN RAMBUTAN PT PERKEBUNAN NUSANTARA III

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L.

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 di

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan. menuju ke saluran-saluran (sungai, danau, atau laut) (Haridjaja dkk, 1990).

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom :

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit

Manfaat Penelitian. Ruang Lingkup Penelitian

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI KELAPA SAWIT. Oleh MARNI A

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Data rata-rata volume aliran permukaan pada berbagai perlakuan mulsa vertikal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

Tabel 6. Hasil Pendugaaan Faktor Penentu Produktivitas Kelapa Sawit

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KAJIAN KESENJANGAN GAP PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT PADA KELAS KESESUAIAN LAHAN S2 DI AFDELING I KEBUN PAYA PINANG PT. PAYA PINANG GROUP.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung manis termasuk dalam golongan famili graminae dengan nama latin Zea

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENGARUH TEKNIK KONSERVASI AIR TERHADAP KETERSEDIAAN AIR PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Studi kasus : PT. SAWIT ASAHAN INDAH, Rokan Hulu, Riau)

TINJAUAN PUSTAKA. Pemadatan Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit termasuk sebagai tanaman monokotil, mempunyai akar serabut.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

II. TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia, kelapa sawit pertama kali didatangkan oleh pemerintah Hindia

PRODUKSI TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TM-9 PADA BERBAGAI KONSENTRASI PUPUK INJEKSI BATANG (II) Oleh AJI NUGRAHA A

I. TINJAUAN PUSTAKA. bahan induk, relief/ topografi dan waktu. Tanah juga merupakan fenomena alam. pasir, debu dan lempung (Gunawan Budiyanto, 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Air merupakan unsur yang sangat penting bagi kelangsungan hidup

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi dan BTR kelapa sawit

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan beras di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan laju

KEADAAN UMUM Letak Wilayah Administratif Keadaan Iklim dan Tanah

Seminar Nasional BKS PTN Barat Manurung et al.: Implementasi Pemupukan Kelapa Sawit 643 Bandar Lampung, Agustus 2014

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

NERACA AIR. Adalah perincian dari masukan (input) dan keluaran (output) air pada suatu permukaan bumi

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tebu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMBAHASAN Manajemen Panen Teluk Siak Estate

TINJAUAN PUSTAKA. musim gugur mencapai jumlah minimum (Basuki dan Tjasadihardja, 1995).

I. TINJAUAN PUSTAKA. (a) Pendekatan klimatologi---evaporasi & Transpirasi. (b) Pola trsnpirasi tanaman nanas sebagai tanaman CAM

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

PENGARUH PERLAKUAN TEKNIK KONSERVASI AIR TERHADAP EVAPOTRANSPIRASI TANAMAN KELAPA SAWIT (Studi kasus: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau) SINTONG MARULITUA PASARIBU DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 213

ABSTRACT SINTONG MARULITUA PASARIBU. Effect of Water Conservation Technique on Palm Oil Plantation Evapotranspiration (Case study: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau). Supervised by HANDOKO and BREGAS BUDIANTO. Water conservation by form of rorak (silt pit) is one of rainwater harvesting methods that can be applied in palm oil plantation to fulfill plants water requirements. Installation of rorak can increase surface water utilization and irrigation water use efficiency. This study aimed to analyze the effect of water conservation technique on soil water content and evapotranspiration of palm oil plantations. This research was conducted by measuring the soil water content in experimental blocks (7, 8, and 18) and control blocks (6, 16, and 17). Twenty five set soil moisture sensor devices were planted on each block. Soil water content was calculated by using soil water content calibration curves obtained through previous research. Evapotranspiration was calculated by using water balance approach in palm oil plantation. As the results, the level of soil water content and evapotranspiration in experimental blocks was higher than the control blocks. Daily average evapotranspiration in experimental and control blocks respectively were 3.9 mm and 3.7 mm. The values of water storage in experimental blocks except block 7 were greater than the water storage in control blocks. Keywords: evapotranspiration, soil water content, water conservation technique, water storage.

ABSTRAK SINTONG MARULITUA PASARIBU. Pengaruh Perlakuan Teknik Konservasi Air terhadap Evapotranspirasi Tanaman Kelapa Sawit (Studi kasus: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau). Dibimbing oleh HANDOKO dan BREGAS BUDIANTO. Teknik konservasi air dalam bentuk pembuatan rorak (silt pit) adalah salah satu metode pemanenan air hujan yang dapat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman di lahan perkebunan kelapa sawit. Instalasi rorak dapat meningkatkan pemanfaatan air permukaan dan efisiensi pemakaian air irigasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perlakuan konservasi air terhadap kadar air tanah dan evapotranspirasi tanaman kelapa sawit. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur kadar air tanah pada blok perlakuan (7,8,18) dan blok kontrol (6,16,17). Setiap blok ditanam perangkat sensor kadar air tanah sebanyak 25 buah. Perhitungan kadar air tanah dilakukan menggunakan persamaan dari kurva kalibrasi kadar air tanah. Evapotranspirasi tanaman dihitung dengan menggunakan pendekatan neraca air yang didasarkan pada masukan dan keluaran air pada lahan tanaman kelapa sawit. Secara umum, tingkat kadar air tanah dan evapotranspirasi blok perlakuan lebih tinggi dibandingkan blok kontrol. Evapotranspirasi harian blok perlakuan dan blok kontrol selama pengukuran adalah 3.9 mm dan 3.7 mm. Cadangan air (water storage) blok perlakuan kecuali blok 7 lebih besar dibandingkan cadangan air pada blok kontrol. Kata kunci: cadangan air, evapotranspirasi, kadar air tanah, teknik konservasi air.

PENGARUH PERLAKUAN TEKNIK KONSERVASI AIR TERHADAP EVAPOTRANSPIRASI TANAMAN KELAPA SAWIT (Studi kasus: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau) SINTONG MARULITUA PASARIBU Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 213

Judul Skripsi Nama NIM : Pengaruh Perlakuan Teknik Konservasi Air terhadap Evapotranspirasi Tanaman Kelapa Sawit (Studi kasus : PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau) : Sintong Marulitua Pasaribu : G2487 Pembimbing I, Disetujui oleh, Pembimbing II, Prof.Dr.Ir. Handoko, M.Sc Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl NIP. 1959113 19833 1 3 NIP. 196438 19943 1 2 Diketahui oleh, Ketua Departemen Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19635 19873 2 2 Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara, pada tanggal 23 Maret 199. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Pasaribu dan Ibu R. Siahaan. Pendidikan formal penulis diawali pada tahun 1996 di SD Negeri 173123 Hutabarat Hapoltahan kecamatan Tarutung. Pada tahun 22 hingga 24 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Tarutung hingga lulus pada tahun 25. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Tarutung dan lulus pada tahun 28. Pada tahun 28 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) pada program studi Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan seperti anggota dan sekretaris retreat angkatan Komisi Pelayanan Khusus UKM PMK IPB pada tahun 21, koordinator divisi Himpunan Mahasiswa Meteorologi Indonesia (HMMI) tahun 21/211, aktif dalam berbagai kegiatan dan struktur Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO). Penulis pernah menjadi perwakilan IPB dalam The 4 th World Student Environmental Summit di Swedia pada tahun 211 dan Asia Pacific UNEP TUNZA di India pada tahun 212. Penulis melakukan praktek kerja (magang) selama 5 hari di PT. Riau Andalan Pulp and Paper, Departemen Fire and Aviation Riau Fiber tahun 211. Penulis melakukan penelitian dan tugas akhir pada bulan Mei sampai dengan Agustus 212 di perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Asahan Indah, kabupaten Rokan Hulu, Riau sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains dengan judul skripsi Pengaruh Perlakuan Teknik Konservasi Air terhadap Evapotranspirasi Tanaman Kelapa Sawit (Studi kasus: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau) dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc dan Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl.

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia dan anugerah yang dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul Pengaruh Perlakuan Teknik Konservasi Air terhadap Evapotranspirasi Tanaman Kelapa Sawit (Studi kasus: PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau). Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tuhan Yesus Kristus dan kedua orang tua tercinta, ayahanda H. Pasaribu dan Ibunda R. Siahaan serta saudara-saudaraku yang saya sayangi. Penulis menyadari karya tulis ilmiah ini akan sulit terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis juga berterimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir Handoko, M.Sc selaku pembimbing I dan Bapak Ir. Bregas Budianto, Ass.dpl selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan selama penelitian dan perkuliahan. 2. Bapak Hidayat Pawitan selaku pembimbing akademik penulis yang telah memberikan bimbingan akademik, nasehat, dan masukan kepada penulis selama masa perkuliahan. 3. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku kepala Departemen Geofisika dan Meteorologi 4. Seluruh staf perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Asahan Indah, Rokan Hulu, Riau. Khususnya kepada administratur, kepala kebun, dan asisten afdeling Bravo yang telah memfasilitasi dan membantu penulis selama penelitian. 5. Seluruh dosen dan staf tata usaha Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah mendidik dan mengajarkan banyak ilmu selama penulis masih duduk di bangku kuliah. 6. Seluruh kakak/abang dan adik kelas Departemen Geofisika dan Meteorologi. 7. Rekan satu bimbingan akademik Hidayat Pawitan Aulia Maharani serta seluruh temanteman GFM 45 (Dewa, Ketty, Fida, Fitra, Faiz, Ratna Dilla, Ferdy, Yuda, Iput, Akfia, Okta, Dila Peracitra, Asep, Mirna, Fitri, Firman, Maria, Dewi, Tiska, Putri, Geno, Ruri, Nia, Nadita, Widya, Citra, Fatchah, Topik, Ria, Farah, Aila, Selma, Annisa, Emod, Mela, Pungki, Adhitya, Sarah, Adi, Yoga, Ian, Dody, Fella, Erna, Fauzan, Dicky) 8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan karya tulis ilmiah ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritk dan saran yang membangun untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Bogor, Januari 213 Sintong Marulitua Pasaribu

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 1 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Penyebaran Kelapa Sawit... 1 2.2 Morfologi dan Pertumbuhan Kelapa Sawit... 2 2.2.1 Akar... 2 2.2.2 Batang... 2 2.2.3 Daun... 2 2.2.4 Bunga dan Buah... 3 2.3 Ekofisiologi Kelapa Sawit... 3 2.3.1 Faktor Iklim... 3 2.3.2 Faktor Edafik... 4 2.4 Tandan Buah Segar Kelapa Sawit... 4 2.5 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit... 4 2.6 Evapotranspirasi... 4 2.7 Teknik Konservasi Tanah dan Air... 5 III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 5 3.2 Alat dan Bahan... 5 3.3 Metode Penelitian... 5 3.3.1 Perlakuan Percobaan... 5 3.3.2 Pengukuran Nilai Hambatan Sensor Kadar Air Tanah... 6 3.3.3 Pengukuran Tinggi Air dalam Rorak dan Curah Hujan... 6 3.3.4 Perhitungan Kadar Air Tanah... 7 3.3.5 Perhitungan Evapotranspirasi... 7 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian... 7 4.2 Hubungan Curah Hujan dengan Ketersediaan Air dalam Rorak... 8 4.3 Perubahan Kadar Air Tanah... 9 4.4 Hubungan Curah Hujan dengan Evapotranspirasi... 12 4.5 Evapotranspirasi Tanaman Kelapa Sawit... 14 V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 15 5.2 Saran... 16 DAFTAR PUSTAKA... 16 LAMPIRAN... 18

ix DAFTAR TABEL Halaman 1 Produksi dan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia... 1 2 ETp dan ETa tanaman kelapa sawit pada berbagai umur... 5 3 Analisis tekstur tanah lokasi penelitian... 8 4 Perbandingan cadangan air blok kontrol dan perlakuan... 15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Morfologi kelapa sawit... 2 2 Buah kelapa sawit... 3 3 Skema sensor blok (a) perlakuan, (b) kontrol... 6 4 Kombinasi sensor kadar air tanah... 6 5 Teknik konservasi air... 6 6 Pengukuran curah hujan... 7 7 Batas kecamatan Rambah Samo, kabupaten Rokan Hulu, Riau... 7 8 Curah hujan bulanan di lokasi penelitian... 8 9 Pengaruh curah hujan terhadap volume air di dalam rorak (a) blok 8 (b) blok 18... 9 1 Perubahan kadar air tanah pada kedalaman (a) -1 cm (b) 1-2 cm... 1 11 Profil vertikal rata-rata kadar air tanah blok kontrol dan perlakuan setiap kedalaman (a) minggu awal pengukuran (1-13 Mei 212), (b) minggu pertengahan pengukuran (2-8 Juli 212), (c) pengukuran minggu terakhir (27 Agustus-1 September 212), dan (d) rata-rata minggu awal sampai dengan akhir pengukuran (8 Mei-1 September 212). 11 12 Hubungan curah hujan dengan kadar air tanah (a) blok 6 (b) blok 17 (c) blok 7 (d) blok 8 (e) blok 18. 12 13 Perbandingan curah hujan total, curah hujan netto, evapotranspirasi, dan limpasan permukaan masing-masing blok.. 13 14 Hubungan curah hujan netto dengan evapotranspirasi tanaman dan limpasan permukaan pada (a) blok perlakuan (b) blok kontrol. 14 15 Perbandingan evapotranspirasi kontrol dan perlakuan 13

x DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pengukuran kadar air tanah, tinggi air dalam rorak, dan curah hujan... 19 2 Waktu pengukuran kadar air tanah masing-masing blok... 2 3 Data tinggi air dalam rorak... 23 4 Data curah hujan harian masing-masing blok... 26 5 Contoh kurva kalibrasi pada berbagai kedalaman (a) Blok 8 dan (b) Blok 6... 29 6 Bentuk topografi blok perlakuan, (a) Blok 7, (b) Blok 8, (c) Blok 18... 31 7 Volume air dalam rorak... 32 8 Evapotranspirasi dan limpasan permukaan masing-masing blok... 35 9 Contoh data kadar air tanah (%volume) rata-rata selama pengukuran per sensor blok perlakuan (blok 8) dan blok kontrol (blok 17)... 38

1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi komoditas andalan industri agribisnis di Indonesia. Pada tahun 21, penerimaan devisa negara dari perkebunan kelapa sawit mencapai 2 miliar US Dollar. Menurut Badan Pusat Statistik (211), luas areal perkebunan dan produksi tanaman kelapa sawit di Indonesia meningkat dalam kurun waktu dua tahun terakhir (Tabel 1). Tabel 1 Produksi dan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Tahun Produksi (ribu ton) Luas lahan (ribu hektar) 29 7949.5 2139.5 21 811.2 21958.1 (Sumber: BPS 211) Menurut Lubis (1992), kelapa sawit dapat tumbuh di lintang antara 12 o LU dan 12 o LS dengan jumlah curah hujan optimum 2-25 mm/tahun dan merata sepanjang tahun tanpa ada kemarau panjang. Oleh karena itu, tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di Indonesia karena selain terletak pada posisi lintang yang strategis, Indonesia juga memiliki curah hujan yang tinggi dan lama penyinaran yang cukup. Jumlah curah hujan tahunan di Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit kecuali di beberapa provinsi seperti Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan (Murtilaksono et al. 27). Kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah yang banyak untuk mencukupi kebutuhan selama pertumbuhan dan produksi. Kekurangan air pada tanaman kelapa sawit akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman kelapa sawit baik fase vegetatif maupun generatif (Balitklimat 27). Dengan kata lain, ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama produksi kelapa sawit. Oleh sebab itu, pengelolaan air di perkebunan kelapa sawit di daerah dengan periode kering yang jelas sangat perlu diperhatikan. Defisit air yang terjadi pada musim kemarau dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan bunga dan buah kelapa sawit. Pertumbuhan dan perkembangan bunga dan buah yang terganggu pada akhirnya akan menurunkan produksi kelapa sawit. Sebaliknya, pada musim hujan terjadi kelebihan air yang menyebabkan aliran permukaan dan erosi (Murtilaksono et al. 27). Besarnya aliran permukaan dan erosi mampu mengikis permukaan tanah sehingga dapat menurunkan kesuburan tanah. Fenomena tersebut mendorong diperlukannya manajemen air hujan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan air pada tanaman kelapa sawit. Teknik konservasi air dalam bentuk pembuatan rorak (silt pit) adalah salah satu metode pemanenan air hujan yang dapat diterapkan di lahan perkebunan kelapa sawit. Rorak digunakan untuk menampung sebagian air aliran permukaan. Air yang masuk ke dalam rorak akan tersimpan sementara dan secara perlahan meresap ke dalam tanah sehingga mempengaruhi kandungan air dalam pori-pori tanah. Laju kehilangan air (evapotranspirasi) dari tanaman kelapa sawit cukup tinggi karena luas bidang penguapan pada daun relatif besar. Evapotranspirasi selain digunakan dalam pendugaan ketersediaan air tanah, juga merupakan indikator kebutuhan air tanaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai pengaruh teknik konservasi air terhadap ketersediaan air dan evapotranspirasi pada lahan perkebunan kelapa sawit. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perlakuan konservasi air terhadap kadar air tanah dan evapotranspirasi tanaman kelapa sawit. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Penyebaran Kelapa Sawit Kelapa sawit Afrika berasal dari benua Afrika yang terdapat di sepanjang kawasan pantai Liberia dan Angola (2-3 km) dan kemudian menyebar ke utara, selatan, dan timur Senegal, Samudera Hindia, Tanzania, dan Madagaskar (Sheil et al. 29). Elaeis guineensis merupakan jenis pohon kelapa sawit hutan tropis asli dari Afrika Barat dan Tengah sedangkan Elaeis oleifera atau kelapa sawit Amerika berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Sheil et al. 29, Depperin 27). Taksonomi tanaman kelapa sawit dalam dunia botani adalah sebagai berikut (Pahan 211),

2 Divisi Kelas Ordo Famili Sub Famili Genus Spesies : Embryophyta Siphonagama : Angiospermae : Monocotyledonae : Arecaceae : Cocoidae : Elaeis : 1. E. guineensis Jacq. 2. E. oleifera (H.B.K) Cortes 3. E. odora Kelapa sawit diintroduksikan pertama kali ke Indonesia pada tahun 1848 oleh pemerintah Kolonial Belanda (Sheil et al. 29). Pada tahun 1911, perusahaan perkebunan kelapa sawit didirikan di Deli (Sumatera Utara), Pulau Raja (Asahan), dan Sungai Liput (Aceh). Kelapa sawit (E. guineensis) telah diusahakan secara komersil di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara, Pasifik Selatan, dan beberapa daerah dengan skala yang lebih kecil (Pahan 211). 2.2 Morfologi dan Pertumbuhan Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan salah satu spesies cocoideae dengan habitus terbesar (Pahan 211). Morfologi tanaman kelapa sawit terdiri atas dua bagian yaitu bagian vegetatif dan generatif. Bagian vegetatif meliputi akar (radix), batang (caulis), dan daun (folium) sedangkan bagian generatif yang meliputi bunga dan buah (Sastrosayono 23). Deskripsi morfologi tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut, Bunga Jantan Serbuk Bunga Jantan Bunga Betina Akar (radix) Daun (folium) Biji Sawit TBS Batang (caulis) Gambar 1 Morfologi kelapa sawit (Sumber: http://caliban.mpiz-koeln.mpg.de/ koeh ler/ PALMOEL.jpg) 2.2.1 Akar Sistem perakaran kelapa sawit dalam Pahan (211) merupakan sistem akar serabut yang terdiri atas akar primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Akar primer keluar dari pangkal batang dengan diameter 6-1 mm dan menyebar secara horizontal. Akar primer bercabang membentuk akar sekunder dengan diameter 2-4 mm. Akar sekunder kemudian bercabang membentuk akar tersier dengan diameter.7-1.2 mm dan umumnya bercabang lagi membentuk akar kuartener. Akar kuartener dengan diameter.1-.3 mm dan panjang 1-4 mm merupakan akar absorpsi utama (feeding root). Sastrosayono (23) menyebutkan bahwa jika aerasi cukup baik, akar tanaman kelapa sawit dapat menembus kedalaman 8 meter di dalam tanah dan akar yang tumbuh ke samping dapat mencapai radius 16 meter. 2.2.2 Batang Pertumbuhan memanjang batang tanaman kelapa sawit tidak terlihat pada tahun-tahun pertama pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Bagian pangkal atau poros batang terlihat membesar dengan diameter mencapai 6 cm. Batang akan mengalami penyusutan setelah tahun pertama atau kedua dengan diameter 4 cm tetapi pertumbuhan tinggi batang menjadi lebih cepat (Pahan 211). Menurut Sastrosayono (23), batang mulai memperlihatkan pertumbuhan memanjang setelah tanaman berumur 4 tahun. Pertumbuhan tinggi batang dapat mencapai 35-75 cm per tahun tergantung pada keadaan lingkungan dan keragaman genetik. Batang diselimuti oleh pangkal pelepah daun tua sampai umur 11-15 tahun. Bekas pelepah daun mulai rontok dari bagian tengah ke bagian atas dan bawah (Pahan 211). 2.2.3 Daun Daun kelapa sawit dibentuk di dekat titik tumbuh. Daun kelapa sawit yang panjangnya mencapai 9 m terdiri atas satu pelepah daun utama, satu helai daun mencapai dengan panjang 1.2 m dan 1-16 pasang helai anak daun (Siregar 1998). Anak daun (leaf leat) pada daun normal berjumlah 8-12 lembar. Dua lembar daun kelapa sawit biasanya akan tumbuh setiap bulan dimana pertumbuhan daun awal dan daun berikutnya membentuk sudut 135 o. Helaian daun semakin lama akan semakin berat yang mengakibatkan daun semakin melengkung ke bawah. Kedudukan daun pada batang dirumuskan dengan rumus daun (phylotaxis) 3/8 artinya pada setiap 3

3 putaran terdapat 8 daun. Daun kesembilan berada di garis lurus dari daun yang pertama (Sastrosayono 23). 2.2.4 Bunga dan Buah Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoecious), artinya bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada tandan yang sama. Namun, adakalanya bunga jantan dan bunga betina dijumpai pada satu tandan (hermafrodit). Bunga jantan dan betina muncul dari ketiak daun (Pahan 211). Bunga jantan selalu masak lebih dahulu dari bunga betina sehingga penyerbukan sendiri antara bunga jantan dan bunga betina dalam satu tandan sangat jarang terjadi. Bunga betina pada tanaman kelapa sawit muda tumbuh lebih banyak daripada bunga jantan sehingga membutuhkan bantuan penyerbukan oleh manusia (Sastrosayono 23). Tanaman kelapa sawit mulai berbuah saat berumur 18 bulan setelah tanam. Buah kelapa sawit menempel di karangan yang sering disebut tandan buah. Tandan buah tumbuh di ketiak daun. Satu tandan buah kelapa sawit terdiri atas puluhan sampai ribuan buah. Tandan buah akan mencapai ukuran terbesar pada umur 4.5-5 bulan (Sastrosayono 23). Buah kelapa sawit digolongkan sebagai buah drupe (buah batu) yang terdiri atas eksokarp (kulit buah), mesokarp (sabut), daging buah, endocarp (cangkang), dan kernel (inti) (Siregar 1998). Gambar 2 Buah kelapa sawit (Sumber: http://www.fao.org/docrep/6/t39e/ T39E5.gif) 2.3 Ekofisiologi Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit memerlukan kondisi lingkungan tertentu untuk dapat tumbuh dengan optimal, baik pertumbuhan vegetatif maupun generatif (PPKS 26). Dalam konteks ekofisiologi, faktor lingkungan yang dominan untuk menentukan keberhasilan budidaya kelapa sawit adalah faktor iklim dan keadaan tanah (edafik). 2.3.1 Faktor Iklim Kelapa sawit tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah beriklim tropis yang terletak di antara 13 o LU sampai 12 o LS terutama di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Selatan (Hazriani 24). Kelapa sawit umumnya dikembangkan pada daerah yang memiliki curah hujan lebih dari 2 mm/tahun atau berkisar 17-3 mm/tahun atau paling sedikit 15 mm/bulan atau sebesar 5-6 mm/hari serta bulan kering kurang dari satu bulan dalam satu tahun (Murtilaksono et al. 27). Menurut PPKS (26), kelapa sawit masih dapat dibudidayakan pada lokasi dengan curah hujan kurang dari 2 mm/tahun dengan syarat tidak boleh ada defisit air lebih dari 25 mm. Lokasi dengan jumlah curah hujan lebih dari 25 mm/tahun juga masih berpotensi untuk budidaya kelapa sawit asalkan jumlah hari hujan setahun tidak lebih dari 18 hari. Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh baik pada kisaran suhu 24-28 o C dengan suhu minimum 18 o C dan suhu maksimum 32 o C. Produksi tertinggi tandan buah segar diperoleh dari daerah dengan rata-rata suhu tahunan berkisar antara 25-27 o C. Tanaman sawit liar di daerah khatulistiwa masih dapat menghasilkan buah pada ketinggian 1.3 m di atas permukaan laut. Dengan demikian, kelapa sawit diperkirakan masih dapat tumbuh pada kisaran suhu 2 o C. Pertumbuhan kelapa sawit terhambat pada suhu 15 o C (Pahan 211 dan PPKS 26). Disamping curah hujan dan suhu, kelapa sawit juga membutuhkan kelembaban dan lama penyinaran untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Pahan (211), lama penyinaran yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit yaitu 5-7 jam /hari dengan kelembaban udara 8%. Lama penyinaran berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan tingkat asimilasi, pembentukan bunga (sex ratio), dan produksi buah (Setyamidjaja 1991). Pahan (211) menambahkan bahwa kecepatan angin optimum sebesar 5-6 km/jam dapat membantu penyerbukan bunga kelapa sawit.

4 2.3.2 Faktor Edafik Kelapa sawit merupakan tanaman yang dapat dibudidayakan dengan baik di tanah mineral maupun di tanah gambut (PPKS 26). Menurut Sastrosayono (26), kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di beberapa jenis tanah dengan syarat tidak kekurangan air pada musim kemarau dan tidak tergenang pada musim hujan (drainase baik). Sifat fisik tanah dan lahan pada tanah mineral yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit agar tumbuh dan berkembang dengan baik antara lain: solum yang tebal (lebih dari 8 cm), tekstur tanah yang optimal (perbandingan pasir 2-6%, debu 1-4%, dan liat 2-5%), drainase yang baik, topografi yang tidak ekstrim, dan ph tanah 4.-6.. Budidaya kelapa sawit di lahan gambut perlu memperhatikan tingkat kematangan dan kedalaman gambut, pengelolaan air (water management), penanganan defisiensi hara mikro, dan penurunan muka air tanah (PPKS 26). Selain sifat-sifat fisik dan kimia, letak dan keadaan topografis lahan untuk perkebunan kelapa sawit juga perlu diperhatikan (Setyamidjaja 1991). Kriteria kemiringan lahan yang baik untuk pengusahaan kelapa sawit adalah lebih kecil dari 12 o. Kemiringan lahan lebih dari 23 o sangat tidak baik untuk membudidayakan kelapa sawit karena sangat berpotensi untuk mengakibatkan erosi dan mempersulit proses pengangkutan dan distribusi hasil panen (Pahan 211). 2.4 Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit berpeluang menghasilkan tandan buah segar sepanjang tahun. Proses pembentukan buah, dimulai dari penyerbukan sampai pematangan, sangat dipengaruhi oleh dinamika iklim terutama curah hujan. Oleh karena itu, lama proses pematangan buah di beberapa kawasan dapat berbeda, misalnya di Sumatera memerlukan waktu 5-6 bulan, Malaysia memerlukan waktu 5.5 bulan, dan di Afrika Barat memerlukan waktu 6-9 bulan. Proses pematangan buah dalam satu tandan tidak terjadi sekaligus tetapi dimulai dari bagian atas dan samping yang terkena sinar matahari menuju ke arah pangkal. Tandan buah telah siap dipanen apabila beberapa buah telah terlepas secara alami (Setyamidjaja 1991). Tandan buah kelapa sawit mencapai matang panen setelah tanaman berumur 3-4 tahun di lapangan. Produktivitas tandan buah kelapa sawit mencapai maksimum pada umur tanaman 8-12 tahun dan kemudian menurun hingga umur 25 tahun (umur ekonomis). Jumlah tandan buah per pohon dipengaruhi oleh laju produksi daun, rasio seks bunga, dan kegagalan pembentukan tandan (gugur bunga). Studi kasus di Malaysia menunjukkan bahwa cekaman kekeringan mengakibatkan terjadinya penurunan rasio seks bunga betina terhadap bunga jantan 16-22 bulan setelah kekeringan (Darlan 211). 2.5 Kebutuhan Air Tanaman Kelapa Sawit Kebutuhan air tanaman kelapa sawit pada dasarnya berbeda disetiap fase pertumbuhan. Rata-rata kebutuhan air tanaman kelapa sawit pada fase pembibitan (nursery) selama 12 bulan adalah 2.25 liter/polibag atau setara dengan curah hujan 3.4 mm/hari. Penyiraman tidak perlu dilakukan apabila hujan turun curahan minimum 8 mm. Kebutuhan air tanaman kelapa sawit umur 11 tahun di perkebunan komersial sekitar 1.95 mm per tahun (Pahan 211). Menurut Murtilaksono et al. (27) kelapa sawit membutuhkan air paling sedikit 15 mm/bulan atau 5-6 mm/hari. Kelapa sawit tidak hanya mengalami defisit air pada kondisi curah hujan rendah tetapi juga pada kondisi curah hujan tinggi dengan periode bulan kering yang panjang (Rahutomo 27). Defisit air pada tanaman kelapa sawit dapat mengakibatkan penurunan laju fotosintesis dan gangguan distribusi asimilat. Kurangnya ketersediaan air juga berdampak negatif pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kelapa sawit (Balitklimat 27). Kekeringan mulai terjadi apabila defisit air mencapai 2 mm pada tanaman kelapa sawit (Siregar et al. 1995). Kekeringan pada bagian vegetatif menyebabkan penutupan stomata daun dan menghambat pertumbuhan pelepah sedangkan kekeringan pada bagian generatif menyebabkan penurunan produksi tanaman (Balitklimat 27). Defisit air yang tinggi menyebabkan kegagalan matang panen sehingga buah menjadi busuk. Pengaruh ini secara langsung menyebabkan penurunan produksi tandan buah segar (Rahutomo 27). 2.6 Evapotranspirasi Evapotranspirasi adalah ukuran total kehilangan air dari suatu luasan lahan melalui evaporasi permukaan tanah dan transpirasi permukaan daun (Handoko 1993). Evapotranspirasi akan berlangsung apabila ketersediaan air tidak terbatas bagi stomata tanaman dan permukaan tanah. Kebutuhan air

5 potensial untuk tanaman kelapa sawit (evapotranspirasi potensial, ETp) rata-rata adalah 4 mm/hari atau 12 mm/bulan sedangkan kebutuhan air potensial tanaman kelapa sawit (ETp) pada musim kemarau adalah 5-6 mm/hari atau 15-18 mm/bulan (Siregar et al. 26). Kebutuhan air potensial (ETp) dan aktual (ETa) tanaman kelapa sawit menurut umur di lapangan ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 ETp dan ETa tanaman kelapa sawit pada berbagai umur ETp ETp Umur (mm/hari) (mm/hari) ETa Tanaman musim musim (mm/hari) (tahun) kemarau hujan 1-3 4.3 3-7 5.5-6.5 3.-4.5 3.3 7-15 6.-7. >15 7.-8. Rerata 4-25 5 4 3-6 (Sumber: Siregar et al. 26) 2.7 Teknik Konservasi Air dan Tanah Prinsip teknik konservasi air adalah pemanfaatan air yang jatuh ke permukaan tanah secara efisien dengan mengatur waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir dan mampu menyediakan air pada waktu musim kemarau. Konservasi air dapat dilakukan dengan meningkatkan pemanfaatan air permukaan dan air tanah dan meningkatkan efisiensi pemakaian air irigasi. Prinsip konservasi tanah tergantung pada pengendalian kelebihan air yang mengalir di atas permukaan tanah. Teknik konservasi tanah dilakukan dengan metode vegetatif dan mekanik Konservasi tanah secara vegetatif menggunakan vegetasi untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan sedangkan konservasi tanah secara mekanik menerapkan semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan, erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah (Arsyad 2). Tindakan konservasi air diperlukan untuk mengelola air hujan yang jatuh di permukaan lahan dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Salah satu teknik konservasi air dan tanah yang umum diterapkan di perkebunan kelapa sawit adalah pembuatan rorak. Menurut Agus dan Ruitjer (24), rorak adalah lubang kecil yang digunakan untuk menampung sebagian air aliran permukaan. Air yang masuk ke dalam rorak akan tersimpan untuk sementara dan secara perlahan akan meresap ke dalam pori-pori tanah sehingga mengurangi aliran permukaan dan erosi. Rorak (silt pit) dapat dibuat dengan ukuran dalam 6 cm, lebar 5 cm, dengan panjang sekitar 4-5 meter. Panjang rorak dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Jarak ke samping antara satu rorak dengan rorak lain berkisar 1-15 meter sedangkan jarak horizontal berkisar antara 2 meter pada lereng yang landai dan agak miring sampai 1 meter pada lereng yang curam (Arsyad 2). Rorak cocok untuk daerah dengan tanah berkadar liat tinggi (daya serap atau infiltrasi rendah) dan curah hujan tinggi pada waktu yang pendek (Agus dan Ruitjer 24). III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Asahan Indah (ASTRA Group) afdeling Bravo dari bulan Mei sampai dengan Agustus 212. Pengolahan data dilakukan di laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB dari September sampai dengan Oktober 212. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian payung Manajemen Air Hujan yang dilaksanakan oleh PT. Astra Agro Lestari Tbk di Riau dan Kalimantan Tengah dengan luas areal 4 ha pada tahun 211. 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain sensor kadar air tanah, penakar hujan, kantong plastik, penggaris, cangkul, tali rafia, timbangan digital, patok kayu, baterai kering 9 volt, alat tulis, buku folio, digital multimeter, Microsoft Office 27, dan 6 blok lahan perkebunan kelapa sawit. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Perlakuan Percobaan Penelitian ini dilakukan dengan mengukur kadar air tanah pada 6 blok lahan kelapa sawit. Blok-blok tersebut terdiri atas 3 blok perlakuan (dengan rorak) dan 3 blok kontrol (tanpa rorak). Blok perlakuan meliputi blok 7, 8, dan 18 sedangkan blok kontrol meliputi blok 6, 16, dan 17. Setiap blok ditanam perangkat sensor kadar air tanah sebanyak 25 buah. Pengambilan data kadar air tanah untuk masing-masing blok dilakukan dengan selang waktu satu minggu.

6 3.3.2 Pengukuran Nilai Hambatan Sensor Kadar Air Tanah Sensor kadar air tanah yang digunakan terbuat dari elektroda batang aluminium yang dirangkai pada sebuah pipa PVC sepanjang 2 meter. Nilai hambatan listrik sensor kadar air tanah diukur pada 11 titik kedalaman yaitu 1, 2, 4, 6, 8, 1, 12, 14, 16, 18, dan 2 cm dari permukaan tanah. Di setiap titik kedalaman, terdapat 4 buah kabel dengan warna yang berbeda dan tidak bersentuhan satu sama lain. Kombinasi 2 warna sensor kadar air tanah di setiap kedalaman menghasilkan 6 kali ulangan pengukuran (Lampiran 1). Sensor kadar air tanah sebanyak 25 buah dipasang sejajar dengan jarak setiap sensor 1 meter di antara rorak. Sebanyak 4 buah sensor dipasang di bagian atas rorak pertama, 17 buah sensor di antara rorak pertaman dan rorak kedua, dan 4 buah sensor dipasang setelah rorak kedua. Sensor pada blok kontrol dipasang sama seperti pada blok perlakuan namun tanpa rorak. (a) Gambar 4 Kombinasi sensor kadar air tanah 3.3.3 Pengukuran Tinggi Air dalam Rorak dan Curah Hujan Teknik konservasi air yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pembuatan rorak dengan ukuran panjang 9 m, lebar 1 m, dan kedalaman 1 m pada 3 blok perlakuan. Pembuatan rorak mengikuti kontur masingmasing blok perlakuan dan di bagian ujung rorak digali semacam saluran air kecil atau tali air (Lampiran 1). Pembuatan tali air bertujuan untuk mengumpulkan air hujan yang jatuh pada lahan ke dalam rorak secara maksimal dan mengurangi aliran permukaan. Jarak pembuatan rorak adalah dua pokok tanaman kelapa sawit. Rorak digali di dekat tumpukan pelepah daun kelapa sawit agar tidak mengganggu jalur panen. Tanah dari penggalian rorak ditimbun di dekat rorak mengikuti kemiringan lahan. Hal ini dilakukan agar air yang tertampung dalam rorak dapat tertahan apabila volume air yang masuk dalam rorak melebihi kapasistas volume maksimum. Tinggi air dalam rorak diukur dengan menggunakan penggaris (Lampiran 3). (b) Gambar 3 Skema sensor blok (a) perlakuan, (b) kontrol Pengukuran tahanan sensor kadar air tanah dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik kombinasi antara pengukur impedansi listrik, digital multimeter, dan baterai 9 volt. Pengukuran sensor setiap blok dilakukan satu kali dalam seminggu. Selang waktu pengukuran kadar air tanah blok kontrol dan perlakuan tertera pada Lampiran 2. Gambar 5 Teknik konservasi air Curah hujan ditampung dengan menggunakan penakar hujan yang terbuat dari pipa paralon berdiameter 11 cm atau luas penampang 13 cm 2. Penakar hujan berisi botol seberat 32 gram yang digunakan

7 sebagai media untuk menampung air hujan yang jatuh (Lampiran 1). Pengambilan data curah hujan dilakukan setiap hari (harian) dengan menimbang berat air hujan yang tertampung dalam botol menggunakan timbangan digital pada masing-masing blok (Lampiran 4). Keterangan: ETa t : evapotranspirasi aktual hari ke-t (mm) Ro t : limpasan permukaan hari ke-t (mm) θ t : kadar air tanah hari ke-t (mm) θ t -1 : kadar air tanah hari ke-(t-1) (mm). P t : curah hujan netto IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 6 Pengukuran curah hujan 3.3.4 Perhitungan Kadar Air Tanah Kadar air tanah masing-masing kedalaman (1, 2, 4, 6,, 2 cm) blok perlakuan dan blok kontrol dalam persen volume dihitung dengan: 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Lokasi perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Asahan Indah terletak di dekat garis ekuator dengan ketinggian antara 4-21 meter di atas permukaan laut. Secara astronomis, lokasi penelitian berada di antara o 44 55.8 - o 49 6 LU dan 1 o 27 52.7-1 o 32 19 BT. Lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Rambah Samo, Kabupaten Rokan Hulu, Propinsi Riau. %Vol = 1. (W n -W )/V tanah (1) W n W : berat tanah setelah evaporasi (gr) : berat sensor dan sampel tanah setelah dikeringkan (gr) V tanah : volume tanah (cm 3 ) Nilai-nilai yang diperoleh dari proses kalibrasi penelitian sebelumnya menghasilkan kurva kalibrasi yang menghubungkan antara kadar air tanah dan nilai impedansi tanah (Lampiran 5). Persamaan-persamaan dari kurva kalibrasi tersebut kemudian dikonversi menjadi persamaan volumetrik (persamaan 1) yang digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air tanah dalam % volume. 3.3.5 Perhitungan Evapotranspirasi Evapotranspirasi tanaman dihitung dengan pendekatan neraca air yang didasarkan pada masukan (input) dan keluaran (output) air pada lahan tanaman kelapa sawit untuk masing-masing perlakuan (Persamaan 2). θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ).(2) sehingga ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t.(3) Gambar 7 Batas kecamatan Rambah Samo, kabupaten Rokan Hulu, Riau. (sumber: google maps 212) Lokasi penelitian merupakan wilayah dengan kondisi topografis miring. Kemiringan masing-masing blok penelitian (blok kontrol dan blok perlakuan) hasil analisis penelitian Dwiyandi (211) cukup beragam (Lampiran 6). Kondisi topografis ini mengakibatkan sebagian curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan menjadi limpasan permukaan (run off). Hal ini dapat mempengaruhi jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Teknik konservasi air berupa pembuatan rorak perlu diterapkan untuk mengurangi aliran permukaan agar air hujan yang jatuh tidak langsung melimpas tetapi tertampung sementara di dalam rorak. Air yang tertampung dapat menjadi cadangan air permukaan (water storage) untuk memenuhi

8 kebutuhan air tanaman pada saat tidak terjadi hujan dan musim kemarau. Curah hujan rata-rata dalam kurun waktu enam tahun terakhir yang diperoleh dari stasiun cuaca PT. Sawit Asahan Indah adalah 342 mm/tahun. Curah hujan tertinggi selama penelitian terjadi pada bulan Juli dan terendah terjadi pada bulan Agustus (Gambar 8). Curah hujan bulanan minimum yang terukur selama penelitian lebih dari 6 mm. Oleh karena itu, bulan Mei, Juni, Juli, dan Agustus tidak termasuk dalam kategori bulan kering (curah hujan bulanan < 6 mm) dan kebutuhan air tanaman sawit di lokasi penelitian dalam kurun waktu 4 bulan tersebut sudah tercukupi (Lampiran 3). Curah Hujan (mm) 18 16 14 12 1 8 6 4 2 Mei Juni Juli Agustus Gambar 8 Curah hujan bulanan di lokasi penelitian Hasil analisis tekstur tanah pada blok kontrol dan blok perlakuan di lokasi penelitian (Tabel 3) menunjukkan kemiripan tekstur tanah antara blok kontrol dan blok perlakuan. Tekstur tanah berpasir mendominasi blok kontrol dan blok perlakuan. Tekstur tanah blok kontrol dan blok perlakuan pada kedalaman -3 cm didominasi oleh tekstur lempung berpasir dan pada kedalaman 3-6 cm tekstur tanah didominasi oleh tekstur pasir berlempung. Secara umum, kandungan pasir pada blok kontrol dan blok perlakuan mengalami peningkatan setiap penambahan kedalaman tanah. Tekstur tanah debu dan liat pada lokasi penelitian mengalami penurunan setiap penambahan kedalam tanah. Tekstur tanah pasir berlempung memiliki tekstur yang kasar (pori-pori tanah besar) sehingga air yang tertampung ke dalam rorak lebih mudah meresap ke dalam tanah. 4.2 Hubungan Curah Hujan dengan Ketersediaan Air dalam Rorak Hujan merupakan sumber air yang paling utama untuk berbagai tanaman pertanian termasuk perkebunan kelapa sawit. Sumber air lain misalnya air sungai praktis hanya untuk skala kecil saja seperti irigasi (penyiraman) pembibitan kelapa sawit (Siregar 26). Curah hujan mempengaruhi kemampuan rorak dalam menyimpan air. Hubungan antara curah hujan dan cadangan air yang tertampung di dalam rorak blok perlakuan saling berkaitan. Volume air dalam rorak akan bertambah apabila terjadi hujan dan volume air akan berkurang pada saat tidak terjadi hujan. Rorak tidak langsung mengalami kekeringan pada saat tidak ada hujan namun tinggi permukaan dan volume air akan berangsur-angsur menurun (Gambar 9). Penurunan volume air dalam rorak dapar disebabkan oleh proses perkolasi, pergerakan air secara lateral, dan evapotranspirasi. Volume rorak blok perlakuan mencapai m 3 pada saat tidak terjadi hujan selama beberapa minggu (Lampiran 7). Blok 7, 8, dan 18 merupakan blok-blok yang diberi perlakuan teknik konservasi air (rorak). Selama masa pengukuran pada ketiga blok tersebut, rorak blok 7 tidak pernah terisi air. Hal ini disebabkan oleh kondisi topografis blok 7 yang lebih curam dibandingkan blok 8 dan 18. Kondisi lereng yang curam pada blok 7 menyebabkan erosi dan limpasan permukaan sangat mudah terjadi. Erosi dan limpasan permukaan yang terjadi mengakibatkan sedimentasi pada tali air dan bagian tepi rorak sehingga air hujan yang turun tidak dapat masuk dan terkumpul ke dalam rorak. Tabel 3 Analisis tekstur tanah lokasi penelitian Batas Horison Tekstur Tanah (%) Batas Horison Tekstur Tanah (%) Blok Blok Atas - bawah Atas - bawah perlakuan Pasir Debu Liat kontrol Pasir Debu Liat (cm) (cm) 18-3 65 26 9 17-3 65 26 9 18 3-6 71 25 4 17 3-6 71 25 4 8-3 65 26 9 6-3 71 12 17 8 3-6 71 25 4 6 3-6 68 11 21 7-3 65 26 9 16-3 71 12 17 7 3-6 71 25 4 16 3-6 68 11 21 (Sumber: PT Sawit Asahan Indah 28)

9 Volume air dalam rorak (m 3 ) 6, 5, 4, 3, 2, 1, (a) 8 7 6 5 4 3 2 1 Curah hujan (mm), 13 134 137 141 144 148 151 155 158 162 165 169 172 176 179 183 186 19 193 197 2 24 27 211 214 218 221 225 228 232 235 239 242 Julian date Volume air dalam rorak (m 3 ) 6, 5, 4, 3, 2, 1, (b) 8 7 6 5 4 3 2 1 Curah Hujan (mm), 13 134 137 141 144 148 151 155 158 162 165 169 172 176 179 183 186 19 193 197 2 24 27 211 214 218 221 225 228 232 235 239 242 Julian date curah hujan rorak atas rorak bawah Gambar 9 Pengaruh curah hujan terhadap volume air di dalam rorak (a) blok 8 (b) blok 18 Hazriani (29) menyatakan bahwa topografi merupakan salah satu unsur faktor lingkungan yang penting dalam menentukan efisiensi usaha perkebunan kelapa sawit. Unsur-unsur topografi yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman adalah ketinggian lahan di atas permukaan laut, relief, dan lereng. Kondisi lereng pada blok 7 menjadi salah satu faktor pembatas bagi tanaman kelapa sawit dalam memenuhi kebutuhan air. 4.3 Perubahan Kadar Air Tanah Menurut Saribun (27), ketersediaan air tanah tergantung pada curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotranspirasi, dan tinggi muka air tanah. Nilai kadar air tanah blok perlakuan (blok 8 dan blok 18) lebih fluktuatif dibanding nilai kadar air tanah blok kontrol (blok 16 dan blok 17) (Gambar 1). Hal tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan air dalam rorak dan curah hujan. Kondisi rorak yang tidak terisi air menyebabkan perubahan nilai kadar air tanah blok 7 (blok perlakuan) tidak terlalu fluktuatif. Rorak yang tidak terisi air disebabkan oleh kondisi topografis blok 7 yang curam sehingga limpasan permukaan dan erosi cukup besar. Limpasan permukaan dan erosi tanah membawa deposit tanah pada tali air dan bagian tepi rorak sehingga menyebabkan kapasitas rorak untuk menampung air berkurang. Volume rorak blok 8 dan blok 18 bagian atas dan bawah berbeda. Volume rorak atas blok 8 lebih besar dibandingkan volume rorak bawah dan volume rorak atas blok 18 lebih kecil dibandingkan volume rorak bawah. Volume rorak atas blok 8 lebih banyak terisi air disebabkan oleh daerah tangkapan air rorak atas lebih luas, tali air yang masih terawat, dan tidak adanya benteng penghalang

1 6 KAT (%vol) 5 4 3 2 1 Blok 7 Blok 8 Blok 16 Blok 17 Blok 18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 17 Minggu ke- (a) KAT (%vol) 6 5 4 3 2 1 Blok 7 Blok 8 Blok 16 Blok 17 Blok 18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 17 Minggu ke- (b) Gambar 1 Perubahan kadar air tanah pada kedalaman (a) -1 cm (b) 1-2 cm. [catatan: blok kontrol (16,17) dan blok perlakuan (7,8,18)] atau gundukan tanah di sekitar rorak. Volume rorak blok 18 bagian atas lebih kecil disebabkan oleh gundukan tanah atau benteng penghalang dan tali air yang tidak terawat di sekitar rorak atas sehingga volume air rorak bawah lebih besar dibanding rorak atas. Secara keseluruhan nilai kadar air tanah blok perlakuan selalu lebih tinggi dibandingkan blok kontrol. Kadar air tanah blok perlakuan pada kedalaman -1 cm dan 1-2 cm lebih besar dibanding kadar air tanah blok kontrol. Dari dua kedalaman, -1 cm dan 1-2 cm, dapat dilihat dengan jelas bahwa kadar air tanah blok dengan rorak dan terisi air lebih besar dibanding blok tanpa rorak (blok kontrol) dan blok 7 yang tidak terisi oleh air. Kadar air tanah blok perlakuan dan blok kontrol lebih besar pada kedalaman 1-2 cm dibanding kedalaman -1 cm. Profil vertikal kadar air tanah (% volume) terhadap kedalaman (Gambar 11) menunjukkan bahwa blok dengan perlakuan rorak memiliki profil kadar air tanah semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman sedangkan blok tanpa perlakuan rorak memiliki profil kadar air tanah yang fluktuatif seiring dengan bertambahnya kedalaman. Kadar air tanah blok perlakuan selalu lebih besar dibandingkan blok kontrol dimulai dari minggu pertama pengukuran sampai minggu terakhir pengukuran (minggu ke-17) meskipun nilai kadar air tanah blok perlakuan mengalami penurunan pada kedalaman 14 cm. Nilai kadar air tanah blok perlakuan kembali mengalami peningkatan pada kedalaman 16-2 cm. Nilai kadar air tanah blok perlakuan dan blok kontrol dipengaruhi oleh volume air dalam rorak dan curah hujan di lokasi penelitian dari minggu awal pengukuran sampai minggu ke-17. Nilai kadar air tanah blok kontrol pada minggu awal pengukuran berkisar antara 7-18%, minggu pertengahan pengukuran 7-2%, dan minggu terakhir pengukuran 7-22%. Nilai kadar air tanah blok perlakuan berkisar antara 12-22% pada minggu awal pengukuran, 1-26% pada minggu pertengahan, dan 9-2% pada minggu terakhir pengukuran. Nilai kadar air tanah rata-rata blok kontrol dan blok perlakuan dari minggu awal sampai dengan terakhir pengukuran (Gambar 11d) menunjukkan bahwa nilai kadar air tanah blok perlakuan dari minggu awal sampai minggu terakhir pengukuran lebih besar dari blok kontrol.

11 Kedalaman (cm) Kadar Air Tanah (% vol) 5 1 15 2 25 3-2 -4-6 -8-1 -12-14 -16-18 -2 Kedalaman (cm) Kadar Air Tanah (% vol) 5 1 15 2 25 3-2 -4-6 -8-1 -12-14 -16-18 -2 (a) Kedalaman (cm) -2-4 -6-8 -1-12 -14-16 -18-2 Kadar Air Tanah (% vol) 5 1 15 2 25 3 (c) (b) Kadar Air Tanah (% vol) Kedalaman (cm) 5 1 15 2 25 3-2 -4-6 -8-1 -12-14 -16-18 -2 Blok Kontrol (d) Blok Perlakuan Gambar 11 Profil vertikal rata-rata kadar air tanah blok kontrol dan perlakuan setiap kedalaman (a) minggu awal pengukuran (1-13 Mei 212), (b) minggu pertengahan pengukuran (2-8 Juli 212), (c) minggu terakhir pengukuran (27 Agustus-1 September 212), dan (d) rata-rata minggu awal sampai dengan akhir pengukuran (8 Mei-1 September 212). Tekstur tanah lempung berpasir dengan kandungan pasir >7% memiliki kemampuan menahan air dan kandungan hara yang rendah sedangkan tekstur liat dengan kandungan liat >35% memiliki kemampuan menahan air dan hara yang tinggi. Menurut Enni et al. (28), pola perubahan kadar air tanah tiap kedalaman menurut waktu mengikuti pola curah hujan dan fluks aliran air. Apabila terjadi hujan maka diikuti oleh kenaikan kadar air tanah pada hari berikutnya, dimana peningkatan kadar air tanah terjadi lebih dulu pada lapisan atas atas diikuti lapisan di bawahnya. Apabila tidak terjadi hujan, aliran air terjadi sebaliknya yaitu dari bawah ke atas (fluks negatif) melalui pori-pori mikro secara tak jenuh akibat proses evapotranspirasi. Kadar air tanah pada blok kontrol dan blok

12 KAT (%vol) 25 2 15 1 5 12 1 8 6 4 2 CH (mm) KAT (%vol) 14 12 1 8 6 4 2 14 12 1 8 6 4 2 CH (mm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 Minggu ke- Minggu ke- (a) blok 6 [Kontrol] (b) blok 7 [Perlakuan] KAT (%vol) 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 12 1 8 6 4 2 CH (mm) KAT (%vol) 3 25 2 15 1 5 14 12 1 8 6 4 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 CH (mm) Minggu ke- Minggu ke- (c) blok 16 [Kontrol] (d) blok 8 [Perlakuan] KAT (%vol) 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 12 1 8 6 4 2 CH (mm) KAT (%vol) 45 4 35 3 25 2 15 1 5 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 CH (mm) Minggu ke- CH KAT Minggu ke- CH KAT (e) blok 17 [Kontrol] (f) blok 18 [Perlakuan] Gambar 12 Hubungan curah hujan dengan kadar air tanah (a) blok 6 (b) blok 17 (c) blok 7 (d) blok 8 (e) blok 18 perlakuan (Gambar 12) mengalami peningkatan saat setelah terjadi hujan. Kadar air tanah blok kontrol dan perlakuan mengalami penurunan saat intensitas hujan rendah dan tidak ada kejadian hujan. 4.4 Hubungan Curah Hujan dengan Evapotranspirasi Curah hujan (dan atau irigasi) merupakan masukan air dalam neraca air tanaman sedangkan output neraca air berupa limpasan

13 (a) blok 6 (b) blok 7 (c) blok 16 (d) blok 8 ( (e) blok 17 (f) blok 18 Keterangan: Pg Pn ETa+RO = curah hujan total (gross precipitation) = curah hujan netto (net precipitation) = evapotranspirasi aktual ditambah limpasan permukaan (run off) Gambar 13 Perbandingan kumulatif curah hujan total, curah hujan netto, evapotranspirasi, dan limpasan permukaan masing-masing blok [catatan: blok kontrol (6,16,17) dan blok perlakuan (7,8,18)]

14 dan evapotranspirasi. Evapotranspirasi disebut juga sebagai pemakaian konsumtif air untuk menunjukkan jumlah air yang dikonsumsi oleh tanaman (Hazriani 24). Menurut Risza (21), perimbangan antara evapotranspirasi dan curah hujan selama periode tertentu menunjukkan keadaan defisit air atau surplus air di dalam tanah. Sumber utama ketersediaan air untuk tanaman kelapa adalah air hujan dan ketersediaan air dalam tanah. Berdasarkan literatur, kelapa sawit umumnya akan mengalami defisit air apabila berada pada kondisi curah hujan yang rendah atau curah hujan yang cukup tinggi namun memiliki bulan kering yang panjang. Hubungan antara curah hujan total (Pg), curah hujan netto (Pn), evapotranspirasi dan limpasan permukaan (ETa+RO) ditunjukkan oleh Gambar 13. Curah hujan netto diperoleh dari selisih curah hujan total dengan curah hujan yang diintersepsi oleh tanaman kelapa sawit. Oleh karena itu, nilai curah hujan netto selalu berada dibawah nilai curah hujan total. Dari keseluruhan grafik curah hujan total, curah hujan netto, dan evapotranspirasi, secara umum nilai evapotranspirasi tanaman kelapa sawit lebih besar atau hampir sama dengan nilai curah hujan netto. Hal ini berlaku untuk blok kontrol dan blok perlakuan. Akan tetapi, ada dua kondisi dimana curah hujan netto berada jauh di bawah evapotranspirasi yaitu pada Gambar 13 (d) dan (f). Hal ini disebabkan oleh tidak adanya hujan dalam beberapa selang waktu pengukuran sehingga ketersediaan air dalam rorak dan tanah tidak mencukupi. Disamping itu, periode musim kemarau yang terjadi selama masa pengukuran juga menyebabkan evapotranspirasi menjadi lebih tinggi dibanding curah hujan total dan curah hujan netto. 4.5 Evapotranspirasi Tanaman Kelapa Sawit Menurut Direktorat Irigasi (1986), curah hujan netto merupakan besar curah hujan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhan air (evapotranspirasi). Curah hujan netto tergantung pada sifat hujan, jenis tanaman, dan tingkat ketahanan tanaman terhadap kekurangan air. Evapotranspirasi aktual (ETa) adalah tinggi air yang dibutuhkan untuk mengganti sejumlah air yang hilang melalui evapotranspirasi pada tanaman yang sehat. Nilai evapotranspirasi aktual merepresentasikan nilai kebutuhan air yang harus diberikan ke tanaman, atau merupakan Evapotranspirasi (mm) Evapotranspirasi (mm) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 8 7 6 5 4 3 2 1 (a) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 (b) Pn Minggu ke- Eta+RO (Perlakuan) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 13 14 15 16 Pn Minggu ke- Eta+RO (Kontrol) Gambar 14 Hubungan curah hujan netto dengan evapotranspirasi tanaman dan limpasan permukaan pada (a) blok perlakuan (b) blok kontrol dasar dalam pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman di lapang (Aqil et al. 27). Keterkaitan antara curah hujan netto dengan evapotranspirasi dan limpasan permukaan (run off) ditunjukkan oleh Gambar 14. Evapotranspirasi dan limpasan permukaan (run off) blok perlakuan dan blok kontrol meningkat saat terjadi hujan dan mengalami penurunan saat tidak ada kejadian hujan dari minggu awal pengukuran sampai minggu terakhir pengukuran. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi hari hujan yang mempengaruhi kandungan air dalam tanah dan ketersediaan air dalam rorak. Disamping itu, periode musim kemarau yang terjadi selama pengukuran (Mei sampai dengan Agustus) juga mempengaruhi ketersediaan air dalam tanah. Evapotranspirasi dan limpasan permukaan rata-rata blok kontrol adalah 25.7 mm/minggu sedangkan evapotranspirasi dan limpasan permukaan rata-rata blok perlakuan adalah 27.3 mm/minggu selama 16 minggu. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 8 7 6 5 4 3 2 1 Curah hujan netto (mm) Curah hujan netto (mm)