BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

PEMBUATAN MODEL ELEVASI DIGITAL DARI STEREOPLOTTING INTERAKTIF FOTO UDARA FORMAT SEDANG DENGAN KAMERA DIGICAM

PEMBUATAN MODEL ELEVASI DIGITAL DARI STEREOPLOTTING INTERAKTIF FOTO UDARA FORMAT SEDANG DENGAN KAMERA DIGICAM

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

LAPORAN PRAKTIKUM FOTOGRAMETRI I (Individu)

STEREOSKOPIS PARALAKS

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

BAB 2 STUDI REFERENSI. Gambar 2-1 Kamera non-metrik (Butler, Westlake, & Britton, 2011)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH. ACARA 2 Mozaik Foto Udara dan Pengamatan Sterioskop. Oleh : Muhamad Nurdinansa [ ]

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1

Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging

I. BAB I PENDAHULUAN

IV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok

3. KAMERA UDARA. 12 inchi=304,8mm 8,25 inchi = 209,5 mm 6 inchi = 152,4 mm 3,5 inch = 88,9 mm Universitas Gadjah Mada

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY UNTUK PERHITUNGAN VOLUME OBJEK

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Analisa Kalibrasi Kamera Sony Exmor Pada Nilai Orientasi Parameter Interior untuk Keperluan Pemetaan (FUFK)

Metode Titik Kontrol Horisontal 3.1. Metode Survei Klasik Gambar. Jaring Triangulasi

SURVEYING (CIV -104)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

C I N I A. Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri Jarak Dekat

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB 4 ANALISIS. Tabel 4.1 Offset GPS-Kamera dalam Sistem Koordinat Kamera

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pemanfaatan Foto Udara Format Kecil untuk Ekstraksi Digital Elevation Model dengan Metode Stereoplotting

Pemetaan Foto Udara Menggunakan Wahana Fix Wing UAV (Studi Kasus: Kampus ITS, Sukolilo)

Transformasi Datum dan Koordinat

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN : PENGUKURAN DENGAN TOTAL STATION

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud 1.2 Tujuan

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kamera

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

LAPORAN PRAKTIKUM DIGITAL FOTOGRAMETRI DASAR ACARA II DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III METODE PENELITIAN

9. PEMOTRETAN UDARA. Universitas Gadjah Mada

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM FOTOGRAMETRI DASAR PENGAMATAN PARALAKS FOTO UDARA

Bab III Pelaksanaan Penelitian. Penentuan daerah penelitian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

PELAKSANAAN PENGUKURAN DAN HITUNGAN VOLUME METODE FOTOGRAMETRI RENTANG DEKAT DAN METODE TACHYMETRI

BAB 2 STUDI REFERENSI

Analisa Kelayakan Penggunaan Citra Satelit WorldView-2 untuk Updating Peta Skala 1:1.000 (Studi Kasus :Surabaya Pusat)

Bab IV Analisa dan Pembahasan. Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai analisa dari materi penelitian secara menyeluruh.

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

BAB 2 STUDI LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR

Ilustrasi: Proses Produksi

Isfandiar M. Baihaqi

Operasi-operasi Dasar Pengolahan Citra Digital

BAB 3 PEMBAHASAN START DATA KALIBRASI PENGUKURAN OFFSET GPS- KAMERA DATA OFFSET GPS- KAMERA PEMOTRETAN DATA FOTO TANPA GPS FINISH

BAB III PENGOLAHAN DATA

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Defry Mulia

Bab IV Analisis Hasil Penelitian. IV.1 Analisis Data Titik Hasil Pengukuran GPS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

PENGEMBANGAN KAMERA NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN PEMODELAN BANGUNAN

PERBANDINGAN NILAI KOORDINAT DAN ELEVASI ANTAR MODEL STEREO PADA FOTO UDARA HASIL TRIANGULASI UDARA

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

HASIL DAN ANALISIS. Tabel 4-1 Hasil kalibrasi kamera Canon PowerShot S90

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi pengolahan data fotogrametri semakin pesat. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil pengolahan data fotogrametri khususnya data foto udara yang dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan. Salah satu produk hasil olahan data foto udara adalah data Digital Elevation Model (DEM). DEM merupakan informasi ketinggian suatu wilayah dipermukaan bumi yang disimpan dalam format digital berupa bentuk raster berbasis pixel atau vektor yang berbasis poligon (Trisakti, 2010). Secara umum, DEM merepresentasikan bentuk topografi permukaan bumi dengan titik-titik 3D yang disimpan secara digital. Selain data foto udara, DEM juga dapat diperoleh dari teknik data LiDAR. Terdapat beberapa metode dalam fotogrametri untuk pengolahan data foto udara agar menghasilkan DEM yaitu dengan cara stereomathing dan stereoplotting. Stereoplotting adalah metode pengumpulan data vektor yang memiliki nilai ketinggian (z) yang dapat dilakukan dengan cara otomatis atau interaktif. Stereoplotting interaktif dilakukan dengan cara digitasi 3D pada foto udara stereo. Diperlukan nilai Exterior Orientation Parameter (EOP) agar dapat dilakukan stereoplotting. Nilai EOP dapat diperoleh dengan dua cara yaitu melalui tahapan Aerial Triangulation (AT) dan melalui tahapan Relative Orientation (RO). Nilai EOP yang diperoleh melalui tahapan AT memerlukan software Bundle AdjustmenI seperti PCI Geomatic, Inpho dan sebagainya. Ada kemudahan tersendiri jika melakukan pembuatan DEM dengan tahapan AT yaitu nilai Exterior Orientation Parameter (EOP) dapat diperoleh tanpa melakukan tahapan Relative Orientation (RO). Nilai EOP yang diperoleh melalui tahapan AT merupakan hasil model perhitungan Bundel Adjustment. Sedangkan nilai EOP yang diperoleh melalui tahapan RO harus melalui beberapa proses yaitu interior orientation, relative

2 orientatio dan absolute orientation. Software yang digunakan untuk melakukan proses RO salah satunya adalah software DAT/EM Summit Evolution. Selain untuk menghasilkan nilai EOP, software DAT/EM Summit Evolution merupakan salah satu software yang digunakan untuk menghasilkan DEM dengan cara stereoplotting. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat keakuratan DEM hasil stereoplotting pada foto udara. I.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berapa akurasi DEM yang dihasilkan dari proses stereoplotting foto udara format medium melalui tahapan Relative Orientation? I.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat akurasi DEM yang dihasilkan dari proses stereoplotting foto udara format medium melalui tahapan Relative Orientation. I.4. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah pembuatan DEM dengan cara stereoplotting dan nilai EOP yang diperoleh dari tahapan Relative Orientation cocok digunakan pada daerah sempit dan memanjang dengn titik kontrol minimum. I.5. Batasan Masalah Dalam penelitian ini ditetapkan beberapa batasan yang berkaitan mengenai obyek, metode serta software yang digunakan. Beberapa batasan tersebut antaranya: 1. Lokasi proyek berada di kawasan kampus Universitas Gadjah Mada sekitaran Lembah dengan dengan kondisi topografi yang bervariasi.

3 2. Titik kontrol horizontal yang digunakan diperoleh dari data orthofoto sedangkan titik kontrol vertikal diperoleh dari data DEM hasil klasifikasi data LiDAR. 3. DEM yang dihasilkan dari teknologi LiDAR digunakan sebagai data pembanding yang dianggap benar dalam perhitungan akurasi DEM hasil stereoplotting interaktif dengan asumsi titik sampel terdekat. I.6. Tinjauan Pustaka Pranadita (2013) membuat Digital Elevation Model (DEM) melalui tahapan Triangulasi Udara dengan lokasi sebagian kawasan kampus Universitas Gadjah Mada yang relatif landai. Software yang digunakan adalah PCI Geomatics untuk menghasilkan nilai EOP, DAT/EM Summit Evolution untuk melakukan stereoplotting interaktif dan ArcGIS untuk ekstraksi DEM dan kontur. Analisis ketelitian DEM menggunakan 113 buah titik cek kemudian diperoleh nilai rata-rata beda tinggi sebesar 0,876 meter dan nilai simpangan baku sebesar 0,628 meter. Sudiyatmoko (1999) membuat DEM dari sepasang foto udara format kecil yang bertampalan di daerah Madiun dengan skala 1:15000. Pengolahannya menggunakan software NOOBEED untuk menghasilkan DEM dan titik kontrol tanah diperoleh dari peta garis skala 1:1000 dari BPN yang dibuat pada tahun 1989. DEM yang terbentuk dibandingkan dengan peta skala 1:1000, terdapat selisih rata-rata arah x sebesar 5.96 meter, selisih rata-rata arah y sebesar 8.02 meter dan selisih rata-rata arah z sebesar 2.21 meter. DEM yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk pembuatan peta skala 1:50.000 atau lebih kecil. Fatmaryanti (2007) melakukan kajian penelitian planimetris dengan menggunakan data foto udara format kecil dan data citra satelit Quickbird. Foto udara dan citra satelit diolah menggunakan software ER Mapper. Analisis ketelitian dilakukan dengan mengukur jarak pada foto udara, pengukuran jarak dilapangan dan pengukuran jarak pada citra satelit Quickbird kemudian dilakukan proses uji statistik. Dari hasil uji statistik ketelitian planimetris pada foto udara format kecil dan citra

4 satelit Quickbird disimpulkan bahwa foto udara format kecil memiliki ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan dengan citra Quickbird. Dengan mengacu pada penelitian yang telah dilakukan diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai kajian akurasi posisi Digital Elevation Model (DEM) untuk kawasan yang memiliki bentuk topografi yang bervariasi. Dalam penelitian ini, dibuat DEM kawasan Lembah kampus Universitas Gadjah Mada dari 4 buah foto udara format medium. Software yang digunakan adalah DAT/EM Summit Evolutions untuk menghasilkan nilai EOP dan melakukan stereoplotting interaktif. Analisis ketelitian DEM dilakukan dengan membandingkan data DEM hasil stereoplotting interaktif dengan data DEM LiDAR sehingga diperoleh selisih beda tinggi maksimum, selisih beda tinggi minimum, selisih beda tinggi rata-rata dan standar deviasi. Kemudian menghitung nilai ketelitian maksimum dari DEM hasil stereoplotting interaktif dengan ketelitian pengali 1 piksel atau 6.8 mikron. I.7. Landasan Teori I.7.1. Geometri Foto Udara Format Medium Fotogrametri merupakan ilmu dan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan atau memperoleh informasi spasial dalam bentuk 2 dimensi atau 3 dimensi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan cara memotret objek tersebut kemudian memproses hasil pemotretan. Objek yang dipetakan biasanya berupa sungai, perkebunan, perumahan dan lain sebagainya sehingga untuk memotret objek tersebut dilakukan dari pesawat atau sering disebut dengan pemotretan udara (Soeta at, 2011). Peralatan utama yang diperlukan untuk melakukan pemotretan udara diantaranya: a. Kamera atau sering disebut dengan sensor terbagi menjadi 2 macam yaitu sensor analog dan sensor digital. Sensor analog menggunakan detector film untuk merekam data, sedangkan sendor digital merekam data menggunakan

5 CCD (Charge Coupled Device) atau CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor). Macam-macam format sensor kamera dibagi menjadi 3 macam yaitu small format dengan sensor diensi 24mm x 36mm, medium format dengan sensor dimensi 60mm x 60mm dan large format dengan sensor dimensi 230mm x230mm (Soeta at,2011). Informasi kamera yang digunakan dalam pengolahan data foto udara meliputi sensor size, sensor dimension, image size, ISO peed range, dan focus. Sensor size merupakan ukuran sensor dalam satuan piksel sedangkan sensor dimensions adalah ukuran sensor dalam satuan milimeter. Sensor dimensions ini yang menentukan jenis format foto. Salah satu unsur sensor kamera adalah resolusi spasial sensor atau resolusi spasial kamera. Resolusi spasial kamera adalah ukuran dari sebuah piksel dalam mikron sedangkan ukuran satu piksel pada objek yang dipotret disebut dengan Grounn Sampling Distance (GSD). Soeta at (2011) menyatakan besarnya nilai GSD dapat dihitung menggunakan rumus (1.1) GSD = Angka skala * resolusi spasial (1.1) Skala = fokus kamera(f) / tinggi terbang (h) (1.2) b. Wahana yang digunakan untuk melakukan pemotretan udara diantaranya balon udara, pesawat tanpa awak atau UAV, pesawat Ultra Light atau disebut gantole bermesin, pesawat terbang komersial dsb. c. GPS dan IMU merupakan alat pendukung pemotretan yang dipasang pada pasawat bersamaan dengan kamera. GPS dan IMU digunakan untuk menentukan parameter Exterior Orientation berupa koordinat posisi principal point (X, Y, Z) dan rotasi (omega, phi, kappa). Pada saat pemotretan sumbu kamera diusahakan tegak untuk menghasilkan foto udara tegak. Namun pada kenyataannya kondisi sumbu kamera yang benarbenar vertikal tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, sumbu kamera yang mendekati vertikal dapat disebut dengan foto udara tegak(ferdian,2011).

6 d c a b f B A H C D Gambar I.1. Geometri foto udara tegak (Ferdian,2011) Keterangan gambar: f H = Panjang fokus kamera = Tinggi terbang diatas permukaan tanah a, b, c, d = Ukuran CCD A,B,C,D = Luas area yang dipotret Untuk membuat model dari data foto udara dalam satu strip penerbangan harus memenuhi syarat threelap yaitu terdapat minimal tiga buah foto dalam satu strip yang saling bertampalan pada area yang akan dimodelkan dengan pertampalan sebesar 60% baik pertampalan ke depan ataupun pertampalan kebelakang. Tujuan dari overlap 60% adalah agar objek yang terdapat pada wilayah penelitian dapat dimodelkan atau tidak terdapat gap pada saat pembuatan model.

7 Gambar I.2. Pertampalan trilap pada satu strip (a) dan terdapat gap akibat syarat tidak terpenuhi (b)(pranadita, 2013) Pertampalan antar foto A, B dan C dapat dilihat pada gambar I.2. Gambar I.2.a merupakan ilustrasi pertampalan foto udara yang memenuhi syarat threelap dengan pertampalan sekitar 60% yang dapat menghasilkan model pada bagian overlap (bagian diarsir pada gambar I.2.a).Sedangkan gambar I.2.b merupakan ilustrasi pertampalan foto udara yang tidak memenuhi syarat threelap atau pertampalan antar foto kurang dari 60% sehingga terjadi gap atau dapat disebut dengan adanya wilayah yang tidak termodelkan seperti wilayah x pada gambar I.2.b. (Pranadita, 2013). Tinggi terbang wahana yang digunakan untuk melakukan pemotretan udara berpengaruh pada cakupan area yang dipotret. Semakin tinggi terbang wahana maka cakupan area yang terpotret akan semakin luas dengan tinggkat kedetilan objek kurang. Namun sebaliknya semakn rendah wahana terbang maka cakupan wilayah yang terpotret semakin sempit dengan tingkat kedetilan objek yang terpotret semakin detil. Selain itu tinggi terbang suatu wahana mempengaruhi skala foto yang dihasikan. I.7.2 Sistem Koordinat dalam Fotogrametri I.7.2.1. Sistem koordinat piksel dan foto Kamera digital menerapkan sistem koordinat piksel pada sensor digitalnya(ccd) dimana suatu koordinat dinyatakan dengan baris dan kolom dengan origin terletak (0,0) terletak di pojok kiri atas. Sistem koordinat foto

8 menerapkan sistem koordinat 2 dimensi (x,y) dengan origin terletak pada pusat foto. y x Gambar. I.3. Hubungan sistem koordinat piksel dan sistem koordinat foto I.7.2.2. Sistem koordinat foto dan model Sistem koordinat model menerapkan sistem koordinat 3 dimensi (x, y, z) dengan sistem tangan kanan. Sumbu x positif mengarah ke arah jalur terbang sedangkan sumbu z positif mengarah ke atas. Hubungan sistem koordinat foto dan sistem koordinat model dapat dilihat pada gambar I.4 (Setiawan, 2006). (x i, y i,z i ) o i i (x i, y i ) (x j, y j,z j ) O j B y B z F 2 F 1 j (x j, y j ) P (x p, y p ) B x a (x a, y a, z a ) Gambar I.4. Geometri hubungan sistem koordinat foto dan model Keterangan gambar: X a, Y a, Z a = koordinat titik dalam sistem koordinat model X i, Y i = koordinat titik i dalam sistem koordinat foto

9 X j, Y j = koordinat titik j dalam sistem koordinat foto X p, Y p = principal point dalam sistem koordinat foto x i, y i,z i = koordinat pusat lensa foto kiri x j, y j,z j = koordinat pusat lensa foto kanan B x, B y, B z = komponen basis F = fokus kamera Hubungan sistem koordinat foto dan sistem koordinat model biasa disebut dengan kondisi koplanar. I.7.2.3. Sistem koordinat model dan tanah Sistem koordinat tanah menerapkan sistem kordinat 3 dimensi dengan mengacu pada sistem proyeksi tertentu. Di Indonesia, UTM (Universal Transverse Mercator) merupakan sistem proyeksi yang biasa digunakan (Soeta at,2011). Ada hubungan antara sistem koordinat model dengan sistem koordinat tanah yang dinyatakan dalam bentuk geometri seperti pada gambar I.5. O(x o,y o, Z o ) Z m Y m A m X m t Y Z o Z t A t X o Gambar I.5. Geometri hubungan sistem koordinat model dan S.K. tanah (Slama,1980) Keterangan gambar: Y o X t O (X o, Y o, Z o ) = koordinat pusat lensa foto

10 X m, Y m, Z m X t, Y t, Z t A t A m = sumbu kartesi dalam sistem koordinat model = sumbu kartesi dalam sistem koordinat tanah = titik A dalam sistem koordinat tanah = titik A dalam sistem koordinat model I.7.3 Kalibrasi kamera Kalibrasi kamera dilakukan untuk menentukan sejumlah nilai konstanta yang biasa disebut unsur interior orientation antara lain: a. Panjang fokus terkalibrasi (konstanta kamera) yaitu panjang fokus yang dapat menghasilkan distribusi radial lensa rata-rata secara menyeluruh. b. Distorsi lensa Distorsi lensa dapat menyebabkan bergesernya titik citra pada foto dari posisi yang sebenarnya dan menyebabkan ketelitian pengukuran kurang baik namun distorsi lensa tidak akan mempengaruhi ketajaman foto yang dihasilkan (Ferdian, 2011). Distorsi lensa diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu 1. Distorsi radial Distorsi radial merupakan aberasi lensa yang menyebabkan sinar datang yang masuk melaui lensa kamera mengalami deviasi setelah melewati titik pusat proyeksi lensa. Penyebab terjadinya deviasi adalah ketidaksempurnaan komposisi pada lensa. 2. Distorsi tangensial Distorsi tangensial merupakan pergeseran vertikal maupun rotasi pada elemen lensa yang mengakibatkan adanya pergeseran geometrik foto. c. Posisi titik utama yaitu titik hasil proyeksi tegak lurus titik pusat perspektif pada bidang foto yang dinyatakan dengan x dan y dalam sistem koordinat fidusial(wolf,1993).

11 Pusat lensa y fokus c p a x Gambar I.6. Geometri penyimpangan titik utama (Soeta at,2011) Keterangan gambar: c = center of collimation p = principal point a = titik a dalam sistem koordinat foto x, y = sumbu koordinat dalam sistem koordinat foto Dari bentuk geometri penyimpangan titik utama pada gambar I.6 diperoleh persamaan I.3 dan I.4. x a = x a - x p (I.3) y a = y a - y p (I.4) r 2 = x a 2 + y a 2 (I.5) dr = k1.r 3 + k2.r 5 + k3.r 7 (I.6) x a = x + x.dr/r + p1(r 2 + 2x 2 ) + 2p2 xy (I.7) y a = y + y.dr/r + p2(r 2 + 2x 2 ) + 2p1 xy (I.8) Keterangan rumus : x a, y a = koordinat titik a dalam sistem koordinat foto x p, y p = offset titik utama r = jarak dari titik a ke titik p dr = distorsi x a, y a = koordinat titik a terkoreksi kalibrasi kamera

12 k1, k2, k3 = parameter koreksi distorsi radial p1, p2 = koefisien distorsi decentering I.7.4 Interior Orientation (IO) Proses interior orientation dilakukan untuk merekonstruksi berkas arah sinar yang diproyeksikan agar sama dengan arah-arah sinar dalam kamera pada saat pemotretan atau sama dengan geometri foto aslinya (Suharsana,1997). Dalam fotogrametri digital, tujuan dari proses interior orientation adalah untuk mentransformasi sistem koordinat pixel (kolom dan baris) dengan origin terletak dipojok kiri atas menjadi sistem koordinat foto (x,y) dengan origin terletak dipusat foto. (0,0) Y (0,0) X (a) Sistem koordinat piksel (b) sistem koordinat foto Gambar. I.7. (a) Sistem koordinat piksel, (b) Sistem koordinat foto Unsur-unsur yang diperlukan untuk proses interior orientation diantaranya panjang fokus kamera, ukuran negatif film atau CCD pada kamera digital. Model matematis yang dapat digunakan untuk proses orientasi dalam yaitu transformasi Affine 2D (Sudiyatmoko,2004): [ ] = * + [ ] + [ ] (I.9) Keterangan rumus: X p, Y p = koordinat titik dalam sistem koordinat piksel X f, Y f = koordinat titik dalam sistem koordinat foto a, b, c, d, C x, C y = parameter transformasi

13 Persamaan diatas dapat diselesaikan dengan metode kuadrat terkecil dengan syarat koordinat kedua sistem telah diketahui. I.7.5 Relative Orientation (RO) Relative Orientation adalah penempatan sepasang foto udara agar foto udara tersebut persis seperti pada saat pemotretan (Soeta at, 2011). Setiap titik pada model merupakan perpotongan kedua arah berkas sinar dari sepasang foto. Apabila perpotongan berkas sinar dari sepasang foto tepat pada objek, maka model akan nampak 3 dimensi seperti miniatur model topografi. Pada saat pembuatan model tidak semua perpotongan berkas sinar jatuh pada objek dipermukaan bumi atau biasa disebut dengan adanya paralaks, untuk itu perlu dilakukan pembetulan posisi perpotongan berkas sinar agar tepat pada objek dipermukaan bumi. Pembetulan tersebut dapat dilakukan dengan menghilangkan atau meniadakan paralaks. Tujuan utama dari proses Relative Orientation ini adalah membuat model dari sepasang foto stereo dengan menentukan Tie Point pada masing masing foto. Pada proses ini dilakukan juga transformasi sistem koordinat dari sistem koordinat foto ke sistem koordinat model. Pada gambar I.8. terdapat tiga vektor yaitu A i, A j dan B. (x j, y j,z j ) (x i, y i,z i ) o i B P (x p, y p ) j (x j, y j ) i (x i, O j A i A j a (x a, y a, z a ) Gambar I.8. kondisi koplanar (Slama,1980) Slama (1980) menyatakan hubungan vektor A i, A j dan B menjadi persamaan koplanar (1.10).

14 ( ) (1.10) Dari gambar (1.2) vektor, dan dapat ditulis persamaan (1.11), (1.12) dan (1.13). ( ) ( ) ( ) (1.11) ( ) ( ) ( ) (1.12) ( ) ( ) ( ) (1.13) Menentukan nilai dan dapat dihitung menggunakan persamaan transformasi proyektif (1.14). ( ( ) ( ) ( )) (1.6) ( ( ) ( ) ( )) (1.6) ( ( ) ( ) ( )) (1.6) ( ( ) ( ) ( )) (1.14) ( ( ) ( ) ( )) (1.6) ( ( ) ( ) ( )) (1.6),..., merupakan fungsi dari sudut rotasi ω, ϕ dan κ pada foto i dan foto j. adalah principal point dalam sistem koordinat foto, adalah koordinat image point dalam sistem koordinat foto i, adalah koordinat image point dalam sistem koordinat foto j, adalah faktor skala pada foto i dan adalah faktor skala pada foto j. Misalkan: ( ) ( ) ( ) (1.15) ( ) ( ) ( ) (1.15) ( ) ( ) ( ) (1.9)

15 ( ) ( ) ( ) (1.9) ( ) ( ) ( ) (1.15) ( ) ( ) ( ) (1.7) Persamaan transformasi proyektif (1.14) disubstitusikan dengan persamaan (1.15) sehingga dapat ditulis seperti persamaan (1.16) (1.10) (1.10) (1.16) (1.10) (1.10) (1.10) Substitusikan persamaan (1.16) ke persamaan (1.11) dan (1.12) sehingga diperoleh bentuk persamaan (1.17) (1.17) (1.18) Apabila persamaan (1.13), (1.17) dan (1.18) dibentuk matriks sesuai dengan persamaan koplanar (1.10) akan menjadi bentuk matriks (1.19) = 0 (1.19)

16 I.7.6 Absolute Orientation (AO) Orientasi Absolut merupakan proses pengikatan sistem koordinat model ke sistem koordinat tanah (Soeta at, 2011). Terdapat 7 parameter yang dicari yaitu : faktor skala (λ), tiga sudut rotasi omega (ω), phi (φ), kappa (κ) dan koordinat yang menunjukan posisi kamera (X 0, Y 0, Z 0 ). Secara analitis, orientasi absolut ialah melakukan transformasi tiga dimensi dari sistem koordinat model ke sistem koordinat tanah. Slama (1980) menyatakan hubungan antara sistem koordinat model dan sistem koordinat tanah dapat dimodelkan dalam persamaan transformasi proyektif 3D (1.20) X j X 0 = λ [ ] (1.14) Y j Y 0 = λ [ ] (1.20) Z j Z 0 = λ [ ] (1.14) atau dapat ditulis seperti persamaan (1.21) ( ) ( ) ( ) (1.21) Matriks rotasi (R) berisi tiga elemen rotasi omega (ω), phi (φ), kappa (κ). R = [ ] (1.22) Keterangan rumus : X j, Y j, Z j X 0, Y 0, Z 0 λ x j, y j, z j m 11 : koordinat dalam sistem koordinat tanah : parameter translasi : faktor skala : koordinat dalam sistem koordinat model = cos ø cos κ

17 m 12 m 13 m 21 m 22 m 23 m 31 m 32 m 33 = sin ω sin ø cos κ + cos ω sin κ = - cos ω sin ø cos κ + sin ω sin κ = - cos ø sin κ = - sin ω sin ø sin κ + cos ω cos k = cos ω sin ø sin κ + sin ω cos κ = sin ø = -sin ω cos ø = cos ω cos ø I.7.7. Paralaks Paralaks stereoskopis merupakan perbedaan posisi bayangan sebuah titik pada dua foto yang bertampalan karena perubahan posisi kamera (Zorn, 1984 dalam Pranadita, 2013). Besarnya nilai paralaks akan berpengaruh pada proses penentuan ketinggian suatu objek diatas permukaan bumi. Untuk memperoleh nilai ketinggian objek yang baik diusahakan besarnya nilai paralaks-x dan paralaks-y sama dengan nol atau mendekati nol. Foto 2 Foto 1 Ground A Gambar I.9. Kondisi paralaks mendekati nol Pada gambar I.9. dapat dilihat perpotongan sinar yang jatuh tepat pada permukaan objek A menunjukan sebuah kondisi ideal dimana objek A tidak mengalami pergeseran topografi.

18 Kondisi pada gambar I.10 menunjukan kondisi yang tidak ideal mengakibatkan bayangan sinar tidak jatuh tepat pada permukaan obyek. Selisih pergeseran ini disebut sebagai beda paralaks dan dieliminir dengan memperbanyak Tie Point dan penentuan TP yang lebih teliti. Foto 2 Foto 1 Y-paralaks X-paralaks Ground Gambar I.10. Kondisi yang menunjukan terjadi kesalahan paralaks-x dan Y Besarnya paralaks suatu titik (p)dapat dihitung dengan cara mengurangkan koordinat titik pada foto kiri dengan koordinat titik pada foto kanan. Sedangkan menghitung tinggi suatu titik (h) dapat dihitung dengan menggunakan rumus I.24. p = X X (I.23) h = H ( ) (I.24) Keterangan rumus: p = besarnya nilai paralaks suatu titik X, X = koordinat suatu titik pada foto kiri dan foto kanan h = tinggi suatu titik H = tinggi terbang pesawat diatas permukaan laut rata-rata B = basis foto f = fokus kamera

19 O2 B O1 Foto 2 f A2 B2 A1 B1 Foto 1 H B A Δh A B Ground Gambar I.11. Geometri beda tinggi dan beda paralaks Persamaan I.25 dibuat berdasarkan geometri beda tinggi dan beda paralaks pada gambar I.11. Δh A = (I.25) = PX A PX B PX A = X A1 X A2 PX B = X B1 X B2 Keterangan rumus : H B B Δh A = tinggi terbang pesawat diatas permukaan tanah = basis foto = beda tinggi 2 titik ΔPX A = beda paralaks 2 titik PX A = paralaks titik A PX B = paralaks titik B

20 I.7.8. Stereoplotting Stereoplotting merupakan metode pengumpulan data untuk mempereroleh data vektor yang memiliki nilai ketinggian dengan cara digitasi titik pada foto stereo. Pembentukkan model dengan menggunakan dua buah foto stereo dapat digambarkan seperti pada gambar I.12. Secara umum plotting dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, plotting interaktif dan plotting otomatis. Plotting interaktif merupakan proses plotting yang dilakukan dengan cara menentukan sendiri titik-titik obyek yang akan dilakukan digitasi pada ruang tiga dimensi. Posisi titik dapat ditentukan dengan mengatur posisi x,y kursor plotter serta ketinggian dari kursor plotter. Foto 2 Basis foto Foto 1 Ground A(X A, Y A, Z A ) Gambar I.12. Hubungan antara foto stereo dengan posisi obyek di lapangan I.7.9. DEM (Digital Elevation Model) DEM merupakan informasi ketinggian suatu wilayah dipermukaan bumi yang disimpan dalam format digital berupa bentuk raster berbasis pixel atau vektor yang berbasis poligon (Trisakti, 2010). DEM berasal dari 3 sumber yakni: a. Survei lapangan atau teristris b. Metode Fotogrametri c. Peta Topografi Beberapa kegunaan DEM antara lain (Andaru,2005 dalam Riswanto,2013):

21 a. Civil engineering : peta 3D sebagai sumber pemetaan dan perencanaan infrastruktur, cut and fill, survei alignment (pipa, rel, jalan dan kanal), planning route, analysis terrain. b. Earth Sciences : untuk memonitoring penurunan muka tanah dan erosi, pemodelan, analisis serta interpretasi dari morfologi tanah, pemetaan geologi, dan lain sebagainya. c. Planning and resources management : site location, sebagai pendukung pada proses klasifikasi citra dan koreksi geometrik. d. Surveys and Photogrametry : digunakan untuk pembuatan kontur, memproduksi orthofoto, pemetaan topografi dan lain sebagainya. I.7.10. Evaluasi ketelitian Akurasi vertikal hasil stereoplotting foto udara dapat diperoleh dengan membandingkan nilai elevasi koordinat titik uji hasil stereoplotting dengan elevasi teknologi LiDAR. Ketelitian DEM dilihat dari besarnya nilai standar deviasi. menghitung nilai rata-rata selisih tinggi antara titik cek pada DEM LiDAR dan DEM hasil stereoplotting pada foto udara menggunakan rumus (1.26). Kemudian hitung nilai varian menggunakan persamaan (1.27) untuk menentukan nilai standar deviasi. Standar deviasi dapat dihitung dengan mengakarkan nilai varian seperti rumus (1.28). = (1.26) ( ) (1.27) ( ) (1.28) Keterangan rumus : = rata-rata beda tinggi = varian

22 = standar deviasi = titik sampel ke-i n = jumlah beda tinggi data sampel = jumlah data sampel Nilai ketelitian tinggi maksimal DEM hasil stereoplotting foto udara dapat dihitung dengan rumus (1.29). Rumus (I.30) dan (I.31) digunakan untuk menghitung ketelitian maksimal koordinat x dan y pada DEM. Sz = angka skala * ( ) * Sp (1.29) Sx = ( ) Sp (I.30) Sy = ( ) Sp (I.31) Keterangan rumus : Sx, Sy, Sz Sp b h = ketelitian maksimal koordinat x, y, z pada DEM = ketelitian pengali = basis foto = tinggi terbang pesawat saat memotret Rata-rata beda tinggi ( ) adalah hasil bagi jumlah selisih tinggi titik cek ( )dengan jumlah titik sampel (n). Nilai varian ( )merupakan jumlah dari kuadrat nilai rata-rata dikurangi besarnya nilai data ke-i ( ( ) ) kemudian dibagi dengan jumlah data dikurangi satu ( ). Sedangkan standar deviasi ( )merupakan akar dari varian. Sz merupakan nilai ketelitian tinggi maksimal DEM

23 dengan ketelitian pengali (Sp) sebesar 1 piksel. Basis foto adalah jarak titik pusat foto kiri dan foto kanan. I.8. Hipotesis Data DEM yang dihasilkan dari teknik stereplotting interaktif yang melalui tahapan Relative Orientation akan memiliki nilai standar deviasi ( ) pada titik sampel lebih kecil dari nilai ketelitian maksimal rata-rata (Sz) yaitu 0,456m.