MINYAK ATSIRI DARI KULIT BATANG Cinnamomum burmannii (KAYU MANIS) DARI FAMILI LAURACEAE SEBAGAI INSEKTISIDA ALAMI, ANTIBAKTERI, DAN ANTIOKSIDAN Wahyu Agustina Wijayanti*, Yulfi Zetra 1, Perry Burhan 1 Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Minyak Cinnamon telah diekstraksi dari kulit batang Cinnamomum burmannii menunjukkan 22 komponen penyusun minyak atsiri tipe A, 17 komponen untuk tipe B dan 23 komponen untuk tipe C dengan komponen utamanya adalag trans-sinamaldehid. Minyak atsiri diisolasi melalui hidrodistilasi dan telah dibuktikan sebagai agen antibakteri yang baik melalui uji BSLT dan larvasida. Hasil BSLT menunjukkan bahwa nilai LC 50 sebesar 98,08 ppm (tipe A), 80,63 ppm (tipe B) dan 116,79 ppm (tipe C) dan hasil uji larvasida yang dilakukan terhadap larva instar III nyamuk Aedes aegypti menunjukkan bahwa minyak atsiri bersifat aktif terhadap larva dengan nilai LC 50 sebesar 84,53 ppm (tipe A), 91,83 ppm (tipe B) dan 76,38 ppm (tipe C). Uji antioksidan dilakukan terhadap ekstrak etanol dengan kurkumin sebagai kontrol positif menunjukkan bahwa ekstrak etanol C. burmannii bersifat aktif sebagai antioksidan dengan nilai IC 50 sebesar 115,71 (tipe A), 75,48 ppm (tipe B) dan 136,88 (tipe C) sedangkan IC 50 kurkumin sebesar 48,29 ppm. Kata kunci : minyal atsiri, Cinnamomun burmanii, BSLT, larvasida, antioksidan ABSTRACT Cinnamon oil had extracted from stem bark of Cinnamomum burmannii showed twentytwo constituents of type A, seventeen constituents of type B and twenty-three constituents of type C with trans-cinnamaldehyd compound as primary component. Its isolated through hydrodistillation and also has been proved as a promising antibacterial agent through BSLT and larvasidal measurement. BSLT result showed that LC 50 value 98,08 ppm (type A), 80,63 ppm (type B) dan 116,79 ppm (type C), otherwise larvasidal testing by instar lava III Aedes aegypti indicating that this compound active with LC 50 value 84,53 ppm (type A), 91,83 ppm (type B) dan 76,38 ppm (type C). Antioxidant test carried-out between ethanol extract and curcumin as positive controll showed that ethanol extract C. Burmannii active as antioxidant agent with IC 50 value 115,71 (type A), 75,48 ppm (type B) dan 136,88 (type C) therefore IC 50 value for curcumin was 48,29 ppm. Keywords : essential oil, Cinnamomum burmannii, BSLT, larvasida, antioxidant PENDAHULUAN Produksi minyak atsiri dan tanaman aromatik mengalami perkembangan yang cukup pesat baik dalam skala nasional maupun internasional. Harga minyak atsiri dan tanaman aromatik pun meningkat per kilogram setiap tahunnya. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menjadikan beberapa negara produsen minyak atsiri semakin meningkatkan komoditi ekspor salah satunya Indonesia (Weiss, 1997). Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa organik yang banyak ditemukan di alam dan berasal dari jaringan tumbuhan. * Corresponding author Phone : 085645265763 e-mail: yuyu_poeanya@yahoo.com 1 Alamat sekarang : Jur Kimia, Fak. MIPA,Institut TeknologI 10 Nopember, Surabaya. Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang mudah menguap (volatil) dan bukan merupakan senyawa murni tetapi tersusun atas beberapa komponen yang mayoritas berasal dari golongan terpenoid (Guenther, 2006). Salah satu famili tumbuhan tingkat tinggi yang berbau harum dan potensial menghasilkan minyak atsiri adalah famili Lauraceae. Lauraceae merupakan salah satu famili besar yang terdapat pada daerah tropis dan subtropis Disamping mengandung minyak atsiri, Lauraceae telah diketahui pula mengandung beberapa golongan senyawa metabolit sekunder yang lain seperti : alkaloid, fenilpropanoid, flavonoid, turunan 2-piron, benzil-ester, dan turunan alkenalkin (Guenther, 2006).
Cinnamomum burmannii (Kayu Manis) merupakan salah satu jenis dari famili Lauraceae yang dipilih untuk penelitian ini. Tumbuhan ini banyak terdapat di daerah sub tropis dan tropis. Penelitian terhadap minyak atsiri dari Cinnamomum burmannii yang berasal dari Guangzhou, China yang dilakukan oleh Wang dkk (2009) melaporkan bahwa komponen mayor minyak atsiri yang terkandung adalah transsinamaldehid (60,72%), eugenol (17,62%) dan kumarin (13,39%). Minyak atsiri adalah senyawa organik yan diperoleh dari hasil metabolit sekunder tanaman yang komposisi kimia minyak atsiri tergantung pada jenis tumbuhan, daerah tempat tumbuh, iklim, dan bagian yang diambil minyaknya (Guanther, 2006). Penelitan tentang pengaruh tempat tumbuh tumbuhan terhadap kandungan kimia minyak atsiri sudah pernah dilakukan. Cheng dkk (2009) melaporkan perbedaan komponen kimia utama dari minyak atsiri Cinnamomum osmophloeum yang diperoleh dari 3 lokasi tumbuh tanaman yang berbeda. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan variasi lokasi tempat tumbuh tumbuhan. Penelitian ini menggunakan tanaman Cinnamomum burmannii yang berasal dari 3 lokasi tempat tumbuh yang berbeda yaitu Pacitan, Kebun Raya Bogor dan Bali. Minyak atsiri pada penelitian ini diperoleh dengan cara distilasi uap. Kajian bioaktivitas minyak atsiri hasil distilasi yang diperoleh dilakukan melalui tiga uji yang berbeda, yakni uji toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test), uji insektisida terhadap larva instar III Aedes aegypti dan uji antioksidan. Uji ini dimaksudkan sebagai uji pendahuluan terhadap aktivitas fisiologinya. METODOLOGI PENELITIAN Prosedur Kerja Masing-masing kulit batang Cinnamomum burmannii (kayu manis) yang berasal dari lokasi tumbuh yang berbeda, (Pacitan, Bogor, dan Bali) disiapkan dalam keadaan kering, dibersihkan, dan dipotongpotong kemudian dimasukkan dalam labu distilasi. Aquades ditambahkan ke dalam labu distilasi sampai bahan terendam. Aquades berfungsi sebagai penyalur energi panas ke seluruh bagian bahan tanaman sehingga minyak atsiri dapat terkondensasi bersama uap air. Peralatan hidrodistilasi di set. Aquades ditambahkan ke dalam labu melalui ujung kolom kemudian dimasukkan petroleum eter. Petroleum eter berfungsi sebagai pelarut organik yang mengikat minyak atsiri karena berat jenis minyak atsiri yang akan diambil lebih besar dari air. Mantel pemanas dinyalakan dan distilasi dilakukan selama 6 jam yang dihitung setelah distilat pertama turun. Minyak atsiri yang diperoleh ditampung dalam erlenmeyer dan dikeringkan dengan natrium sulfat anhidrat yang telah dioven selama 3 jam pada suhu 105-110 o C. Selanjutnya minyak atsiri yang telah bebas dari air dipindahkan ke dalam botol vial. Petroleum eter yang masih tercampur dengan minyak atsiri diuapkan pada suhu kamar sehingga diperoleh minyak atsiri yang telah bebas dari pelarut petroleum eter. Masing-masing minyak atsiri dari C.burmanii yang berasal dari tiga (3) lokasi tumbuh yang berbeda yakni Pacitan (Tipe A), Bogor (Tipe B) dan Bali (Tipe C) dihitung rendemennya. Analisa lebih lanjut terhadap minyak atsiri yang diperoleh meliputi Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (KG- SM), uji bioaktivitas meliputi antimikroba dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), anti larvasida terhadap nyamuk Aedes aegypty dan antioksidan menggunakan DPPH. HASIL DAN DISKUSI Kandungan Kimia Minyak Atsiri Minyak atsiri yang dihasilkan berwarna kuning bening dengan rendemen untuk masing-masing sampel yaitu 0,48% untuk minyak atsiri tipe A, 0,45% untuk tipe B dan 0,50% untuk tipe C. Tabel 1 menunjukkan komponen penyusun minyak atsiri C. burmannii dari ketiga tipe yaitu tipe A, B dan C. Tabel.1. Komponen Penyusun Minyak Atsiri C. burmannii No Senyawa Puncak Area (%). Tipe A Tipe B Tipe C 1. α-pinen 0,83 0,71 0,52 2. Benzaldehid 1,09 1,15 0,67 3. β-pinen 0,52 4. Limonen 1,44 5. 1,8-sineol 3,48 2,09 6. Benzenpropan 2,38 2,78 1,69 al 7. Terpineol 1,18 0,53 0,64 8. α-terpineol 2,51 1,10 1,23 9. cissinamaldehid 1,72 1,76 1,57 10. transsinamaldehid 72,1 7 81,4 7 69,1 1 11. α-kopaen 2,53 2,29 4,15 12. Asam sinamat 0,33 13. β-kariofilen 2,76 2,36 3,90
14. α-humulen 0,36 0,56 15. Valencen 1,19 2,37 16. α-muurolen 1,01 0,84 2,06 17. Delta- 2,13 1,07 4,17 Kadinen 18. α-kalakoren 0,62 0,54 19. Kariofilen 0,44 0,39 0,50 Oksida 20. Widdren 0,33 0,70 21. Torreyol 0,20 0,60 22. Benzil 0,76 0,79 Benzoat 23. Linalool 0,65 24. α-bergamoten 1,01 0,31 25. Kumarin 1,11 26. Tetradekanal 0,46 0,33 27. β-elemen 0,27 28. Naftalen 0,61 29. α-kadinol 0,35 30. α-sinensal 0,32 0,25 Minyak atsiri tipe A mempunyai komponen penyusun utama yaitu transsinamaldehid dengan puncak area sebesar 72,17 %, 1,8-sineol sebesar 3,48 % dan aromadendren sebesar 2,76%. Minyak atsiri tipe B mempunyai komponen penyusun utama yaitu trans-sinamaldehid dengan puncak area sebesar 81,47 %, benzenpropanal sebesar 2,78 % dan transkariofilen sebesar 2,36%. Minyak atsiri tipe C mempunyai komponen penyusun utama yaitu trans-sinamaldehid dengan puncak area sebesar 69,11 %, delta-kadinen sebesar 4,17 % dan α-kopaen sebesar 4,15 %. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah diilakukan oleh Cheng, dkk (2009) yang melaporkan bahwa terdapat variasi komponen penyusun minyak atsiri yang berasal dari tempat tumbuh yang berbeda meski berada dalam satu spesies yang sama. Tumbuhan dalam satu spesies memiliki biogenetik yang sama sedangkan dalam penelitian ini dilakukan variasi tempat tumbuh tumbuhan dalam satu spesies yang sama yaitu Cinnamommum burmannii. Puncak area pada kromatogram menunjukkan prosentase konsentrasi senyawa dalam minyak atsiri. Berdasarkan hasil identifikasi kromatogram minyak atsiri tipe A, B, dan C yang dihasilkan dari ketiga tempat tumbuh yang berbeda menunjukkan bahwa trans-sinamaldehid merupakan komponen penyusun utama. Selain itu, trans-sinamaldehid juga merupakan komponen utama penyusun minyak atsiri dari Cinnamomum osmophloeum yang berasal dari Taiwan (Wang, 2009) dan juga Cinnamommum casia yang berasal dari Cina (Cheng, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa trans-sinamaldehid merupakan senyawa utama penyusun minyak atsiri yang berasal dari genus Cinnamommum yang biasa disebut minyak cinnamon. Konsentrasi trans-sinamaldehid dalam minyak atsiri tipe A, tipe B dan tipe C ini tidak sama. Hal ini terjadi disebabkan karena enzim yang terdapat dalam masingmasing tumbuhan dimana kerja enzim tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Perbedaan ini diakibatkan oleh perbedaan iklim, lingkungan alam, lingkungan dengan kecepatan angin yang berbeda, kandungan organik dan anorganik yang ada dalam tanah tempat tumbuhan tumbuh. Selain berpengaruh pada konsentrasi transsinamaldehid sebagai komponen utama penyusun minyak atsiri, faktor lingkungan mempengaruhi kandungan senyawa minor. Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan jumlah komponen dan senyawa penyusun minyak atsiri masing-masing tipe dimana faktor lingkungan mempengaruhi proses metabolit sekunder dalam tubuh tumbuhan. Komponen penyusun minyak atsiri tipe A mempunyai banyak kesamaan dengan tipe C dibanding dengan tipe B. Hal ini disebabkan oleh kesamaan keadaan geografis dimana Pacitan dan Bali berada dekat laut. Selain ditemukan transsinamaldehid, cis-sinamaldehid juga ditemukan dalam komponen penyusun minyak atsiri Cinnamommumm burmannii tetapi persentase konsentrasi senyawa ini hanya 1,72 % pada tipe A, 1,76 % pada tipe B dan 1,57 % pada tipe C. Kecilnya persentase cis-sinamaldehid dalam minyak atsiri diakibatkan tidak stabilnya senyawa ini pada panas sehingga jarang ditemukan dalam konsentrasi yang besar. Uji Bioaktivitas Metode Brine-Shrimp Lethality Test (BSLT) Uji bioaktivitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) mengacu pada penelitian Meyer dan Ferrigni dalam jurnal Planta Medica, volume 45 (1982), hal 31-34. Uji ini dilakukan terhadap minyak atsiri hasil distilasi yang berasal dari 3 tempat tumbuh yang berbeda yaitu Pacitan (tipe A), Bogor (tipe B) dan Bali (tipe C). Uji toksisitas ini dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui bioaktivitas minyak atsiri hasil distilasi secara in vivo dengan menggunakan Artemia salina L. Pengujian dengan metode BSLT didasarkan pada kemampuan senyawa untuk mematikan udang (toksik). Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT) dilakukan dengan konsentrasi yang bervariasi, yaitu sebesar 1000 ppm; 500 ppm; 250 ppm; 125 ppm; 61,25 ppm; dan 31,25 ppm. Pengamatan dilakukan setelah Artemia salina L. kontak dengan larutan uji selama 24 jam. Suatu senyawa dikatakan aktif pada uji toksisitas menggunakan metode BSLT dengan konsentrasi maksimal yang digunakan 1000 ppm, jika memiliki harga LC 50 500 ppm dan dikatakan tidak aktif jika memiliki harga LC 50 > 500 ppm, sedangkan senyawa murni dikatakan aktif dan mempunyai sifat bioaktivitas jika memiliki harga LC 50 50 ppm dan tidak aktif (lemah) jika LC 50 > 200 ppm (Meyer dan Ferrigini, 1982). Berdasarkan persamaan regresi linear yang diperoleh dari grafik hubungan antara log konsentrasi dengan prosentase mortalitas larva udang Artemia salina L. diperoleh nilai LC 50 yang ditunjukkan pada tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Toksisitas Minyak Atsiri No. Sampel 1 Minyak A 2 Minyak B 3 Minyak C LC 50 (ppm) Keterangan 98,08 Aktif 80,63 Aktif 116,79 Sedang Tabel 2 menunjukkan bahwa minyak atsiri A mempunyai nilai LC 50 sebesar 98,08 ppm bersifat aktif sehingga dapat dimanfaatkan sebagai anti mikroba, begitu pula dengan minyak atsiri B dengan nilai LC 50 sebesar 80,63 ppm. Minyak atsiri C mempunyai nilai LC 50 diantara 101-150 ppm yaitu 116,79 ppm sehingga tingkat keaktifan sedang dibandingkan ketiganya. Ketiga minyak atsiri memiliki nilai LC 50 yang kurang dari 250 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa ketiganya memiliki tingkat aktifitas yang tinggi, yaitu dengan konsentrasi yang kecil sudah bersifat toksik dan mematikan. Perbedaan nilai LC 50 dari ketiga minyak atsiri tersebut menunjukkan bahwa bioaktivitas suatu senyawa yang terdapat dalam satu spesies yang sama mempunyai perbedaan. Aktivitas toksisitas ketiga tipe minyak atsiri dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi trans-sinamaldehid sebagai senyawa utama. Minyak atsiri tipe B yang berasal dari Bogor mempunyai konsentrasi trans-sinamaldehid paling besar dibandingkan keduanya. Selain itu, uji toksisitas dengan metode BSLT juga menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe B mempunyai keaktifan paling besar dibandingkan tipe A dan C dengan LC 50 80,63 ppm. Uji Insektisida Menggunakan Larva Instar III Nyamuk Aedes aegypti Uji insektisida menggunakan larva instar III nyamuk Aedes aegypti dilakukan terhadap minyak atsiri hasil distilasi yang berasal dari 3 tempat tumbuh yang berbeda yaitu Pacitan (tipe A), Bogor (tipe B) dan Bali (tipe C). Konsentrasi larutan yang digunakan pada uji ini bervariasi, yaitu sebesar 1000 ppm, 500 ppm, 250 ppm, 125 ppm, 62,5 ppm dan 31,25 ppm. Pengamatan dilakukan setelah larva instar III nyamuk Aedes aegypti kontak dengan larutan uji selama 24 jam. Suatu senyawa dikatakan aktif pada uji insektisida menggunakan larva instar III nyamuk Aedes aegypti dengan konsentrasi maksimal yang digunakan 1000 ppm, jika memiliki harga LC 50 500 ppm dan dikatakan tidak aktif jika memiliki harga LC 50 > 500 ppm (Meyer dan Ferrigini, 1982). Berdasarkan persamaan regresi linear yang diperoleh dari grafik hubungan antara log konsentrasi dengan prosentase mortalitas larva instar III nyamuk A. aegypti. diperoleh nilai LC 50 yang ditunjukkan pada tabel 3. Tabel 3. Hasil Uji Insektisida menggunakan larva instar III nyamuk Aedes aegypti No. Sampel LC 50 Keterangan (ppm) 1. Minyak 84,53 Aktif A 2. Minyak 91,83 Aktif B 3. Minyak C 76,38 Aktif Hasil uji insektisida terhadap larva instar III nyamuk Aedes aegypti menunjukkan bahwa ketiga minyak atsiri yang berasal dari 3 tempat tumbuh yang berbeda bersifat aktif. Minyak atsiri C yaitu minyak atsiri dari Cinnamommum burmannii yang berasal dari Bali mempunyai sifat paling aktif dengan LC 50 sebesar 76,38 ppm dibandingkan minyak atsiri A yaitu minyak atsiri dari Cinnamommum burmannii yang berasal dari Pacitan dengan LC 50 sebesar 84,53 ppm dan minyak atsiri B yaitu minyak
atsiri dari Cinnamommum burmannii yang berasal dari Bogor dengan LC 50 sebesar 91,83 ppm. Berdasarkan metode Blis, suatu senyawa dikatakan aktif jika memiliki harga LC 50 500 ppm, apabila konsentrasi maksimal yang digunakan sebesar 1000 ppm (Meyer., dkk, 1982). Karena ketiga sampel memiliki aktifitas kurang dari 500 ppm, maka ketiganya bersifat aktif dan dapat digunakan sebagai insektisida. Uji Antioksidan Uji pendahuluan aktivitas antioksidan terhadap minyak atsiri dan ekstrak etanol didapatkan hasil minyak atsiri tidak bersifat aktif yang ditunjukkan dengan tidak berubahnya warna DPPH sedangkan ekstrak etanol bersifat aktif dengan berubahnya warna ungu DPPH menjadi kuning. Analisa kuantitatif dilakukan lebih lanjut terhadap ekstrak etanol. Parameter yang dipakai untuk menunjukkan bahwa suatu senyawa aktif sebagai antioksidan adalah harga konsentrasi penghambatan (IC 50 ), yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan prosentase penghambatan 50%. Jadi, suatu zat dikatakan aktif sebagai antioksidan jika zat tersebut mempunyai harga IC 50 yang rendah, semakin rendah harga IC 50, semakin aktif zat tersebut sebagai zat antioksidan (Andayani, 2003). % Inhibisi 100 50 0 20 40 60 80 100 Konsentrasi Tipe A Tipe B Tipe C Kurkumin Gambar 1. Grafik hubungan antara konsentrasi dan % inhibisi DPPH Hasil uji antioksidan yang diperlihatkan pada gambar 1 menunjukkan bahwa ketiga ekstrak etanol dari Cinnamommum burmannii bersifat aktif sebagai antioksidan dengan nilai IC 50 kurang dari 200 ppm. Ekstrak etanol tipe A mempunyai nilai IC 50 sebesar 115,71 ppm, ekstrak etanol tipe B sebesar 75,48 ppm dan ekstrak etanol tipe C sebesar 136,88 ppm. Berdasarkan nilai IC 50, ekstrak etanol tipe B yang paling aktif diantara ketiga ekstrak. Uji antioksidan ini menggunakan kurkumin sebagai senyawa pembanding yang sebelumnya telah diuji dan dinyatakan aktif sebagai zat antioksidan mempunyai nilai IC 50 sebesar 48,29 ppm. Keaktifan ekstrak etanol dari ketiga tipe bersifat kurang aktif bila dibandingkan dengan kurkumin. Hal ini dapat disebabkan karena kurkumin berupa senyawa murni sedangkan ekstrak etanol masih berupa campuran senyawa sehingga aktivitasnya sebagai antioksidan masih dipengaruhi oleh senyawa lain sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang senyawa yang menyebabkan aktif sebagai antioksidan dari Cinnamommum burmannii. KESIMPULAN Minyak atsiri Cinnamommum burmannii yang berasal dari Pacitan (Tipe A), Bogor (Tipe B) dan Bali (Tipe C) memiliki komponen utama yang sama yaitu trans-sinamaldehid tetapi mengalami perbedaan konsentrasi Minyak atsiri tipe B mempunyai aktivitas sebagai antimikroba paling tinggi diantara keduanya. Hasil uji larvasida untuk ketiga tipe minyak atsiri menunjukkan bahwa minyak atsiri tipe C mempunyai aktivitas sebagai insektisida Minyak atsiri dan ekstrak etanol yang diperoleh dari residu proses destilasi diuji antioksidan secara kualitatif menggunakan DPPH dimana hasil yang ditunjukkan bahwa minyak atsiri Cinnamommum burmannii tidak aktif sebagai antioksidan sedangkan ekstrak etanol bersifat aktif dengan adanya warna kuning setelah disemprot DPPH. Hasil uji kuantitatif dilakukan terhadap ekstrak etanol menunjukkan bahwa ekstrak etanol bersifat aktif sebagai antioksidan. UCAPAN TERIMA KASIH 1. Dra.Yulfi Zetra, M.Si selaku dosen pembimbing 1 atas segala diskusi, bimbingan, arahan dan semua ilmu yang bermanfaat. 2. Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan, M.Sc selaku dosen pembimbing 1 atas segala diskusi, bimbingan, arahan dan semua ilmu yang bermanfaat. 3. Kebun Raya Purwodadi dan Lab. Kimia Organik yang telah menyediakan bahan, alat dan analisa yang diperlukan. DAFTAR PUSTAKA Cheng, S. S., Liu, J. Y., Huang, C. G., Hsui, Y. R., Chen, W. J., Chang, S. T., 2009. Insecticidal activities of leaf
essential oils from Cinnamomum osmophloeum against three mosquito species. Bioresource Technology, 100, 457 464 Cheng, S. S., H. T., Chang, H. T., Chang, S. T., Tsai, K. H., Chen, W. J., 2003. Bioactivity of selected plant essential oils against the yellow fever mosquito Aedes aegypti larvae. Bioresource Technology, 89, 99 102 Guenther, E., 2006. Minyak Atsiri. Jilid 1, penerjemah Ketaren S., Penerbit UI Press, Jakarta Heyne, K. (1987), Tumbuhan Berguna Indonesia, Yayasan Sarana Wanajaya, Jakarta Meyer, Laughlin dan Ferrigni, (1982), Brine Shrimp : Covenient General Bioassay for Active Constituents, Planta Medica, 45, 31-34 Takaku, S., Haber, W. A., Setzer, W. N., 2007. Leaf essential oil composition of 10 species of Ocotea (Lauraceae) from Monteverde, Costa Rica. Biochemical Systematics and Ecology, 35, 525-532 Tarumingkeng, R.C., 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaanya. Ukrida, Jakarta Tjitrosoepomo, G., 2000. Taksonomi Tumbuhan Spermathophyta. Cetakan ke-9, UGM Press, Yogyakarta Wang, R., Wang, R., Yang, B., 2009. Extraction of essential oils from five cinnamon leaves and identification of their volatile compound compositions. Innovative Food Science and Emerging Technologies, 10, 289 292 Weiss, E. A., 1997. Essential Oil Crops. CAB International, Victoria BIOGRAFI PENULIS Penulis dilahirkan di Pacitan pada tanggal 03 Agustus 1988, sebagai anak terakhir dari sembilan bersaudara pasangan Bapak Sahri Prawiro Utomo dan Maryati. Penulis adalah alumnus dari SD Arjowinangun II, SMPN 1 Pacitan, dan SMAN 1 Pacitan. Setelah itu, penulis melanjutkan Pendidikan Tinggi di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya pada tahun 2006. Penulis mengambil Tugas Akhir dengan Bidang Minat Kimia Organik dibawah bimbingan Dra. Yulfi Zetra, MS dan Prof. Dr. R. Y. Perry Burhan. Selama menempuh Pendidikan Tinggi di ITS, penulis aktif dan berpartisipasi di Himpunan Mahasiswa Kimia sebagai Ketua Umum (2008-2009). Selain itu penulis juga aktif sebagai pemandu LKMM-TM (Latihan Ketrampilan Manajemen mahasiswa tingkat Menengah). Penulis juga aktif sebagai asisten Kimia Organik dan Kimia Dasar Jurusan Kimia. Penulis dapat dihubungi di yuyu_poenya@yahoo.com.