V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA

dokumen-dokumen yang mirip
VII. ANALISIS MULTIPLIER SEKTORAL DAN EFEK TOTAL

IV. METODOLOGI. Kebijakan di sektor transportasi jalan dengan investasi atau pengeluaran

IX. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN


VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

BAB VI ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA. Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

IV. METODOLOGI PENELITIAN

BOKS II : TELAAH KETERKAITAN EKONOMI PROPINSI DKI JAKARTA DAN BANTEN DENGAN PROPINSI LAIN PENDEKATAN INTERREGIONAL INPUT OUTPUT (IRIO)

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN SEKTOR PERTAMBANGAN

BERITA RESMI STATISTIK

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

VI. ANALISIS MULTIPLIER PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP EKONOMI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

VII. PERANAN DAN DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK DALAM PEREKONOMIAN

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

BERITA RESMI STATISTIK

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PDB per kapita atas dasar harga berlaku selama tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 13,8% (yoy) menjadi Rp30,8 juta atau US$ per tahun.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

INDIKATOR MAKRO EKONOMI KABUPATEN TEGAL

TABEL - VII.1 PERKEMBANGAN NILAI INVESTASI MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

Katalog BPS :

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

Produk Domestik Bruto (PDB)

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI BENGKULU TAHUN 2016

gula (31) dan industri rokok (34) memiliki tren pangsa output maupun tren permintaan antara yang negatif.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

PERTUMBUHAN EKONOMI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR -3,30 PERSEN

PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,2 %

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TAHUN 2008

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

Keterangan * 2011 ** 2012 ***

PERKEMBANGAN PDRB TRIWULAN II-2009 KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

Perkembangan Terakhir Sektor Industri Dan Inflasi KADIN INDONESIA

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

Sektor * 2010** 3,26 3,45 3,79 2,82 2,72 3,36 3,47 4,83 3,98 2,86 2. Pertambangan dan Penggalian

BAB IV TINJAUAN PEREKONOMIAN KABUPATEN BUNGO

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi kemiskinan (Madris, 2010). Indikator ekonomi makro (PDRB)

GROWTH (%) SHARE (%) JENIS PENGELUARAN 2011** 2012*** Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.4 Q.1 Q.2 Q.3 Q.

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN III-2017

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB Lapangan Usaha TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

(1.42) (1.45) I II III IV I II III IV I II III IV I II * 2012** 2013***

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

Transkripsi:

V. STRUKTUR PEREKONOMIAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA 5.1. Struktur Perkonomian Sektoral Struktur perekonomian merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektoral yang berasal dari ekstraksi model IRSAMJASUM 2007 sisi pengeluaran (kolom). Berdasarkan lampiran 8, total PDRB intra-regional Sumatera tahun 2007 sebesar 810 253 573 juta rupiah. Secara agregat, sektor pertambangan dan pengalian lainnya memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB Sumatera yaitu 19.29 persen (gambar 14), lalu disusul sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya 14.77 persen, serta sektor perdagangan, restoran dan hotel 13.72 persen. Dengan demikian secara agregat, sektor pertambangan dan penggalian lainnya memegang peranan paling penting dalam kontribusi PDRB di Sumatera. 19.12 60.96 5.15 14.77 Pertambangan dan penggalian lain pertanian tanaman pangan konstruksi sektor lainnya Gambar 14. Struktur Perekonomian Sektoral Sumatera Tahun 2007 Kontribusi sektor konstruksi terhadap PDRB Sumatera sebesar 5.15 persen terdiri dari sektor konstruksi jalan dan jembatan (1.67 persen) dan sektor konstruksi non jalan dan jembatan (3.48 persen). Terdapat penurunan peranan konstruksi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Alim, 2006) dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 7.73 persen.

128 Dalam penelitian Alim (2006), PDRB dengan kontribusi terbesar secara agregat adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar 15.87 persen, yang berarti terdapat pergeseran sektor dominan di Sumatera, dari semula sektor perdagangan, restoran dan hotel menjadi sektor pertambangan dan penggalian lainnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat beberapa tahun belakangan ini pertambangan batubara khususnya di Sumatera bagian selatan meningkat dengan pesat. Sektor perdagangan, restoran dan hotel hasil penelitian ini menyumbang PDRB sebesar 13.72 persen yang menunjukkan penurunan terhadap tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu sektor pertambangan naik signifikan dari 6.21 persen berdasarkan penelitian sebelumnya menjadi 19.29 persen, mendekati kontribusi kelompok sektor industri pengolahan dan pertanian. Berdasarkan perbandingan pada kelompok sektor, kontribusisektor pertanian (kode11-13) sebagai sektor primer terhadap PDRB Sumatera adalah 22.47 persen, sedikit lebih tinggi dari kelompok sektor industri pengolahan (kode 15-19) sebagai sektor sekunder dengan kontribusi 20.49 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Sumatera masih merupakan basis pertanian yang sedang menuju industrialisasi. Sektor jasa (kode 20-26) yang disebut sektor tersier menyumbang PDRB terbesar di Sumatera yaitu 37.76 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur perekonomian di pulau Sumatera adalah sektor Jasa - Pertanian - Industri - Pertambangan (J-P-I-P) yang berpola Tersier Primer Sekunder (T-P-S). Berbeda dengan Sumatera, secara parsial (per sektor) struktur perekonomian di Jawa-Bali adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel (kode 49) sebesar 22.20 persen dari total PDRB intra-regional Jawa-Bali tahun 2007 sebesar 2 123

129 091 384 juta rupiah (Gambar 15), kemudian disusul sektor bank dan asuransi sebesar 10.51 persen, dan sedikit dibawahnya sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya sebesar 10.39 persen. 12.22 5.84 71.96 Perdagangan, restoran dan hotel Konstruksi Sektor Lainnya Gambar 15. Struktur Perekonomian Sektoral Jawa-Bali Tahun 2007 Sektor konstruksi terdiri dari konstruksi jalan dan jembatan dan konstruksi non jalan dan jembatan di Jawa-Bali memiliki kontribusi terhadap PDRB masingmasing sebesar 2.42 persen dan 3.42 persen (lampiran 9). Dalam penelitian sebelumnya (Alim, 2006), sektor konstruksi memberikan kontribusi terhadap PDRB di Jawa-Bali sebesar 8.98 persen, dalam penelitian ini mengalami penurunan menjadi 5.84 persen. Hal ini menunjukkan pembangunan konstruksi jalan dan jembatan tidak lagi terfokus di Jawa-Bali, namun semakin merata ke pulau lain di Indonesia. Berdasarkan penelitian ini, analisis banyak pihak bahwa pembangunan infrastruktur hanya berpusat di Jawa-Bali tidak tepat. Peranan sektoral dalam perekonomian di Sumatera cenderung berbeda dengan Jawa-Bali. Bila di Sumatera sektor pertambangan dan bahan galian lainnya merupakan peringkat utamayang memberi kontribusi PDRB terbesar, maka di Jawa-Bali sektor perdagangan, restoran dan hotel berada di urutan teratas. Sementara pada peringkat kedua di Sumatera adalah sektor pertanian tanaman

130 pangan dan tanaman lainnya, berbeda dengan Jawa-Bali dimana sektor bank dan asuransi berada di urutan kedua. Pada peringkat ketiga adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel di Sumatera sedangkan di Jawa-Bali adalah sektor sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya. Dari data diatas, dapat diketahui demikian kuatnya kelompok sektor jasa di Jawa- Bali yang kemudian diikuti oleh kelompok sektor industri pengolahan, sementara di Sumatera sektor pertambangan dan bahan galian lainnya menjadi primadona. Penelitian Alim (2006) menunjukkan sektor perdagangan, restoran dan hotel memberikan kontribusi PDRB terbesar yaitu 18.35 persen, sama dengan sektor yang memberi kontribusi PDRB terbesar dalam penelitian ini, namun terdapat peningkatan nilai yang cukup signifikan dari 18.35 persen menjadi 22.20 persen. Kondisi ini menunjukkan sektor perdagangan, restoran dan hotel di Jawa-Bali mengalami kemajuan pesat dan semakin menguat dibandingkan tahun sebelumya. Berdasarkan pengelompokan sektor pertanian dan industri pengolahan, kelompok sektor industri (kode 41-45) di Jawa-Bali memberi kontribusi PDRB 30.19 persen, jauh lebih besar dibandingkan kelompoksektor pertanian (kode 37-39) dengan total PDRB 11.23 persen. Hal ini menunjukkan hegemoni Jawa-Bali sebagai basis daerah industri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelompok sektor industri pengolahan jauh lebih kuat dan mendominasi kelompok sektor pertanian. Kelompok sektor jasa (kode 46-52) memberi kontribusi terbesar dengan nilai 57.13 persen, lebih dari separuh PDRB di Jawa-Bali. Struktur perekonomian di Jawa-Bali secara agregat adalah Jasa - Industri - Pertanian - Pertambangan (J-I-P-P) atau berpola Tersier Sekunder Primer (T-S-P).

131 Struktur perekonomian di Sumatera berbeda sedikit dengan Jawa-Bali pada sektor dominan kedua di Sumatera yaitu kelompok sektor pertanian, sementara di Jawa-Bali adalah kelompok sektor industri pengolahan. Kelompok sektor yang paling dominan pada kedua pulau adalah sama yaitu kelompok sektor jasa. 5.2. Distribusi Pendapatan Rumahtangga Distribusi pendapatan menurut golongan rumahtangga di Sumatera dan Jawa-bali paa tahun 2007 dapat diperoleh dari IRSAMJASUM. Kerangka IRSAMJASUM merinci rumahtangga menjadi 6 kelompok yang dibedakan berdasarkan klasifikasi sosial dan ekonomi rumahtangga yaitu: 1. Rumahtangga buruh tani, yaitu rumahtangga yang memperoleh pendapatan utama atau pendapatan kepala rumahtangga dari sektor pertanian berupa upah dan gaji. 2. Rumahtangga pengusaha pertanian, yaitu rumahtangga yang memperoleh pendapatan utama atau pendapatan kepala rumahtangga dari hasil mengusahakan lahan di sektor pertanian. 3. Rumahtangga golongan rendah di desa, yaitu rumahtangga bukan pertanian yang memperoleh pendapatan utama atau pendapatan kepala rumahtangga dari bekerja sebagai pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tata usaha golongan rendah, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan (supir atau angkutan umum), pekerja bebas jasa perseorangan (seperti pembantu rumahtangga), buruh kasar, dan sebagainya serta tinggal di pedesaan. 4. Rumahtangga golongan atas di desa, yaitu rumahtangga yang memperoleh pendapatan utama atau pendapatan kepala rumahtangga dari bekerja sebagai pengusaha bebas golongan atas, manajer, profesional (seperti akuntan, dokter),

132 militer/ dosen/ guru besar, pekerja tatausaha dan penjualan golongan atas serta bertempat tinggal di pedesaan. 5. Rumahtangga golongan rendah di kota, sama dengan rumahtangga no. 3 tetapi bertempat tinggal di perkotaan. 6. Rumahtangga golangan atas di kota, sama dengan rumahtangga no. 4 tetapi bertempat tinggal di perkotaan. Pengelompokkan rumahtangga dimaksudkan untuk analisis distribusi pendapatan antargolongan rumahtangga, pola pendapatan dan pola pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi lokal, domestik, dan impor. Secara umum, pendapatan rumahtangga berasal dari pendapatan faktorial yang meliputi pendapatan tenaga kerja dan kapital, serta pendapatan yang bersumber dari transfer. Pendapatan transfer dapat berasal dari rumahtangga lain, transfer dari perusahaan, pemerintah, rest of Indonesia (RoI) dan rest of the world (RoW). Tabel 9. Disposable Income, Jumlah Penduduk dan Rata-rata Disposable Income per Kapita Wilayah Sumatera Tahun 2007 Golongan rumahtangga Disposable income (Rp. Juta ) Jumlah penduduk (Jiwa) Rata-rata disposable incomeperkapita (Rp. Ribu) 1. Buruh tani 15 721 786.08 3 701 391 4 247.54 2. Pengusaha tani 64 715 706.04 11 863 645 5 454.96 3. Golongan rendah di desa 119 752 338.31 15 539 168 7 706.48 4. Golongan atas di desa 72 974 216.34 5 369 804 13 589.74 5. Golongan rendah di kota 74 728 175.74 7 921 353 9 433.76 6. Golongan atas di kota 51 129 573.55 2 969 342 17 219.16 Total 399 021 796.07 47 364 703 8 424.45 Sumber: IRSAMJASUM 2007 (diolah)

133 Distribusi pendapatan menurut golongan rumahtangga disajikan pada Tabel 8 untuk Sumatera dan Tabel 9 untuk Jawa-Bali. Distribusi pendapatan disajikan dalam bentuk rata-rata pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) perkapita karena pendapatan ini mencerminkan pendapatan yang dapat digunakan rumahtangga untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari rumahtangga bersangkutan seperti kebutuhan komsumsi. Berdasarkan Tabel 9, diketahui bahwa rata-rata disposable income per kapita per tahun penduduk Sumatera tahun 2007 adalah Rp. 8 424.45 ribu. Rincian golongan rumahtangga menurut besarnya rata-rata disposable income per kapita per tahun seperti disajikan dalam bentuk grafik pada gambar 16. Gambar16. Rata-rata Disposable Income per Kapita Sumatera Berdasarkan tabel 10, rata-rata disposable income per kapita pertahun penduduk di pulau Jawa-Bali pada tahun 2007 diperkirakan sebesar Rp 9 609.60 ribu.

134 Tabel 10. Disposable Income, Jumlah Penduduk dan Rata-rata Disposable Income per Kapita Wilayah Jawa-Bali Tahun 2007 Golongan rumahtangga Disposable income (Rp. juta ) Jumlah penduduk (jiwa) Rata-rata disposable income perkapita (Rp. ribu) 1. Buruh tani 83 947 556.03 18 762 724 4 474.17 2. Pengusaha tani 266 432 508.41 40 061 836 6 650.53 3. Golongan rendah di desa 187 991 853.82 19 781 895 9 503.23 4. Golongan atas di desa 95 174 171.04 6 237 651 15 258.02 5. Golongan rendah di kota 366 982 047.55 32 699 440 11 222.88 6. Golongan atas di kota 264 662 948.59 14 115 500 18 749.81 Total 1 265 191 085.43 131 659 046 9 609.60 Sumber: Diolah dari IRSAMJASUM 2007 Apabila disajikan dalam bentuk grafik : Gambar 17. Rata-rata Disposable Income per Kapita Jawa-Bali Salah satu penyebab terjadinya perbedaan/ distribusi pendapatan diantara golongan rumahtangga yang diteliti adalah kepemilikan faktor produksi yang tidak merata, khususnya yang berkaitan dengan dikotomi rumahtangga desa dan kota atau rumahtangga pertanian dan non-pertanian. Rumahtangga kota cenderung memiliki akses pendidikan lebih mudah dibandingkan rumahtangga di desa, selain itu rumahtangga kota juga lebih dekat dengan sumber pendanaan seperti bank.

135 Dari kondisi tersebut dapat dilihat bahwa golongan rumahtangga buruh tani di kedua wilayah merupakan rumahtangga dengan pendapatan disposabel per kapita yang paling rendah dibandingkan dengan golongan rumahtangga lainnya. Rumahtangga golongan atas kota pada kedua wilayah Sumatera dan Jawa-Bali memperoleh disposable income per kapita tertinggi dibandingkan rumahtanggalain. Hal ini disebabkan karena pendapatan golongan rumahtangga buruh tani sebagian besar berasal dari hasil kerja sebagai buruh sektor pertanian dengan gaji upah relatif kecil dibandingkan sektor non-pertanian. Sedangkan rumahtangga golongan atas kota selain memiliki sumber pendapatan yang lebih tinggi, juga memiliki sumber pendapatan yang berasal dari kapital. Sumber pendapatan golongan rumahtangga diketahui dari IRSAMJASUM 2007, dimana rumahtangga menerima pendapatan berasal dari 3 sumber yaitu: 1. Pendapatan berupa upah dan gaji merupakan pendapatan yang diterima rumahtangga sebagai balas jasa karena menyediakan faktor produksi tenaga kerja (termasuk imputasi tenaga kerja yang tidak dibayar, pekerja keluarga, berusaha sendiri dan lain-lain). 2. Pendapatan bukan tenaga kerja (kapital) misalnya sewa rumah merupakan balas jasa dari kapital yang diterima oleh rumahtangga. 3. Pendapatan transfer seperti penerimaan rumahtangga berupa hibah/pemberian, baik yang berasal dari rumahtangga lain, perusahaan, pemerintah, rest of Indonesia dan luar negeri. Total pendapatan dari ketiga sumber tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan rumahtangga. Pola pendapatan menurut kelompok rumahtangga di Sumatera dan Jawa-Bali disajikan dalam bentuk persentase

136 terhadap total pendapatan masing-masing kelompok rumahtangga. Lampiran 10 menunjukkan sumber utama pendapatan rumahtangga Sumatera berasal dari upah dan gaji berkisar 53.96 persen pada buruh tani sampai mencapai 69.01 persen pada rumahtangga golongan rendah kota. Sementara itu rumahtangga golongan atas desa memiliki persentase terbesar pada pendapatan yang bersumber dari kapital yaitu 31.77 persen, berasal dari 29.69 persen dari Sumatera dan 2.08 persen dari Jawa-Bali (Gambar 18). 70 60 56.58 59.95 58.03 56.66 64.05 64.96 50 40 30 20 10 0 33.6 9.82 Buruh Tani 29.4 29.86 10.65 12.11 Pengusaha Tani Gol Rendah Desa 38.33 5 Gol Atas Desa 28.15 7.8 Gol Rendah Kota 31.7 3.34 Gol Atas Kota Upah Gaji Pendapatan Kapital Penerimaan Transfer Gambar 18. Distribusi Pendapatan Rumahtangga Sumatera Tahun 2007 Sumber pendapatan tertinggi yang berasal dari transfer diperoleh rumahtangga buruh taniyaitu 41.73 persen, sebagian besar berasal dari rumahtangga Sumatera 31.6 persen, sisanya dari rumahtangga Jawa-Bali (2.93 persen), perusahaan, pemerintah (5.55 persen), rest of Indonesia dan rest of world. Berdasarkan Lampiran 11diketahui bahwa pendapatan terbesar rumahtangga di Jawa-Bali juga berasal dari upah dan gaji atau balas jasa tenagakerja, hanya nilai persentasenya lebih rendah disbanding pendapatan rumahtangga di Sumatera, yaitu berkisar 56.58 sampai 64.96 persen (Gambar 19).

137 (Persen) 70 60 58.6 65 50 40 30 20 10 0 33.8 32.3 21.2 26.8 25 20.6 17.9 14.2 9.8 10.8 9.1 7.2 4.1 5.3 5.9 5.6 6 7.3 6.3 4.2 2 1 Sumatera Jaw a Bali-NTB-NTT Kalimantan Sulaw esi Maluku Papua Luas Wilayah Penduduk Panjang Jalan Kendaraan Gambar 19. Distribusi Pendapatan Rumahtangga Jawa-Bali Tahun 2007 Persentase terbesar dengan sumber utama pendapatan dari upah dan gaji di Jawa-Bali diperoleh rumahtangga golongan atas di kota. Sedangkan sumber utama pendapatan yang berasal dari balas jasa kapital yang terbesar dibanding rumahtangga lain adalah rumahtangga golongan atas desa sebesar 38.33 persen, dimana 37.45 persen merupakan kompensasi balas jasa kapital yang berasal dari Jawa-Bali dan hanya 0.89 persen dari Sumatera. Sumber pendapatan terbesar yang berasal dari transfer, sama dengan wilayah Sumatera, yaitu rumahtangga buruh tanisebesar 33.60 persen, sebagian besar berasal dari rumahtangga Jawa-Bali 23.44 persen, sisanya berasal dari rumahtangga Sumatera, perusahaan, pemerintah, rest of Indonesia dan luar negeri. 5.3. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran rumahtangga umumnya untuk komsumsi, pembayaran transfer, pembayaran pajak langsung dan tabungan. Komsumsi digunakan untuk barang dan jasa, misalnya sandang, pangan dan papan atau disebut

138 juga sebagai pengeluaran konsumsi akhir. Pembayaran transfer terjadi antara rumahtangga dengan rumahtangga atau institusi lain. Pembayaran transfer antara rumahtangga dengan pemerintah misalnya pengeluaran pajak langsung, yaitu pengeluaran untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor dan sebagainya. Pembayaran transfer antarrumahtangga misalnya pengiriman uang kepada anak atau orangtua yang dipandang berbeda rumahtangga. Pembayaran transfer rumahtangga ke perusahaan misalnya pembayaran premi asuransi kecelakaan atau kerugian. Transfer rumahtangga keluar wilayah (rest of Indonesia) dan luar negeri adalah pengiriman sumbangan atau hibah keluar wilayah atau luar negeri. Tabungan merupakan selisih pendapatan dengan pengeluaran. Lampiran 12 dan 13 menyajikan persentase distribusi pengeluaran rumahtangga secara agregat di Sumatera dan Jawa-Bali tahun 2007. Pengeluaran rumahtangga lebih banyak digunakan untuk konsumsi akhir (rata-rata golongan rumahtangga 76.80 persen di Sumatera dan 71.93 persen di Jawa-Bali). Rata-rata pengeluaran transfer 14.76 persen di Sumatera dan 19.17 persen di Jawa-Bali. (persen) Gambar 20. Distribusi Pengeluaran Rumahtangga Sumatera Tahun 2007

139 Pengeluaran transfer terbesar terjadi antar rumahtangga baik di Sumatera maupun di Jawa-Bali, masing-masing sebesar 5.74 persendan 5.32 persen. Ratarata tabungan rumahtangga Sumatera tahun 2007sekitar 8.44 persen dari total pendapatan, sedangkan di Jawa-Bali sebesar 8.90 persen dengan rumahtangga golongan atas di kota yang paling banyak menabung untuk kedua wilayah. Rumahtangga Sumatera yang membelanjakan pendapatannya untuk konsumsi barang dan jasa dengan porsi terbesar adalah rumahtangga golongan rendah di desa yaitu sebesar 82.95 persen dari total pendapatan rumahtangga tersebut. Gambar 21. Distribusi Pengeluaran Rumahtangga Jawa-Bali Tahun 2007 Sementara itu rumahtangga Jawa-Bali yang memiliki porsi terbesar dari pendapatannya untuk belanja komsumsi barang dan jasa adalah rumahtangga buruh tani dengan persentase yang lebih kecil dari Sumatera, yaitu 79.18 persen. Sebaliknya rumahtangga golongan atas kota baik di Sumatera maupun Jawa-Bali membelanjakan pendapatannya untuk konsumsi akhir paling kecil dibandingkan rumahtangga lainnya, masing-masing 68.22 persen dan 63.36 persen dari total pendapatannya. Rumahtangga berpendapatan tinggi memiliki pengeluaran komsumsi akhir yang relatif rendah namun memiliki tabungan yang lebih besar daripada rumahtangga lain.

VI. ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SEKTOR PRODUKSI 6.1. Analisis Keterkaitan Intra-regional Keterkaitan antar sektor produksi dalam perekonomian dapat ditinjau menggunakan analisis multiplier dalam kerangka IRSAMJASUM tahun 2007. Analisis multiplier IRSAMJASUM dikategorikan dalam dua aspek, yaitu keterkaitan ke belakang (backward linkages) yang disebut daya penyebaran dan keterkaitan ke depan (forward linkages) yang disebut dengan derajat kepekaan atau sensitivitas. Keterkaitan ke belakang menggambarkan besarnya peningkatan seluruh sektor yang terjadi akibat peningkatan sektor tertentu karena meningkatnya permintaan akhir sektor tertentu tersebut, Keterkaitan ke belakang menunjukkan keterkaitan antara sektor yang berada di hilir (downstream sectors) dengan sektor yang di hulu (upstream sectors). Pola pandangnya dari hilir ke hulu dimana sektor yang di hilir sebagai pembeli input yang dihasilkan oleh sektor yang di hulu. Keterkaitan ke belakang akan eksis bila peningkatan produksi sektor-sektor hilir memberikan dampak ekternalitas positif terhadap sektor hulu. Permintaan input terjadi secara berantai sehingga seluruh sektor produksi akan terkena dampak suatu shock pada sektor tertentu. Besarnya dampak yang diterima suatu sektor produksi tertentu dapat dilihat dari koefisien keterkaitan ke belakang. Bila nilai koefisien keterkaitan ke belakang semakin besar, maka keterkaitannya juga semakin besar, demikian sebaliknya. Keterkaitan ke depan menunjukkan derajat kepekaan suatu sektor terhadap permintaan akhir semua sektor-sektor lainnya atau dengan kata lain menunjukkan kenaikan output suatu sektor sebagai respon dari peningkatan permintaan akhir di semua sektor. Keterkaitan antar sektor produksi yang berada di hulu dengan yang

141 berada di hilir dijelaskan dengan keterkaitan ke depan. Pola pandangnya adalah sebagai penjual input dari hulu ke hilir dan koefisien multipliernya menunjukkan kemampuan menjual sektor hulu tersebut bila terjadi kenaikan permintaan akhir pada semua sektor ekonomi. Keterkaitan ke depan akan eksis bila peningkatan produksi sektor hulu memberikan dampak eksternalitas positif pada sektor hilir. Nilai koefisien keterkaitan ke belakang dan kedepan suatu sektor dapat dibandingkan dan memiliki makna tertentu. Apabila nilai keterkaitan ke belakang lebih besar daripada nilai keterkaitan ke depan, maka dapat diartikan bahwa sektor tersebut lebih banyak menyerap output yang diproduksi oleh sektor lain atau lebih bersifat consumer (sektor hilir) dari pada penyedia atau bersifat sebagai provider (sektor hulu) bagi sektor lain. Pada Gambar 22 dibawah, sektor konstruksi jalan dan jembatan di Jawa- Bali memiliki koefisien keterkaitan ke belakang sebesar 2 748 mengandung arti peningkatan permintaan akhir atas produk sektor konstruksi jalan dan jembatan sebesar 1 unit moneter, menyebabkan output semua sektor yang terkait pembangunan konstruksi jalan dan jembatan, seperti industri semen, industri besi baja dan sektor lain meningkat sebesar 2 748 unit moneter. Hal ini dapat terjadi karena peningkataan permintaan akhir sektor konstruksi jalan dan jembatan selain meningkatkan output sektor konstruksi jalan dan jembatan, juga meningkatkan output sektor ekonomi lainnya. Peningkatan sektor ekonomi lainnya terjadi karena peningkatan output sektor konstruksi jalan membutuhkan input dari sektor lainnya sehingga terjadi peningkatan output sektor yang menghasilkan input antara bagi proses (pembangunan) sektor konstruksi jalan dan jembatan tersebut. Karena nilai keterkaitan ke belakang yang lebih besar dari 1, maka sektor ini memiliki daya

142 penyebaran tinggi yang mampu mendorong dan meningkatkan sektor-sektor hulunya melalui mekanisme pasar input. 8 7 6 5 4 3 2 1 0 5.678 7.155 3.1 3.019 3.014 Industri Makanan dan Tembakau Perdagangan, restoran, Hotel 1.879 Peternakan, Perikanan 2.748 1.113 Kontruksi Jalan dan Jembatan Backw ard Forw ard Gambar 22. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Jawa-Bali Tahun 2007. Sektor yang terkena dampak peningkatan output sektor jalan dan jembatan antara lain industri barang dari logam, industri kayu, dan sebagainya. Kemudian peningkatan output sektor industri barang dari logam dan industri barang dari kayu tersebut juga meningkatkan output sektor produksi lain yang menjadi input antara dari sektor tersebut dan seterusnya (proses multiplier). Akhirnya seluruh sektor produksi meningkat sebesar 2 748 unit moneter. Dengan demikian keterkaitan ke belakang menggambarkan hubungan antara kegiatan produksi di hilir (pemakai input) dan kegiatan produksi di hulu (penghasil input). Koefisien keterkaitan ke depan sektor konstruksi jalan dan jembatan di Jawa-Bali sebesar 1 113 mengandung makna peningkatan permintaan akhir disemua sektor produksi sebesar 1 unit moneter, menyebabkan output sektor konstruksi jalan dan jembatan meningkat sebesar 1 113 unit moneter. Keterkaitan ke depan menggambarkan hubungan antara kegiatan produksi yang berada di hulu (penghasil output) dengan sektor produksi yang berada di hilir (pemakai

143 output). Nilai koefisien keterkaitan ke belakang sektor konstruksi jalan dan jembatan di Jawa-Bali, lebih besar daripada keterkaitan ke depan. Koefisien keterkaitan ke depan dan ke belakang di Jawa-Bali menurut sektor produksi ditunjukkan dalam Lampiran 14. Secara keseluruhan sektor industri makanan, minuman dan tembakau mempunyai keterkaitan ke belakang tertinggi di Jawa-Bali, diikuti oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel, sektor peternakan dan perikanan, sektor jasa pemerintahan dan jasa lainnya. Sektor yang mempunyai keterkaitan ke belakang yang terendah adalah sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit. Sektor-sektor yang mempunyai koefisien keterkaitan ke depan yang tinggi di Jawa-Bali adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, diikuti oleh sektor industri makanan, minuman dan tembakau, lalu sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya, dan selanjutnya sektor transportasi dan komunikasi serta sektor bank dan asuransi. Sedangkan sektor kehutanan dan perburuan memiliki koefisien keterkaitan ke depan yang terendah. Dalam perekonomian Jawa-Bali, sebagian besar sektor-sektor produksi berada di hilir karena keterkaitan ke belakang lebih besar dari keterkaitan ke depan, atau lebih banyak sektor-sektor yang menyerap output sektor lain, yang merupakan sektor hulu. Sektor yang berada di hulu adalah sektor pertanian tanaman pangan dan tanaman lainnya, industri makanan, minuman dan tembakau, industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya, industri kimia pupuk, hasil dari tanah liat dan semen, perdagangan, restoran dan hotel, transportasi dan komunikasi dan bank dan asuransi. Sektor yang mempunyai nilai indek backward dan indek forward di atas 1 menunjukkan bahwa sektor tersebut merupakan sektor kunci atau unggulan.

144 Gambar 23 menunjukkan bahwa sektor-sektor yang merupakan sektor kunci pada kwadran 1 adalah sektor tanaman, bahan makanan dan tanaman lainnya, sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor perdagangan, restoran dan hotel, sektor transportasi dan komunikasi. 3,00 Forward Linkages Jawa dan Bali Forward Linkages Jawa & Bali 2,50 2,00 1,50 1,00,50 0,00,80 9 10 4 7,90 15 8 311 1,00 14 12 13 1 16 6 2 1,10 5 1,20 Backward Linkages Jawa & Bali Gambar 23. Scatter Diagram Indek Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Jawa-Bali. Koefisien keterkaitan ke belakang dan ke depan menurut sektor produksi di pulau Sumatera ditunjukkan pada Lampiran 15 dan Gambar 24. Sektor-sektor yang mempunyai koefisien keterkaitan ke belakang atau daya penyebaran dari yang tertinggi adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor industri kayu dan barang dari kayu, serta konstruksi jalan dan jembatan. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut muempunyai daya dorong yang kuat dibandingkan sektor lain. Keterkaitan ke belakang sektor konstruksi jalan dan jembatan di Sumatera cukup tinggi menunjukkan bahwa sektor tersebut mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian. Lampiran 15 diketahui bahwa nilai keterkaitan ke

145 belakang sektor jalan dan jembatan sebesar 2.298, berarti sektor jalan dan jembatan cukup strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. 5 4 3.881 3 2.696 2.605 2.398 2.296 2 1 1.496 1.241 1.113 0 Industri Makanan dan Tembakau Perdagangan, restoran, Hotel Peternakan, Perikanan Kontruksi Jalan dan Jembatan Backw ard Forw ard Gambar 24. Grafik Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Sumatera Sektor perdagangan, hotel dan restoran mempunyai derajat kepekaan atau koefisien keterkaitan ke depan tertinggi di Sumatera, selanjutnya diikuti oleh sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor industri kimia, pupuk, hasil tanah liat dan semen, sektor tanaman bahan makanan dan tanaman lainnya, sektor transportasi dan komunikasi. Sedangkan sektor dengan keterkaitan ke depan terendah adalah sektor konstruksi jalan dan jembatan. Rendahnya nilai keterkaitan ke depan sektor konstruksi jalan dan jembatan mengandung arti bahwa sektor tersebut tidak mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap sektor lain. Apabila dibandingkan koefisien keterkaitan ke depan dengan ke belakang, koefisien keterkaitan ke depan yang lebih besar dari keterkaitan ke belakang di Sumatera adalah sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat, semen, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor transportasi dan komunikasi, sektor bank dan asuransi.

146 Sektor jalan dan jembatan di Jawa-Bali dan Sumatera mempunyai koefisien keterkaitan ke belakang yang relatif tinggi, berarti dengan adanya peningkatan permintaan akhir untuk sektor konstruksi akan mendorong terciptanya output sektor-sektor produksi lainnya. Di Sumatera dampak eksternal positif sektor konstruksi jalan dan jembatan sedikit lebih besar dibanding sektor konstruksi non jalan dan jembatan, sebaliknya di Jawa-Bali eksternalitas positif lebih besar terjadi pada sektor konstruksi non jalan dan jembatan. Berdasarkan keterkaitan ke belakang dan ke depan di Sumatera, sektor yang merupakan sektor kunci adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, serta sektor industri kimia, pupuk, hasil dari tanah liat dan semen (Gambar 25). 2,00 13 1,80 5 Forward Forward Linkages Sumatera 1,60 1,40 1,20 1,00,80,60 4 15 3 14 1 16 2 9 6 8 12 11 7 10,40,70,80,90 1,00 1,10 1,20 1,30 Backward Linkages Sumatera Backward Linkages Sumatera Gambar 25. Scatter Diagram Indek Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan di Sumatera. Perekonomian di Sumatera dan Jawa-Bali bila dilihat dari sisi hulu dan hilir akan relatif sama, sektor-sektor yang berbeda adalah sektor pertambangan dan

147 penggalian, sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya, jasa pemerintahan dan jasa lainnya. 6.2. Analisis Keterkaitan Inter-regional Analisis keterkaitan ke belakang dan ke depan inter-regional antar sektor antar wilayah Sumatera terhadap Jawa-Bali atau antara Jawa-Bali terhadap Sumatera pada dasarnya menggambarkan hubungan sektor sebagai produsen di Sumatera dengan sektor sebagai konsumen di Jawa-Bali atau sebaliknya. Keterkaitan ke belakang Sumatera terhadap Jawa-Bali menggambarkan hubungan antar sektor produksi sebagai pemakai input/ konsumen di Jawa-Bali dengan sektor produksi di Sumatera sebagai penghasil input/ produsen. Bila ada peningkatan permintaan akhir pada sektor produksi tertentu di Jawa-Bali, maka terjadi peningkatan output seluruh sektor produksi di Sumatera. Sebaliknya, keterkaitan ke belakang Jawa-Bali terhadap Sumatera menggambarkan hubungan antar sektor produksi di Sumatera sebagai pengguna input/ konsumen dengan sektor produksi di Jawa-Bali sebagai penghasil input/ produsen. Bila ada peningkatan permintaan akhir sektor tertentu di Sumatera akan meningkatkan output seluruh sektor produksi di Jawa-Bali. Sektor konstruksi jalan dan jembatan Sumatera terhadap Jawa-Bali memiliki koefisien keterkaitan ke belakang 1.0304 bermakna peningkatan permintaan akhir sektor konstruksi jalan dan jembatan di Jawa-Bali 1 unit moneter menyebabkan peningkatan output seluruh sektor di Sumatera sebesar 1.0304 unit moneter. Sebaliknya, keterkaitan ke belakang sektor konstruksi jalan dan jembatan Jawa- Bali terhadap Sumatera sebesar 0.2376, artinya peningkatan permintaan akhir sektor konstruksi jalan dan jembatan di Sumatera sebesar 1 unit moneter memberikan peningkatan output keseluruhan sektor di Jawa-Bali sebesar 0.2376

148 unit moneter. Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa seluruh sektor di Jawa-Bali tidak merespon dengan baik bila ada permintaan akhir sektor jalan dan jembatan di Sumatera, dibandingkan respon Sumatera bila ada permintaan akhir sektor jalan dan jembatan di Jawa-Bali. Dalam arti luas, sektor-sektor produksi di Jawa-Bali hanya sedikit bergantung pada sektor-sektor produksi di Sumatera mengingat wilayah Jawa-Bali sudah mandiri dengan tingkat pertumbuhan yang baik. Keterkaitan ke depan Sumatera terhadap Jawa-Bali menggambarkan bila ada kenaikan seluruh permintaan akhir di Jawa-Bali seberapa jauh sektor tertentu di Sumatera akan merespon untuk meningkatkan outputnya. Begitu pula sebaliknya, dengan koefisien keterkaitan ke depan Jawa-Bali terhadap Sumatera menunjukkan bila meningkatkan seluruh permintaan akhir di Sumatera akan meningkatkan output sektor tertentu di Jawa-Bali. 3 2.768 2 1 0 0.867 0.366 0.432 0.051 Listrik, gas, Air Minum 1.195 0.888 0.989 1.034 0.858 0.241 0.281 0.238 0.029 0.027 Industri Pemintalan, Tekstil Industri Makanan dan Tembakau 0.0123 Konstruksi Jln dan Jembatan Backw ard JB-Sum Forw ard JB-Sum Backw ard Sum-JB Forw ard Sum-JB Gambar 26. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Inter-regional Keterkaitan kedepan sektor jalan dan jembatan Sumatera terhadap Jawa- Bali sebesar 0.0123 (Gambar 26), mengandung makna peningkatan pemintaan akhir seluruh sektor di Jawa-Bali sebesar 1 unit moneter menyebabkan peningkatan output sektor jalan dan jembatan di Sumatera sebesar 0.0123 unit

149 moneter. Sebaliknya keterkaitan ke depan sektor konstruksi jalan dan jembatan di Jawa-Bali terhadap Sumatera sebesar 0.0270 berarti peningkatan permintaan akhir seluruh sektor di Sumatera sebesar 1 unit moneter, menyebabkan peningkatan output sektor konstruksi jalan dan jembatan sebesar 0.0270 unit moneter. Berdasarkan keterkaitan ke belakang inter-regional Sumatera terhadap Jawa-Bali (Lampiran 16), sektor produksi yang memberi peningkatan output tertinggi di Sumatera karena adanya peningkatan permintaan akhir di Jawa-Bali adalah sektor listrik, gas dan air minum (0.43), lalu sektor industri kayu dan barang dari kayu, sektor industri kimia, pupuk dan hasil dari tanah liat dan semen, dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Sebaliknya permintaan sektor industri pemintalan, tekstil, pakaian dan kulit, sektor transportasi dan komunikasi, perdagangan, hotel dan restoran di Sumatera memberi peningkatan output yang tinggi pada seluruh sektor produksi di Jawa-Bali. Sektor dengan keterkaitan ke depan tertinggi di Sumatera terhadap Jawa- Bali adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, diikuti sektor pertambangan dan penggalian lainnya, serta sektor pertanian bahan makanan dan tanaman lainnya. Sedangkan keterkaitan kedepan Jawa-Bali terhadap Sumatera yang tertinggi adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta diikuti sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan industri lainnya.

150 Forward Forward Linkages Jawa&Bali_Sumatera dan 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00,50 0,00,50 4,60,70 3,80 8 9 15 10,90 5 2 7 1,00 12 11 1 16 1,10 13 14 6 1,20 1,30 Backward Linkages Jawa dan Bali_Sumatera Backward Linkages Jawa&Bali_Sumatera Gambar 27. Scatter Diagram Indek Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Inter-regional Jawa Bali Sumatera Peninjauan dari sisi keterkaitan ke belakang dan ke depan untuk sektor konstruksi, baik sektor konstruksi jalan dan jembatan maupun sektor konstruksi non jalan dan jembatan di Jawa-Bali terhadap Sumatera lebih tinggi dibanding di Sumatera terhadap Jawa-Bali. Hal ini menunjukkan bahwa pemintaan konstruksi di Sumatera memberikan dampak eksternal positif yang lebih tinggi ke Jawa-Bali dibandingkan dampak pemintaan sektor konstruksi di Jawa-Bali yang memberikan dampak eksternalitas positf yang lebih rendah ke Sumatera. Dilihat dari sisi keterkaitan ke belakang pada seluruh sektor produksi, koefisien keterkaitan ke belakang Jawa-Bali terhadap Sumatera lebih tinggi dari pada koefisien keterkaitan ke belakang Sumatera terhadap Jawa-Bali. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan input antara yang berasal dari Jawa-Bali untuk digunakan di Sumatera lebih tinggi dibanding tingkat kebutuhan input antara yang berasal dari Sumatera untuk digunakan di Jawa-Bali. Dengan

151 demikian, maka analisis keterkaitan inter-regional menunjukkan bahwa dampak eksternalitas positif atau spill-over effect dari Sumatera ke Jawa-Bali lebih tinggi dibandingkan dampak eksternalitas positif dari Jawa-Bali ke Sumatera. Forward Forward Linkages Linkages Sumatera_Jawa&Bali dan Bali 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00,50 0,00,60 4 15 3,80 5 1 13 14 2 16 8 11 6 12 1,00 9 1,20 1,40 7 10 1,60 Backward Linkages Sumatera_Jawa dan Bali Backward Linkages Sumatera_Jawa&Bali Gambar 28. Scatter Diagram Indek Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Inter-regional di Sumatera- Jawa Bali. Perdagangan inter-regional Sumatera dengan Jawa-Bali menunjukkan, sektor-sektor yang dibutuhkan Sumatera yang berasal dari Jawa-Bali merupakan sektor-sektor kunci di Jawa-Bali. Sektor yang mempunyai indek backward dan keterkaitan ke depan yang tinggi adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor perdagangan, hotel dan restoran, lalu sektor transportasi dan komunikasi, sektor tanaman bahan makanan dan tanaman lainnya.berdasarkan indek keterkaitan ke belakang dan ke depan inter-regional Sumatera dan Jawa- Bali, sektor-sektor kunci yang berasal dari Sumatera, yang dibutuhkan oleh Jawa- Bali adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, industri kimia, pupuk, hasil tanah liat dan semen, sektor perdagangan, hotel dan restoran.