UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Pengantar Bab I. Bab ini menguraikan latar belakang penulis melakukan penelitian dalam tesis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

TATA GEREJA PEMBUKAAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Chris Hartono, Mandiri dan Kemandirian, dalam Majalah Gema STT Duta Wacana, Maret 1983, p. 46.

BAB I PENDAHULUAN UKDW

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Oikumenikal dan Evangelikal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN. Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dr. Harun, Iman Kristen (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia), 2001, hlm

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gereja adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya, sebagai umat yang

BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam Perjanjian Baru terdapat empat Kitab Injil Yang menuliskan tentang kehidupan Yesus

UKDW. Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

UKDW. BAB I Pendahuluan

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk kepada anak-anak. Mandat ini memberikan tempat bagi anak-anak untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V PENUTUP. Dalam bagian ini, akan di buat kesimpulan dari pembahasan bab 1 sampai. dengan bab 4 serta saran-saran. 5.1.

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

Gereja Menyediakan Persekutuan

ANGGARAN DASAR PERSEKUTUAN PEMUDA KRISTIYASA GKPB BAB I NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks

BAB V PENUTUP. Setelah menelusuri pernyataan Yesus dalam Yohanes 14: 6 kata Yesus kepadanya,

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan. a. Tanah dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lih. Kis 18:1-8 2 The Interpreter s Dictionary of the Bible. (Nashville : Abingdon Press, 1962). Hal. 682

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB 27 Berdiam Diri dalam Pertemuan- Pertemuan Jemaat

BAB IV ANALISA PEMAHAMAN MENGENAI BENTUK-BENTUK PELAYANAN KOMISI DOA DI JEMAAT GPIB BETHESDA SIDOARJO SESUAI DENGAN

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Permasalahan Pertumbuhan iman

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW

KEPUTUSAN PIMPINAN PUSAT GKPS Nomor: 99/SK-1-PP/2013 tentang TATA GEREJA dan PERATURAN RUMAH TANGGA GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN (GKPS)

Bab I Pendahuluan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lihat sila pertama dalam Dasar Negara Indonesia: Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I. Pendahuluan Latar Belakang Kajian

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN. bertemunya masyarakat yang beragama, yang disebut juga sebagai jemaat Allah. 1

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

Level 2 Pelajaran 4. PENTINGNYA GEREJA KRISTUS Oleh Don Krow

UKDW. BAB I Pendahuluan. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

Surat Roma ini merupakan surat Paulus yang paling panjang, paling teologis, dan paling berpengaruh. Mungkin karena alasan-alasan itulah surat ini

Gereja. Tubuh Kristus HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang

PEMAHAMAN MAKNA LITURGI (Studi Mengenai Makna Warna-warna Liturgis dalam Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan Bali/GKPB)

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus

BAB I PENDAHULUAN. A. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Khotbah merupakan salah satu bagian dari rangkaian liturgi dalam

BAB I PENDAHULUAN. cukup panjang yang disebut Injil. Karangan-karangan yang panjang itu bercerita tentang seorang

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. dalam keluarga dengan orang tua beda agama dapat dipahami lebih baik.

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Penelaahan Tiap Kitab Secara Tersendiri

BAB I PENDAHULUAN. (2000) p Budyanto, Dasar Teologis Kebersamaan dalam Masyarakat yang Beranekaragam Gema Duta Wacana, Vol.

BAB I PENDAHULUAN. ada sebagian kecil orang yang memilih untuk hidup sendiri, seperti Rasul Paulus

HERMENEUTIK LEKSIONARI

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

Bergabunglah dengan Saudara yang Lain Bila Berdoa

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

A. JEMAAT BERHIMPUN TATA IBADAH MINGGU, 30 APRIL 2017 (MINGGU PASKAH III) BERELASI DENGAN TUHAN YESUS KRISTUS

LANGKAH-LANGKAH MENUJU PERTUMBUHAN ROHANI

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

UKDW. Bab I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 Majelis Agung GKJW, Tata dan Pranata GKJW, Pranata tentang jabatan-jabatan khusu, Bab II-V, Malang,

KALENDER DOA DESEMBER 2016

Mempersiapkan Khotbah. Pembinaan Majelis dan OIG Jemaat Batam Gereja Toraja 9 Maret 2016

BAB I PENDAHULUAN. kepada semua orang agar merasakan dan mengalami sukacita, karena itu pelayan-pelayan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan. Pelayanan kepada anak dan remaja di gereja adalah suatu bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Paham Dosa Kekristenan

SAUDARA MEMPUNYAI PENOLONG

BAB I Pendahuluan UKDW

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Bab I Bab ini menguraikan latar belakang penulis melakukan penelitian dalam tesis ini. Latar belakang tersebut terdiri dari pengalaman penulis, tentang minimnya gerakan oikumene di gereja asal penulis yaitu HKI, yang bertetangga dengan HKBP dan GKPS. Sepanjang pengalaman penulis, ketiga gereja ini tidak mempunyai kerjasama sebagai wujud gerakan kesatuan gereja. Pengalaman ini dikontraskan dengan kebutuhan gereja yang sangat mendesak untuk bergerak bersama, sebagai perwujudan doa Yesus dalam Yohanes pasal 17. Penafsiran Yohanes 17:20-26 sangat relevan terhadap konteks ketiga gereja ini dalam meningkatkan gerakan kesatuan. Teks ini menjadi dasar Alkitab bagi PGI (Persekutuan gereja-gereja di Indonesia) dalam mewujudkan gerakan kesatuan gereja di Indonesia. Penulis sebelumnya telah terlebih dahulu melakukan pra penelitian untuk mendukung proses penelitian ini. Setelah seluruh latar belakang permasalahan diuraikan, bab ini akan menyajikan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian, metodologi penelitian, teori yang digunakan, rencana judul dan sistematika penulisan hasil penelitian. B. Latar Belakang Permasalahan Tema kesatuan gereja adalah tema yang sangat menarik. Ketertarikan penulis terhadap tema ini muncul ketika penulis mulai mempelajari dialog antar umat beragama di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Saat itu, penulis mendapat tugas untuk menyajikan tulisan tentang pentingnya berdialog 1

terhadap agama lain dalam konteks Indonesia yang sangat plural. 1 Sejak saat itu, ada kegelisahan akan kondisi gereja asal penulis sendiri, yang masih sangat tertinggal jauh dalam pelaksanaan dialog antar umat beragama ini. Juga termasuk beberapa gereja yang berdekatan dengan gereja asal penulis. Sulit membayangkan gereja untuk berdialog dengan agama lain, jika untuk sesama gereja saja tidak ada dialog dan relasi sama sekali. Dengan kata lain, bagaimana mungkin gereja bisa berdialog dengan agama lain jika antar gereja saja belum bersatu. Gereja asal penulis adalah Huria Kristen Indonesia (HKI). Sejak kecil, bersama dengan orangtua, penulis berjemaat di gereja HKI Panei Tongah, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Di areal yang saling berdekatan berdiri tiga bangunan gereja yaitu Gereja HKI Panei Tongah, berdekatan dengan HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Panei Tongah yang berjarak 100 meter ke arah Utara, GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) Panei Tongah berjarak 200 meter ke arah Barat. Penulis sebagai salah seorang anggota jemaat HKI, mengamati bahwa gereja-gereja yang saling berdekatan ini telah melaksanakan program pelayanannya masingmasing, namun tidak pernah bekerjasama sebagai wujud penghayatan kesatuan gereja. Semasa kecil, penulis memiliki pengalaman yang menambah kegelisahan, sehubungan dengan relasi antar gereja. Ketika bersama-sama berangkat ke sekolah minggu, penulis dan teman-teman, saling mengejek gereja masing-masing sepanjang perjalanan. Anak-anak dari gereja HKI akan mengejek pendeta HKBP dengan membuat kepanjangan dari HKBP. 2 Sebaliknya anak-anak dari HKBP tidak mau 1 Indonesia terdiri dari beragam suku, etnis, budaya, tradisi agama dan kepercayaan. Inilah realitas Indonesia yang sangat plural. Indonesia terdiri dari 17.504 1 pulau, terdiri dari 740 suku bangsa (etnis) dan terdiri dari 583 bahasa daerah. Selain itu, agama dan kepercayaan juga sangat beragam. Lihat www.wikipedia.indonesia, diunduh September 2011. 2 Kepanjangan yang dipakai untuk mengejek misalnya HKBP disebut Hutunjang Kursi Balik Pandita yang artinya, Jika kursi ditendang maka pendeta HKBP akan terbalik atau terjungkal. Sebaliknya HKI disebut Hurang acang Inang? artinya ibu-ibu HKI kekurangan kacang. Masih banyak ejekan-ejekan lain yang saling dilontarkan oleh anak-anak, tujuannya hanya satu, merendahkan gereja lain di luar gerejanya. Ada pemahaman bahwa hanya gerejanyalah yang paling baik. 2

kalah, mereka juga membuat kepanjangan dari HKI sebagai ejekan. Tidak pernah terpikir mengapa ada tindakan saling mengejek, padahal tidak pernah diajari orangtua untuk melakukan tindakan tersebut, namun itulah yang terjadi. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa, kepanjangan dari HKBP dan HKI yang dipakai sebagai ejekan tersebut, sudah ada dari generasi-generasi sebelumnya. Mungkin sebagian orang akan mengatakan namanya juga anak-anak, saling mengejek seperti itu sudah biasa. Semasa kecil, kisah ini juga tidak bermakna apaapa bagi penulis. Tetapi menjadi berbeda setelah penulis mencoba berefleksi dari pengalaman tersebut. Bagaimana mungkin anak-anak kecil saling mengejek sampai sedemikian, jika tidak ada sesuatu dibalik itu? Kenyataannya, setelah 20 tahun lebih berlalu, kebiasaan saling mengejek tersebut belum berubah juga. 3 Dari kebiasaan tersebut, ada kecenderungan menganggap gereja lain berbeda, bahkan lebih buruk. Sikap ini membuahkan miskinnya relasi antar gereja bahkan dalam jemaat untuk kategorial anak-anak. Sepanjang pengalaman penulis sejak sekolah minggu, remaja, katekisasi Sidi dan akhirnya menjadi pemuda, dalam rentang waktu tersebut, penulis tidak menemukan adanya kerjasama atau program pelayanan bersama, yang menggambarkan relasi antara HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah, yang saling berdekatan ini. Keadaan ini tentu saja sangat berlawanan dengan semangat kesatuan gereja yang seharusnya diwujudkan ketiga gereja ini. Konsep kesatuan gereja sendiri, di Indonesia dibicarakan dalam terminologi oikumene. Kata ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni dari kata όικος yang berarti "rumah" dan μενειν yang berarti "mendiami", menghuni atau "tinggal", 3 Ketika liburan, penulis selalu menyempatkan diri mengajar sekolah Minggu, ternyata kebiasaan saling mengejek tersebut masih penulis temukan sampai sekarang ini. 3

sehingga secara etimologi oikumene berarti mendiami rumah atau tempat tinggal secara bersama. 4 Chris Hartono mengatakan,..gerakan ekumenis berarti gerakan yang bersangkut-paut dengan ekumene, atau gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan dan menghayati keesaan gereja-gereja. Dengan perkataan lain dapat diungkapkan bahwa gerakan ekumenis adalah usaha gereja-gereja dalam mewujudkan keesaannya di dunia ini supaya hakekatnya yang asasi itu, yakni selaku gereja Kristus yang esa itu, dapat dihayati dan dinampakkan dengan jelas. 5 Dari kutipan di atas, gereja harus bersama-sama bergumul sampai mencapai keesaan Injil melalui sikap, kegiatan dan aktifitasnya, untuk membuktikan keesaan yang asasi dalam dunia pada masa kini. Pengertian oikumene 6 tersebut dapat kita maknai sebagai gerakan kesatuan atau kerjasama sebagai dinamika gereja Yesus Kristus dalam mewujudkan iman dan panggilannya di tengah-tengah dunia dimana gereja berada. Eka Darmaputera mengatakan, Gereja yang satu itu baru mempunyai artinya di tengah-tengah gejolak dunia ini. Oikumene bukanlah hendak mempersatukan dan kemudian mengasingkan gereja, tapi mempersatukan untuk mengarungi dunia ini. Ia tidak boleh tinggal sebagai cita-cita yang mengawang atau rumusan-rumusan teologis yang abstrak, tapi harus menemukan maknanya di tengah-tengah dunia nyata setiap saat dan di setiap tempat...oikumene karenanya bukanlah sekedar suatu keadaan tetapi harus merupakan suatu gerak yang aktif dan dinamis. Suatu gerakan karena dunia juga terus bergerak. Di dalam Kristus, dunia sekaligus jalan juga tantangan. 7 Dari pernyataan di atas, jelas mengatakan bahwa gerakan kesatuan itu bukan sekedar kegiatan semata di dunia, tetapi harus bermakna. Dunia dimana gereja berada, adalah 4 Chris Hartono, 1984, Gerakan Oikumenis di Indonesia, PPIP UKDW, hal 1. 5 Ibid, hal 2. 6 Para ahli sejarah gereja memilih konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910, sebagai titik mula lahirnya gerakan oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya gerakan oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konferensi Edinburgh 1910, pergerakan oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Barulah pada konperensi Edinburgh dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1200 delegasi dari 159 badan misi. Salah satu yang berhasil disimpulkan dalam konferensi itu yakni mengenai kerja sama dan pemupukan keesaan. 6 Hal ini juga membawa gereja yang muda untuk memikirkan ke arah gereja yang dewasa. Hal-hal ini penting bagi gerakan keesaan gereja di kemudian hari, khususnya untuk gereja-gereja di Indonesia yang masih muda pada waktu itu. 7 Eka Darmaputera, 1974, Berbeda Tapi Bersatu, BPK Gunung Mulia, hal 34-37. 4

dunia yang terus bergerak, oleh karena itulah gereja harus bergerak dinamis. Di dalam Kristus, dunia sekaligus adalah jalan dan tantangan. Gereja perlu sadar bahwa dunia sedang menantang gereja itu sendiri untuk menyatakan keesaannya di dalam usaha persekutuan, kesaksian dan pelayanannya. 8 Gerakan kesatuan adalah keprihatinan terhadap dunia, dimana kesatuan tersebut tidak menghasilkan persekutuan yang terasing dan eksklusif. Persekutuan tersebut di satu pihak didorong oleh karya Kristus yang mempersatukan, dan di pihak lain didesak oleh dunia yang menuntut gereja melakukan panggilannya menjadi nyata. Abineno mengatakan, gerakan keesaan mencakup dua hal mendasar, yaitu pertama pewujudan diri gereja Yesus Kristus yang esa di dalam iman dan tugas panggilannya di dunia. 9 Kedua, panggilan untuk mempersatukan gereja yang telah terpisah-pisah oleh perbedaan budaya, bahasa, ajaran, dan organisasi, agar gereja tetap esa di dalam Yesus Kristus. Dengan demikian, gerakan keesaan tidak hanya menekankan kesatuan lahiriah dan organisatoris, melainkan kesatuan dalam pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia. Juga kesatuan dalam panggilan untuk melayani dunia ini dengan berlandaskan kasih. Dengan pemahaman ini, gereja-gereja yang berbeda seharusnya saling menerima perbedaan dan saling berrelasi atas dasar Iman kepada Kristus. Relasi tersebut ditujukan untuk menyatakan kasih Kristus dalam pelayanan yang nyata bagi orang-orang dalam dunia ini. Eka Darmaputera mengatakan, Bayangkan sebuah proyek oikumenis! Dari luar, ia bisa memberi kesan yang menawan. Tapi sebenarnya yang terjadi di dalamnya, adalah suatu kerjasama untuk satu tujuan, ataukah suatu kerjasama untuk mencapai tujuan masing-masing? Janganlah kita menolak kegiatan-kegiatan oikumenis! Mau tak mau, kesadaran oikumenis memang harus melahirkan kegiatan-kegiatan nyata. Tapi janganlah mengartikan oikumene sekedar sebagai aktiftas. Sebab kalau begitu, ia hanya menjadi pakaian mentereng dalam sebuah pameran 8 Eka Darmaputera, Berbeda Tapi Bersatu, hal 37. 9 J.L. Ch. Abineno, 1984, Oikumene dan gerakan Oikumene, BPK Gunung Mulia, hal 10. 5

mode. Indah dipandang tetapi tidak cocok untuk dikenakan sehari-hari. Tidak mungkin tidak, oikumene memang harus mulai dari proses penyadaran. Dan kemudian bersedia untuk bergulat dalam proses yang panjang untuk mengubah sikap serta keyakinan. 10 Mencermati pendapat Eka Darmaputera di atas, gerakan oikumenis diawali dengan kesadaran akan pentingnya gerakan tersebut. Kesadaran akan dilanjutkan dengan adanya bukti konkret dengan kegiatan-kegiatan oikumenis, untuk tujuan bersama. Gerakan itu bukanlah gerakan bersama untuk tujuan sendiri-sendiri. Dalam kenyataan hidup bergereja, ada atau tidaknya gerakan kesatuan yang diupayakan oleh sebuah gereja, akan terlihat dalam program-program yang disusun gereja tersebut. Jika gereja sadar akan pentingnya kesatuan, maka di dalam kesadaran akan diciptakan kerjasama dengan gereja-gereja lain khususnya relasi dengan gereja tetangga. Sejauh mana gereja mengangap penting kerjasama itu, maka akan terlihat pada program pelayanan yang akan dilaksanakan secara konkret dan rutin. Dari beberapa pendapat beberapa di atas, dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya gereja-gereja bersatu. Emanuel Gerrit Singgih mengatakan pendapat senada, bahwa kebersamaan gereja-gereja merupakan suatu dimensi eklesiologis yang tidak bisa diabaikan. 11 Pemahaman akan kebersamaan ini harus terus dimasyarakatkan sehingga tidak sekedar konsumsi akademis saja. Gereja-gereja perlu bersama-sama bergerak dalam aksi untuk mengatasi masalah-masalah keadilan, kemiskinan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di dunia ini, bahkan dalam aras jemaat. Gerakan tersebut terlihat dalam satu iman, satu persekutuan, dan dinyatakan dalam ibadah, dalam kehidupan bersama dengan tujuan "supaya dunia percaya" sebagaimana Yesus berdoa bagi para pengikutnya (Yohanes17:21). 10 Eka Darmaputera, Berbeda Tapi Bersatu, hal 58-59. 11 Emanuel Gerrit Singgih, 2000, Berteologi dalam Konteks, BPK Gunung Mulia, hal 222-228. 6

Yohanes 17:20-26 adalah dasar Alkitab yang dipakai Persekutuan Gerejagereja di Indonesia, dalam perwujudan gerakan kesatuan Gereja di Indonesia. Yesus sebagai anak Allah adalah pokok perhatian khas dalam Injil Yohanes. Beberapa kali Yesus ditampilkan dalam hubungan keanakannya dengan Bapa. Rencana penyelamatan diberlakukan oleh Bapa melalui Anak. Karena kasih Karunia untuk dunia, maka Allah mengaruniakan AnakNya (3:16). Pasal 13 sampai dengan pasal 17 adalah kisah Yesus, khusus bersama dengan murid-muridnya. Kisah ini merupakan satu rangkaian acara perpisahan sebelum Yesus ditangkap. Setelah pembasuhan kaki di pasal 13 berlanjut pada wejangan perpisahan. Pasal 17 adalah doa Yesus sebagai penutup dari seluruh acara perpisahan itu. Isi doa Yesus terdiri dari pertama untuk dirinya sendiri, kedua doa Yesus untuk muridnya, dan ketiga doa Yesus untuk Gereja. Doa Yesus untuk Gereja tentu bisa diperluas, mencakup semua orang yang percaya dan yang akan percaya kepada Kristus melalui kesaksian para murid nantinya. Ungkapan supaya mereka menjadi satu adalah pernyataan kesatuan, tidak membedakan antara mereka yang telah mendengar Firman dari Yesus secara langsung atau mendengarnya melalui orang lain. Kesatuan itu digambarkan dalam kesatuan Bapa dan Anak serta dipertahankan dengan tinggal tetap dalam Bapa dan Anak. Tujuan dari kesatuan ini adalah supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Pesan dari teks inilah yang ditegaskan dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI. Setiap gereja adalah bagian dari gereja yang esa, kudus, am dan rasuli dan bahwa semua gereja di segala jaman dan tempat terpanggil untuk melaksanakan tugas panggilan gereja yang sama dan satu, yaitu memberitakan Injil. 12 Gereja-gereja di seluruh dunia bertanggungjawab melaksanakan tugas panggilan itu di dalam 12 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2010, Dokumen Keesaan Gereja, PGI, hal 57. 7

persekutuan dan kerjasama serta saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing. Di dalam mengemban panggilan oikumene semesta, maka hubungan dan kerjasama perlu terus dibina. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI menguraikan, bahwa mempersatukan gereja artinya: 1. Memenuhi apa yang tertulis dalam Yohanes 17:21, yaitu menampakkan keesaan yang telah ada dalam Tuhan, yang satu secara nyata, sehingga dapat dilihat oleh dunia sebagai kesaksian. Hal itu berarti bahwa keesaan gereja tidak hanya dalam arti rohani saja, melainkan juga dalam bentuk yang nyata bagi dunia. 2. Keesaaan gereja perlu mengambil bentuk-bentuk yang terdapat dalam dunia. Gereja-gereja di Indonesia mula-mula lahir dalam bentuk keesaan di kalangan kehidupan suku-suku dan daerah tertentu. Sekarang ini, gereja-gereja kita sedang berusaha keras untuk mewujudnyatakan keesaan gereja di tengahtengah kehidupan bangsa Indonesia. 3. Namun demikian, di sisi lain hakikat dan pola keesaan gereja tidak sama dengan hakikat dan pola kesatuan yang terdapat dalam dunia. Sebab keesaan gereja itu adalah keesaan yang sama dengan keesaan Allah dalam Bapa, Anak dan Roh Kudus, keesaan relasional yang sinergis. 4. Struktur keesaan gereja itu tidak disusun atas kekuasaan seperti yang terdapat di dalam dunia, melainkan atas persekutuan, pelayanan dan kasih. Struktur keesaan itu harus menjamin efisiensi dalam memahami dan menjalankan tugas panggilan bersama. Sehubungan dengan itu keesaan gereja harus berakar pada warga jemaat sehingga keesaan itu tidak sekedar dilihat sebagai masalah kelembagaan tetapi adalah pangilan menyeluruh bagi semua orang percaya. 5. Mempersatukan gereja-gereja di Indonesia yang dulu lahir dan tumbuh terpisah-pisah dan tersendiri-sendiri, tidak berarti menghilangkan segala anugerah dan karunia yang telah diterima dari Tuhan dalam sejarah gerejagereja itu, dalam kerangka keesaan yang lebih besar sebagai kesaksian di tengah-tengah bangsa Indonesia. Itu berarti bahwa dalam kerangka keesaan itu terjamin adanya ruang gerak bagi keanekaragaman. Dalam kenyataan itu, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan harus dijunjung tinggi. 13 Mengacu pada pemaparan dari DKG PGI, sangat jelas bahwa kesatuan gereja harus direaliasasikan dalam bentuk yang konkret, dalam aksi yang dinamis seiring dengan konteks jaman yang terus dinamis pula. Dari berbagai pemahaman akan kesatuan gereja yang sudah diuraikan di atas, penulis kembali teringat dengan gereja HKBP, HKI dan GKPS terutama di Panei Tongah yang belum melaksanakan 13 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Dokumen Keesaan Gereja, hal 52-53. 8

kerjasama untuk tujuan bersama. Yohanes 17:20-26 menyerukan agar gereja-gereja berrelasi dengan konkret. Dengan demikian, studi terhadap Yohanes 17:20-26 sangat relevan bagi HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah, sehingga sumbangan pemikiran dari teks ini dapat merealisasikan perwujudan kesatuan yang relevan bagi ketiga gereja. Penafsiran akan diuraikan dalam bab 3 dari tesis ini. Untuk mengawali penelitian dalam tesis ini, penulis telah melakukan prapenelitian, dengan memulai percakapan dengan guru jemaat dari ketiga gereja ini. Adapun fokus percakapan penulis dalam pra penelitian ini adalah mengumpulkan informasi awal dari ketiga penanggungjawab gereja yaitu guru jemaat, tentang pemahaman dan pandangan mereka akan gerakan kesatuan gereja. Penulis mencoba menggali, sejauh mana gereja tersebut sudah melaksanakan gerakan kesatuan tersebut secara nyata, dengan melihat ada tidaknya kerjasama dengan gereja tetangga. Berikut penulis akan memaparkan pra-penelitian yang penulis lakukan terhadap ketiga gereja ini. Secara umum, hasil percakapan dalam pra penelitian yang dilakukan oleh penulis, ketiga guru jemaat HKI, HKBP dan GKPS Panei Tongah, mengatakan, bahwa belum pernah ada kerjasama selama ini. Dalam percakapan, ada kesan, bahwa ketiga guru jemaat ini sebenarnya memahami bahwa gereja harus bersatu, namun pada kenyataannya belum ada realisasi dari pemahaman tersebut. Dalam percakapan dengan Guru jemaat GKPS mengatakan,..gerakan kesatuan itu penting, tapi bagaimana membuat itu kalau yang lain tidak mau kerjasama? Di sini kita sangat terbuka untuk kerjasama dengan HKI, HKBP bahkan GPDI yang dekat juga di jalan Parsaguan sana. Tapi masih sulit. Dulu kita sudah pernah bicarakan itu, beberapa tahun lalu ada wadah untuk itu. Tapi beberapa tahun ini tidak ada lagi kabarnya. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, ya, beginilah akhirnya. Program tukar mimbar itu bukan hal baru sebenarnya di GKPS. Di tempat-tempat lain GKPS sudah melakukan itu, tapi di kampung kita ini masih sulit. Kalau sudah bicara kerjasama, langsung berpikir Apa untungnya untuk aku? jadi susah dan sepertinya ada kecurigaan kalau sudah dibilang mau kerjasama. 9

Tukar mimbar itu sudah dari beberapa tahun lalu kita pikirkan, tapi gak jalan..yaitu, susah kalau gereja yang kita ajak tidak mau, mana bisa? HKI sih mau, tapi yang lain tidak mau gereja paling besar juga tidak mau Bukan kita yang tidak mau kerjasama. 14 Dalam percakapan di atas, ternyata tukar mimbar 15 adalah salah satu program yang sudah mereka pikirkan untuk menjalin relasi dengan gereja tetangga, yaitu HKI dan HKBP bahkan gereja lain, namun pada akhirnya pemikiran itupun masih sebatas wacana. Dalam program tahunan, GKPS telah mencanangkan adanya kegiatan oikumene melalui program tukar mimbar. Dari pihak GKPS sendiri, ada keterbukaan yang cukup baik untuk mewujudkan kesatuan gereja dengan rencana tersebut Tetapi lebih jauh, pihak GKPS merasa bahwa ada kendala untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya adalah, kurangnya antusiasme gereja tetangga ketika ide itu disampaikan, secara khusus dari gereja terbesar di Panei Tongah, yaitu HKBP. Relasi GKPS dengan gereja HKI, cukup baik, termasuk rencana tukar mimbar ini direspon dengan baik oleh gereja HKI. Namun berbeda dengan respon dari HKBP. Karena kondisi inilah, pihak GKPS sendiri mengurungkan niatnya untuk merealisasikan rencana tukar mimbar tersebut. Dalam percakapan berikutnya, Guru jemaat HKI mengakui, bahwa perwujudan kesatuan gereja itu penting, namun belum pernah terwujud dalam satu program konkret apapun...oh..kesatuan gereja? Iya, memang penting itu, tapi teori ajanya itu..karena susah melaksanakannya. Lihat aja, di sini kita dekat-dekatan tapi gak pernah ada kerjasama, itulah saking sulitnya. Semua tahu kalau itu penting dan harus dilakukan sebenarnya, tapi mana buktinya? Jadi memang masih cuman teori saja itu. Kalau untuk program tukar mimbar, bagus memang, kitapun sudah pernah membahas itu, tapi kalau untuk GKPS pasti maulah, kita dengan GKPS sama. Tapi untuk HKBP belum tentu mau. Susah disini, kalau kita yang kecil- 14 Percakapan dengan Bapak Purba, seorang camat dan sekaligus guru jemaat di GKPS Panei Tongah. 15 Tukar mimbar sering juga disebut pertukaran pelayan gerejawi, yaitu sejenis kegiatan kerjasama antar gereja, dimana pelayan gereja yang satu, melayani di gereja yang lain dan sebaliknya. Misalnya pelayan gereja HKBP melayani di gereja HKI dan sebaliknya. Pelayan gereja mencakup pendeta, guru jemaat dan penetua. Jadwal pertukaran pelayan ini dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan gerejagereja yang bekerjasama tersebut. 10

kecil ini yang bikin, pasti gereja yang besar itu tidak mau ikut. Harus mereka duluan yang menggagas baru mereka mau ikut. Berapa kali ada kegiatan bersama dari kecamatan, kalau HKBP tidak ikut menggagas dari awal, pasti mereka gak ikut. Kalau sudah begini kan susah Jadi program tukar mimbar itu belum pernah kita buat jadinya. Kerjasama yang lain pun belum pernah ada, paling Natal bersama dan paskah, itupun karena kita semua dapat surat dari kecamatan. Belum taulah kapan tukar mimbar dengan gereja tetangga itu bisa kita lakukan tapi kita ingin kok melakukan itu, tapi memang sekarang masih sulit. 16 Dari percakapan di atas, bagi guru jemaat HKI, kesatuan gereja tersebut masih hanya sebuah teori saja. Ketika isu program tukar mimbar menjadi diskusi diantara gereja-gereja tetangga, pendapat gereja HKI hampir sama dengan GKPS. Mereka setuju bahwa kesatuan harus diwujudkan dengan menciptakan relasi dan kerjasama antar gereja tetangga. Namun, sekali lagi, pihak HKI dengan berani mengatakan bahwa ada arogansi dari HKBP sebagai gereja terbesar untuk menolak program semacam itu. Menurut pihak HKI, program tukar mimbar tersebut sudah sejak beberapa tahun yang lalu digagas, namun dalam realisasinya sangat sulit, karena dari pihak HKBP sendiri tidak antusias dengan program tersebut. Percakapan dengan guru jemaat HKBP terjadi beberapa kali. Secara pribadi, penulis tidak menemukan arogansi dari beliau. Inilah perkataan dari beliau,..iya..iya..kesatuan gereja itu memang penting. Tapi harus ada wadahnya. Penting itu, kalau ada wadah yang mengatur kan baru bisa berjalan kerjasama itu. Tukar mimbar?apa itu?oh iya bagus memang itu tapi ya susah. Di Panei Tongah ini masih susah. Orang-orang belum terbuka pikirannya. Kalu saya bikin nanti program baru seperti itu, saya yang disalahkan Sintua dan jemaat, jadi harus berhati-hati dalam membuat satu kegiatan baru. Di Kampung ini masih susah, kalau saya undang pendeta lain kotbah disini, jemaat bisa marah. Mereka akan bilang memangnya pendeta kita mana? Kalaupun pendeta di sini berhalangan, belum tentu jemaat di sini mau kalau yang khotbah dari gereja lain. Kalau saya bilang pendeta kita sakit atau berhalangan pasti jemaat akan bilang memangnya gak ada pendeta HKBP terdekat yang bisa diundang? yang begini-begini yang susah ito.gak bisa sembarangan walaupun itu baik. Semua harus ada aturannya, kekmana 16 Percakapan dengan Guru Jemaat HKI, Bapak Siahaan, sebelum menjadi guru jemaat di HKI, pernah menjadi guru jemaat di HKBP. Sejak masa perpecahan di tahun 90-an, beliau pindah ke HKI dan menjadi guru jemaat di HKI. 11

dibuatnya. Apalagi di kampung ini, masih tertutup pikiran di kampung ini kalau bisa, ya bagus 17 Selama percakapan, kesan yang diperoleh penulis adalah, HKBP juga menyadari pentingnya kesatuan gereja, tetapi harus dipikirkan bagaimana pelaksanaan secara teknis di lapangan. Ketika sampai pada diskusi tentang program tukar mimbar, 18 beliau mengatakan rencana itu baik, tetapi belum tentu bisa direalisasikan di HKBP. Menurut beliau, jemaat HKBP Panei Tongah belum siap menerima keadaan jika pendeta dari gereja lain yang berkotbah di HKBP. Jadi seakan-akan ada hukum tidak tertulis, bahwa di gereja HKBP, hanya pendeta dari HKBP saja yang diijinkan berkotbah, dari gereja lain tidak diperbolehkan. Jika ada kejadian-kejadian yang darurat yang membutuhkan pendeta di HKBP Panei Tongah (jika pendeta HKBP Panei Tongah berhalangan) maka lebih baik menunggu pendeta HKBP dari wilayah lain yang jaraknya jauh daripada mengundang pendeta HKI atau GKPS yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Berdasarkan percakapan dalam pra penelitian terhadap tiga guru jemaat di atas, penulis menemukan, program tukar mimbar adalah satu-satunya program yang telah dipikirkan oleh ketiga gereja ini, dalam 2 tahun terakhir sebagai perwujudan kesatuan gereja. Namun belum pernah terrealisasi. Dari hasil pra-penelitian ini, muncul pertanyaan-pertanyaan dalam benak penulis. Ketiga pemimpin gereja ini sadar bahwa kesatuan itu penting dan harus direalisasikan, tetapi mengapa dalam puluhan tahun sejak gereja tersebut bertetangga, belum juga ada realisasi? Mengapa ada keengganan dari ketiga gereja tersebut untuk saling bertemu, berdialog dan melakukan program bersama untuk tujuan bersama? 17 Guru Jemaat HKBP, Bapak Silalahi ini sudah hampir pensiun, Desember 2011 sudah pensiun dari pelayanan sebagai guru jemaat, jadi beliau ini sudah sangat lama melayani di HKBP. 18 Penulis membahas isu ini karena sudah ada informasi dari guru jemaat GKPS dan HKI dalam percakapan sebelumnya, tentang rencana ketiga gereja ini untuk bekerjasama melalui program tukar mimbar. 12

C. Rumusan Masalah Kegelisahan penulis dari pengalaman di masa lalu, hasil pra penelitian yang menunjukkan minimnya perwujudan kesatuan, serta sumbangan pemikiran dari studi tafsir Yohanes 17:20-26 yang masih relevan bagi ketiga gereja, hal inilah yang mendorong penulis melakukan penelitian di gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah. Dengan demikian, permasalahan dalam penelitian dirumuskan demikian: 1. Bagaimana pemahaman HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah tentang kesatuan gereja? 2. Kesatuan gereja yang bagaimanakah yang relevan bagi konteks HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah menurut Yohanes 17:20-26? D. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan : 1. Mengetahui pemahaman HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah tentang kesatuan gereja dan bagaimana perwujudan kesatuan tersebut. 2. Menemukan pemahaman kesatuan gereja yang relevan dari pembacaan Yohanes 17: 20-26 terhadap ketiga konteks gereja. D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi HKBP, HKI, dan GKPS Panei Tongah sebagai evaluasi pelayanan selama ini. Sebagai gambaran sejauh mana gereja sudah mewujudkan gerakan kesatuan, melalui kerjasama dengan gereja tetangga. Hasil penelitian melalui penafsiran Yohanes 17:20-26 menjadi sumbangan pemikiran untuk perwujudan kesatuan bagi HKBP, HKI, GKPS Panei Tongah bahkan gerejagereja di Indonesia. 13

E. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Pengertian gerakan oikumene dalam tesis ini, dibatasi dalam gerakan oikemene yang sempit yaitu panggilan untuk mempersatukan gereja-gereja yang telah terpisah-pisah oleh perbedaan budaya, bahasa, ajaran, dan organisasi, agar gereja tetap esa di dalam Yesus Kristus. Sebagai perwujudan dari pemahaman tersebut, gerejagereja yang berbeda, akan saling bekerjasama untuk tujuan bersama. Kriteria perwujudan kesatuan gereja dalam tesis dibatasi pada ada tidaknya kerjasama dari gereja-gereja yang berbeda. Kerjasama tersebut akan tercermin dalam program pelayanan yang direncanakan dan dilaksanan secara rutin dalam gereja tersebut. Penelitian ini dibatasi dalam ruang lingkup tiga gereja yang saling berdekatan yaitu, gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah. Penulis membatasi penafsiran pada Yohanes 17:20-26, dalam menemukan kesatuan yang relevan bagi HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah. F. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data penelitian akan diperoleh dengan pengamatan langsung dan pembagian kuisioner kepada Sintua dan jemaat yang aktif melayani. Wawancara dilakukan dengan pimpinan dan pengambil keputusan yaitu guru jemaat dan pendeta. Sementara itu, penelitian pustaka dan tafsir dilakukan untuk memahami dan mendalami makna kesatuan gereja melalui studi naratif terhadap Yohanes 17:20-26. G. Teori yang Digunakan dalam Penafsiran Penulis akan menggunakan metode penafsiran narasi dalam menafsir Yohanes 17 : 20-26. Pendekatan narasi adalah pendekatan yang lahir dari perkembangan 14

pendekatan literer pada era awal tahun 70-an. 19 Pendekatan narasi berbeda dengan historis kritis. Jika historis kritis lebih berpusat pada sejarah penyusunan teks, maka pendekatan ini berpusat pada teks dan menekankan kesatuan pada teks secara keseluruhan. Jika dalam pendekatan historis kritis teks dianggap sebagai jendela, dalam pendekatan narasi, teks dianggap sebagai cermin. Pokok yang paling utama dalam pendekatan ini adalah tentang siapa pembaca tersirat, sebagaimana diandaikan dalam teks itu sendiri. Sementara pengarang dan pembaca nyata justru ada di luar teks. Tujuan dari pendekatan naratif adalah mencoba membaca teks seperti pembaca tersirat diharapkan membacanya. 20 Dalam pendekatan ini penting sekali memperhatikan gaya dan bentuk sastra, seperti narasi dan bentuk-bentuk sastra yang lain. Narasi dalam perikop tertentu dilihat dalam konteks narasi yang utuh dari sebuah kitab. Dengan demikian, perikop yang mendahului dan yang menyusul, harus diperhatikan dengan seksama untuk memahami konteks ayat atau perikop yang ditafsir. Singgih mengatakan bahwa dalam pendekatan ini, penafsir memerlukan komponen-komponen narasi untuk mendapatkan maknanya antara lain, plot/alur, penokohan, konflik, setting, atmosfer, ironi, sudut pandang dan narator. 21 Singgih menyimpulkan bahwa pendekatan narasi adalah pendekatan yang menghormati dan mengikuti sekuat-kuatnya jalan pengisahan atau penuturan. Drewers juga menekankan bahwa untuk mengerti metode ini, kita sadar bahwa narasi terdiri atas dua unsur, yaitu unsur cerita (isi, narasi, kisah, story) dan unsur 19 Martin Harun, 1995, Penelitian Literer, Majalah Dua Bulanan Ekawarta, Serba-Serbi Lembaga Biblika Indonesia No.5/XV/1995, hal 380-381. 20 Ibid, hal 386. 21 Emanuel Gerrit Singgih, 2009, Dua Konteks : tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai respons atas perjalanan reformasi di Indonesia, BPK Gunung Mulia, hal xi-xii. 15

penuturan (cara isi ini diceritakan, discourse, retorika, konfigurasi). 22 Kedua unsur ini berbeda, namun tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling membutuhkan satu sama lain ibarat benang dan lungsin. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam unsur cerita adalah, peristiwa-peristiwa dalam cerita, tokoh-tokoh yang berperan, latar waktu, latar tempat, latar sosial dan alur dari cerita tersebut. Sedang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penuturan antara lain, gaya penuturan dalam cerita, sudut pandang, pengarang tersirat dan pembaca tersirat. 23 Robert Setio mengatakan bahwa narasi membentuk dua pertiga dari keseluruhan isi Perjanjian Pertama dan tidak kurang dari setengah Perjanjian Baru termasuk kitab-kitab Injil. Pendekatan tafsir naratif bersifat sinkronik yaitu memperhatikan teks yang sekarang yang dapat menghasilkan makna sebagai alternatif terhadap kritik sejarah. Makna cerita tidak selalu tunggal dan seringkali malah bermacam-macam (polyvalent). 24 Dengan demikian pendekatan narasi perlu dikembangkan lebih jauh, secara khusus untuk meneliti setiap narasi yang ada dalam Alkitab untuk memperkaya makna dari setiap narasi tersebut. Robert Kysar mengatakan, dalam studi terhadap Injil Yohanes perlu melakukan dua hal yaitu, menaruh perhatian utama pada sejarah dan latar belakangnya dan menaruh perhatian pada alur cerita dari Injil itu sendiri. 25 Yohanes harus dipahami sebagai cerita mendasar sebagai sebuah satu kesatuan narasi, sehingga pada akhirnya sampai pada penemuan, apa yang terdapat dibalik Injil itu sendiri. Dalam penafsiran narasi, memang sejarah dan latar belakang historis bukanlah fokus dari penafsiran, tetapi lebih kepada memahami cerita, bagaimana ia Injil 22 B.F. Drewers, Penafsiran Naratif : Artikel dalam Pertemuan Dosen Alkitab V Juli 1995, Majalah Dua Bulanan Ekawarta, Berita Lembaga Biblika Indonesia, No 01/XVI/1996, hal 7-8. 23 Ibid, hal 9-13. 24 Robert Setio, Metode Tafsir Naratif, Bahan Perkuliahan Teologi Hermeneutik (dalam bentuk power point), tanpa tahun. 25 Robert Kysar, 1995, Injil Yohanes Sebagai Cerita : Berkenalan dengan Narasi Salah Satu Injil, BPK Gunung Mulia, bagian kata pengantar. 16

mengalir, bagian-bagian mana yang saling terkait dalam cerita tersebut, apa yang membuat cerita tersebut berhasil, dan apa makna dalam alur cerita yang dimaksud oleh narator sehingga pembaca memahami cerita itu. 26 Namun demikian, untuk menemukan pemaknaan yang dalam, perlu mengkombinasikan keduanya yaitu sejarah dan latar belakang, juga cerita dan alur penuturannya. Dari latar belakang historis, Injil keempat yaitu Injil Yohanes masih mempunyai permasalahan yang cukup problematis. Mengenai pengarang misalnya, masih menjadi perdebatan apakah yang menulis ini Yohanes anak Zebedus atau Yohanes yang lain. Injil ini juga tidak secara lengkap melaporkan sejarah Yesus dari Nazaret. Oleh karena itu, dalam menafsir bagian teks seperti ini, pendekatan narasi menjadi alternatif yang lebih tepat. Karena pendekatan narasi akan menolong pembaca untuk memahami Injil Yohanes dengan memperhatikan apa yang dikatakan penulis Injil tentang Yesus tanpa harus menaruh perhatian banyak terhadap latar belakang historisnya. 27 Selain itu, Injil Yohanes jelas merupakan sebuah teks yang bersifat narasi dimana narator menceritakan tentang Yesus dan tentang orang-orang yang bereaksi atas Yesus. 28 Alur cerita yang disajikan penulis akan menolong pembaca memahami apa yang ada dibalik pemikiran penulis Injil dengan memperhatikan detail cerita itu sendiri. Memperhatikan bagaimana penulis memulai ceritanya, kata-kata apa yang sangat disukai penulis, bagaimana penulis menggiring pembaca kepada sebuah klimaks tertentu dan bagaimana penulis mengakhiri ceritanya. Dari pendapat beberapa tokoh diatas, penulis menyimpulkan bahwa tafsir naratif yang sinkronik dari Injil Yohanes, memungkinkan untuk menemukan makna 26 Robert Kysar, 1995, Injil Yohanes Sebagai Cerita, bagian kata pengantar. 27 Ibid. 28 Theo Witkamp, 1993, Mengenal Narasi Yohanes, Majalah Gema Duta Wacana No. 46 tahun 1993, hal 66. 17

baru dari teks ketika dibaca sekarang dan menyumbangkan makna yang relevan bagi konteks sekarang. Ketika teks dibaca sebagai cermin, artinya kita berrefleksi dari teks tersebut sehingga ada sesuatu yang dibawa dalam kehidupan untuk diterapkan dengan bercermin pada teks tersebut. Maka penulis akan melakukan Tafsir naratif dari Yohanes 17 : 20-26, yang akan didialogkan dengan konteks ketiga gereja untuk menemukan pemaknaan dan penghayatan kesatuan gereja yang relevan bagi HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah. Dengan meneliti lagi teks ini secara naratif, kiranya HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah dapat bercermin dan menghidupi sesuatu yang baru dari hasil studi dari teks ini. H. Rencana Judul Rencana judul tesis adalah: SUPAYA MEREKA MENJADI SATU (Studi Naratif Yohanes 17 : 20-26 dan Relevansinya bagi Gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah dan Gereja-gereja di Indonesia) I. Sistematika Penulisan BAB I. Pendahuluan Bab ini akan menguraikan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian, serta teori yang digunakan. BAB II. Konteks HKBP, HKI dan GKPS Bab ini akan menguraikan konteks lahirnya HKBP, HKI dan GKPS di Indonesia. Kemudian akan diuraikan Konteks HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah 18

dan perkembangannya sampai sekarang ini. Bagian terakhir dari bab ini akan menguraikan pemahaman HKBP, HKI dan GKPS tentang kesatuan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan. BAB III. Studi Naratif Yohanes 17:20-26 Bab ini akan diawali dengan pembimbing kritis ke dalam penafsiran naratif, dilanjutkan uraian Injil Yohanes sebagai cerita. Berikutnya akan disajikan penafsiran narasi perjamuan malam terakhir. Di bagian akhir akan diuraikan secara khusus penafsiran naratif Yohanes 17:20-26 serta kesimpulan dari seluruh penafsiran. BAB. IV. Relevansi Studi Naratif Yohanes 17:20-26 terhadap konteks HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah. Bab ini akan menguraikan makna dan refleksi kesatuan dalam Yohanes 17:20-26. Selanjutnya akan diuraikan relevansi penafsiran naratif 17:20-26 terhadap konteks HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah. BAB. V. Penutup Bab ini menguraikan kesimpulan dari seluruh rangkaian penelitian dan penafsiran yang relevan bagi HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah secara khusus, dan bagi gereja-gereja di Indonesia secara umum. Selain itu, bab ini juga akan menguraikan saran-saran yang membangun bagi ketiga gereja. 19