PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP

Pdengan Persetujuan Bersama

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan. Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara

KEPASTIAN HUKUM DAN TANGGUNG GUGAT ATAS DISKRESI

Pengujian Peraturan. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

QUO VADIS KEPUTUSAN FIKTIF NEGATIF? (Catatan Pinggir pasca berlakunya UU KIP)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IMPLIKASI YURIDIS LEGALITAS KEWENANGAN (RECHTMATIGHEID) MAJELIS KEHORMATAN DALAM PEMBINAAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PUBLIK

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-XV/2017

LAPORAN SINGKAT TIMUS/TIMSIN RUU TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KOMISI II DPR RI

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Herlambang P. Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 30 Oktober 2017

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

Hal. 1 dari 9 hal. Put. No.62 K/TUN/06

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-36095/PP/M.III/99/2012. Tahun Pajak : 2011

*12398 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 32 TAHUN 2000 (32/2000) TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

MENTERI TIDAK BERWENANG UNTUK MEMBERHENTIKAN PEJABAT FUNGSIONAL WIDYAISWARA UTAMA GOLONGAN IV/e DARI DAN DALAM JABATANNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur didalam Undang-Undang Nomor

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Administrasi Negara

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

BAB VII PERADILAN PAJAK

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 77/PUU-XV/2017

RechtsVinding Online

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengujian Peraturan Daerah

P U T U S A N No. 237 K/TUN/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

BEBERAPA CATATAN TENTANG NASKAH AKADEMIK RUU HAK ATAS TANAH DAN RUU PENGADILAN AGRARIA

BAB V KESIMPULAN. hanya dapat dilakukan satu kali saja. 1 Hal itu berarti putusan yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR BERACARA DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

BERACARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

I. UMUM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

DAFTAR ISI v. HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN. ii KATA PENGANTAR. iii ABSTRAK... iv

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

P U T U S A N No. 57 K/TUN/2006


BAB IV ANALISIS KASUS

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Untuk terlaksananya suatu putusan terdapat 2 (dua) upaya yang dapat ditempuh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Oleh:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dualisme melihat Kedudukan hukum Pemohon Informasi

Transkripsi:

PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI Prof. Dr. HM. LAICA MARZUKI, S.H. PENDAHULUAN Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan tidak menyampingkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Secara mutatis mutandis, hanya perlu diadakan penyesuaian (aanpassing) terhadap UU Nomor 30/2014 dimaksud sepanjang berkaitan dengan kekhususan prosedural daripadanya. Asas lex posterior derogat legi priori (= undang-undang yang datang kemudian menyampingkan undang-undang terdahulu) tidak relevan dengan pemberlakuan UU Nomor 30/2014. PERLUASAN KOMPETENSI UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan memperluas kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana kami catatkan berikut ini. 1

1. Menteri Kehakiman RI, ISMAIL SALEH, SH dalam sambutannya, mewakili Pemerintah, di hadapan Sidang DPR RI, tanggal 30 Desember 1986, atas persetujuan DPR RI terhadap RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengemukakan 3 macam perbuatan tata usaha negara (bestuurshandeling): 1) Perbuatan Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan/K.TUN (= beschikkingsdaad van de administratie); 2) Perbuatan Tata Usaha Negara dalam membuat dan mengeluarkan Peraturan (= regelend daad van de administratie); 3) Perbuatan Materil Tata Usaha Negara (= materieele daad van de administratie); Dikatakan bahwa kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, kelak dikenal dengan UU Nomor 5/1986 (= LN-RI Tahun 1986 Nomor 77) adalah berkenaan dengan Perbuatan Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan Keputusan/K.TUN (= beschikkingsdaad van de administratie). Kurang lebih 28 tahun kemudian, di kala pemberlakuan UU Nomor 30/2014 (= LN-RI Tahun 2014 Nomor 292), kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara diperluas, mencakupi pula Perbuatan Materil Tata Usaha Negara (= materieele daad van de administratie) dikenal dengan penamaan: Tindakan Administrasi Pemerintahan (= Tindakan). Pasal 1 angka 8 UU Nomor 30/2014 merumuskan Tindakan Administrasi Pemerintahan (juga disebut Tindakan) adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara sehubungan dengan pemberlakuan UU Nomor 30/2014 adalah memeriksa, mengadili dan memutus: 2

- Perbuatan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan/K.TUN (beschikkingsdaad) - Tindakan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya dalam melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret/faktual (materieele daad). Tindakan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya berkenaan dengan perbuatan penguasa yang melanggar hukum (onrechmatige overheidsdaad) menurut Pasal 1365 BW Ind tidak lagi menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum tetapi telah menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara (= Pasal 85 UU Nomor 30/2014) 2. UU Nomor 30/2014 memperluas cakupan peran subjek Penggugat/Pemohon serta subyek Tergugat/Termohon. Subyek Penggugat/Pemohon meliputi Warga Masyarakat, lebih luas cakupannya atas pemaknaan orang dan badan hukum perdata yang selama ini hanya terkait perannya sebagai pihak yang mengajukan gugatan. Pasal 1. Angka 15 UU Nomor 30/2014 merumuskan Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan. Pasal 7. Ayat (2), huruf f dan g UU Nomor 30/2014 mewajibkan Pejabat Pemerintahan memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan serta wajib memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan. Pasal 7. ayat (2), huruf i UU Nomor 30/2014 mewajibkan Pejabat Pemerintahan membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 3

Pasal 21. ayat (2), (3) UU Nomor 30/2014 membuka peluang bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara guna menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan. Pengadilan Tata Usaha Negara wajib memutuskan permohonan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dimaksud paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan. Pasal 21. ayat (4), (5) dan (6) UU Nomor 30/2014 menetapkan bahwa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang bakal diputus hakim banding paling lama 21 hari kerja sejak permohonan banding diajukan. Putusan banding bersifat mengikat. Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang. UU Nomor 30/2014 memperluas subyek Tergugat/Termohon, meliputi pihak penyelenggara negara lainnya, disamping Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, kesemuanya selaku unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan. 3. Pasal 62. ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UU Nomor 30/2014 memungkinkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyampaikan Keputusan (K.TUN) melalui sarana elektronis. Penjelasan Pasal 62. ayat (1) UU Nomor 30/2014 memaksudkan sarana elektronis, antara lain faksimile, surat elektronik, dan sebagainya. Dalam proses beracara, suatu Keputusan (K.TUN) yang disampaikan kepada Warga Masyarakat melalui sarana elektronik, berkekuatan sebagai bukti surat. Keputusan (K.TUN) yang diumumkan melalui media elektronik mulai berlaku paling lama 10 hari sejak ditetapkan. Dalam hal terjadi permasalahan dalam kaitannya 4

pengirimannya, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan harus memberikan bukti tanggal pengiriman dan penerimaan. 4. Pasal 53. ayat (1), (2), (3) UU Nomor 30/2014 menentukan batas waktu kewajiban bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan guna menetapkan Keputusan (K.TUN) serta batas waktu kewajiban bagi Pejabat Pemerintahan untuk melakukan suatu Tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Jika ketentuan peraturan perundangundangan tidak menentukan batas waktu kewajiban daripadanya maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Apabila dalam batas waktu dimaksud, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan Keputusan (K.TUN) dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak melakukan suatu Tindakan Konkret/Faktual, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Tidak salah kiranya manakala hal dimaksud dinamakan Keputusan Fiktif Positif. Pasal 53. ayat (4), (5), (6) UU Nomor 30/2014 meluangkan Warga Masyarakat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memperoleh Keputusan Fiktif Positif. Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Secara prosesuil, putusan pengadilan dapat dimohonkan Peninjauan Kembali (PK) namun tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksud. 5

Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan. Diadopsinya konsep Keputusan Fiktif Positif dalam UU Nomor 30/2014 tidak dengan seketika menyampingkan pemberlakuan Keputusan Fiktif Negatif, menurut Pasal 3 UU Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menganggap Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara dipandang telah menolak mengeluarkan suatu K.TUN manakala dalam batas waktu tertentu tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan. UU Nomor 30/2014 tidak menyampingkan atau membatalkan Pasal 3 UU Nomor 5/1986. Hal dimaksud tepergantung sejauhmana Pasal 3 UU Nomor 5/1986 masih merupakan kebutuhan hukum bagi pencari keadilan (justiciabel) dalam praktek upaya hukum administrasi. Lagipula, Pasal 3 UU Nomor 5/1986 berkenaan dengan Keputusan Fiktif Negatif tidak dapat diterapkan bagi pengajuan pemohonan dilakukannya (= atau tidak dilakukannya) Tindakan Konkret/Faktual dari Pejabat Pemerintahan. UU NOMOR 30/2014: FOKUS PADA KEWENANGAN PEMERINTAHAN Pembuat UU Nomor 30/2014 memfokus pengaturan normatifnya pada Kewenangan Pemerintahan, diatur pada Bab V, Pasal 8 s/d Pasal 39 UU Nomor 30/2014. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan serta penyelenggara negara lainnya dalam mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintahan (K.TUN) dan dalam hal Pejabat Pemerintahan melakukan (atau tidak melakukan) Tindakan Administrasi Pemerintahan didasarkan pada wewenang (= Bevoegdheden) yang dimilikinya. 6

Pasal 1. angka 5 UU Nomor 30/2014 merumuskan wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan dimaksud merupakan Kewenangan Pemerintahan. Pasal 1. angka 6 UU Nomor 30/2014 merumuskan Kewenangan Pemerintahan (selanjutnya disebut Kewenangan) adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Kewenangan (= bevoegdheden) melekat pada Jabatan (het ambt). Tanpa Jabatan tidak bakal ada Kewenangan! Jabatan (het ambt) adalah badan (= orgaan) hukum publik, merupakan sumber keberadaan Kewenangan. Dalam menfungsikan Kewenangan yang melekat padanya, Jabatan (het ambt) diwakili oleh manusia pribadi (natuurlijke persoon), lazim disebut Pejabat (ambtsdrager) atau Pejabat Pemerintahan. Badan Pemerintahan adalah wujud badan pemerintahan (= bestuursorgaan) dalam format kelembagaan, semacam kementerian, instansi/jawatan yang dalam menfungsikan kewenangannya, juga diwakili oleh Pejabat (ambtsdrager). Hanya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (atau penyelenggara negara) yang memiliki Wewenang, yang dapat mengeluarkan Keputusan (K.TUN), dan hanya Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat melakukan (atau tidak melakukan) suatu Tindakan Konkret/Faktual. Oleh karena itu, pada setiab Badan dan/atau Jabatan Pemerintahan ditentukan cakupan bidang atau materi wewenangnya, wilayah atau daerah berlakunya Wewenang tersebut serta masa dan tenggang waktu Wewenang itu. 7

UU Nomor 30/2014 mengatur Larangan Penyalahgunaan Wewenang. Pasal 17, 18 UU Nomor 30/2014, menetapkan, Larangan Penyalahgunaan Wewenang berupa: a. Larangan melampaui Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: - melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang; - melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; - bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan b. Larangan mencampuradukkan Wewenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: - di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; - bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan. c. Larangan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan: - tanpa dasar Kewenangan; dan/atau - bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pasal 19 ayat (1), (2) UU Nomor 30/2014 menetapkan, Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan a. peraturan perundang-perundangan. b. AUPB (ABBB) (Pasal 8. ayat (2) UU Nomor 30/2014). 8

Pasal 11 UU Nomor 30/2014 menetapkan Kewenangan diperoleh melalui Atribusi, Delegasi, dan/atau Mandat. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Atribusi, tanggung jawab berada pada Pejabat dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan. Menurut Pasal 1 angka 22 UU Nomor 30/2014, Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Delegasi (Delegation of Authority) adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima delegasi. Tatkala terjadi pelimpahan kewenangan melalui delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu. Pelimpahan Kewenangan yang diperoleh melalui mandatum, Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator. Tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada mandator. Dalam melaksanakan wewenangnya, mandataris wajib mencantumkan dirinya selaku pelaksana on behalf of mandator. Pasal 66. ayat (1) UU Nomor 30/2014, menetapkan Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat: a. wewenang; b. prosedur; dan/atau c. substansi. 9

CATATAN KRITIS Perlu kiranya membubuhkan catatan kritis pada beberapa ketentuan prosedural, pasal-pasal UU Nomor 30/2014 berikut ini: 1. Pasal 13. ayat (5) UU Nomor 30/2014 menetapkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Delegasi dapat menggunakan sendiri Wewenang yang telah diberikan melalui Delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada umunya, tatkala terjadi pelimpahan kewenangan melalui Delegasi, pemberi Delegasi kehilangan kewenangan itu. Tanggung jawab dan tanggung gugat beralih seluruhnya pada penerima delegasi. Pemerintah Pusat tidak dapat menggunakan lagi Kewenangan atas dasar delegation of authority kepada daerah-daerah otonom. 2. Pasal 64. ayat (3) UU Nomor 30/2014 mencantumkan, Keputusan pencabutan dapat dilakukan oleh Atasan Pejabat yang menetapkan keputusan. Tidak lazim, Atasan Pejabat mencabut Keputusan Pejabat bawahan. Pada umumnya, Atasan Pejabat yang membatalkan Keputusan Bawahan melalui upaya banding administratif. 3. Pasal 66. ayat (3) UU Nomor 30/2014 mencantumkan, Keputusan pembatalan dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan. Tidak lazim, Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan membatalkan Keputusan-nya sendiri. Pejabat Pemerintahan dimaksud hanya dapat mencabut Keputusan yang dikeluarkannya melalui prosedur keberatan (= bezwaarschriften procedure) pada upaya administrasi. 10

4. Pasal 76. ayat (1), (2) dan (3) UU Nomor 30/2014, menetapkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh Warga Masyarakat. Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, Warga Masyarakat dapat mengajukan banding kepada Atasan Pejabat. Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Prosedur upaya administratif dimaksud berbeda dengan prosedur administratif menurut Pasal 48 UU Nomor 5/1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Ditetapkan, dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara dimaksud jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. UU Nomor 5/1986 mensyaratkan penyelesaian upaya administratif secara menyeluruh dan tuntas (uitputten). Pasal 76. ayat (2) dan (3) UU Nomor 30/2014, mensyaratkan penyelesaian upaya administratif terbatas kepada Atasan Pejabat melalui banding administratif. Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, 11

Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 51. ayat (3) dan (4) UU Nomor 5/1986, menetapkan bahwasanya penyelesaian justisil bagi penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif menurut Pasal 48 UU Nomor 5/1986, diserahkan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan selanjutnya dapat diajukan permohonan kasasi. Pembentuk UU Nomor 5/1986, memandang seluruh tahapan upaya administratif merupakan bagian penyelesaian justisil, sehingga tahapan selanjutnya pada acara pemeriksaan peradilan berada pada kewenangan (kompetensi) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Lebih tepat kiranya hal dimaksud dipertanyakan guna diuji melalui upaya judicial review atau legislative review. PENUTUP UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah menjadi bagian hukum administrasi, juga berdampak pada perkembangan kompetensi peradilan tata usaha negara. Bagai pepatah, De teerling is geworpen (= dadu telah dibuang)!, para hakim peradilan administrasi seyogianya menyambut pemberlakuan UU Nomor 30/2014 dengan semangat JUDGES MADE LAW. Jakarta, 26 Januari 2017 12

BIODATA H.M. LAICA MARZUKI Lahir di Tekolampe, Sinjai, Sulawesi Selatan, pada tanggal 5 Mei 1941, adalah Guru Besar Hukum Tata Negara pada Universitas Hasanuddin (UNHAS), Makassar. Mantan Hakim Agung, dan sejak bulan Agustus 2003, menjadi Hakim Konstitusi, kelak memegang jabatan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi hingga memasuki masa purna bakhti pada tanggal 1 Juni 2008. Pernah menjadi Ketua Program Studi Ilmu Hukum ( Magister ) Pascasarjana UNHAS, dan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum LPPM, UNHAS. Lulus Fakultas Hukum UNHAS, Makassar pada bulan Agustus 1979, lalu menempuh studi lanjutan dalam rangka Sandwich Program di Leiden, Negeri Belanda ( 1984-1985 ) dan penyusunan buku Hukum Administrasi di Utrecht ( 1989-1990 ), Negeri Belanda, kemudian menyelesaikan studi Doktor ( S3 ) pada Pascasarjana, Universitas Padjadjaran ( UNPAD ), Bandung, di kala tanggal 5 Juli 1995. 13