Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal. Indriaswati Dyah Saptaningrum

dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

8 KESIMPULAN DAN SARAN

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

Pesan Ibu Nusantara Bagi Arah Kebangsaan Indonesia: Akui dan Penuhi Hak-hak Konstitusional Pemeluk Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan

LPF 1 MEMAHAMI KONSEP PERENCANAAN BERBASIS HAK (90 MENIT)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

BAB I PENDAHULUAN. keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945

KEBIJAKAN DIREKTORAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA DAN TRADISI

HAK KEBEBASAN BERAGAMA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

HAK ATAS PENDIDIKAN. Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-3)

BAB V KESIMPULAN. telah mendapatkan legitimasi sebagai karya grafis bersifat internasional dan

BAB I PENDAHULUAN. Indenosia tersebar di desa-desa seluruh Indonesia. diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. aliran kepercayaan disetarakan statusnya layaknya agama resmi lainnya (Mutaqin

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: harga tanah. Lembaga pertanahan berkewajiban untuk melakukan

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

FPIC DAN REDD. Oleh : Ahmad Zazali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006

NOMOR 77 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN LEMBAGA KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT (VERSI KEMENDAGRI)

Tim Analisis Isi Media. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Medan Kementerian Komunikasi dan Informatika

BAB 4 KESIMPULAN. 69 Universitas Indonesia. Memori kolektif..., Evelyn Widjaja, FIB UI, 2010

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

BAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2016 DAMPAK KEBIJAKAN SUMEDANG PUSEUR BUDAYA SUNDA TERHADAP PENANAMAN NILAI-NILAI KESUNDAAN

Dpemerintahan terkecil dan

BAB V KESIMPULAN. sosial, serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki yang terbentuk

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi merupakan fenomena budaya yang tidak dapat terhindarkan

HAK MASYARAKAT ADAT. Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

METODOLOGI. Hutan untuk Masa Depan Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia

Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

KLARIFIKASI PERDA DISKRIMINATIF GENDER

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER. Muh.Anwar Widyaiswara LPMP SulSel

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suku Batak merupakan salah satu suku yang tersebar luas dibeberapa

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM *

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan)

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, salah satunya adalah pertukaran informasi guna meningkatkan. ilmu pengetahuan diantara kedua belah pihak.

BAB II KAJIAN KONSEP CIVIL SOCIETY

: Pendidikan Kewarganegaraan (PKN)

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia.

PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

2 alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal terbatas, serta perubahan status orang asing tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Sedangkan Peristiw

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

RESOLUSI AGAMA LELUHUR. Tobelo, 20 Aprill 2012

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

BAB V. PENUTUP. (dua) permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bahan ajar merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran. Bahan

Advokasi Anggaran. berbasis HAK Anak : Langkah DEMI Langkah. Penulis : Antarini Arna Adzkar Ahsinin. Editor: Dian Kartika Sari

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut

HAK AKSES INFORMASI PUBLIK. Oleh: Mahyudin Yusdar

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KERJA BIDANG PERTANAHAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2008 Hari/Tanggal : Selasa, 29

REVOLUSI MENTAL DALAM TATA KELOLA PEMERINTAHAN DESA OLEH : I GEDE KANEKA SETIAWAN, SSTP, MPA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan

KERANGKA PIKIRAN DAN PERUBAHAN KEBIJAKAN TENTANG HUTAN PASKA MK35/PUU-X/2012: PELUANG DAN TANTANGAN. Andiko, SH. MH Direktur Eksekutif Huma

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

BAB I PENDAHULUAN. Elfa Michellia Karima, 2013 Kehidupan Nyai Di Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

Hak dan Kewajiban Warga Negara

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

Transkripsi:

Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal Indriaswati Dyah Saptaningrum Pendahuluan Pada jamaknya, suatu kekhasan yang menjadi bagian dari identitas individu ingin diekspresikan dan dikomunikasikan kepada orang lain. Kekhasan inilah yang kemudian menegaskan realitas keberbedaan. Semakin luas cakupan keperbedaan itu, semakin banyak ruang yang mungkin tercipta untuk mendialogkan satu dengan yang lainnya. Namun tak selamanya ini bisa dilakukan, setidaknya apabila menilik realitasnya dalam konteks Indonesia. Alih-alih mengekspresikan identitas yang berbeda, kelompok-kelompok masyarakat justru cenderung menyimpannya rapat-rapat. Bukan cuma tak ada ruang dialog yang terbuka, lebih jauh, mengekspresikan identitas justru berarti mengekspos diri dalam bahaya. Narasi diskriminatif bagi etnis tionghoa yang terbuka identitasnya telah lama di dengar publik. Kutipan-kutipan tak resmi dalam segala urusan administrasi yang terkait dengan negara yang dilekatkan dengan realitas identitas ini sudah jadi cerita yang jamak. Tak hanya soal uang, pada titik yang paling ekstrim, kekerasan, nyawa dan kehormatan menjadi sasarannya, yang tak jarang meninggalkan trauma yang berkepanjangan, seperti dalam peristiwa Mei 1998. Kini, cerita yang sama tak cuma menimpa kelompok identitas kultural tionghoa. Semakin banyak cerita mengenai kelompok-kelompok masyarakat tionghoa-tionghoa lainnya yang mengalami peristiwa serupa Penandanya pun tak melulu identitas etnis, namun dapat mencakup sistem religi/kepercayaan, seperti yang menimpa kelompok masyarakat penganut Ahmadiyah, kelompok masyarakat pemeluk Parmalim, kelompok penghayat, dan yang paling masif adalah identitas kultural yang biasanya merujuk pada suatu kelompok masyarakat lokal tertentu. Dalam kategori ini termasuk, kelompok masyarakat lokal Tengger, dll. Realitas kekerasan terhadap kelompok-kelompok ini baik yang secara langsung dilakuakn oleh aparatus opresif negara ataupun yang dilakukan oleh kelompok sipil lainnya masih terus menjadi narasi yang aktual bagi publik. Yang paling mutakhir dan belum luntur dari ingatan publik salah satunya adalah yang menimpa kelompok Ahmadiyah yang hampir diseluruh wilayah mengalami kekerasan dan penjarahan. Diluar cerita ini, banyak kelompok-kelompok masyarakat lokal yang mengalami kekerasan yang sama, baik karena identitas kultural yang dihidupinya, ataupun karena upaya mempertahankan hak-hak ulayatnya. Tulisan ini merupakan paparan singkat dari tulisan yang bertopik sama yang dipublikasikan dalam buku yang diluncurkan hari ini. Paparan ini dimulai dengan pengkajian singkat

mengenai peran hukum (produk perundang-undangan) negara dalam konstruksi dan peminggiran kelompok masyarakat lokal, diikuti dengan analisis singkat untuk mengkritisi advokasi berbasis hak yang menjadi mainstream dalam pemberdayaan masyarakat lokal. Masyarakat lokal dan hukum negara Tidak dapat dipungkiri, salah bentuk kontinuitas yang nyata dari hukum kolonial adalah supremasi hukum negara yang dicapai melalui sentralisme hukum negara. Paradigma inilah yang memungkinkan negara masih terus memiliki kontrol atas kelompok-kelompok masyarakat lokal. Perubahan lanskap politik hukum paska 1998 yang melahirkan gagasan desentralisasi politik di tingkat lokal, ternyata tidak mengendurkan supremasi hukum-hukum negara atas kelompok-kelompok masyarakat lokal. Bahkan, produk hukum ini justru memfasilitasi menjamurnya berbagai ketentuan lokal yang mendorong adanya kekerasan terhadap masyarakat lokal. Dengan demikian, beban masyarakat lokal justru bertambah berat, tak hanya menghadapi ketentuan-ketentuan yang dihasilkan di tingkat nasional, namun juga secara spesifik harus berhadapan dengan produk-produk hukum di tingkat lokal. Orientasi dan titik berat pengaturan yang ada memang berbeda dari waktu ke waktu. Namun secara umum hukum-hukum negara justru pada titik tertentu memfasilitasi proses peminggiran atau pun minoritisasi komunitas-komunitas lokal. Secara khusus, hal ini menunjuk pada persepsi negara yang tertuang dalam berbagai produk hukum yang ada yang menempatkan komunitas lokal sebagai persoalan sosial yang membutuhkan intervensi. Karakter ini sebenarnya apabila dirunut secara historis menunjukkan adanya kontinuasi dari karakter produk hukum yang sama di masa kolonial, dimana proses institusionalisasi atas adat dan kelompok masyarakat lokal lebih berfungsi memfasilitasi kepentingan ekonomi politik pemerintah kolonial di tanah jajahan. Proses intervensi atasnya pun dibangun dari suatu sudut pandang yang bias modernitas, dimana perangkat dan norma kelompok masyarakat lokal (baca adat) dipersepsikan sebagai norma yang terbelakang dan sederhana, sehingga tidak mampu menyerap modernitas hukum-hukum Barat yang dibawa dan diterapkan bagi kelompok masyarakat Eropa. Sebagai contoh, pada masa paruh tahun tujuhpuluhan, berbagai produk hukum negara yang ada yang terkait atau mengenai masyarakat lokal merepresentasikan kepentingan agenda pembangunanisme. Orientasi utama produk-produk hukum negara yang mengenai masyarakat lokal pada masa ini adalah adjustment baik institutional maupun mental dengan agenda pembangunan. Pada masa ini, masyarakat lokal dipersepsikan sebagai satu masalah sosial berhadapan dengan semangat modernisasi dan pembangunan. Ekonomi subsisten, mekanisme produksi tradisional dan cara hidup tradisional dilawankan dengan pengelolaan masyarakat secara modern dengan tata kelola ekonomi modern. Oleh karena itu, produk hukum yang ada

banyak menempatkan komunitas lokal sebagai suatu subyek intervensi sosial yang dilakukan melalui Departemen Sosial, seperti dalam program pengentasan keterasingan, ketertinggalan. Seiring dengan berkembangnya advokasi hak masyarakat adat yang dikembangkan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil, orientasi hukum-hukum negara bergeser ke arah pengakuan akan adanya kelembagaan adat. Hal ini diikuti pula dengan perubahan institusi yang menangani kelompok-kelompok masyarakat lokal dalam Departemen Dalam Negeri. Dalam kerangka kerja ini, kelompok masyarakat lokal ( Adat) diklasifikasikan sebagai ormas dan didefinisikan secara baru, yang berimplikasi pada hilangnya hubungan eksklusif dengan tanah ulayat. Pengakuan akan eksistensi kelembagaan dari kelompok-kelompok masyarakat lokal dalam kerangka masyarakat adat ini tidak dengan sendirinya menjamin mereka dari ancaman atas kekerasan dan diskriminasi. Hal ini disebabkan karena produk perundangundangan tersebut, beberapa diantaranya berada dalam level ketentuan teknis sehingga produkproduk hukum terdahulu tetap berlaku. Beberapa produk hukum negara yang terkait atau mengenai komunitas lokal antara lain tersaji dalam tabel di bawah ini. Tabel 1. Berbagai ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan masyarakat lokal Bidang yang diatur Agama dan budaya Agraria dan Sumber Bentuk ketentuan perundangan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keppres, Inpres, Keputusan Menteri (SK Menteri) &, Keputusan bersama Menteri (SKB) Undang-Undang, Peraturan Pemerintah ketentuan teknis setingkat surat Menteri Institusi negara terkait Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Menteri Sosial, Departemen dan kantor kementrian yang terkait, UU No 10/1992 tentang Keluarga Berencana SKB Menteri Agama dan Mendagri No. 1 tahun 1969, tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya SK Menteri Agama No. 70 tahun 1978, SK Menag no 77/1978 Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, PP No 119/1999 tentang Kelompok Masyarakat Adat tertinggal Permendagri no 11/1984 tentang Pembinaan Masyarakat Adat di tingkat desa/kelurahan Permendagri No 17/1989 Permendagri No 4 /1999 tentang Pemberdayaan, Pelestarian serta Pengembangan Adat istiadat kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga adat di Daerah, UU No 5/1960 tentang Undangundang Pokok Agraria

daya Alam Sosial politik temasuk departemen dalam negeri dan Bappenas UU no 5/1967 tentang Ketentutanketentuan Pokok Kehutanan dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan UU No 11/1974 tentang Pengairan UU No 9/1985 tentang Perikanan UU No 5/1999 tentang Perlindungan sumber daya Hayati UU No 5/1990 tentang Perlindungan sumber daya Inpres no 2/1993 tentang Desa tertinggal ( IDT) PP No 111/1999 UU No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Mencari format kebijakan yang tepat Realitas hukum sebagai instrumen yang memfasilitas kepentingan pemegang kekuasaan seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu menyisakan sejumlah agenda pembaharuan. Pemberdayaan dan pengakuan terhadap kelompok masyarakat lokal tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan karakter produk hukumnya.agenda terberatnya adalah mengubah karakter represif dari hukum menjadi instrumen yang emansipatif. Selama ini, salah satu mekanisme yang paling banyak dipergunakan adalah dengan mengadopsi berbagai ketentuan hukum ham internasional di tingkat nasional. Memang semenjak tahun 1998, sejumlah besar konvensi utama dalam hukum ham internasional telah diratifikasi. Upaya ini seiring juga dengan makin masifnya penggunaan terma-terma hak asasi dalam advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil di tingkat lokal dan nasional. Secara umum, upaya pembaharuan yang dilakukan oleh masyarakat sipil bermuara pada dua tema besar, yakni hak-hak masyarakat adat dan hak-hak kelompok minoritas.[7] Keduanya diadopsi dari sejumlah ketentuan hak asasi internasional yang telah diratifikasi maupun yang secara global berkembang di tingkat internasional. Keduanya secara luwes dipergunakan secara bersama-sama oleh berbagai kelompok masyarakat lokal.[8] Persoalannya kemudian, ketentuan hukum menyimpan kelemahan tersendiri. Rumusanrumuan hukum positif tersebut memang memberikan kepastian karena bersifat rigid dan kaku, namun hal ini juga menyimpan kelemahan yang fundamental. Rumusan tersebut menjustifikasi regim yang secara sah mengeksklusi satu kelompok yang satu dan memberikan privilege pada satu kelompok yang lain. Sebagai contoh yang sederhana, pendefinisian mengenai siapa yang layak disebut sebagai masyarakat adat telah secara rigid diatur. Element-

element ini antara lain mencakup keberlangsungan sejarah, karakteristik yang khusus, Identifikasi diri dan kesadaran kelompok, faktor non dominan. Perumusan definisi ini mendatangkan persoalan tersendiri untuk beberapa kelompok masyarakat lokal, seperti kelompok masyarakat Towani Tolotang dan kelompok masyarakat Tengger, ataupun komunitas Parmalim di Huta tinggi yang meskipun melekatkan diri pada identitas tradisional masyarakat Batak tidak menjadikan masyarakat adat sebagai identitas kelompoknya. Barangkali masifnya penggunaan instrumen tersebut lebih karena absennya kerangka hukum yang dikembangkan di tingkat lokal yang mampu mengartikulasikan tuntutan mereka berhadapan dengan supremasi dan tirani hukum negara. Selain itu, proses adopsi mentah-mentah berbagai instrumen internasional tersebut juga mendatangkan beberapa persoalan di tingkat implementasi, khususnya berkaitan dengan justisiabilitas haknya. Akibatnya, sederet jaminan tersebut berfungsi hanya sebagai teks-teks referensi yang belum secara efektif dapat direalisasikan. Namun, nampaknya upaya ini belumlah cukup untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai suatu realitas yang hidup dalam keseharian. Proses pembuatan kebijakan baik dan tingkat lokal dan nasional seolah tidak bergeming dan tetap memiliki karakter yang sama. Dengan demikian, masih terbuka ruang yang sangat luas untuk memulai diskusi bersama, menggagas dan mengembangkan format ketentuan hukum yang tepat bagi berbagai kelompok masyarakat lokal di Indonesia. Upaya pembentukan kerangka hukum ini mensyaratkan dua hal penting; (1) re-konseptualisasi hak asasi manusia di tingkat lokal dan (2) percakapan antar berbagai norma dan hukum yang secara efektif berlaku dalammenjadi kekayaan dari masyarakat lokal itu sendiri. Dalam konteks ini keduanya didudukkan sebagai suatu proyek belum usai, yang membutuhkan pendefinisian ulang secara terus menerus. Dengan demikian, rekonseptualisasi hak asasi juga mengandaikan pemetaan ulang kekayaan di tingkat lokal, khususnya sistem nilai yang dimiliki oleh masing-masing kelompok lokal. Hal ini karena bukan tidak mungkin sebenarnya spirit yang sama telah ada atau sebagian ada dalam praktek keseharian masyarakat-masyarakat lokal yang ada. Sementara itu, percakapan antar berbagai norma dalam masyarakat lokal mengandaikan keterbukaan dari masing-masing sistem hukum tersebut. Dengan demikian masyarakat lokal ditempatkan sebagai satu subyek dan kelompok sosial yang terus berkembang dan tidak stagnan. Selain itu, percakapan ini juga membuka ruang untuk mengartikulasikan dan mengakui keperbedaan tersebut. Sehingga, setidaknya dapat menghindarkan terjadinya kecenderungan dominasi dari satu kelompok paling dominan terhadap kelompok yang lainnya.

Kerangka kebijakan seperti inilah yang diharapkan mampu merubah karakter represif dari hukum menjadi emansipatif dan memberdayakan.