IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GH, GHRH, DAN PIT-1 PADA KERBAU DI PROVINSI BANTEN

dokumen-dokumen yang mirip
Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo

METODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Sampel Pengambilan Sampel Ekstraksi DNA Primer

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

JITV Vol. 15 No. 4 Th. 2010:

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH DAN POLIMORFISME GEN GH, GHRH DAN PIT-1 PADA POPULASI KERBAU DI BANTEN ROHMAT DIYONO

EKSPLORASI GEN GROWTH HORMONE EXON 3 PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE), SAANEN DAN PESA MELALUI TEKNIK PCR-SSCP

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

Evaluasi Keragaman Genetik Gen Hormon Pertumbuhan (GH) pada Sapi Pesisir Sumatera Barat Menggunakan Penciri PCR-RFLP

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Materi Sampel Darah Kambing Primer Bahan dan Alat Analisis PCR

KERAGAMAN GENETIK GEN HORMON PERTUMBUHAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN PADA SAPI SIMMENTAL. Disertasi HARY SUHADA

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

POLIMORFISME GEN GROWTH HORMONE SAPI BALI DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH NUSA PENIDA

BAB III METODE PENELITIAN

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN... PRAKATA... INTISARI... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

MATERI DAN METODE. Materi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN -KASEIN (CSN2) PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH, SAANEN DAN PERSILANGANNYA DENGAN METODE PCR-SSCP

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH) Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)

IDENTIFIKASI TINGKAT KEMURNIAN GENETIK SAPI BALI DI KABUPATEN BONE DENGAN MENGGUNAKAN MARKER MIKROSATELIT LOKUS INRA035

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. banteng liar. Para ahli meyakini bahwa penjinakan tersebut telah dilakukan sejak

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

3. METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BAB 6. Analisis Frekuensi Gen GHPada Populasi Sapi PO

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Keragaman Gen Pituitary Transcription Factor 1 (Pou1f1) Pada Kambing Peranakan Etawah (Pe) di BPTU KDI-HPT Pelaihari

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

BAB III METODE PENELITIAN

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GROWTH HORMONE RELEASING HORMONE (GHRH) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DENGAN METODE PCR-RFLP

II. BAHAN DAN METODE

Asosiasi Marka Genetik dengan Pertambahan Bobot Badan Sapi Madura di Pamekasan

Identifikasi Keragaman Gen Leptin pada sapi Bali dan kambing Kacang (Polymorphism of Leptin Gene in Bali Cattle and Kacang Goat)

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

I. PENDAHULUAN. Madura, Aceh, Pesisir, dan sapi Peranakan Simmental. Seperti sapi Pesisir

III. MATERI DAN METODE. Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim

III. Bahan dan Metode

Identifikasi dan Karakterisasi Polimorfisme Gen Hormon Pertumbuhan pada Sapi Bali, Sapi Madura dan Sapi Benggala

Gambar 4. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging pada Gel Agarose 1,5%

DASAR BIOTEKNOLOGI TANAMAN

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) BERDASARKAN HAPLOTIPE DNA MITOKONDRIA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari empat primer yang

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

BAB III METODE PENELITIAN

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel

1 0,53 0,59 2 0,3 0,2 3 0,02 0,02 4 0,04 0,04 5 0,3 0,3 Ilustrasi rangkaian isolasi DNA tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi

The Origin of Madura Cattle

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

Lampiran 1 Ekstraksi dan isolasi DNA dengan metode GeneAid

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and

BAB 7. Analisis Polimorfisme Gen GHUntuk ProduktivitasTernak Sapi PO

PENDAHULUAN. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian dasar dimana adanya

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR

KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL (BPTU) SAPI PERAH BATURRADEN

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN LAKTOFERIN (LTF EcoRI) PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI DAN BET CIPELANG

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

METODOLOGI. Gambar 1 Bahan tanaman : (a) Tetua IR64; (b) tetua Hawarabunar, dan (c) F 1 (IRxHawarabunar) c a b

3. POLIMORFISME GEN Insulin-Like Growth Factor-I (IGF-1) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM LOKAL DI INDONESIA ABSTRAK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian akan diawali dengan preparasi alat dan bahan untuk sampling

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian dasar yang. dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1998).

DAFTAR PUSTAKA. [BPS Banten] Badan Pusat Statistik Provinsi Banten Banten dalam Angka Serang: BPS Banten

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan metode

Transkripsi:

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN GH, GHRH, DAN PIT-1 PADA KERBAU DI PROVINSI BANTEN (Identification of GH, GHRH, and Pit-1 Genes Polymorphism in Buffalo at Banten Province) ROHMAT D 1, C. SUMANTRI 1 dan A. FARAJALLAH 2 1 Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Jl. Rasamala Kampus IPB Darmaga Bogor 2 Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor ABSTRACT The objectives of this study were to get information of genetic variation of Banten buffalo population consisted of Pandeglang and Lebak subpopulations. Three loci of growth hormone genes (GH MspI, GHRH HaeIII and Pit-1 HinfI) were used on molecular polymorphism study. Molecular analysis showed that GH MspI and GHRH HaeIII loci of Banten population were polymorphic, while Pit-1 HinfI locus was monomorphic. Genetic polymorphisms of GH MspI locus was low showed by expected heterosigosity value (H e = 0.0469). While, genetic polymorphisms of GHRH HaeIII locus was higher (H e = 0.4908). F IS index showed negative value indicated that there was a random mating system in Banten buffalo population. F IT value for GH MspI locus near to 0 (- 0.0207) indicated that there was a balanced population according to Hardy-Weinberg principle. A bias of Hardy Weinberg principle was on GHRH HaeIII locus showed by F IT value near to -1 (- 0.7224). Population differentiation indicator, F ST index showed a small value (0.0024) indicated that differentiation of Banten population to two subpopulations (Pandeglang and Lebak) only decreased a small number of genetic diversity (0.24%). Key Words: Polymorphism, Growth Hormone Genes, Buffalo, Banten ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: mengidentifikasi polimorfisme gen GH, GHRH dan Pit-1 pada lokus GH MspI, GHRH HaeIII dan Pit-1 HinfI pada populasi kerbau Banten di Kabupaten Pandeglang dan Lebak, Identifikasi polimorfisme lokus GH MspI, GHRH HaeIII dan Pit-1 HinfI dilakukan dengan metode polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphisms (PCR-RFLP). Lokus GH MspI dan GHRH HaeIII bersifat polimorfik, sedangkan lokus Pit-1 HinfI bersifat monomorfik pada populasi kerbau Banten. Alel GH (-) pada lokus GH MspI hanya ditemukan pada subpopulasi Pandeglang dengan frekuensi 0,04. Frekuensi genotipe GH (+/+) dan GH (+/-) pada subpopulasi Pandeglang adalah 0,92 dan 0,08. Pada subpopulasi Lebak, lokus GH/MspI bersifat monomorfik dengan hanya ditemukanya alel GH (+). Pada subpopulasi Pandeglang, frekuensi alel A dan B lokus GHRH HaeIII adalah 0,41 dan 0,59, sedangkan pada subpopulasi Lebak adalah 0,3 dan 0,57. Pada subpopulasi Pandeglang, frekuensi genotipe AB dan BB lokus GHRH HaeIII adalah 0,86 dan 0,14, sedangkan pada subpopulasi Lebak adalah 0,81 dan 0,19. Pada populasi total Banten Lokus GH MspI mempunyai keragaman yang rendah (H e = 0,0469) dan lokus GHRH HaeIII mempunyai keragaman yang tinggi (H e = 0.4908). Nilai F IT untuk lokus GH MspI pada populasi kerbau di Banten mendekati nilai 0 (- 0,0207) Penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg terjadi pada lokus GHRH HaeIII ditunjukkan dengan nilai F IT mendekati -1 (- 0,7224). Populasi kerbau Banten mempuyai nilai F ST rataan sebesar 0,0024. Kata Kunci: Ukuran Tubuh, Polimorfisme, Gen Hormon Pertumbuhan, Kerbau, Banten PENDAHULUAN Penurunan populasi kerbau hampir terjadi di semua wilayah nusantara yang merupakan basis pengembangan populasi kerbau, termasuk di Provinsi Banten. Penurunan populasi yang tidak terkontrol dikhawatirkan akan mengakibatkan hilangnya gen-gen penting yang terkait dengan daya hidup dan kemampuan reproduksi serta gen-gen yang 43

mengontrol sifat ekonomis. Upaya peningkatan mutu genetik ternak dapat dilakukan melalui seleksi terhadap sifat yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Salah satu sifat yang bernilai ekonomi tinggi yaitu sifat pertumbuhan. Kemajuan dalam bidang biologi molekuler berupa penerapan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan restriction fragment length polymorphism (RFLP), memungkinkan upaya seleksi dapat dilakukan dengan bantuan marka molekuler yang telah terbukti mengontrol sifat ekonomis. Kandidat gen yang dapat digunakan yaitu gen yang tergabung dalam keluarga hormon pertumbuhan diantaranya gen growth hormone (GH), growth hormone releasing hormone (GHRH), dan pituitary transcription factor (Pit-1). Gen-gen ini merupakan pengontrol sifat pertumbuhan yang keberadaan dan polimorfismenya penting untuk mendukung seleksi terhadap sifat pertumbuhan. Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa terdapat polimorfisme pada ketiga gen tersebut khususnya pada sapi yaitu pada pada lokus GH MspI (ZHANG et al., 1992), GHRH HaeIII (MOODY et al., 1995) dan Pit-1 HinfI (WOLLARD et al., 1994). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi polimorfisme gen GH, GHRH dan Pit-1 pada lokus GH MspI, GHRH HaeIII dan Pit-1 HinfI pada populasi kerbau Banten di Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Sampel kerbau MATERI DAN METODE Sampel kerbau yang digunakan untuk analisis keragaman lokus GH MspI, GHRH HaeIII dan Pit-1 HinfI sebanyak 77 ekor yang terdiri dari 44 ekor dari Pandeglang dan 33 ekor dari Lebak. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu dipilih pada lokasi dengan kepadatan ternak kerbau tinggi. Pengambilan sampel darah Darah diambil dari vena jugularis sekitar 2 ml dengan menggunakan tabung vacutainer berheparin. Sampel darah tersebut selanjutnya direndam dalam etanol 95% untuk menghindari kerusakan sel-sel darah. Isolasi DNA total DNA diisolasi menggunakan metode fenol kloroform (SAMBROOK dan RUSSEL 2001). Sampel darah total yang disimpan dalam etanol 95% disentrifugasi 3500 rpm selama 5 menit. Endapan sel-sel darah yang diperoleh dicuci dengan buffer TE sebanyak 2 kali. Sekitar 100 μl sel-sel darah yang telah bebas dari etanol disuspensikan dengan 1 STE sampai volume mencapai 350 μl. Sel-sel darah kemudian dilisis dengan 20 μl proteinase K (10 mg/ml) dan 40 μl 10% SDS. Campuran ini dikocok pelan-pelan selama 2 jam pada suhu 55 o C. Pemurnian DNA dilakukan dengan metode fenol-kloroform, yaitu dengan menambahkan 1/10 volume 5 M NaCl, 1 volume larutan fenol, dan 1 volume kloroform iso amil alkohol (24 : 1), kemudian dikocok pelan-pelan pada suhu ruang selama 2 jam. Fase DNA dipisahkan dari fase fenol dengan sentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm selama 5 menit. Molekul DNA diendapkan dengan menambahkan 1/10 volume 5 M NaCl dan 2 x volume etanol absolut. Endapan DNA yang dihasilkan selanjutnya dicuci dengan etanol 70% kemudian diendapkan lagi dengan kecepatan 7000 rpm selama 5 menit. Sisa etanol dibuang dan diuapkan dengan menggunakan pompa vakum. DNA selanjutnya dilarutkan dengan 80 μl 80% buffer TE. Amplifikasi gen dengan teknik PCR Pasangan primer digunakan untuk mengapit sekuen DNA target pada reaksi PCR, untuk GH MspI berdasarkan MITRA et al. (1995), GHRH HaeIII (MOODY et al., 1995) dan Pit1 HinfI (WOLLARD et al., 1994). Reaksi PCR dilakukan dengan volume total 25 μl dari campuran larutan yang terdiri dari 10 sampai 100 ng DNA genom, 1 U enzim taq polimerase dan 10 buffernya (New England Biolab); 2 mm dntp mix; 2.5 mm MgCl 2 dan dh 2 O steril. Kondisi reaksi PCR dilakukan dengan suhu pradenaturasi 94 o C selama 4 menit, selanjutnya 30 siklus reaksi yang terdiri dari denaturasi 94 o C selama 10 detik, annealing (suhu spesifik primer) selama 1 menit, perpanjangan 72 o C selama 2 menit. Pemanjangan akhir pada suhu 72 o C selama 7 menit. Suhu annealing untuk primer lokus GH MspI, GHRH HaeIII, dan Pit1 HinfI secara berurutan yaitu: 62, 60 dan 60 o C. Genotiping teknik RFLP Produk PCR selanjutnya dipotong dengan enzim restriksi yang spesifik dengan gen tersebut. Enzim restriksi yang digunakan untuk gen GH, GHRH dan Pit-1 secara berurutan 44

yaitu MspI, HaeIII dan HinfI. Enzim restriksi MspI mengenali situs restriksi C*CGG, sedangkan enzim restriksi HaeIII dan HinfI masing-masing mengenali situs GG*CC dan G*ANTC. Visualisasi pita DNA Visualisasi pola pita hasil RFLP menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid 6% yang diikuti dengan metode pewarnaan perak (silver stainning). Gel dibuat dengan cara mencampurkan 12 ml air destilata, 4 ml larutan 5 x TBE, 4 ml larutan akrilamid 30%, 15 μl larutan TEMED, dan 160 μl APS 10%. Sebanyak 2 μl produk RFLP dicampur dengan +6μlloadying dye (bromthymol blue 0,01%, xilene cyanol 0.01 dan gliserol 50%). Elektroforesis dilakukan pada tegangan konstan 200 mvolt selama 40 menit. Pewarnaan gel dilakukan dengan pewarnaan perak, sedangkan untuk agarose dengan ETBr. beberapa populasi ternak sapi (FALAKI et al., 1996; LAGZIEL et al., 2000). Lokus GHRH HaeIII pada populasi kerbau di Banten bersifat polimorfik, baik pada subpopulasi Pandeglang maupun Lebak. Secara umum, frekuensi alel B lebih tinggi dibandingkan dengan alel A dan tidak ditemukan genotipe AA pada kedua subpopulasi. Pada populasi kerbau perah Murrah yang termasuk dalam kelompok kerbau sungai (riverine buffalo), lokus GHRH HaeIII bersifat monomorfik dengan tidak ditemukannya alel A (RAJAMURUGAN et al., 2007). Gen Pit-1 pada populasi kerbau di Banten, bersifat monomorfik. Berbeda dengan yang dilaporkan oleh Javanmard et al. (2005), bahwa pada populasi kerbau di Iran yang merupakan kerbau sungai (tipe perah), frekuensi alel A dan B dilaporkan sebesar 0,15 dan 0,85. Analisis data Analisis data molekuler lokus GH MspI, GHRH HaeIII dan Pit-1 HinfI pada populasi kerbau Banten meliputi frekuensi alel berdasarkan NEI DAN KUMAR (2000), keseimbangan Hardy-Weinberg, diuji dengan chi-square (χ 2 ), heterosigositas yang meliputi heterosigositas pengamatan (H o ) dan heterosigositas harapan (H e ), dan nilai-nilai indeks fiksasi meliputi F IS,F IT dan F ST menurut HARTL (1988). Gambar 1. Pola pita pemotongan ruas gen GH dengan enzim restriksi MspI padagel Agarose 2%. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman gen GH Frekuensi alel dan frekuensi genotipe Hasil visualisasi PCR-RFLP lokus GH MspI, GHRH HaeIII, dan Pit-1 masingmasing diperlihatkan pada Gambar (1, 2 dan 3). Frekuensi alel, frekuensi genotipe dan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ 2 ) untuk lokus GH MspI, GHRH HaeIII dan Pit-1 HinfI pada subpopulasi kerbau Pandeglang dan Lebak disajikan pada Tabel 1. Lokus GH MspI bersifat polimorfik pada subpopulasi kerbau Pandeglang dengan frekuensi alel GH (+) yang tinggi yaitu 0,96, dan frekuensi alel GH (-) sebesar 0,04. Pada subpopulasi Lebak, lokus GH MspI bersifat monomorfik dengan hanya ditemukannya alel GH (+). Tingginya frekuensi alel GH (+) ini juga ditemukan pada Gambar 2. Pola pita pemotongan ruas gen GHRH dengan enzim restriksi HaeIII pada gel Agarose 2%. 45

maupun Lebak, mengindikasikan adanya ketidakseimbangan Hardy-Winberg pada populasi yang diamati (TOMBASCO et al., 2003) Heterosigositas dan indeks fiksasi pada populasi Banten Gambar 3. Pola pita pemotongan ruas gen Pit-1 dengan enzim restriksi HinfI pada gel poliakrilamid 6%. Heterosigositas dan indeks fiksasi pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa keragaman genetik pada lokus GH MspI di Pandeglang adalah rendah yang ditunjukkan dengan nilai heterosigositas pengamatan (Ho) sebesar 0,0811. Lokus GHRH HaeIII mempunyai keragaman genetik yang tinggi baik pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak dengan nilai heterosigositas pengamatan masing-masing 0,8636 dan 0,8125. Lokus Pit- 1 HinfI bersifat monomorfik baik pada subpopulasi Pandeglang maupun Lebak Perbedaan nilai Ho dan He pada lokus GHRH HaeIII, baik pada populasi Pandeglang Secara keseluruhan nilai heterosigositas pengamatan (H o ) pada populasi kerbau di Banten sebesar 0,2966 dan nilai heterosigositas harapan (H e ) sebesar 0,1792. Perbedaan yang signifikan antara nilai H o (0,8421) dan H e (0,4908) dijumpai pada lokus GHRH HaeIII yang mengindikasikan terjadinya penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg pada lokus tersebut. Pada lokus GH MspI tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai H o dan H e, sehingga tidak ada penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg. Pada populasi kerbau di Banten, nilai H o lebih tinggi dibandingkan dengan nilai H e mengindikasikan bahwa belum ada kegiatan seleksi yang dilakukan secara intensif dengan menggunakan pejantan tertentu (MACHADO et al., 2003). Nilai FIS pada penelitian ini pada populasi Banten untuk semua lokus bernilai negatif. Nilai FIS yang bernilai negatif mengindikasikan bahwa pada populasi tersebut, sistem perkawinannya secara acak. Pada kedua lokasi di Pandeglang dan Lebak, ternak dibiarkan melakukan perkawinan sendiri pada saat ternak digembalakan. Hal ini berkaitan dengan belum adanya proses seleksi yang dilakukan oleh peternak baik di Banten Tabel 1. Frekuensi alel, frekuensi genotipe dan keseimbangan Hardy-Weinberg (χ 2 dan p) pada subpopulasi Pandeglang dan Lebak Subpopulasi GH MspI GHRH HaeIII Pit-1 HinfI Frek. Alel χ2 Frek. Alel Frek. Alel χ2 (p) + - (p) A B A B Pandeglang 0,96 0,04 0,04 (0,83) 0,41 0,59 24,68 (0,00)** 0,00 0,00 Td Lebak 1,00 0,00 Td 0,43 0,57 14,33 (0,00)** 0,00 0,00 Td ** Menunjukkan nilai χ 2 yang menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg dengan P < 0,01 Tabel 2 Nilai heterosigositas pengamatan (H o ) dan heterosigositas harapan (H e ) Pandeglang Lebak Lokus N H o H e N H o H e GH/MspI 37 0,0811 0,0789 26 0,0000 0,0000 GHRH/HaeIII 44 0,8636 0,4963 32 0,8125 0,4901 Pit1/HinfI 44 0,0000 0,0000 33 0,0000 0,0000 Rata-rata 0,3193 0,2708 0,1898 0,1634 χ2 (p) 46

Tabel 3. Heterosigositas dan indeks fiksasi pada populasi Banten Lokus N H o H e F IS F IT F ST GH/MspI 63 0,0476 0,0469-0,0423-0,0207 0,0207 GHRH/HaeIII 76 0,8421 0,4908-0,7224-0,7213 0,0007 Pit-1/HinfI 77 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 dengan cara penggunaan pejantan tertentu untuk digunakan sebagai bibit. Nilai F IT untuk lokus GH/MspI pada populasi kerbau di Banten mendekati nilai 0 (- 0,0207). Hal ini berarti bahwa distribusi genotipe gen tersebut memenuhi prinsip keseimbangan Hardy-Weinberg. Hasil yang sama juga dapat dilihat dari nilai chi square (Tabel 1) sebesar 0,04 (P > 0,05) yang menunjukkan adanya keseimbangan Hardy- Weinberg. Penyimpangan keseimbangan Hardy-Weinberg terjadi pada lokus GHRH HaeIII ditunjukkan dengan nilai F IT mendekati -1 (- 0,7224). Hal ini terjadi karena kekurangan genotipe homosigot pada lokus tersebut, tetapi bukan karena adanya seleksi yang mengarah ke peningkatan frekuensi genotipe heterosigot. Pola perkawinan berlangsung secara acak seperti ditunjukkan dengan nilai F IS yang bernilai negatif. Nilai F ST menunjukkan ada atau tidaknya diferensiasi genetik antar subpopulasi. Populasi kerbau Banten yang dipisah menjadi dua subpopulasi yaitu Pandeglang dan Lebak mempuyai nilai F ST rataan sebesar 0,0024. Nilai F ST lebih kecil dari 0.05 mengindikasikan deferensiasi genetik yang kecil (WRIGHT 1978), yang berarti bahwa pemisahan populasi Banten menjadi dua subpopulasi Pandeglang dan Lebak hanya akan menurunkan keragaman genetik yang tidak signifikan yaitu sebesar 0,24%. Hal ini berarti bahwa sebenarnya antara subpopulasi Pandeglang dan Lebak belum terdeferensiasi secara genetik berdasarkan lokus GH MspI, GHRH HaeIII dan Pit-1 HinfI. KESIMPULAN Lokus GH/MspI dan GHRH HaeIII bersifat polimorfik, sedangkan lokus Pit-1 HinfI bersifat monomorfik pada populasi kerbau Banten. Pada lokus GH MspI, alel GH (-) hanya ditemukan pada subpopulasi Pandeglang dengan frekuensi 0,04 dan frekuensi alel GH (+) sebesar 0,96. Pada subpopulasi Lebak lokus GH MspI bersifat monomorfik. Frekuensi alel A dan B pada lokus GHRH HaeIII yaitu 0,41 dan 0,59 pada subpopulasi Pandeglang, dan 0,43 dan 0,57 pada subpopulasi Lebak. Pada populasi Banten secara keseluruhan, Lokus GH MspI mempunyai keragaman yang rendah (0,0469) dan lokus GHRH HaeIII mempunyai keragaman yang tinggi (0,4908). DAFTAR PUSTAKA FALAKI,M.,N.GENGLER,M.SNEYERS,A.PRANDI,S. MASSARTA. FORMIGONI, A. BURNYD, PORTETELLE and R. RENAVILLE. 1996. Relationships of polymorphism for growth hormone and growth hormone receptor genes with milk production traits for Italian Holstein-Friesian bulls. J. Dairy Sci. 79: 1446 1453. HARTL D.L. 1988. Principle of Population Genetic. Sunderland: Sinauer Associates, Inc. Publisher. JAVANMARD, A., N. ASADZADEH, M. HOSSEIN, BANABAZI and J. TAVAKOLIAN. 2005. The allele and genotype frequencies of bovine pituitary specific transcription factor and leptin genes in Iranian cattle and buffalo populations using PCR-RFLP. Iran J. Biotechnol. 3: 104 108. LAGZIEL, A.,S.DENISE, O.HANOTTE, S.DHARA, V. GLAZKO, A. BROADHEAD, R. DAVOLI, V. RUSSO and M. SOLLER. 2000. Geographic and breed distribution of an MspI PCR-RFLP in the bovine growth hormone (bgh) gene. Anim. Genet. 31:210-213. MACHADO, M.A., I. SCHUSTER, M.L. MARTINEZ, A.L. CAMPAS. 2003. Genetic diversity of four breed using microsatelite markers. Rev Bras De Zool 32: 93 98 MITRA, A.,P.SCHELE, C.R. BALAKRISNAN and F. PIRCHNER. 1995. Polymorphisms at growth hormone and prolactin loci in Indian cattle and buffalo. J Anim Bred Genet 112: 71 74. 47

MOODY, D.E.,D.POMP, andw.barendse. 1995. Restriction fragment lenght polymorphisms in amplification product in the bovine growth hormone releasing hormone gene. J. Anim. Sci. 73: 3789. NEI, MandS.KUMAR. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford University Press, New York. RAJAMURUGAN, J.,S.KUMAR, O.P.PANDEY, S.M. DEB, A. MITRA and A. SHARMA. 2007. Characterization of growth hormone releasing hormone (GHRH) partial gene in buffalo. Indian J. Anim. Sci. 77: 749 751. SAMBROOK, J.,andD.RUSSELL. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual, 3 rd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, United State of America. TAMBASCO, D.D., C.C.P. PAZ, M. TAMBASCO- STUDART, A.P. PEREIRA1, M.M. ALENCAR, A.R. FREITAS, L.L. COUTINHO, I.U. PACKER and L.C.A. REGITANO. 2003. Candidate gene for growth traits in beef cattle crosses Bos taurus x Bos indicus. J. Anim. Breed. Gene.t 120: 51 56 WOOLLARD, J., C.B. SCHIMTZ, A.E.FREEMAN, and C.K. TUGGLE. 1994. Rapid Communication: HinfI polimorphisms at the bovine Pit-1 locus. J Anim. Sci. 72: 3267. WRIGHT S. 1978. Variability Within and Among Natural Populations. Chicago: University of Chicago Press. ZHANG, H.M., D.R. BROWN, S.K. DENISE, and R.L. A X. 1992. Nucleotide sequence determination of bovine somatotropin allele. J. Anim. Genet 23: 578. 48