Banking Weekly Hotlist (2 Februari 6 Februari 2015) Senin, 2 Februari 2015 BI Punya Ruang Pelonggaran Seiring melambatnya tingkat inflasi, analis Morgan Stanley memperkirakan Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate sebesar 50 basis poin dari 7,75% menjadi 7,25% pada triwulan IV 2015. Kendati kian melonggar, Morgan Stanley yakin tingkat BI rate ini masih akan tetap mengatasi masalah defisit neraca transaksi berjalan dan mengantisipasi kenaikan Fed Fund Rate. Lebih lanjut, Morgan Stanley memproyeksikan defisit transaksi berjalan akan bertahan pada posisi 2,8% terhadap total PDB pada tahun 2015 dan menyempit menjadi 2,6% pada tahun 2016. (Sumber: Bisnis Indonesia, 2 Februari 2015, 4) DJP Minta Kemudahan data Saat ini tidak dipungkiri bahwa pembiayaan APBN sangat bertumpu pada penerimaan pajak. Untuk meningkatkan penerimaan pajak, Dirjen Pajak menuturkan bahwa perlu adanya akses terhadap kerahasian data nasabah perbankan (bank secrecy). Akses terhadap data nasabah bank ini diperlukan untuk pengawasan transaksi yang mencurigakan. Selain itu, hal ini juga dilakukan untuk membangun sistem IT yang terintegrasi. DJP mengatakan seharusnya Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat mengakses data transaksi di sistem perbankan, seperti contoh The Australian Taxation Office di Australia. Hal ini diperkirakan dapat mengamankan penerimaan pajak serta menggali potensi penerimaan pajak. PPATK selama ini masih hanya terfokus pada pencegahan terorisme dan kasus pencucian uang. Untuk tujuan pemeriksaan, menurut UU KUHP DJP sebenarnya dapat memperoleh akses data di perbankan namun harus melalui Kementerian Keuangan dan mengajukan memperoleh izin OJK. Oleh karena itu, DJP membutuhkan payung hukum melalui Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) agar DJP dapat secara langsung mengakses data pada perbankan. (Sumber: Bisnis Indonesia, 2 Februari 2015, 4)
BPD Patok Target NIM Tinggi Sejumlah Bank Pembangunan Daerah (BPD) kerap menetapkan NIM yang tinggi. Untuk mencapai NIM yang tinggi, sejumlah BPD saat ini sedang berupaya untuk meningkatkan porsi dana murah (CASA). Untuk meningkatkan porsi dana murah, Bank DKI kerap aktif berkontribusi pada program-program Pemerintah DKI Jakarta seperti Kartu Pembayaran Rumah Susun dan Kartu Tanda PKL. Selain itu, pada tahun ini, Bank DKI juga berencana untuk meluncurkan internet banking dan mobile banking. Adapun Bank DKI akan menjaga NIM pada level 6,5%. Sama halnya dengan Bank DKI, Bank Jabar pun akan meningkatkan porsi dana muuntuk menjaga NIM sebesar 6,7%. Sebelumnya NIM perseroan dapat mencapai 8%, namun kondisi ini semakin menurun seiring sulitnya likuiditas di industri perbankan. Berbeda halnya dengan Bank DKi dan Bank Jabar, Bank Sumsel Babel memutuskan untuk menurunkan NIM walaupun masih berada di posisi yang cukup tinggi yakni 7,45%. Terkait tren penurunan NIM, Eko Budiwiyono, Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, tidak terlalu khawatir dengan tren penurunan ini pasalanya pihaknya optimis akan terjadi perbaikan penyaluran kredit, sehingga dapat meningkatkan NIM. (Sumber: Bisnis Indonesia, 2 Februari 2015, 24) Rasio Deviden Diminta Turun Sejumlah BPD meminta pemerintah daerah untuk mengurangi dividend payout ratio. Selain menurunkan rasio deviden, BPD juga meminta pemerintah daerah untuk menyeragamkan rasio tersebut agar tidak lebih dari 50%. Eko Budiwiyono, Ketua Asosiasi Banl Pembangunan Daerah mengatakan besarnya penetapan rasio ini penting bagi kelangsungan bisnis BPD. Dengan diturunkannya rasio deviden, BPD memiliki penambahan likuiditas baik untuk memperkuat permodalan, ekspansi usaha maupun untuk meningkatkan penyaluran kredit. Ekonom menilai pengurangan deviden mungkin dapat dilakukan, namun penyeragaman akan cenderung sulit dilakukan karena harus disesuaikan dengan APBD masing-masing daerah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 2 Februari 2015, 24)
Selasa, 3 Februari 2015 Bank Lokal Bakal Dilibatkan Bank Indonesia akan membentuk prinsipal domestik kartu kredit pada tahun 2016 dan akan melibatkan bank lokal sebagai pemegang prinsipal kartu. Pembentukan ini akan dilakukan secara bertahap. Adapun untuk tahun ini, Bank Indonesia akan lebih fokus kepada switching kartu kredit. Bank Indonesia juga telah membentuk tim khusus untuk merealisasikan rencana tersebut. Berdasarkan data Statistik sistem pembayaran, jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia mencapai 15,97 juta keping dengan volume transaksi sebesar 229,85 juta transaksi hingga November 2014. Rencana ini juga diharapkan dapat mengurangi defisit neraca jasa yang hingga triwulan III/2014 mencapai US$2,5 miliar. Prinsipal asing menyambut baik upaya pembentukan prinsipal kartu kredit domestik ini dan siap membantu Bank Indonesia. Kendati demikian, pihaknya mengingatkan bahwa upaya ini membutuhkan investasi yang besar dan infrastruktur sarana-prasarana yang memadai. (Sumber: Bisnis Indonesia, 3 Februari 2015, 23) Sejumlah Bank Targetkan Naik Kelas Sejumlah bank berniat untuk naik kelas ke kelompok BUKU yang lebih tinggi. Beberapa upaya yang dilakukan untuk mendukung rencana ini antara lain meminta suntikan dana dari pemegang saham dan menahan laba bersih bank. Salah satu bank yang berniat naik kelas adalah PT Bank Sahabat Sampoerna. Untuk dapat naik kelas ke BUKU II, bank membutuhkan modal sebesar Rp 630 miliar. Adapun setelah masuk ke dalam kelompok bank BUKU II, bank akan fokus menyasar segmen ritel, mengembangkan mobile banking dan internet banking serta berencana untuk ikut serta dalam program branchless banking. Selanjutnya, PT Bank ICBC Indonesia juga berniat untuk masuk ke dalam BUKU III dengan dukungan penyertaan modal dari induk usaha yakni Bank ICBC China sebesar US$ 75 juta. Adapun dana penyertaan modal tersebut akan diperoleh setelah Bank ICBC menerbitkan obligasi global sebesar US$ 500 juta dalam jangka waktu tiga tahun. PT Bank Mandiri Tbk sebagai induk perusahaan dari PT Bank Sinar Harapan Bali berniat menyuntikkan modal sebesar Rp 200 miliar kepada anak perusahaannya tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendorong Bank Sinar Harapan Bali dapat menjadi bank BUKU II dan dapat lebih mengembangkan bisnisnya. Selain mendapat suntikan modal dari Bank Mandiri, BSHB juga berencana menerbitkan right issue sebesar Rp 800 miliar pada tahun ini dan saat ini rencana tersebut masih dalam pengkajian oleh IJK. Upaya yang
sama dilakukan oleh PT Bank Ina Perdana. Tahun ini, pihaknya berencana untuk melakukan right issue untuk mendorong bank masuk ke dalam BUKU II. (Sumber: Indonesia Finance Today, 3 Februari 2015, 8) Rabu, 4 Februari 2015 Risiko Bunga Diantisipasi Kewajiban untuk melakukan lindung nilai bagi korporasi yang memiliki utang luar negeri mendorong permintaan instrumen cross currency swap. Cross currency swap merupakan kontrak anatara dua pihak, yakni korporasi dan bank untuk bertukar pokok dan suku bunga untuk mata uang yang berbeda. Bank ikut mendukung hedging yang dilakukan korporasi. Sejumlah bank seperti BNI, CIMB Niaga dan Standard Chartered Bank melakukan cross currency swap dengan PT Garuda Indonesia. Kerjasama ini mencapai Rp 1 triliun dengan jangka waktu 3,5 tahun. Selain itu, transaksi didasarkan pada referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) per Januari 2015 sebesar Rp 12.608 per Dollar AS. Hal ini dilakukan untuk menghindari korporasi dari resiko nilai tukar. (Sumber: Kompas, 4 Februari 2015, 20) Kajian Merger Mandiri dan BNI Masuki Tahap Awal OJK dan pemerintah telah melakukan pembicaraan awal terkait upaya merger Bank Mandiri dan BNI. Upaya merger kedua bank BUMN ini dilakukan agar perbankan Indonesia memiliki daya saing, khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sofyan Djalil, Menteri koordinator Bidang Perekonomian RI, berharap upaya merger ini tidak direspon negatif oleh pasar. Rohan Hafas, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri menyambut baik upaya merger ini. Pasalnya Bank Mandiri sedang menargetkan aset hingga Rp 1.000 triliun untuk merambah ekspansi ke ASEAN sebagai Qualified ASEAN Banks (QAB). Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, mengungkapkan selain merger Bank Mandiri dan BNI, hal yang perlu dilakukan adalah menfokuskan Bank BRI ke segmen usaha mikro, kecil dan menengah. Di sisi lain, Gatot M. Suwondo, Direktur Utama Bank BNI justru mengatakan bahwa keempat bank
BUMN di Indonesia tidak perlu melakukan merger. Pasalnya keempat bank BUMN tersebut dinilai telah memiliki daya saing yang setara dengan bank asing. Terkait penerapan MEA, pihaknya mengatakan seharusnya OJK membatasi ekspansi bank asing di Indonesia dan mengedepannya asas resiprokal. (Sumber: Indonesia Finance Today, 4 Februari 2015, 1) Bank Indonesia Diprediksi Pertahankan Moneter Ketat Kendati inflasi awal tahun 2015 diperkirakan melambat, Bank Indonesia diperkirakan masih akan tetap menetapkan kebijakan moneter ketat. Hal ini dilakukan karena cukup tingginya defisit neraca transaksi berjalan, menjaga nilai tukar dan antisipasi kebijakan normalisasi di Amerika Serikat. Juniman, Kepala Ekonom Bank BII, mengatakan kedepannya masih terdapat potensi kenaikan harga minyak dunia, sehingga akan mendorong inflasi. Kendati demikian, tren cut easy yang berlangsung di beberapa negara tetangga dan kebijakan quantitative easing di Eropa dapat menjadi peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate ke level 7,50%. Senada, Lana Soelistianingsih, Kepala Ekonom PT Samuel Asset Management, menambahkan BI rate dapat diturunkan apabila S&P menaikkan peringkat investasi Indonesia, sehingga resiko capital outflow kecil. Sementara itu, Juda Agung, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia mengatakan saat ini BI akan tetap mempertahankan kebijakan moneter ketat dan kedepannya akan dilakukan penyesuaian sesuai dengan kondisi yang berlaku, khususnya setelah kebijakan the Fed. (Sumber: Indonesia Finance Today, 4 Februari 2015, 7) Kamis, 5 Februari 2015 Kredit Akan Meningkat Adanya kebijakan pembatasan impor buah akan mendorong produksi dalam negeri. Oleh karena itu kredit perbankan di sektor pertanian pun diperkirakan akan meningkat. Djarot Kusumajakti, Direktur Usaha Mikro, Kecil dan Menengah PT BRI Tbk menambahkan sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi fokus pemerintah. Pasalnya pemerintah berkomitmen meningkatkan kedaulatan pangan, sehingga akan mendorong produksi dalam negeri dan permintaan kredit ke sektor tersebut. Adapun menurut Djarot, yang menjadi
pertimbangan perbankan dalam memberikan kredit adalah melihat bagaimana petani dapat memproduksi sesuai standar. Apabila petani mampu, maka perbankan tidak akan segan memberikan kredit, namun apabila tidak mampu, maka perlu pendampingan dari pemerintah, perguruan tinggi atau swasta. Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, menambahkan perbankan akan membiayai sektor riil yang sudah beroperasi dan memiliki prospek yang baik. Adapun saat ini perbankan sulit untuk membiayai perkebunan rakyat dengan skala usaha kecil karena resiko gagal bayar yang tinggi. Oleh karena itu, pihaknya menyarankan pemerintah untuk memberikan insentif kepada bank yang akan membiayai sektor tersebut. Berdasarkan data dari Statistik Perbankan Indonesia, per November 2014, total penyaluran kredit ke sektor pertanian mencapai Rp 206 triliun atau sekitar 5,7% dari total penyaluran kredit perbankan kepada pihak ketiga. (Sumber: Kompas, 5 Februari 2015, 17) Bunga KPR Turun, Daya Beli Menguat Penurunan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dalam skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari 7,5% menjadi 5% diperkirakan akan mendorong daya beli masyarakat, khususnya masyarat berpengahsilan rendah hingga 50%. Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mengatakan penurunan suku bunga FLPP dapat menurunkan cicilan yang harus dibayarkan masyarakat. (Sumber: Kompas, 5 Februari 2015, 17) Wacana Merger Bikin Tak Nyaman Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, belum memutuskan rencana merger kedua bank BUMN yakni Bank Mandiri dan BNI. Pasalnya masih banyak pihak yang belum menyetujui rencana merger ini. Upaya ini dilakukan sebagai salah satu upaya menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), khususnya liberalisasi sektor keuangan pada tahun 2020. Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan RI, menuturkan walaupun merger Bank Mandiri dan BNI belum dapat mengalahkan bank DBS dari Singapura, namun potensi pembiayaan akan lebih besar setelah peleburan kedua bank pelat merah ini. Rosan P. Roeslani, Wakil Ketua Kadin Indonesia, mengungkapkan Indonesia membutuhkan bank besar untuk membiayai sektor infrastruktur. Pasalnya sektor ini kerap membutuhkan pembiayaan yang besar. Menurutnya, Bank Mandiri, BNI dan BTN perlu dileburkan karena berada pada segmen yang sama. Di sisi lain, Gatoto M. Suwondo, Ketua Umum Himbara, menolak rencana merger
tersebut. Menurutnya sebagai perusahaan terbuka BUMN tidak dapat begitu saja mengabaikan pemilik saham minoritas. Selain itu, pihaknya pun mempertanyakan urgensi upaya merger ini. (Sumber: Bisnis Indonesia, 5 Februari 2015, 23) Jumat, 6 Februari 2015 Risiko Dinilai Terlalu Besar Yap Tjay Soen, Direktur Keuangan BNI menurutkan bahwa merger antara Bank Mandiri dan BNI akan menimbulkan resiko yang lebih besar dibandingkan manfaat yang didapat. Hasil penggabungan akan meningkatkan biaya operasional akibat dari penyamaan beban bunga, sementara pendapatan justru menurun. Bank hasil merger juga akan tergolong bank lokal berdampak sistemik, sehingga harus menambah modal sebesar 1% - 2,5% dari bobot resiko. Terkait tujuan merger untuk menghadapi pasar ASEAN, Yap menuturkan bahwa saat ini bankbank di Indonesia sudah memiliki daya saing, sehingga tidak memerlukan upaya merger. Penguatan bank nasional juga ditunjukkan oleh kapitalisasi psar bank pemerintah yang lebih besar dibandingkan dengan bank nasional milik asing. (Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Februari 2015, 23) Penurunan Bunga Kredit Jadi Pertimbangan Mulai membaiknya kondisi perekonomian baik global maupun domestik mendorong sejumlah bank menurunkan suku bunga kredit. Berdasarkan data uang beredar oleh Bank Indonesia, terjadi penurunan suku bunga kredit dari 12,97% ke 12,96% pada Desember 2014. OJK menyambut baik penurunan suku bunga kredit ini. Pasalnya penurunan ini dapat memberikan kemudahan dan menjangkau nasabah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dalam publikasi yang sama tercatat kredit UMKM mencapai Rp 671,7 triliun, meningkat 10,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year). Juniman, Ekonom Bank BII, menyebutkan bahwa suku bunga kredit akan turun seiring penurunan biaya dana (cost of fund). Selain itu, perbaikan kondisi ekonomi domestik juga akan mendorong penyaluran kredit yang lebih tinggi. Bank BRI juga mengungkapkan bahwa pihaknya berencana untuk menurunkan suku bunga kredit pada semua segmen, namun penurunan akan bervariasi untuk masingmasing segmen. Hal yang berbeda justru dilakukan oleh Bank Mayapada. Pihaknya mengaku
belum berencana menurunkan suku bunga dasar kredit karena kondisi pasar yang belum berubah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Februari 2015, 23) DPK Masih Tumbuh Terbatas Sejumlah perbankan mengungkapkan optimis pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) akan mencapai target walaupun secara umum kondisi likuiditas diperkiarakan masih tetap ketat. Bank Mayapada menargetkan pertumbuhan DPK mencapai 30% pada tahun ini. Bank BRI juga menargetkan pertumbuhan DPK sebesar 145 hingga 16% pada tahun ini. Sementara Bank Victoria menargetkan pertumbuhan yang cenderung moderat yakni 7%. Rendahnya target pertumbuhan DPK diakui Bank Victoria agar bank tidak terlalu besar untuk membayar bunga simpanan. Lebih lanjutnya, tahun ini bank Victoria akan lebih fokus pada penghimpunan dana murah. (Sumber: Bisnis Indonesia, 6 Februari 2015, 24) ***