QUO VADIS KEPUTUSAN FIKTIF NEGATIF? (Catatan Pinggir pasca berlakunya UU KIP)
|
|
- Leony Indradjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 QUO VADIS KEPUTUSAN FIKTIF NEGATIF? (Catatan Pinggir pasca berlakunya UU KIP) Oleh. Irvan Mawardi 1 Pengantar Salah satu mandat dari keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah agar tercapai dinamisasi dan harmonisasi hubungan warga negara (publik) dengan negara, dalam hal ini pejabat tata usaha negara. Harmonisasi tersebut mencakup adanya posisi yang equal antara publik dan negara khususnya nilai keadilan dalam sebuah Keputusan (beshcikking) Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat publik terhadap warga negara. Pada dasarnya, PTUN berwenang menguji Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat TUN untuk memastikan bahwa KTUN tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dengan kewenangan ini diharapkan PTUN mampu melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Aksentuasi relasi negara dengan warga negara menjadi entry point untuk memperkaya diskusi dan kajian dalam hukum administrasi negara Selain menguji keluarnya keputusan Pejabat TUN, PTUN juga memiliki wewenang untuk mengadili sikap pejabat TUN yang mengabaikan permohonan warga agar diterbitkan sebuah KTUN. Dalam pandangan Endra Wijaya, S.H., Sikap mengabaikan atau mendiamkan permohonan jelas dapat menimbulkan kerugian di pihak warga masyarakat yang memohonkannya. Di dalam teori tentang etika administrasi negara, salah satu cara untuk mengawasi dan mencegah terjadinya sikap mengabaikan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat adalah dengan melakukan apa yang disebut sebagai sistem pertanggungjawaban legal. Hukum administrasi mengatur bahwa sikap diam pejabat TUN dalam menerbitkan sebuah KTUN biasa dikenal dengan Keputusan Fiktif Negatif. Menurut Junaedi, S.H.,M.Si.,LL.M, Keputusan yang bersifat fiktif negatif adalah sikap diam Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang tidak mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan oleh orang atau badan hukum perdata, dalam kurun waktu tertentu, sedangkan hal tersebut menjadi kewajibannya. Sikap diam ini dapat diuji keabsahannya di peradilan Tata Usaha Negara, dan apabila penolakan dengan sikap diam tersebut mengundang cacat hukum, maka pengadilan menyatakan batal atau tidak sah atau memerintahkan agar pejabat atau badan Tata Usaha Negara untuk menerbitkan atau mengeluarkan keputusan sebagaimana dimohonkan oleh penggugat. Sesungguhnya Objek gugatan ini adalah tidak berwujud, tetapi suatu sikap tidak mengeluarkan Keputusan yang telah dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka sikap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dijadikan sebagai objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. 1 Warga PTUN Yogyakarta 1 C a t a t a n P i n g g i r
2 Pengaturan tentang Keputusan Fiktif Negatif ini diatur dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU Peratun) menegaskan: (1) Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara. (2) Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Kemudian, di dalam bagian Penjelasan Pasal 3 disebutkan: Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan badan atau pejabat tata usaha negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang telah diterimanya. Ayat (3) Cukup jelas. Dalam konteks pasal 3 tersebut, Fiktif menunjukkan bahwa keputusan TUN yang digugat sebenarnya tidak berwujud. Ia hanya merupakan sikap diam dari badan atau pejabat TUN, yang kemudian dianggap disamakan dengan sebuah keputusan TUN yang nyata tertulis. Negatif menunjukkan bahwa keputusan TUN yang digugat dianggap berisi penolakan terhadap permohonan yang telah diajukan oleh Individu atau badan hukum perdata kepada badan atau pejabat TUN. Tulisan ini tidak bermaksud mengurai substansi persoalan Keputusan Fiktif Negatif. Secara filosofis, eksistensi Pasal 3 UU Peratun tersebut mengandung makna adanya proses pelayanan publik yang diabaikan oleh negara dalam hal ini pejabat negara. Yakni ketika warga negara hendak mengakses informasi berupa KTUN namun ditolak oleh pejabat TUN. Dari Aspek inilah ada dua hal penting dibahas dari Keputusan Fiktif Negatif itu; Pertama, mekanisme atau upaya warga negara ketika mengajukan permohonan dikeluarkannya KTUN (yang belum dikeluarkan) tersebut. Pasal 3 tersebut tidak menjelaskan mekanisme yang mesti ditempuh dalam memperoleh KTUN yang dimohonkan, namun hanya mengatur limit waktu permohonan, yakni 4 bulan atau sesuai dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat. Kedua, dalam konteks akuntabilitas penyelenggaraan negara, pasal 3 tersebut tidak memberikan ruang yang dialektik antara warga dan pejabat negara dalam proses mendapatkan informasi publik. Serta merta diatur resiko yang diatur dalam pasal 3 tersebut adalah apabila ada penolakan oleh pejabat badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan maka dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. 2 C a t a t a n P i n g g i r
3 Menurut hemat saya dua aspek ini penting diurai terkait dengan disahkannya UU. No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disebut UU KIP). Undang-undang yang mulai berlaku sejak tanggal 30 April ini cukup banyak mempengaruhi eksistensi dan pola penerapan keputusan Fiktif Negatif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Peratun. Pertanyaan pentingnya adalah Bagaimana mekanisme penerapan hukum pasal 3 UU Peratun terkait dengan disahkannya UU KIP yang mengatur tentang mekanisme memperoleh informasi publik serta adanya sengketa yang terjadi antara badan publik dan pengguna informasi publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi berdasarkan perundangundangan? Salah satu pemicu dari sengketa tersebut adalah adanya penolakan pejabat publik memberi informasi kepada pemohon informasi. UU KIP dan Keputusan Fiktif Negatif Terhitung mulai tanggal 30 April 2010 UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Infromasi Publik (KIP) mulai diberlakukan. Dengan alasan ketidaksiapan pemerintah dan infrastrukturnya, UU KIP ini baru diberlakukan 2 tahun setelah disahkannya pada tahun 2008 yang lalu. Asumsi yuridis filosofis dilahirkannya UU KIP ini adalah bahwa pasca amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 1 ayat 2 yang menempatkan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam republik ini. Sebelum diamandemen, UUD 1945 Majelis Permusyawaratn Tertinggi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sehingga wajah demokrasi perwakilan begitu kuat. Paradigma ketika itu adalah semua (kedaulatan) yang dimiliki oleh rakyat telah diwakili oleh Parlemen. Rakyat seolah tidak memiliki daya pasca pemilu, semua dipasrahkan kepada kekuatan legislatif. Efek dari pelaksanaan kedaulatan yang sepenuhnya dimiliki MPR adalah posisi rakyat sangat lemah memperoleh akses kekuasaan, baik yang dijalankan oleh Legislatif maupun eksekutif dan yudikatif. Termasuk dalam hal akses informasi yang menyangkut kepentingan publik. Setelah kedaulatan sepenuhnya diserahkan kepada rakyat, maka diperlukan sepenuhnya infstruktur hukum untuk mengawal kedaulatan itu berjalan secara transparan dan akuntabel. Hadirnya UU KIP adalah bagian dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam hal mengakses informasi publik seluas-luasnya Disahkannya UU KIP sebenarnya memberikan pengaruh terhadap beberapa lembaga dan instrumen hukum yang selama ini memiliki keterikatan langsung maupun tidak langsung dengan penyampaian informasi kepada publik. Terkait dengan eksistensi PTUN, UU KIP secara eksplisit membahas PTUN hanya dalam pasal 47, 49 dan 50 yang secara khusus membahas tentang Gugatan Pengadilan ketika sengketa informasi publik lewat proses mediasi dan ajudikasi tidak mampu diselesaikan oleh Komisi Informasi. Selain itu, secara implisit UU KIP juga mengatur adanya kewajiban bagi PTUN dan lembaga pengadilan lainnya untuk memberikan kesempatan kepada publik untuk mengakses Putusan pengadilan (Vide Pasal 18). Namun saya menilai ada kaitan yang sangat substantif antara pasal 3 UU Peratun dengan mekanisme memperoleh informasi dan sengketa informasi publik yang diatur dalam UU KIP. Keterkaitan tersebut terdapat dalam 2 hal; Pertama, baik UU Peratun maupun UU KIP keduanya mengatur tentang adanya upaya warga negara dalam memperoleh informasi publik, khususnya Keputusan Tata Usaha Negara. Kedua, UU KIP maupun UU Peratun mengatur mekanisme apabila terdapat penolakan dari pejabat publik untuk memberikan informasi publik kepada pemohon informasi. Meskipun memiliki dua substansi keterkaitan, namun penerapan 3 C a t a t a n P i n g g i r
4 hukumnya berpotensi memicu adanya konflik dan penegasian eksistensi salah satu di antara keduanya. Konflik dan saling benturan di antara keduanya diawali adanya perbedaan dalam hal pengaturan tekhnis upaya warga negara (pemohon Informasi) dalam memperoleh informasi, dalam hal ini KTUN yang dikeluarkan pejabat publik. Dalam UU KIP upaya memperoleh informasi diatur secara detail dengan beberapa tahapan; Pertama, tahapan permohonan informasi kepada pejabat publik. Mekanisme ini diatur dalam dalam BAB IV tentang Mekanisme Memperoleh Informasi khususnya dalam pasal 21 dan pasal 22. Dalam pasal 21 dan 22 disebutkan mekanisme memperoleh informasi berikut rentang waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tersebut. Pasal 22 angka 7 diantaranya menyebut... (7) Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan..dst. dan selanjutnya pasal 22 angka 8 menyebut... Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), paling lambat 7 (tujuh) hari kerja berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis... Kedua, tahapan Keberatan. Selanjutnya pemohon berhak mengajukan keberatan kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dengan alasan, ada penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; tidak ditanggapinya permintaan informasi; permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta; tidak dipenuhinya permintaan informasi; pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/atau serta penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam Undang-Undang ini (vide Pasal 35 angka 1). Keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukannya alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1). Selanjutnya Atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis. Ketiga, tahapan penyelesaian sengketa melalui mediasi dan ajudikasi oleh Komisi Informasi. Apabila sampai pada tahapan pengajuan dan jawaban keberatan dari kedua belah pihak tidak mampu menyelesaikan masalah, maka UU KIP ini menyediakan tahapan penyelesaian berikutnya lewat mekanisme Mediasi atau ajudikasi melalui Komisi Informasi. Rentang waktu penyelesaian sengketa informasi melalui komisi informasi dijelaskan dalam pasal 37 dan 38 UU KIP; Pasal 37 (1) Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan kepada Komisi Informasi Pusat dan/atau Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya apabila tanggapan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak memuaskan Pemohon Informasi Publik. (2) Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2). Pasal 38 (1) Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota harus mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik. (2) Proses penyelesaian sengketa 4 C a t a t a n P i n g g i r
5 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja. Keempat, tahapan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan. Selanjutnya, apabila kedua belah pihak tidak mampu menyelesaikan persengketaan melalui mediasi oleh Komisi Informasi, maka UU KIP memberi ruang penyelesaian di Pengadilan. Pasal 48 angka 1 menyebut bahwa Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat ditempuh apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut. Selanjutnya cara serta waktu yang diperlukan dalam proses penyelesaian sengketa informasi melalui mekanisme Peradilan (dalam hal ini PTUN) disesuaikan dengan mekanisme yang diatur dalam peradilan TUN sebagaiman dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 47 ayat 1; Gugatan terhadap Badan Publik negara yang terkait dengan kebijakan pejabat tata usaha negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Dari penjelasan tersebut, alur proses memperoleh informasi versi UU KIP dapat diringkas sebagai berikut; Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja, Pejabat Publik harus merespon Permintaan Pemohon Informasi Badan Publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), paling lambat 7 (tujuh) hari kerja Keberatan diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja Tanggapan atasan pejabat atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat Komisi Informasi mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan Selanjutnya diproses di Pengadilan TUN. Sesuai dengan ketentuan beracar a di PTUN, Perkara TUN di tingkat Pertama harus diputus dan diminutasi dalam waktu 6 bulan 5 C a t a t a n P i n g g i r Pengajuan Gugatan ke PTUN ditempuh apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut Proses penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja
6 Dari alur di atas dapat ditunjukkan bahwa proses permohonan informasi yang disertai dengan keberatan, mediasi dan penyelesaian di Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat pertama secara akumulatif memerlukan waktu kurang lebih 399 hari atau kurang lebih 13 bulan (belum terhitung ketika terjadi Banding dan Kasasi). Dengan catatan, pemohon informasi memiliki waktu 219 hari melewati tahapan memohon informasi publik sebelum masuk sengketa di PTUN (lihat kotak warna biru). Sementara itu, kalau kita kaji lebih jauh tentang konteks permohonan KTUN oleh warga negara yang diatur dalam pasal 3 UU Peratun, secara terang tidak diatur mekanisme yang detail seputar tahapan pemohon dalam hal ini warga negara ketika meminta informasi berupa KTUN yang menjadi kewajiban bagi pejabat TUN untuk menerbitkannya. Konteks Permohonan pada pasal 3 UU Peratun secara tegas diatur dalam ayat 2 da 3 ; (2) Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Selanjutnya, tahapan berikutnya adalah mendudukkan posisi Pasal 3 UU Peratun dalam konteks penerapan pasal 55 UU No. 5 tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur tentang Tenggang Waktu mengajukan gugatan. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya memberikan tenggang waktu untuk mengajukan gugatan kepada penggugat selama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan TUN yang akan digugat. Jadi gugatan tersebut tidak boleh didaftarkan apabila telah melebihi waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan TUN yang akan digugat. Apabila gugatan tetap diajukan, padahal tenggang waktu untuk mengajukan gugatan sudah lewat, maka gugatan akan tidak diterima. Untuk keputusan TUN yang fiktif-negatif, maka penghitungan tenggang waktu pengajuan gugatan selain tetap memperhatikan ketentuan Pasal 55, juga harus kembali memperhatikan ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan (3). Untuk keputusan TUN yang fiktif-negatif sebagaimana yang diatur pada Pasal 3 ayat (2), maka penghitungan tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari untuk mengajukan gugatannya dihitung sejak lewatnya jangka waktu di dalam peraturan perundangundangan yang mengatur kewajiban badan atau pejabat TUN untuk memberikan jawaban atas suatu permohonan. Sedangkan untuk keputusan TUN fiktif-negatif yang diatur pada ayat (3), penghitungan tenggang waktu untuk mengajukan gugatannya dihitung sejak lewatnya jangka waktu 4 (empat) bulan sejak permohonan diajukan kepada badan atau pejabat TUN yang digugat. Kemudian, Titik tolak dalam menghitung tenggang waktu pengajuan gugatan terhadap keputusan TUN yang fiktif-negatif adalah berdasarkan tanggal yang tertera di dalam suatu tanda terima dari kantor badan atau pejabat TUN pada saat surat permohonan disampaikan kepada badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. 6 C a t a t a n P i n g g i r
7 Dari penjelasan tersebut, alur proses memperoleh informasi versi UU PERATUN dapat diringkas sebagai berikut; Pemohon mengajukan permohonan informasi berupa penerbitan KTUN kepada pejabat Publik yang berwenang Apabila selama 4 Bulan (atau sesuai dengan ketentuan UU yang mengatur penerbitan KTUN tersebut) Pejabat Berwenang tidak menerbitkan KTUN yang dimohon, maka dianggap Pejabat tersebut telah mengeluarkan Surat keputusan [penolakan. Atas SK penolakan tersebut, warga/pemohon berhak mengajukan gugatan ke PTUN. Rentang waktu mengajukan gugatan selama 90 hari sejak lewatnya jangka waktu 4 (empat) bulan Selanjutnya diproses di Pengadilan TUN. Sesuai dengan ketentuan beracar a di PTUN, Perkara TUN di tingkat Pertama harus diputus dan diminutasi dalam waktu 6 bulan Dari uraian tahapan Keputusan Fiktif Negatif tersebut Bunyi ayat 2 dan 3 dari Pasal 3 UU Peratun memberi beberapa petunjuk. Pertama, adanya pemohon informasi (dalam hal ini warga) yang memohon KTUN kepada pejabat TUN yang semestinya dikeluarkan oleh pejabat tersebut. Kedua, tidak adanya jangka waktu yang spesifik tahapan permohonan kepada pejabat TUN namun disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur KTUN tersebut. Ketiga, apabila peraturan perundang-undangan yang mengatur KTUN tersebut tidak mengatur mekanisme waktu, maka UU Peratun pasal 3 memberikan jangka waktu 4 bulan sebagai limit bagi pejabat TUN untuk mengeluarkan KTUN yang dimohonkan. Apabila sampai 4 bulan Pejabat TUN yang bersangkutan tidak mengeluarkan KTUN yang dimohon, maka pejabat TUN dianggap telah mengeluarkan sebuah KTUN tentang penolakan permohonan warga. Keempat, pasal 3 Peratun tidak mengatur tentang mekanisme atau tahapan memperoleh informasi bagi warga sebelum sampai tenggang waktu 4 bulan (apabila tidak diatur secara spesfik dalam peraturan perundang-undangan terbitnya KTUN yang dimohon) termasuk ketika pejabat TUN melakukan penolakan pasif. Artinya rentang waktu 4 bulan tersebut, posisi Pemohon informasi dan pejabat publik adalah pasif (kecuali diatur dalam ketentuan terkait KTUN yang dimohon). Kelima, UU Peratun memberi tenggang waktu selama 90 hari sejak (lewatnya jangka waktu di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban badan atau pejabat TUN untuk memberikan jawaban atas suatu permohonan) bagi warga negara untuk menggugat substansi penolakan tersebut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga Total waktu yang diperlukan bagi warga selaku pemohon informasi KTUN dalam konteks pasal 3 UU Peratun (sampai adanya putusan PTUN tingkat I) adalah 390 hari. Dengan catatan, pemohon informasi memiliki waktu 210 hari melewati tahapan memohon informasi publik sebelum masuk sengketa di PTUN (lihat kotak warna biru) 7 C a t a t a n P i n g g i r
8 Quo Vadis Keputusan Fiktif Negatif? Dengan kenyataan seperti yang tergambar di atas, dalam konteks adanya kasus permohonan informasi, khususnya kaitannya permohonan Keputusan Tata Usaha Negara yang berwenang (vide pasal 3 UU Peratun), maka ketentuan Undang-undang manakah yang menjadi dasar petunjuk pelaksanaan? Termasuk halnya ketika Hakim PTUN yang menyelesaikan perkara administrasi negara yang di dalamnya terdapat sengketa Keputusan Fiktif Negatif. Akankah hadirnya UU KIP menegasikan eksistensi pasal 3 UU Peratun? Mau di bawah ke mana arah Keputusan Fiktif Negatif tersebut? Sebelum lebih lanjut menjawab pertanyaan, maka perlu ditelaah beberapa persoalan kunci untuk memastikan apakah UU Peratun pasal 3 masih cukup relevan digunakan pasca diberlakukannya UU KIP. Pertama, apakah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagaimana inti pokok dalam pasal 3 UU Peratun termasuk bagian dari Informasi Publik sebagaiman dikonsepsikan dalam UU KIP No. 14 tahun 2008 yang diatur dalam pasal 1 angka 2. Upaya memastikan kategorisasi KTUN bagian dari Informasi Publik menjadi pintu awal untuk memasuki pembahasan lebih lanjut soal perbedaan-perbedaan prinsip yang ada dalam pengaturan pasal 3 UU Peratun terkait dengan permohonan informasi publik. Pasal 1 ayat 2 UU KIP menyebut bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Sementara definisi Informasi diatur sebelum pada ayat 1; Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. Sementara definisi Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayatu 9 berbunyi; Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Definisi Informasi dan Informasi Publik dalam kaitan dengan sebuah KTUN adalah semata-mata dipandang sebagai sebuah keterangan, pernyataan gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya. Sehingga elemen-elemen yang dapat memasukkan KTUN sebagai salah bagian dari Informasi Publik sebagaimana diatur dalam UU KIP adalah. 1. KTUN merupakan suatu keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan. 2. KTUN dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara 3. KTUN dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan (konkret) 8 C a t a t a n P i n g g i r
9 4. KTUN berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara, dalam hal ini tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku 5. KTUN dikeluarkan oleh negara Pejabat Publik selaku penyelenggara Negara (vide pasal 1 ayat 8 UU KIP 6. KTUN senantiasa berkaitan dengan kepentingan publik/orang (Vide pasal 1 ayat 10 dan 12 UU KIP) Selain beberapa elemen tersebut, di dalam UU KIP terdapat beberapa pasal yang mengkonfirmasi bahwa KTUN merupakan bagian dari Informasi Publik yang diatur dalam UU KIP ini. 1. Pasal 7 ayat (1) Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. Dalam hal ini KTUN merupakan salah satu informasi publik yang mesti dikeluarkan bagi pejabat yang berwenang kepada pemohon KTUN tersebut (vide pasal 3 UU Peratun) 2. Pasal 11 (1) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya; c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;. Pasal ini menjelaskan bahwa sebagai sebuah keputusan (beschikking), KTUN juga merupakan salah satu informasi publik yang wajib disediakan oleh pejabat publik 3. Pasal 47 (1) Pengajuan gugatan dilakukan melalui pengadilan tata usaha negara apabila yang digugat adalah Badan Publik negara. Pasal ini menunjukkan bahwa materi gugatan dalam sengketa informasi publik adalah bagian dari KTUN. Hal ini mengingat UU KIP ini hanya mensyaratkan soal Badan Publik Negara atau non negara. Tidak lagi menyoal jenis materi gugatannya. Artinya dalam konteks proses dissmisal yang ditetapkan oleh Ketua PTUN, maka materi informasi publik yang masuk ke PTUN pasca mediasi sudah beyond dengan elemen pasal 62 UU Peratun yang mengatur tentang kelayakan sebuah Gugatan. Pasal 47 KIP ini tidak lagi menyoal tentang objek perkara namun hanya mengingatkan soal subjek perkara, yakni Badan Publik Negara atau Badan Publik Non Negara. Dengan demikian, saya pribadi menilai bahwa KTUN dalam hal ini yang dikeluarkan oleh pejabat TUN sebagaimana diatur dalam UU Peratun merupakan salah bagian dari informasi publik yang terbuka peluang untuk disengketakan melalui mekanisme UU KIP. Kedua, apabila dinyatakan bahwa ketentuan pasal 3 Peratun tentang Keputusan Negatif merupakan suatu hal yang berbeda dengan proses permohonan informasi publik yang diatur dalam UU KIP (masing-masing berdiri sendiri), maka berdasarkan perbedaan alur sengketa di atas Iihat bagan), bagaimana mensikronkan kedua proses tersebut? Misalnya seseorang yang mengajukan permohonan penerbitan SK terhadap pejabat TUN yang berwenang, kemudian Pejabat yang bersangkutan melakukan sikap diam alias menolak, pertanyaannya, warga atau pemohon ketika melakukan langkah 9 C a t a t a n P i n g g i r
10 selanjutnya, apakah mengacu kepada pasal 3 UU Peratun (dengan menunggu jangka waktu 4 bulan). Atau mengacu kepada proses yang diatur UU KIP (dengan melakukan mekanisme keberatan dst)?? Karena tidak adanya aturan yang pasti tentang ketentuan yang digunakan terlebih dahulu, maka terbuka kemungkinan kerancuan atau konflik hukum. Sehingga dalam konteks Permohonan Informasi publik, menurut hemat saya UU KIP dapat ditempatkan sebagai lex specialis untuk pasal 3 UU Peratun, sehingga berlaku Asas lex specialis derogat legi generali. Asas ini diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku. Pertentangan tersebut akan terjadi apabila seseorang mengajukan permohonan informasi berupa KTUN dengan menggunakan dasar hukum Pasal 3 UU Peratun dengan proses sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan di saat yang bersamaan atau dalam waktu yang berbeda juga menggunakan ketentuan yang diatur dalam UU KIP. Pada tahapan ini akan terjadi konflik karena ketentuan pasal 3 UU Peratun mengatur 2 mekanisme cara memperoleh informasi publik, dalam hal ini KTUN. Pertama; Secara tersirat ayat 2 pasal 3 UU Peratun mengakui adanya mekanisme memperoleh KTUN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang melekat dengan KTUN tersebut. Kalimatnya adalah.. (2) Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. Dalam kenyataannya banyak peraturan perundangundangan yang melekat dengan KTUN memiliki mekanisme yang berbeda-beda untuk memperoleh sebuah KTUN. Misalnya diatur dalam Perda, Kepres, Kepmen dll. Yang kesemuanya itu berpotensi bertentangan dengan alur dan mekanisme yang diatur dalam UU KIP. Kedua, adanya jangka waktu 4 bulan sejak pemohon mengajukan permohonan penerbitan KTUN, dengan asumsi tidak adanya aturan yang mengatur soal waktu penerbitan KTUN tersebut. Setelah 4 bulan tersebut pemohon berhak mengajukan sengketa ke PTUN. Di lain pihak, UU KIP juga mengatur sengketa ke PTUN apabila para pihak tidak menerima hasil putusan media dan ajudikasi yang dilakukan oleh Komisi Informasi. Sehingga menjadi sebuah konflik atau pertentangan apabila dengan perkara yang sama, namun dengan menggunakan dua jalur yang berbeda dan melahirkan dua putusan yang berbeda dari pengadilan yang sama. Dengan demikian menurut hemat saya untuk menghindari konflik maka sebaiknya yang digunakan adalah mekanisme yang diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik. Argumentasi ini diperkuat bahwa UU Keterbukaan Publik memang secara spesifik mengatur tentang Permohonan mendapatkan informasi Publik (lex specialis). Dengan demikian pemohon informasi berhak melewati tahapan memperoleh informasi sampai pada tahapan akhir di PTUN yakni keluarnya putusan hakim PTUN yang berbunyi; a. membatalkan putusan Komisi Informasi dan/atau memerintahkan Badan Publik: 1. memberikan sebagian atau seluruh informasi yang dimohonkan oleh Pemohon Informasi Publik; atau 2. menolak memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik. b. menguatkan putusan Komisi Informasi dan/atau memerintahkan Badan Publik: 1. memberikan sebagian atau seluruh informasi yang 10 C a t a t a n P i n g g i r
11 11 C a t a t a n P i n g g i r diminta oleh Pemohon Informasi Publik; atau 2. menolak memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik (Vide pasal 49 ayat 1 UU KIP) Selain itu Putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g berisi salah satu perintah berikut ; a. memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang ini dan/atau memerintahkan untuk memenuhi jangka waktu pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; b. menolak permohonan Pemohon Informasi Publik; atau, c. memutuskan biaya penggandaan informasi (Vide pasal 49 ayat 2 UU KIP) Ketiga, selain mendasarkan UU KIP ditempatkan sebagai lex specialis untuk pasal 3 UU Peratun Menurut saya pribadi, penerapan pasal 3 UU Peratun sudah tidak relevan lagi. Karena meski secara sekilas, dasar menguji di PTUN antara keduanya berbeda, namun substansi akhirnya adalah sama, yakni tentang diterima tidaknya alasan penolakan Pejabat TUN terhadap adanya permohonan informasi. Misalnya dalam kasus, bunyi sebuah putusan PTUN yang mengadili sengketa informasi publik menurut UU KIP adalah ; membatalkan putusan Komisi Informasi dan/atau memerintahkan Badan Publik: 1. memberikan sebagian atau seluruh informasi yang dimohonkan oleh Pemohon Informasi Publik; atau 2. menolak memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik. Artinya konstruksi putusan PTUN versi UU KIP ini hanya menguji Putusan Komisi Informasi Publik. Hal ini mengingat dasar menguji gugatan di PTUN dalam UU KIP ini semata-mata apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut (Vide Pasal 48 ayat 1 UU KIP). Sementara dasar menguji gugatan di PTUN dalam konteks Keputusan Fiktif Negatif (Pasal 3 Peratun) adalah menguji apakah sikap diam atau penolakan pejabat TUN yang bersangkutan cacat hukum yang melanggar perundang-undangan yang berlau atau melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dengan demikian teradapat perbedaan alat uji gugatan. Secara sekilas memang berbeda. Namun apabila mengkaji lebih dalam materi putusan yang mesti tercantum dalam putusan hakim PTUN dalam sengketa informasi publik versi UU KIP, yakni Putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g berisi salah satu perintah berikut ; a. memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang ini dan/atau memerintahkan untuk memenuhi jangka waktu pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; b. menolak permohonan Pemohon Informasi Publik; atau, c. memutuskan biaya penggandaan informasi (Vide pasal 49 ayat 2 UU KIP)
12 Maka sesungguhnya substansi putusan tersebut sama dengan amar putusan hakim PTUN versi Keputusan Fiktif Negatif Pasal 3 UU Peratun yang mesti berbunyi Mewajibkan Tergugat untuk memproses permohonan Penggugat yang didiamkan oleh Tergugat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau dapat Juga menolak gugatan Penggugat. Dengan demikian tujuan akhir dari kedua proses tersebut adalah sama, yakni menolak atau menerima gugatan permohonan informasi (termasuk KTUN) yang diajukan pemohon kepada pejabat publik yang bersangkutan. Sehingga dengan substansi yang sama, yakni menyikapi Penolakan pejabat TUN yang menolak mengeluarkan Informasi, maka apabila diselesaikan dengan dua jalur yang berbeda, maka terbuka kemungkinan muncul putusan yang saling berlawanan dengan perkara yang sama. Keempat, dalam perspektif lain, sesungguhnya pasal 3 UU Peratun yang mengatur tentang keputusan fiktif negatif memiliki visi yang sama dengan ketentuan yang diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik khususnya yang terkait dengan penolakan Pejabat Publik terhadap adanya permohonan informasi. Meskipun berbeda dalam hal tekhnis pengaturan waktu permohonan informasi, namun kedua UU tersebut memiliki visi yang sama dalam melindungi warga negara yang hendak memperolah informasi publik. Perlindungan tersebut dapat dilihat dari proses penyelesaian kedua UU tersebut ketika pejabat publik menolak/diam memberikan informasi publik. Karena memiliki visi dan fungsi yang sama, maka menurut saya, Pasal 3 UU Peratun tidak lagi relevan untuk diterapkan, khususnya ketika adanya kasus penolakan pejabat untuk mengeluarkan informasi publik, dalam hal ini KTUN. Karena ketika Pasal 3 Peratun tetap diterapkan, maka terbuka peluang adanya putusan akhir dari PTUN yang saling berlawanan. Pada posisi ini, berlakunya UU. KIP dan mengesampaingkan pasal 3 UU Peratun didasarkan pada asas Asas lex posterior derogat legi priori, yakni ketentuan yang kemudian menyampingkan ketentuan terdahulu. Dalam konteks UU KIP ditempatkan sebagai lex specialis untuk pasal 3 UU Peratun, maka tidak relevannya sengketa Keputusan Fiktif Negatif UU Peratun semakin dipertegas oleh ketentuan Penutup UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 63; Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini Catatan Akhir Demikian sekelumit refleksi yang sangat terbatas saya terhadap hadirnya UU KIP dana masa depan keputusan Fiktif negatif yang diatur dalam UU peratun. Sesungguhnya masih banyak yang bisa dikaji lebih soal aspek-aspek yang berhubungan dengan UU peratun sejak diterbitkannya UU KIP ini. Hal lain yang akan menjadi perdebatan adalah apabila makna penjelasan Pasal 47 Ayat (1) Gugatan terhadap Badan Publik negara yang terkait dengan kebijakan pejabat tata usaha negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dimaknai secara imperatif atas penerapan yang konprehensif terhadap mekanisme dan tahapan beracara di PTUN, maka tahapan Dissmisal Proses harus juga diperhatikan. Proses dismissal merupakan proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan. Dalam proses penelitian itu, Ketua Pengadilan dalam rapat 12 C a t a t a n P i n g g i r
13 permusyawaratan memutuskan dengan suatu Penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar. Apabila sengketa informasi pasca mediasi atau ajudikasi dibawa ke PTUN namun pada Proses Dismissal Ketua PTUN dinyatakan dan ditetapkan bahwa gugatan yang merupakan sengketa informasi tersebut dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, maka mau di bawah ke mana sengketa informasi tersebut? Sebab tahapan sebelumnya, yakni tahapan mediasi atau ajudikasi oleh komisi informasi gagal mencapai titik temu. Problem ini secara eksplisit belum mendapat jalan keluar dari materi UU KIP ini. Semoga curahan pikiran yang sangat terbatas ini dapat memicu diskusi-diskusi kecil dalam rangka memperkaya khazanah dan dialektika dalam ilmu hukum administrasi di Indonesia. Semoga. Pojok Janti, Jogja 26 Juli 2010 Irvan Mawardi (Warga Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta) 13 C a t a t a n P i n g g i r
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Keterbukaan Informasi
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN
Lebih terperinciKETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN DAN SENGKETA PELANGGARAN
Lebih terperinci2011, No Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.300, 2011 KEMENTERIAN NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI. Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI NOMOR 02 /M/PER/V/2011
Lebih terperinci2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelaya
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1125, 2014 PPATK. Informasi Publik. Layanan. Standar. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN NOMOR PER-07/1.03/PPATK/07/14 TENTANG STANDAR
Lebih terperinciAKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA
1 AKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA Oleh : Prof. Dr. Paulus Effendie Lotulung,SH. Ketua Muda Mahkamah Agung Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Lebih terperinciDualisme melihat Kedudukan hukum Pemohon Informasi
Dualisme melihat Kedudukan hukum Pemohon Informasi Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat dan Forum Wakcabalaka (Forum penggiat keterbukaan informasi publik di Jawa Barat) telah melaksanakan diskusi mengenai
Lebih terperinciBUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAHAN KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinci2011, No Tata Cara Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 3
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.173, 2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM. Pelayanan Informasi Publik. Pengelolaan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-04.IN.04.02
Lebih terperinciBUPATI PEMALANG PERATURAN BUPATI PEMALANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI PEMALANG PERATURAN BUPATI PEMALANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG,
Lebih terperinciPENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Bambang Heriyanto, S.H., M.H. Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Disampaikan pada Rapat Kerja Kementerian
Lebih terperinciPERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI YUDISIAL
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1255, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA ADMINISTRASI INFORMASI PUBLIK. Pengelolaan. Pelayanan. Pedoman. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KI. Penyelesaian Sengketa. Informasi Pemilihan Umum. Standar Layanan. Prosedur.
No.275, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KI. Penyelesaian Sengketa. Informasi Pemilihan Umum. Standar Layanan. Prosedur. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR LAYANAN DAN PROSEDUR
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG TATA KELOLA LAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG TATA KELOLA LAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN 11 MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN KEPALA DESA JATILOR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG
PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN KEPALA DESA JATILOR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DESA JATILOR
Lebih terperinciPERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI
PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang: Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 1 angka 4,
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
Lebih terperinciGUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR :115 TAHUN 2017 TENTANG
GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN NOMOR :115 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI PEMERINTAH DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 351 TAHUN 2011 TENTANG DAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 351 TAHUN 2011 TENTANG PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DAN PERATURAN MENTERI
Lebih terperinciKEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia
KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia PARADIGMA BARU PELAYANAN INFORMASI DALAM ERA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK *) Oleh : Amin Sar Manihuruk, Drs,
Lebih terperinciBUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat :
Lebih terperinci2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 N
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 157, 2017 KEMENDAGRI. Pelayanan Informasi dan Dokumentasi. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN
Lebih terperinci- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
- 1 - SALINAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2018
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.939, 2013 LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH. Informasi Publik. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN KEPALA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI,
PERATURAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI NOMOR 02 /M/PER/V/2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA
Lebih terperinciWALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA BUKITTINGGI NOMOR 7 TAHUN 2017
SALINAN WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA BUKITTINGGI NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BUKITTINGGI
Lebih terperinciPasal 4. (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang Undang ini.
CAPAIAN POSITIP DALAM UU KIP PELEMBAGAAN /PENGAKUAN Pasal 4 Kecuali ayat (3) yang masih mensyaratkan permintaan HAK PUBLIK ATAS INFORMASI (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBUPATI SERANG PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG
BUPATI SERANG PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciSALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 132/PMK.01/2012 TENTANG
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 132/PMK.01/2012 TENTANG PEDOMAN LAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan
Lebih terperinciPUTUSAN. Nomor : 36/PTS/KIP-SU/IX/2015 KOMISI INFORMASI PROVINSI SUMATERA UTARA 1. IDENTITAS
PUTUSAN Nomor : 36/PTS/KIP-SU/IX/2015 KOMISI INFORMASI PROVINSI SUMATERA UTARA 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara yang menerima, memeriksa, memutus, dan menjatuhkan putusan dalam
Lebih terperinci6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor P
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI KEMENTERIAN TENAGA
Lebih terperinciSTANDAR OPERASIONAL DAN PROSEDUR PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI FITRA RIAU
STANDAR OPERASIONAL DAN PROSEDUR PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI FITRA RIAU FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN (FITRA) RIAU 2014 Standar Operasional dan Prosedur (SOP) PENGELOLAAN INFORMASI
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.370, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL. Keterbukaan Informasi Publik. PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 148/KA/VII/2010 TENTANG
Lebih terperinciSALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.63/UM.001/MPEK/2013 TENTANG
SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.63/UM.001/MPEK/2013 TENTANG PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF
Lebih terperinci2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4846); 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembara
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1522, 2014 KEMENKOPOLHUKAM. Informasi Publik. Layanan. Standar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a.
Lebih terperinciBUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG
1 SALINAN BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG TATA KERJA DAN PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BERAU BUPATI
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas
Lebih terperinciPERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI
PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 1 angka 4,
Lebih terperinciBERITA NEGARA. No.1279, 2013 KEMENTERIAN PARIWISATADAN EKONOMI KREATIF. Informasi. Dokumentasi. Pengelolaan. Pencabutan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1279, 2013 KEMENTERIAN PARIWISATADAN EKONOMI KREATIF. Informasi. Dokumentasi. Pengelolaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PARIWISATADAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,
BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 42 TAHUN 2017
BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 42 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BADUNG Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 351 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG KEPUTUSAN
MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN NOMOR 351 TAHUN 2011 TENTANG PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN PERATURAN MENTERI
Lebih terperinciBUPATI PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR
BUPATI PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR PERATURAN BUPATI PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR NOMOR TAHUN 2014 TENTANG TATA KERJA PROSEDUR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DI KABUPATEN PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciASLI KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA. PUTUSAN Nomor: 220/VII/KIP-PS-M-A/ IDENTITAS
KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA ASLI PUTUSAN Nomor: 220/VII/KIP-PS-M-A/2012 KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Pusat yang memeriksa dan memutus Sengketa
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR
SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 81 TAHUN 2011 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA
Lebih terperinciKEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DEFINISI UU PERATUN UU 51/2009 Psl. 1 angka 9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
Lebih terperinciPERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK
KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang Mengingat :
Lebih terperinciPEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI BADAN INVESTASI DAN PROMOSI ACEH
PEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI BADAN INVESTASI DAN PROMOSI ACEH BADAN INVESTASI DAN PROMOSI ACEH 2015 1 DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 3 1.1. LATAR BELAKANG... 3 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN...
Lebih terperinciKOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK
KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang : bahwa untuk
Lebih terperinciWALIKOTA MADIUN WALIKOTA MADIUN,
WALIKOTA MADIUN PERATURAN WALIKOTA MADIUN NOMOR 85 TAHUN 2014 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MADIUN WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciBUPATI BATANG PERATURAN BUPATI BATANG NOMOR 34 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK PEMERINTAH KABUPATEN BATANG
BUPATI BATANG PERATURAN BUPATI BATANG NOMOR 34 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK PEMERINTAH KABUPATEN BATANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BATANG, Menimbang : a.
Lebih terperinciPERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK PUSAT KOMUNIKASI PUBLIK KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN - 1 -
PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK PUSAT KOMUNIKASI PUBLIK KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN - 1-2013 KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI
Lebih terperinciBUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,
BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KABUPATEN KUDUS Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang
Lebih terperinci16. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG TRANSPARANSI, PARTISIPASI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI, DAN INFORMATIKA KOTA TANJUNGPINANG DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i BAB I KETENTUAN UMUM...
Lebih terperinciKOMISI INFORMASI PROVINSI SULAWESI BARAT PUTUSAN
KOMISI INFORMASI PROVINSI SULAWESI BARAT PUTUSAN Nomor : 020/V/KI-SB/PS-A/2017 KOMISI INFORMASI PROVINSI SULAWESI BARAT 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Barat yang menerima, memeriksa
Lebih terperinciKOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA. PUTUSAN Nomor: 186/VI/KIP-PS-A/ IDENTITAS
KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor: 186/VI/KIP-PS-A/2013 KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Pusat yang memeriksa dan memutus Sengketa Informasi
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR BENGKULU NOMOR : 20 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN GUBERNUR BENGKULU NOMOR : 20 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI PEMERINTAH DAERAH PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang
Lebih terperinciPENGELOLAAN LAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI
2012, No.770 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN LAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN
Lebih terperinciMENGENAL UU NO. 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Bagian I. Oleh M.Ema Lestari Lamanepa
MENGENAL UU NO. 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Bagian I Oleh M.Ema Lestari Lamanepa Sejak disyahkan undang-undang ini tanggal 30 April 2008 dan mulai diberlakukan tanggal 1 Mei 2010,
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 113/PUU-XII/2014 Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikeluarkan atas Dasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan Tidak Termasuk Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
Lebih terperinciPENGENDALIAN INFORMASI BPJS KETENAGAKERJAAN
PENGENDALIAN INFORMASI BPJS KETENAGAKERJAAN Informasi BPJS Ketenagakerjaan Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna dan pesan, baik data, fakta maupun
Lebih terperinciPERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010
PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN
Lebih terperinciPROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 55 TAHUN 2017 TENTANG
PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 55 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAHAN KABUPATEN TEMANGGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,
BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
Lebih terperinciPeraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik;
- 2 - Kearsipan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5071); 6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara
Lebih terperinciPraktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara
Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara Bagian Pertama : Gugatan Oleh Ayi Solehudin Pendahuluan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu pilar peradilan dari empat peradilan yang
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN DAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI BADAN PENGAWAS PEMILIHAN
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
Lebih terperinciLaporan Layanan Informasi Publik Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
Komisi Informasi Pusat Tahun 2016 PPID Komisi Informasi Pusat Siap Memberikan Pelayanan Informasi Publik Secara Cepat, Tepat Waktu, Berbiaya Ringan dan Cara Sederhana Daftar Isi Kata Pengantar... i BAGIAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN NOMOR : : PER- 01 /MENKO/POLHUKAM/5/2011 TENTANG
PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN NOMOR : : PER- 01 /MENKO/POLHUKAM/5/2011 TENTANG PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG POLITIK,
Lebih terperinciMEKANISME UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI PUBLIK Oleh.: Yunus,S.Pd.,M.Si i
MEKANISME UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI PUBLIK Oleh.: Yunus,S.Pd.,M.Si i A. PENDAHULUAN Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
Lebih terperinciMakalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.340, 2015 DJSN. Informasi Publik. Pelayanan. PERATURAN DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN DEWAN JAMINAN
Lebih terperinciBAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara
BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan
Lebih terperinciKOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK
KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang:
Lebih terperinciBUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA
Lebih terperinciBUPATI DEMAK PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI DEMAK PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBUPATI GIANYAR PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI GIANYAR NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI GIANYAR PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI GIANYAR NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor: 010/IV/KI-Kepri-PS /2016 KOMISI INFORMASI PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1. IDENTITAS
PUTUSAN Nomor: 010/IV/KI-Kepri-PS /2016 KOMISI INFORMASI PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Provinsi Kepulauan Riau yang memeriksa, memutus, dan menjatuhkan putusan dalam Sengketa
Lebih terperinciPUTUSAN. Nomor : 26/PTS/KIP-SU/VIII/2015 KOMISI INFORMASI PROVINSI SUMATERA UTARA 1. IDENTITAS
PUTUSAN Nomor : 26/PTS/KIP-SU/VIII/2015 KOMISI INFORMASI PROVINSI SUMATERA UTARA 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara yang menerima, memeriksa, memutus, dan menjatuhkan putusan dalam
Lebih terperinci2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publ
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1252, 2017 BEKRAF. Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi. PERATURAN KEPALA BADAN EKONOMI KREATIF NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI
Lebih terperinciBUPATI DEMAK PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA LAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK
BUPATI DEMAK PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA LAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN DEMAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK, Menimbang : a.
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 313, 2012
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 313, 2012 PERATURAN MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG STANDAR PROSEDUR PENGELOLAAN DAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DI KEMENTERIAN LUAR
Lebih terperinciBUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG
- 1 - BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 22/PUU-XVI/2018
rtin MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 22/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAIMANA
Lebih terperinciPUTUSAN. Nomor: 08/PTS/KIP-SU/II/2017 KOMISI INFORMASI PROVINSI SUMATERA UTARA
PUTUSAN Nomor: 08/PTS/KIP-SU/II/2017 KOMISI INFORMASI PROVINSI SUMATERA UTARA 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara yang menerima, memeriksa, memutus, dan menjatuhkan putusan dalam
Lebih terperinciPUTUSAN. Nomor: 13/PTS/KIP-SU/IV/2016 KOMISI INFORMASI PROVINSI SUMATERA UTARA 1. IDENTITAS
PUTUSAN Nomor: 13/PTS/KIP-SU/IV/2016 KOMISI INFORMASI PROVINSI SUMATERA UTARA 1. IDENTITAS [1.1] Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara yang menerima, memeriksa, memutus dan menjatuhkan putusan dalam
Lebih terperinciTENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO
TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciUNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa informasi merupakan kebutuhan
Lebih terperinci