2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

dokumen-dokumen yang mirip
5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

3. METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan. bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. analisisnya pada data-data numerical (angka) yang diolah dengan metode statistik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Stres merupakan kata yang sering muncul dalam pembicaraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. zaman sekarang dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum pria.

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

HUBUNGAN ANTARA STRATEGI REGULASI EMOSI SECARA KOGNITIF DENGAN HARDINESS PADA IBU BEKERJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan, sehingga menjadi orang yang terdidik. dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Di negara kita ini pendidikan menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menunjukkan hardiness dan sesuai dengan aspek-aspek yang ada pada hardiness.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. munculnya masalah tersebut sangatlah normal dan kita sebagai manusia. kemampuan psikologisnya (Hurlock, 1980: 3).

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap

MASALAH KELUARGA DAN MEKANISME PENANGGULANGANNYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Wanita karir mengacu pada sebuah profesi. Karir adalah karya. Jadi, ibu

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keadaan ekonomi yang kurang baik membuat setiap keluarga di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu hardiness dan burnout.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bidang kehidupan yang dirasakan penting

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Semakin banyaknya orang yang ingin menjaga kondisi tubuhnya

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA GURU WANITA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEBONARUM KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan modern yang makin kompleks, manusia akan cenderung

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) menyebutkan bahwa kondisi

PROSES CEMBURU DALAM HUBUNGAN PERCINTAAN Oleh: Aries Yulianto *

Abstrak. Kata kunci:

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas tinggi. Perkembangan masyarakat dengan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh manusia yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. upaya-upaya dalam rangka mendapatkan kebebasan itu. (Abdullah, 2007

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat menginjak masa dewasa, individu telah menyelesaikan masa

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pernikahan sebagai jalan bagi wanita dan laki-laki untuk mewujudkan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha sosial yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

HUBUNGAN ACHIEVEMENT EMOTIONS DAN SELF-REGULATION MAHASISWA DALAM MENGERJAKAN SKRIPSI LIDYA KEMALA SARI PANJAITAN SURYA CAHYADI

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. harus dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangannya. Salah satu tugas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Penyakit-penyakit kronis tersebut, di antaranya: kanker,

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Bandung. Rumah sakit X merupakan rumah sakit swasta yang cukup terkenal di

Transkripsi:

2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Pada bab ini akan dibahas mengenai emosi, proses kognitif dari emosi, regulasi emosi secara kognitif dan pengukurannya, faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi, hardiness dan pengukurannya, serta karakteristik ibu bekerja. 2. 1 Emosi 2. 1. 1 Pengertian Emosi Terdapat berbagai definisi mengenai emosi, salah satunya adalah menurut Reilly dan Seilbert, yang menyatakan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang bersifat sementara, dimana individu diliputi oleh perasaan tertentu, dan disertai oleh perubahan tingkah laku dan fisiologis individu (dalam Davidson, Scherer, & Goldsmith, 2003). Emosi adalah sebuah perasaan yang disadari individu, mempunyai karakteristik membangunkan keadaan fisiologis tertentu, dan dapat disertai dengan suatu tingkah laku tertentu yang menampakkan emosi tersebut kepada dunia luar (Cicarelli, 2006). Menurut Stenberg (1995), emosi adalah suatu perasaan yang melibatkan reaksi fisiologis, tingkah laku (dan mungkin juga kognitif) terhadap peristiwa internal individu (seperti mengingat sebuah pengalaman yang menyenangkan) dan peristiwa di luar individu. Menurut Lazarus (1991), emosi adalah akibat dari konfigurasi yang terjadi antara kognitif-motivasi-relasi, yang berubahubah sesuai dengan perubahan pada hubungan yang terjadi antara individu dengan lingkungannya, dan bagaimana hubungan ini dipersepsi dan dinilai oleh individu. Dari berbagai pengertian emosi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang bersifat sementara, dimana terdapat suatu perasaan yang timbul pada diri individu sebagai akibat peristiwa di dalam diri ataupun di luar diri individu. Emosi dapat disertai dan juga dapat menimbulkan perubahan fisiologis dan kognitif pada diri individu, serta dapat menimbulkan perubahan tingkah laku individu dalam menampakkan emosi yang ia alami kepada dunia luar. Emosi timbul sebagai reaksi dari motivasi dan penilaian kognitif individu mengenai hubungannya dengan lingkungannya.

2. 1. 2 Proses Kognitif dalam Emosi Menurut Lazarus (1991) hal terpenting yang harus dimengerti saat memahami proses terjadinya emosi adalah dengan menyadari hubungan individu dengan lingkungannya. Aktivitas kognisi adalah hal yang menjembatani hubungan antara individu dengan lingkungannya. Terdapat dua aktivitas kognisi menurut Lazarus, yaitu knowledge dan appraisal (Lazarus & Smith, 1988 dalam Lazarus, 1991). Knowledge adalah memahami bagaimana sesuatu peristiwa terjadi, baik secara umum maupun dalam konteks spesifik, sedangkan appraisal atau penilaian terdiri dari evaluasi yang terus menerus mengenai signifikansi (makna) dari apa yang terjadi bagi kesejahteraan diri individu (Lazarus, 1991). Menurut Lazarus (dalam Wortman, Loftus, & Weaver, 2001) penilaian kognitif ini terkait dengan kebutuhan, keinginan dan sumber-sumber yang individu miliki dalam hubungannya dengan peristiwa atau situasi tersebut. Penilaian secara kognitif ini dapat disebut juga sebagai pemaknaan personal sebuah peristiwa bagi individu. Menurut Lazarus (dalam Wortman, Loftus, & Weaver, 2001), setelah appraisal terjadi, kemudian akan timbul berbagai macam emosi pada diri individu, sebagai akibat dari penilaian individu terhadap situasi tersebut. Jadi, tanpa makna personal, knowledge bersifat dingin atau nonemosional. Saat knowledge menyentuh kesejahteraan personal, knowledge menjadi panas atau emosional (Abelson, 1963, Folkman, Schaefer, & Lazarus, 1979, dalam Lazarus, 1991). Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa emosi timbul dari hasil penilaian kognitif individu terhadap sebuah situasi yang dinilai mempengaruhi kesejahteraan personal individu. Oleh karena itu, sebuah situasi yang sama atau mirip dapat menimbulkan emosi-emosi yang berbeda bagi tiap individu, tergantung dari penilaian kognitif masing-masing individu. Terdapat dua tahap cognitive appraisal menurut Lazarus (1991): 1. Primary appraisal: menitikberatkan pada pertanyaan apakah informasi atau peristiwa yang dialami individu berhubungan dengan kesejahteraan individu.

2. Secondary appraisal: berhubungan dengan pilihan-pilihan untuk melakukan coping, yaitu apakah perlu dilakukan aksi untuk mencegah bahaya (harm), memperbaikinya, atau menambah kerugian atau keuntungan yang telah dialami individu. 2. 1. 3 Coping dan Appraisal Menurut Lazarus (1991) coping terdiri dari usaha kognitif dan tingkah laku yang bertujuan untuk mengatasi permintaan, baik internal, eksternal, maupun konflik di antaranya, yang dinilai sebagai hal yang sangat membebani individu (Lazarus & Folkman, 1984, 1987, dalam Lazarus, 1991). Walaupun coping dilakukan setelah timbul emosi dan seringkali ditujukan untuk regulasi emosi-emosi yang timbul akibat individu merasa tertekan (emotional distressed), namun coping juga dapat menimbulkan penilaian selanjutnya akan adanya bahaya (harm), ancaman (threat), atau tantangan (challenge), sehingga juga mengubah reaksi emosional yang akan terjadi (Opton, Rankin, Nomikos, & Lazarus, 1965 dalam Lazarus, 1991). Interaksi antara regulasi emosi dan appraisal akan terus terjadi selama situasi emosional berlangsung. Individu dapat menggunakan berbagai macam strategi untuk meregulasi emosi mereka, sampai tujuan dari emosi tersebut tercapai atau tidak lagi terancam (Lazarus, 1999). 2. 2 Regulasi Emosi Secara Kognitif 2. 2. 1 Pengertian Regulasi Emosi Secara Kognitif Sejalan dengan Lazarus, Garnefski, Kraaij dan Spinhoven (2001) juga menganggap bahwa proses kognitif memegang peranan penting dalam emosi, terutama mengenai konsep coping sebagai regulasi emosi-emosi yang timbul akibat individu merasa tertekan. Namun, berbeda dengan Lazarus (1991) yang menggabungkan antara usaha secara kognitif dan tingkah laku dalam melakukan strategi coping, menurut Garnefski, Kraaij dan Spinhoven (2001) strategi coping secara kognitif dan tingkah laku adalah dua hal yang berbeda dan tidak berada dalam dimensi yang sama, karena berpikir dan bertingkah laku merupakan dua proses yang

dilakukan dalam waktu yang berbeda. Selayaknya, proses penilaian secara kognitif muncul sebelum individu melakukan aksi tertentu, walaupun proses berpikir ini tidak selalu disadari oleh individu. Garnefski, Kraaij dan Spinhoven (2001) menyebut proses coping secara kognitif ini dengan cognitive coping atau cognitive emotion regulation. Pengertian dari cognitive emotion regulation dalam Garnefski dan Kraaij (2006) adalah : the cognitive way of managing the intake of emotionally arousing information (Thompson, 1991) and refers to the cognitive part of coping (Garnefski, Kraaij, & Spinhoven, 2001) (hal 1-2). Regulasi emosi secara kognitif adalah suatu cara kognitif untuk mengelola informasi yang dapat menimbulkan suatu kondisi emosi tertentu, dan merupakan bagian kognitif dari coping. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Garnefski dan Kraaij (2007), diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa strategi regulasi emosi secara kognitif adalah gaya berpikir yang relatif stabil dari waktu ke waktu. 2. 2. 2 Strategi Regulasi Emosi Secara Kognitif Menurut Garnefski, Kraaij, dan Spinhoven (2001), terdapat sembilan strategi kognitif dari regulasi emosi. Setiap strategi tersebut mencerminkan apa yang ada dalam pikiran seseorang saat mengalami peristiwa negatif. Peristiwa negatif adalah peristiwa yang penuh ancaman atau tekanan. Menurut Stansbury dan Gunnar (1994, dalam Burgess, 2006) situasi dan kondisi yang penuh tekanan berpotensial menimbulkan emosi-emosi yang negatif. Emosi negatif atau goal-incongruent emotions sendiri adalah emosi yang timbul pada diri individu di antaranya karena individu tidak dapat mencapai tujuannya (keadaan yang mereka inginkan), atau jika tujuannya terancam atau akan terancam, atau adanya konflik di antara dua tujuan (Lazarus, 1991). Contoh dari emosi negatif adalah marah, cemas, takut, jijik, cemburu, iri, sedih, merasa bersalah, dan malu. Saat seseorang mengalami situasi yang penuh tekanan, regulasi emosi digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan emosi negatif yang timbul (Gross & John, 2003, Tice & Wallace, 2000 dalam Wong, 2005). Menyadari bahwa peristiwa dianggap menekan atau tidak

(seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai cognitive appraisal) tergantung penilaian kognitif individu mengenai peristiwa tersebut, maka peristiwa negatif dapat dimengerti sebagai peristiwa yang dinilai dapat mengurangi kesejahteraan individu (tahap primary appraisal), dan individu merasa perlu untuk melakukan upaya coping atau regulasi emosi (salah satunya dengan regulasi emosi secara kognitif) untuk mengatasi, mengurangi, atau menghilangkan emosi-emosi negatif yang ia rasakan (tahap secondary appraisal). Kesembilan strategi dari regulasi emosi secara kognitif menurut Garnefski, Kraaij, dan Spinhoven (2001) tersebut adalah: 1. Self blame, yaitu pola pikir menyalahkan diri sendiri atas peristiwa negatif yang dialaminya. Contoh pernyataannya adalah: Aku pikir akulah yang patut disalahkan. 2. Acceptance, yaitu pola pikir menerima atau pasrah terhadap keadaan yang menimpanya. Contoh pernyataannya adalah: Aku pikir aku harus menerimanya. 3. Rumination atau focus on thought, yaitu pola pikir yang berpusat pada pemikiran atau perasaan terhadap peristiwa negatif yang dialaminya. Contoh pernyataannya adalah: Aku sering berpikir tentang apa yang aku pikirkan dan rasakan tentang hal itu. 4. Positive refocusing, yaitu pola pikir untuk memilih memikirkan hal-hal yang menyenangkan dibandingkan memikirkan peristiwa negatif tersebut. Contoh pernyataannya adalah: Aku memikirkan hal-hal yang lebih menyenangkan, yang tidak berhubungan dengan hal itu. 5. Refocus on planning, yaitu pola pikir tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana mengatasi peristiwa negatif yang menimpanya. Contoh pernyataannya adalah: Aku memikirkan hal apa yang sebaiknya aku lakukan. 6. Positive reappraisal, yaitu pemikiran mengenai manfaat yang dapat diambil atau hikmah dari peristiwa negatif yang dialaminya. Contoh pernyataannya adalah: Aku pikir aku mendapatkan sebuah pelajaran dari kejadian ini.

7. Putting into perspective, yaitu pola pikir untuk tidak menganggap serius peristiwa negatif yang dialaminya, atau menekankan relativitas makna dari peristiwa negatif yang telah dialaminya dibandingkan dengan kejadian yang lainnya. Contoh pernyataannya adalah: Aku pikir hal yang buruk memang mungkin terjadi. 8. Catastrophizing, yaitu pemikiran bahwa peristiwa negatif yang menimpanya merupakan sesuatu yang sangat buruk dan mungkin yang terburuk yang terjadi. Contoh pernyataannya adalah: Aku sering berpikir bahwa hal ini lebih buruk daripada apa yang menimpa orang lain. 9. Blaming others, yaitu pola pikir menyalahkan orang lain atas peristiwa negatif yang dialaminya. Contoh pernyataannya adalah: Aku pikir ini semua garagara mereka. 2. 2. 3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Strategi Regulasi Emosi Menurut Brener dan Salovey (dalam Salovey & Skufter, 1997), terdapat beberapa hal yang mempengaruhi strategi regulasi emosi, yaitu : 1. Usia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seiring berjalannya usia, semakin dewasa individu semakin adaptif strategi regulasi emosi yang digunakan (Gross, Richards, & John, 2004). 2. Jender atau jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan oleh Karista (2005) memperlihatkan bahwa perbedaan jender atau jenis kelamin juga berhubungan dengan perbedaan strategi regulasi emosi yang digunakan. Karista menemukan bahwa laki-laki dewasa muda lebih banyak menyalahkan diri sendiri saat meregulasi emosinya, sedangkan perempuan dewasa muda lebih sering menyalahkan orang lain. 3. Pola asuh. Pola asuh orangtua dalam mensosialisasikan perasaan dan pikiran mengenai emosi kepada anaknya (Gottman, Katz, & Hooven dalam Gross, Richards, & John, 2004), pada akhirnya akan mempengaruhi adaptif atau tidaknya strategi regulasi emosi yang digunakan oleh anak mereka (Gross, Richards, & John, 2004).

4. Pengetahuan mengenai emosi. Pengetahuan mengenai emosi berhubungan dengan bagaimana orangtua memperkenalkan emosi - emosi tertentu kepada anaknya. Orangtua yang mengajarkan anaknya mengenai emosi yang ia rasakan dan memberikan label terhadap emosi yang dirasakan oleh orang lain, akan dapat membantu mereka untuk melakukan regulasi emosi secara lebih adaptif (Brener & Salovey dalam Salovey & Skufter, 1997). 5. Perbedaan individual. Adanya perbedaan individual dalam meregulasi emosi, menurut Gross (dalam Pervin, John, & Robbins, 1999), dipengaruhi oleh tujuan, frekuensi, dan kemampuan individu. Tujuan individu dalam meregulasi emosinya dipengaruhi oleh perbedaan individu dalam hal penggantian dari pengalaman emosi, ekspresi, dan respons fisiologis dalam situasi tertentu. Frekuensi merujuk pada seberapa sering individu menggunakan strategi-strategi tertentu dalam meregulasi emosinya, sedangkan kemampuan individu berhubungan dengan sejauh mana tingkah laku meregulasi emosi yang dilakukan individu dapat ditampilkan kepada lingkungan. Sejalan dengan yang dinyatakan oleh Gross (dalam Pervin, John, & Robbins, 1999), Garnefski dan Kraaij (2006) juga menyatakan adanya perbedaan individual dalam penggunaan strategi regulasi emosi secara kognitif, walaupun kapasitas regulasi emosi secara kognitif adalah hal yang umum dimiliki oleh setiap individu. Menyadari bahwa fenomena yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai ibu bekerja dan emosi-emosi negatif yang dialaminya sebagai akibat dari berbagai tekanan yang dialaminya, maka perbedaan individual yang akan dibahas disini adalah kepribadian hardiness. 2. 3 Hardiness 2. 3. 1 Pengertian Hardiness Hardiness menurut Kobasa dan Maddi dan Kahn (1982, dalam Mullen, 2006) adalah :

A personality variable that functions as a resource to resist the negative consequences of adverse conditions (hal 1). Menurut Maddi dan Kobasa (1984, dalam Radisic, 2005) pengertian dari hardiness adalah: A personality variable that develops early in life and reasonably stable over time (hal 1). Jadi, hardiness adalah variabel kepribadian yang berkembang sejak dini, relatif stabil sepanjang waktu, dan berfungsi sebagai sumber kekuatan yang memberikan kemampuan bagi individu untuk bertahan dalam kondisi yang kurang menguntungkan di dalam hidupnya. Kondisi yang kurang menguntungkan ini termasuk di antaranya adalah peristiwa-peristiwa yang dirasakan penuh tekanan bagi individu (Kobasa, Maddi & Kahn, 1982 dalam Radisic, 2005). Menurut Bartone (1989, dalam Simon-boyd, 2002) hardiness merupakan kepribadian yang menjadi dasar atau disposisi seseorang yang memiliki kemampuan resiliensi yang baik, oleh karena itu ia menggunakan istilah dispositional resiliency untuk menggambarkan hardiness. Menurut Papalia, Olds & Feldman, 2004) resiliensi adalah kemampuan untuk tetap berperan optimal dalam keadaan yang buruk sekalipun, dan mampu menghadapi tantangan atau ancaman, dan dalam hal ini individu memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari pengalaman traumatik yang dialami. Kebangkitan kembali individu dari keterpurukannya itu, menjadikannya individu lebih kuat dalam proses menghadapi peristiwa traumatik tersebut (Henderson & Milstein, 2003). Menurut Lazarus dan Folkman (1984) individu yang memiliki tingkat hardiness yang tinggi cenderung lebih dapat mempertahankan kesehatannya dalam situasi yang penuh tekanan. Ketika menghadapi tantangan dan saat yang sulit dalam hidup, individu yang memiliki tingkat hardiness yang tinggi akan mempunyai keadaan fisik dan mental yang lebih sehat karena mereka mempunyai penilaian yang lebih positif terhadap stresor yang dihadapi, dan tetap berharap untuk membuat kemajuan dalam situasi yang buruk sekalipun (Lewis, 2002). Kobasa (1979, dalam Radisic, 2002) menyebutkan bahwa individu yang hardy menggunakan

transformational coping saat menghadapi situasi yang penuh tekanan, yaitu dengan mengubah kognisi dan tingkah laku mereka. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan masalah, yaitu dengan merestrukturisasi pikiran mereka kembali ke pemikiran yang positif (positive cognitive restructuring), memperluas perspektif (enhaced perspective), mencoba memahaminya sebaik mungkin (deepened understandings), menentukan tindakan yang akan diambil (decisive action), dan mencari dukungan emosional (emotional support). Di lain pihak, individu yang memiliki tingkat hardiness yang rendah cenderung menggunakan regressive coping, seperti menghindari kognisi dan reaksi tingkah laku mereka terhadap peristiwa yang penuh tekanan. Perbedaan gaya coping inilah yang menyebabkan individu yang hardy lebih dapat bertahan dalam situasi yang penuh tekanan dibandingkan individu yang kurang hardy. 2. 3. 2 Dimensi Dalam Hardiness Menurut Suzanne Kobasa (dalam Antonovsky, 1991) dimensi-dimensi dalam hardiness merupakan gabungan dari tiga konsep yang berasal dari psikologi eksistensialisme. Ketiga konsep tersebut adalah commitment, control, dan challenge. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga konsep tersebut: 1. Commitment. Commitment adalah kecenderungan individu untuk terlibat secara aktif dalam suatu kegiatan yang ia minati (Greenberg, 2004). Kobasa dan Maddi (1999, dalam Radisic, 2005) menyebutkan bahwa individu yang memiliki tingkat commitment tinggi menggunakan sumber daya yang mereka punyai untuk membuat sebuah pekerjaan tampak lebih menarik dan bermanfaat, daripada melihatnya sebagai hal yang membosankan dan tidak berguna. Individu yang berkomitmen tinggi mempunyai self-esteem yang tinggi, antusiasme yang tinggi, dan memiliki tujuan dalam hidupnya (Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006). Hardy people (sebutan untuk individu yang memiliki tingkat hardiness yang tinggi) percaya dengan apa yang mereka

lakukan dan sangat terlibat secara aktif dalam kegiatan tersebut (Auerbach & Gramling, 1998). 2. Control. Control adalah kecenderungan individu untuk mempercayai bahwa ia dapat mengubah keadaan yang ia alami (Greenberg, 2004). Hardy people percaya bahwa pengalaman hidup dapat dikendalikan (Auerbach & Gramling, 1998). Individu yang memiliki tingkat control yang tinggi melihat apa yang terjadi dalam hidupnya tidak hanya sebagai akibat dari perbuatan orang lain maupun takdir dalam hidupnya, namun juga menitikberatkan akan adanya tanggungjawab diri terhadap keadaan yang dialaminya saat ini (Kobasa dalam Antonovsky 1991). Hal ini disebabkan individu yang memiliki tingkat control yang tinggi merupakan individu yang percaya bahwa dirinya dapat mempengaruhi hasil yang akan ia dapatkan di dalam hidupnya dengan usaha dirinya sendiri, sebagai lawan dari berpikiran bahwa dirinya adalah korban dalam perisiwa yang dialaminya (Maddi & Kobasa, 1991 dalam Radisic, 2005). Mereka juga percaya bahwa mereka mempunyai tanggungjawab terhadap apa yang mereka lakukan dan akan mengubah perilaku-perilaku yang mereka anggap membahayakan atau merugikan (Williams, Sawyer & Wahlstrom, 2006). 3. Challenge. Challenge melibatkan harapan bahwa perubahan-perubahan adalah hal yang normal terjadi, dan perubahan-perubahan tersebut akan menstimulasi perkembangan diri (Greenberg, 2004). Hardy people melihat perubahan hidup dalam sudut pandang yang positif dan dilihat sebagai suatu hal yang pasti terjadi bukan dilihat sebagai hal yang membahayakan atau menyakitkan (Auerbach & Gramling, 1998). Mereka lebih melihat perubahan-perubahan dalam hidup sebagai sebuah tantangan, atau kesempatan yang dapat mendorong terjadinya perkembangan, daripada sebagai suatu ancaman (Williams, Sawyer & Wahlstrom, 2006). Timbulnya keadaan-keadaan yang penuh tekanan dalam hidup dapat diantisipasi sebagai kesempatan untuk

perkembangan diri. Individu yang memegang prinsip challenge mempunyai karakteristik terbuka, fleksibel secara kognitif, dan bertoleransi terhadap ambiguitas (Kobasa dalam Antonovsky, 1991). 2. 4 Ibu Bekerja 2. 4. 1 Pengertian Ibu yang Bekerja Ibu bekerja adalah sebuah istilah yang merujuk kepada seorang perempuan yang mempunyai pekerjaan, telah menikah dan mempunyai anak (Schultz & Schultz, 1998). Ibu bekerja erat kaitannya dengan istilah peran ganda, yaitu ketika seorang ibu harus menjalankan perannya sebagai perempuan yang bekerja dan sebagai ibu rumahtangga (Sobur, 1991). 2. 4. 2 Permasalahan yang Dihadapi oleh Ibu Bekerja Menurut Rini (2002), terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh ibu bekerja, di antaranya adalah : 1. Faktor internal. Faktor internal adalah faktor yang permasalahan yang berasal dari diri pribadi ibu bekerja. Ibu yang merasa terpaksa untuk bekerja pada akhirnya akan merasa lelah, terutama secara psikis, karena memaksa diri untuk bertahan di tempat kerja. Selain itu, ibu bekerja yang tidak mempunyai kemampuan manajemen waktu dan rumah tangga akan cenderung merasa tertekan karena tidak mampu menjalankan perannya dengan sebaik mungkin baik di tempat kerja maupun di rumah tangga. 2. Faktor eksternal. Faktor eksternal adalah faktor di luar diri pribadi ibu bekerja, di antaranya adalah: kurangnya dukungan suami, kehadiran anak, dan masalah pekerjaan. Kurangnya dukungan suami membuat peran sang ibu di rumah pun tidak optimal (karena terlalu banyak yang masih harus dikerjakan sementara dirinya juga merasa lelah sesudah bekerja). Akibatnya, timbul rasa bersalah karena merasa diri bukan ibu dan istri yang baik. Masalah pengasuhan terhadap anak biasanya dialami oleh para ibu bekerja yang mempunyai anak di bawah lima tahun. Semakin kecil usia anak, maka

semakin besar tingkat stress yang dirasakan. Rasa bersalah karena meninggalkan anak untuk seharian bekerja, merupakan persoalan yang sering dipendam oleh para ibu yang bekerja. Apalagi jika pengasuh yang ada tidak dapat diandalkan/dipercaya, sementara tidak ada sanak saudara lain yang dapat membantu. Masalah pekerjaan juga dapat menjadi sumber ketegangan dan stress yang besar bagi ibu bekerja. Kelelahan psikis dan fisik yang dialami ibu bekerja inilah yang sering membuat mereka sensitif dan emosional, baik terhadap anak-anak maupun terhadap suami. Keadaan ini biasanya semakin intens, saat situasi di rumah tidak mendukung, seperti suami dan anak-anak (yang sudah cukup besar) kurang bisa bekerja sama untuk mau membantu sang ibu, atau sekedar meringankan pekerjaan rumah tangga. 3. Faktor relasional. Dengan bekerjanya suami dan istri, maka otomatis waktu untuk keluarga menjadi terbagi. Memang, penanganan terhadap pekerjaan rumah tangga bisa diselesaikan dengan disediakannya pengasuh serta pembantu rumah tangga, namun ada hal-hal yang sulit dicari substitusinya, seperti masalah kebersamaan bersama suami dan anak-anak. 2. 5 Kerangka Berpikir Mengemban berbagai peran, yaitu sebagai ibu, istri, dan juga bekerja di luar rumah, ibu bekerja dihadapi oleh berbagai permasalahan. Berbagai permasalahan ini dapat berasal dari dirinya sendiri, dari luar dirinya, maupun dari kualitas dan kuantitas hubungan antara ia dengan suami dan anak-anaknya. Berbagai permasalahan ini dapat menciptakan situasi yang penuh tekanan, dan situasi yang penuh tekanan dapat menyebabkan timbulnya emosi-emosi negatif seperti marah, sedih, cemas, dan merasa bersalah pada diri ibu bekerja. Hardiness merupakan tipe kepribadian yang mampu bertahan terhadap konsekuensi negatif dari peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan seperti situasi yang dialami oleh ibu bekerja. Individu dengan tingkat hardiness yang tinggi mampu untuk tetap sehat secara fisik maupun psikologis dalam situasi penuh tekanan, salah satunya

karena individu yang memiliki karakteristik kepribadian ini mempunyai kemampuan dalam mengatasi situasi yang penuh dengan emosi-emosi negatif di dalam hidup mereka (Aspinwell & Brunhart, 2000 dalam Wong, 2005). Menurut Garnefski dan Kraaij (2006) saat mengalami peristiwa negatif, individu dapat menggunakan kognisinya untuk meregulasi emosi-emosi yang timbul. Walaupun diketahui bahwa individu yang hardy dapat mengatasi situasi yang penuh dengan emosi-emosi negatif, namun belum diketahui strategi kognitif dari regulasi emosi yang digunakan baik oleh individu yang hardy maupun yang kurang hardy. Hubungan antara hardiness ibu bekerja dengan kesembilan strategi kognitif yang digunakan dalam meregulasi emosi inilah yang ingin diketahui lebih lanjut dalam penelitian ini.