BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005).

dokumen-dokumen yang mirip
Efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy Untuk Meningkatkan Harga Diri Pada Anak Enuresis

BAB II LANDASAN TEORI. melakukan kontrol (Nevid, 2005). Seorang anak mengalami enuresis bila

Psikologi Konseling Konseling Berbasis Problem

A. Identitas : Nissa (Nama Samaran)

Psikologi Konseling Pendekatan Konseling Rasional Emotif (Rational Emotive Therapy)

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. yang mana anggapan salah mengenai khalayak menjadi hantu yang menakutkan

BAB I PENDAHULUAN. fenomena---teori adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempunyai karakter yang baik sesuai dengan harapan pemerintah. Salah

TUGAS INSTRUMEN EVALUASI PROSES KONSELING MODEL STAKE

The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand?

BAB I PENDAHULUAN. Fobia sering kali dimiliki seseorang. Apabila terdapat perasaan takut

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak diantara anak didik kita yang menghadapi masalah dan dapat

A. Konsep Dasar. B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perasaan kurang percaya diri banyak terjadi pada remaja. Pada masa

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV BKI DENGAN TERAPI RASIONAL EMOTIF ANAK YANG TIDAK MENERIMA AYAH TIRINYA

UKDW. Bab 1 Pendahuluan. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB IV ANALISIS TERAPI RASIONAL EMOTIF DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KONFRONTASI UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK KORBAN BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan bagian penting dalam pembangunan. Proses

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

EFEKTIVITAS PENDEKATAN RATIONAL EMOTIF THERAPY UNTUK MENGATASI KECEMASAN DALAM KOMUNIKASI PADA ANAK TK CEMARA DUA SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2014/2015

KONSEP DASAR. Manusia padasarnya adalah unik memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar,

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anisah Fadhilah, 2014

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

TERAPI RASIONAL EMOTIF Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog*

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB II PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE THERAPY DALAM KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

1. PENDAHULUAN. Hal-hal yang sering dihadapi oleh para remaja pada umumnya adalah gejolak emosi dan

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi

MODUL VII COGNITIVE THERAPY AARON BECK

Jounal Bimbingan Konseling, Volume 1 Nomer , pp Januari

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang ada dikalangan remaja yang berada pada lingkungan sekolah

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. Terapi rasional emotif behavior adalah terapi yang berusaha

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial kita tidak akan mampu mengenal dan dikenal tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan reaksi yang. (Bhave & Saini, 2009; Reilly & Shopshire, 2002).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nirma Shofia Nisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gangguan jiwa atau mental menurut DSM-IV-TR (Diagnostic and Stastistical

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Dasar dari konsep diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Penerapan Teknik Dispute Cognitive dalam REBT untuk Meningkatkan Resiliensi pada Mahasiswa

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. Unconditional Self-Acceptance (USA). USA yang timbul dari penilaian individu

TINJAUAN PUSTAKA. yang spesifik dari takut yang muncul di situasi tertentu, tidak bisa dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. tahap-tahap perkembangan mulai dari periode pranatal sampai pada masa usia lanjut

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi terminologi, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk. mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan

BAB II. Tinjauan Pustaka

PENGARUH RATIONAL-EMOTIVE BEHAVIORAL THERAPY TERHADAP PENINGKATAN STRATEGI COPING MENGATASI KECEMASAN MENGHADAPI PERKULIAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju. dewasa. Dimana pada masa ini banyak terjadi berbagai macam

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Mengompol merupakan suatu kondisi yang biasanya terjadi pada anakanak yang berusia di bawah lima tahun. Hal ini dikarenakan anak-anak belum mampu melakukan pengendalian diri termasuk mengendalikan buang air kecil. Seiring dengan bertambahnya usia, anak-anak belajar melakukan pengendalian buang air kecil. Namun ada anak yang di atas usia lima tahun yang belum mampu mengendalikan diri dalam buang air kecil. Padahal pada saat itu anak-anak lain yang seusianya sudah mampu melakukannya. Kondisi anak yang tak mampu mengendalikan buang air kecil di saat usia lima tahun ke atas inilah yang mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005). Hasil temuan lapangan saat peneliti melakukan praktek penanganan kasus anak-anak di sepanjang tahun 2013, menemukan bahwa banyak anak-anak yang mengalami enuresis tidak diatasi atau diberi terapi yang tepat. Orangtua menganggap hal tersebut wajar sehingga mereka cenderung membiarkan saja anak mengompol dengan harapan bahwa perilaku mengompol tersebut akan sembuh sendiri bila anak sudah remaja. Ada pula orangtua yang berupaya mengatasi enuresis yang terjadi pada anaknya, namun orangtua hanya sekedar mengingatkan bahwa sebelum tidur ke kamar mandi dan buang air kecil sebelum tidur. Ada pula yang mengupayakan ke tukang urut, namun tak menyelesaikan masalah. Hal ini membuat permasalahan enuresis yang dialami anak berlarut-larut

2 bahkan membuat masalah yang terkait dengan sosial dan emosional menyertainya seperti anak menjadi malu dan merasa berbeda dibandingkan saudaranya. Orangtua hanya merasakan bahwa ada aspek kepribadian anaknya yang enuresis berbeda dengan saudara lainnya, anaknya yang enuresis dapat dikatakan tidak pernah membawa teman-temannya ke rumah, lebih malu bertemu dengan orang baru. Orangtua kebingungan bagaimana mengatasinya. Ada dua ibu merasakan bahwa anaknya yang enursesis yang duduk di sekolah dasar tidak percaya diri dibandingkan saudaranya, tidak berani bersosialisasi dengan orang baru ataupun lingkungan baru, lebih pemalu dan cenderung menarik diri. Hal ini menunjukkan bahwa aspek kepribadian anak pun tidak atau kurang mendapatkan penanganan yang serius. Nurizka (2008) menyebutkan bahwa enuresis memunculkan stigma sosial, emosi negatif, stres serta ketidaknyamanan bagi anak maupun keluarga. Redsell dan Colliert (dalam Nurizka, 2008) juga mengemukakan terjadinya ketakutan atau rasa malu jika diketahui oleh lingkungan sekolah, terbatasnya kemampuan anak dalam beraktivitas sosial dengan teman-temannya, bahkan pada anak yang lebih besar dilaporkan menghasilkan isolasi sosial yang menyebabkan perasaan harga diri yang rendah. Dalam DSM-IV-TR yang dipublikasikan oleh APA (2000) juga dijabarkan sejumlah gangguan yang berhubungan dengan enuresis seperti aktivitas sosial anak yang terbatas misalnya menjadi tidak mampu untuk tidur di tempat lain selain rumahnya dan pengaruhnya kepada harga diri anak, dijauhi oleh temanteman sebaya dan mendapatkan perlakuan buruk dari orangtua atau pengasuh

3 seperti dimarahi, dihukum atau ditolak. Penemuan Redsell dan Colliert (dalam Nurizka, 2008) dari 15 studi tentang enuresis ditemukan bahwa anak yang lebih muda dilaporkan memiliki masalah perilaku yang lebih sulit daripada anak yang lebih tua. Perlakuan buruk dari orangtua atau pengasuh atau orang dewasa di sekitar anak yang menganggap hal itu memalukan bagi anak dan keluarga akan mempengaruhi pertumbuhan harga diri anak yang akhirnya menimbulkan masalah emosional, anak memiliki harga diri yang rendah dan permasalahan yang lain. Daulay (2008) mengungkapkan bahwa enuresis dapat menyebabkan harga diri anak yang semakin berkurang dan berdampak pada perkembangan kepribadiannya. Hal ini juga sejalan dengan hasil survei yang dilakukan tahun 2002 oleh Dobson (dalam Sumiati, 2007) yang menunjukkan bahwa 85% perilaku mengompol memiliki pengaruh yang besar pada anak, seperti membuat kehilangan harga diri (self-esteem), perasaan berbeda dan takut mengalami bullying oleh teman sebayanya ketika terjadi saat camping sekolah atau kegiatan sekolah lainnya yang mengharuskan menginap. Harga diri atau self-esteem adalah evaluasi komprehensif yang dilakukan berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan tentang dirinya, yang mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu tersebut meyakini dirinya sendiri sebagai orang yang mampu, penting, berhasil dan berharga (Coopersmith dalam Mruk 2006). Harga diri ini penting bagi perkembangan anak karena harga diri adalah dasar terbentuknya perilaku individu yang bersangkutan (Branden, 1987). Widodo (dalam Ismail, 2005) menegaskan

4 bahwa harga diri akan muncul dalam perilaku yang dapat diamati. Harga diri akan mempengaruhi proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, nilai-nilai yang dianut serta tujuan hidup. Perkembangan harga diri dimulai pada masa kanak-kanak, yaitu pada dua atau tiga tahun pertama kehidupannya, sejak kesadaran diri yang masih sederhana mulai berkembang. Pada saat ini anak mulai dapat membedakan antara bagianbagian dari tubuhnya dan bagian-bagian dari benda lain. Johnson & Johnson (dalam Ismail, 2005) mengungkapkan bahwa bersamaan dengan berkembangnya kesadaran diri tersebut, anak mulai memformulasikan konsep diri dan mengembangkan proses pembentukan harga diri. Pada mulanya anak menilai dirinya melalui sikap orangtua yang ditujukan pada dirinya. Seiring bertambah usia anak, maka anak mulai berinteraksi dengan orang lain, melalui interaksi dengan orang lain yang semakin menambah luas pergaulan sikap terhadap dirinya mulai bertambah dan akan mempengaruhi secara keseluruhan anak memandang dan menilai dirinya. Anak-anak yang mengalami enuresis yang mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari orangtua, saudara, orang dewasa di sekitarnya bahkan dari teman sebayanya melalui respon-respon mereka akan situasi dirinya akan membuat anak yang enuresis mengembangkan gambaran dirinya yang negatif. Hal ini dikarenakan perlakuan dari orang di sekelilingnya menyebabkan individu berfikir dan bersikap tentang dirinya yang merupakan refleksi dari perasaan atau sikap orang lain yang ditujukan kepadanya. Beberapa penelitian yang dilakukan Hagglof dkk di tahun 1997 dan 1998 juga menunjukkan bahwa anak-anak

5 enuresis memiliki harga diri yang rendah. Hal ini diperkuat dengan temuan Thunis (2001) bahwa anak-anak enuresis memiliki harga diri yang lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami enuresis. Anak yang memiliki harga diri yang rendah biasanya memiliki banyak hambatan dalam setiap aspek kehidupannya dan dimanapuan ia berada. Mereka pun biasanya kurang diterima oleh teman-temannya. Pada anak-anak yang memiliki harga diri yang rendah apalagi anak-anak yang mengalami enuresis maka penanganan atau terapi untuk meningkatkan harga diri menjadi penting sebelum timbul masalah-masalah psikologis yang lebih berat. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan permasalahan yang dialami oleh anak enuresis salah satunya adalah harga diri yang rendah. Perlu dilakukan terapi yang jelas untuk dapat meningkatkan harga dirinya menjadi lebih baik. Salah satu teknik terapi yang melihat hubungan antara emosi, pikiran dan perilaku adalah REBT (Rational Emotive Behaviour Therapy). Konsep dasar dari REBT adalah emosi dan perilaku merupakan hasil dari proses kognitif. Gangguan emosi berasal dari adanya kesalahan dalam berfikir terhadap suatu kejadian. Kesalahan dalam proses berfikir menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran yang irasional yang tidak masuk akal, menyalahkan diri sendiri serta menimbulkan masalah emosi. Ellis (dalam Corey, 2006) juga mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi pada individu akan direaksi sesuai dengan cara berpikir atau sistem kepercayaannya. George & Christiani (1990) mengungkapkan bahwa REBT merupakan pendekatan yang bersifat direktif, yang mengajarkan kembali individu memahami input kognitif yang menyebabkan gangguan emosionalnya. Froggrat (2005)

6 menjelaskan bahwa dalam pandangan REBT individu memiliki tiga tingkatan berpikir yaitu berpikir tentang apa yang terjadi berdasarkan fakta dan bukti-bukti (inferences), mengadakan penilaian terhadap fakta dan bukti dan keyakinan terhadap fakta dan bukti (evaluation), dan keyakinan terhadap proses inferences dan evaluasi (core belief). Ellis (dalam Komalasari, 2011) berpendapat bahwa yang menjadi sumber masalah-masalah emosional adalah evaluative belief yang dikenal dalam REBT dengan istilah irrational belief. Irrationalitas menurut Ellis (2007) merupakan pikiran, emosi atau perilaku apapun yang menyebabkan konsekuensi yang merusak diri sendiri atau menghancurkan diri sendiri yang secara signifikan mengganggu kelangsungan hidup atau kebahagiaannya. Jadi irrational belief merupakah hasil penilaian yang diyakini individu menjadi pikiran-pikirannya yang menimbulkan masalah. Ellis (dalam Gladding 2012) menyebutkan juga irrational belief sebagai keyakinan atau pikiran yang menganggu. Menurut Ellis (2007) perasaan-perasaan inferioritas merupakan hasil dari tuntutan-tuntutan yang berlebihan. Salah satu contohnya adalah melebih-lebihkan konsekuensi negatif dari situasi sehingga kejadian yang tidak menguntungkan menjadi kejadian yang sangat menyakitkan bagi dirinya. Pikiran irasional berakar pada hal-hal yang tidak logis yang dipelajari sejak awal yang diperoleh dari orangtua dan lingkungannya. Pikiran anak-anak yang irasional akan akan menghambat emosinya karena penilaian masalah yang terganggu termasuk penilaian pada dirinya. REBT menggabungkan tiga teknik yaitu kognitif, emotif dan tingkah laku, sehingga pemikiran-pemikiran irasional subjek mengenai

7 dirinya akan diubah menjadi pemikiran yang rasional dan juga mengubah emosi negatif subjek menjadi emosi yang positif dan keduanya akan terlihat dari perilaku yang ditunjukkan subjek (Ellis, 2007). Irrational beliefs dapat mempengaruhi cara pandang individu tentang sesuatu. Dalam kaitannya dengan diri, Fennel (dalam Sarandria, 2012) menyebutkan bahwa esensi dari harga diri rendah ada pada keyakinan dasar atau core beliefs individu yang negatif secara global tentang dirinya ( me as a person ). Ketika individu merasa dirinya negatif (misalnya saya tukang mengompol, saya tidak baik) maka konsekuensi yang terjadi adalah munculnya harga diri yang rendah. Ellis (dalam Corey, 1995) menyebutkan bahwa REBT dapat digunakan dalam mengatasi berbagai masalah seperti Conduct Disorder, agresi, kecemasan, perilaku distruktif, ADHD, self-esteem yang rendah, pikiran-pikiran yang irasional, general anxiety dan prestasi akademik yang rendah. Selanjutnya REBT dikenalkan pada anak-anak dimulai sekitar tahun 1959 Ketika Ellis membuat serangkaian pencatatan yang direkam pada seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang mengompol yang kemudian mendorong peneliti lainnya menggunakan REBT pada anak-anak (Bernard, 2008). Dalam perkembangan selanjutnya dijelaskan pula pada saat simposium tentang Albert Ellis: A Tribute to The Grandfather of Cognitive Behavior Therapy di Tasmania pada bulan September 2008 dijelaskan bahwa Ellis dan staffnya mulai mengenalkan REBT pada anak-anak usia sekolah bahkan melakukan di sekolah sejak tahun 1971 (Ellis, 2008).

8 Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian penerapan rational emotive behaviour therapy untuk meningkatkan harga diri anak enuresis. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan rational emotive behavior therapy (REBT) dalam meningkatkan harga diri pada anak enuresis. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas rational emotive behavior therapy (REBT) dalam meningkatkan harga diri pada anak enuresis. D. Manfaat Penelitian 1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Psikologi Klinis Anak Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai aplikasi nyata psikologi klinis anak terkait penerapan rational emotive behavior therapy (REBT) dalam meningkatkan harga diri pada anak enuresis. 2. Perkembangan Pelayanan Psikologi Memberikan referensi pada psikolog anak dalam melakukan treatment psikologis pada anak enuresis yang memiliki harga diri rendah.

9 3. Perkembangan Riset Psikologi Manfaat penelitian lainnya adalah sebagai dasar pengembangan riset psikologi. Penelitian ini akan menghasilkan pengembangan riset psikologi yang dilakukan terkait dengan program rational emotive behavior therapy (REBT) dalam meningkatkan harga diri pada anak enuresis. E. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Berisikan uraian mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka Kajian yang diperoleh dari penelaahan pustaka meliputi kajian literatur dan hal-hal yang terkait dengan efektivitas rational emotive behavior therapy (REBT), hal-hal yang terkaitan dengan harga diri dan cara peningkatannya serta hal-hal yang terkait dengan enuresis pada anak. Bab III Metode Penelitian Pada bab ini diuraikan tentang desain penelitian, gambaran subjek penelitian, dan rancangan program terapi efektivitas rational emotive behavior therapy (REBT) dalam meningkatkan harga diri pada anak enuresis, tahap pelaksaan penelitian dan metode analisis data.

10 Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Berisikan pelaksanaan terapi, hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas penerapan program terapi efektivitas rational emotive behavior therapy (REBT) dalam meningkatkan harga diri pada anak enuresis. Selanjutnya akan dibahas pula tentang keterbatasan penelitian dan temuan lainnya. Bab V Kesimpulan dan Saran Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian.