penangkapan, maka jumlah ketersediaan udang akan semakin menurun pada musim Pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh dapat berupa udang muda atau

dokumen-dokumen yang mirip
ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Asahan secara geografis terletak pada ,2 LU dan ,4

TINJAUAN PUSTAKA. Udang putih berdasarkan klasifikasinya termasuk ke dalam Kingdom

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

EVALUASI LUASAN KAWASAN MANGROVE UNTUK MENDUKUNG PERIKANAN UDANG DI KABUPATEN CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

POTENSI UDANG DOGOL (Metapenaeus ensis) DI KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH. Abstrak

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Kelong (Penaeus indicus)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

MENGGALI SUMBERDAYA GENETIK UDANG JERBUNG (Fenneropenaeus merguiensis de Man) SEBAGAI KANDIDAT UDANG BUDIDAYA DI INDONESIA

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

KERANGKA PENDEKATAN TEORI

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keras. Ilmu yang mempelajari tentang crustacean adalah karsinologi (Demarjati et al.,

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Delta Mahakam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai anggota dari golongan krustasea, semua badan udang dan kepiting terdiri dari

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke. Sub Ordo : Matantia. Famili: Penaedae.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KELOMPOK SASARAN. 1. Nelayan-nelayan yang telah mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam pengoperasian jaring trammel.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DISTRIBUSI DAN RUAYA UDANG JARI (Metapenaeus elegans de Man 1907) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN CILACAP JAWA TENGAH

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.15/MEN/2002 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG ROSTRIS SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

Upaya, Laju Tangkap, dan Analisis... Sungai Banyuasin, Sumatera Selatan (Rupawan dan Emmy Dharyati)

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

Oleh. Firmansyah Gusasi

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

Dr. Ir. Suradi Wijaya Saputra, M.S. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan Universitas Diponegoro

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPOSISI, ASPEK BIOLOGI DAN KEPADATAN STOK IKAN PARI DI LAUT ARAFURA

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

ABSTRAK IDENTIFIKASI DAN KERAPATAN UDANG DI BAWAH TUMBUHAN NIPAH KAWASAN MANGROVE DESA SWARANGAN KECAMATAN JORONG KABUPATEN TANAH LAUT.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family,

SEBARAN FREKUENSI PANJANG UDANG BANANA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

ANALISIS STOK UDANG PENAEID DI PERAIRAN PANTAI SELATAN KEBUMEN JAWA TENGAH

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok

2.2. Struktur Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

Transkripsi:

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Sumberdaya Udang Pemanfaatan sumberdaya udang yang dilakukan oleh nelayan merupakan salah satu aktifitas yang berpengaruh terhadap perkembangan udang, terutama yang tumbuh di daerah mangrove. Pengaruh penangkapan udang terjadi apabila semakin besar laju penangkapan, maka jumlah ketersediaan udang akan semakin menurun pada musim berikutnya. Pada umumnya hasil tangkapan yang diperoleh dapat berupa udang muda atau masih berukuran kecil (juvenilljuwana) dalam jumlah banyak. Kecenderungan yang terjadi apabila laju penangkapan semakin meningkat, maka jumlah hasil tangkapan udang semakin menurun dengan kondisi regenerasi yang sama. Bahkan dapat berakibat fatal, yaitu terjadi kepunahan sumberdaya udang pada daerah tersebut. Hubungan antara upaya penangkapan udang dan jumlah hasil tangkap akan membentuk kurva, dimana titik maksimum dengan nilai Fmax yang berarti biologi adalah sebuah titik puncaknya. Setelah mencapai titik puncak, dimana terjadi keseimbangan antara jumlah tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) secara alami akan mengalami penurunan atau tidak mengalami kestabilan sepanjang titik F,,,. Kondisi demikian dapat dilihat pada kurva hasil tangkap - upaya (Gambar 2). Clark dalam Adrianto (1 992) menyatakan, dengan adanya peningkatan jumlah upaya penangkapan hingga melebihi titik Maksimum Susteinable yield (MSY), maka pertambahan hasil tangkap akan bernilai negatif hingga mencapai titik no1 pada saat hasil tangkapan sama dengan daya dukung perairan tersebut. Kondisi semacam ini yang

dinamakan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih secara biologi (biological overfishing). Gambar 2. Kurva hubungan hasil tangkapan dan upaya penangkapan (Sparre and Venema, 1998). 2.2. Udang Penaeid Udang penaeid yang berada di Indonesia dikelompokan dalam tiga kategori disamping udang barong dan udang lainnya. Ketiga kelompok tersebut adalah udang windu atau giant tiger prawn (Penaeus monodon dan Penaeus semiculatus), udang putih atau banana prawn (Penaeus merguensis de Man dan Penaeus indicus) dan udang dogol atau metapenaeus shrimp (Metapenaeus spp.). Selanjutnya dari seluruh hasil tangkapan udang, maka yang mendominasi hasil tangkapan udang di lndonesia terdiri dari berbagai jenis spesies, yaitu Penaeus rnerguensis de Man, Penaeus monodon, Penaeus semiculatus, Metapenaeus afinis, Mefapenaeus brevicornis dan Mefapenaeus ensis (Nurfirman, 1992). Udang penaeid memiliki ciri khas yaitu kaki jalan pertama-kedua-ketiga mempunyai capit, dan kulit chitin (pleura) pada segmen perut yang pertama tidak tertindih oleh kulit chitin pada degmen perut berikutnya. Secara umum siklus hidup udang penaeid, terbagi atas 3 kelompok, yaitu (1) keseiuruhan hidupnya di muara sungai, seperti

rbierapenaeus bannettae, dan M. insoliius, (2) keseluruhan hidupnya dl lautan, seperti Parapenaeus, Hymenopenaeus, Gennades, Aristaeomorpha, dan Funchalia, (3) keseluruhan hidupnya terdiri dari 2 (dua) fase, yaitu fase lautan dan fase muara sungai, seperti udang penaeus (Kirkegaard, 1973 dalam Asbar, 1994). Murtidjo (1989), menggambarkan morfologi udang penaeid, dimana bagian abdomen atau separuh tubuh yang memiliki ekor, dapat dilihat adanya kaki renang (pleopoda), dan pada kaki keenam akan mengalami perubahan bentuk menjadi sirip ekor (uropoda), serta ujung ruas membentuk ujung ekor (telson). Selain itu dibawah pangkal ujung ekor terdapat anus untuk ekskresi kotoran. Menurut Grey ef.al. (1983), udang jerbung memiliki tubuh berwarna putih kekuning-kuningan atau transparan dan memiliki kulit tipis serta tembus cahaya. Rostrum berbentuk memanjang, langsing dan hampir berbentuk segi tiga. Pada pasangan sungut pendek (antennule) terdapat ban-ban berwarna merah kecoklatan dan memiliki bintik-bintik coklat dan hijau pada ujung ekornya (Gambar 3). Disamping itu terdapat kaki jalan dan kaki renang udang jerbung berwarna kekuningan dan terkadang berwarna kemerahan. Sirip ekor (uropod) yang berwarna merah kecoklatan dengan ujung kuning kemerahan atau terkadang sedikit kebiruan. Udang jerbung dapat mencapai panjang total hingga 24 cm (Naarnin, 1977). 2.3. Ekologi dan Daur Hidup Udang Udang penaeid di lndonesia terdapat 42 jenis, jenis-jenis yang termasuk ke dalam genera Penaeus dan Metapenaeus merupakan jenis-jenis utama yang menunjang perikanan udang lndonesia (Naamin, 1984). Menurut Badrudin dan Barus (1991),

penyebaran udang laut (Penaeus spp. dan Metapenaeus spp.) banyak ditemukan hampir disepanjang pantai landai dan dipengaruhi oleh adanya aliran sungai. Pada Tabel 1. diperlihatkan habitat dari beberapa udang penaeid yang bernilai ekonomis tinggi yang terdapat di Indonesia (Holthuis (1980), Unar (1977), Naamin (1975) dalam Nurfirman (1992)). Udang penaeid umumnya hidup di dasar perairan, dengan dasar lumpur, berpasir atau lumpur berpasir. Hal ini terkait dengan kebiasaan makan penaeid yang makanannya terdiri dari detritus dan binatang-binatang yang terdapat didasar. Seperti contoh Udang Jerbung hidup didasar berlumpur pada kedalaman 10-45 meter. Secara umum udang penaeid mencari makan pada dasar perairan, yaitu sebagai detritus dan binatang-binatang yang terdapat di dasar. Dasar perairan yang sesuai bagi udang penaeid berupa lumpur, berpasir dan lumpur berpasir. Tabel 1. Habitat Udang Penaeid Spesies - Udang Putih (Penaeus merguensis de Man) Udang Windu (Penaeus monodon) Udang Putih (Penaeus indicus) Udang Windul Udang Kembang Penaeus semiculatus Metapenaeus afinis M. brevicornis Habitat Dasar berlumpur, di muara sungai, estuari, dan hut, kedalaman 10-45 m. Perairan pantai berlumpur atau berpasir, ditambak-tambak dan muara sungai kedalaman 0-110 m Perairan dengan dasar lunak (lumpur atau lumpur berpasir), daerah yang banyak menerima aliran sungai besar; kedalaman 2-90 m Perairan dengan dasar berlumpur atau berpasir Kedalaman 2-1 30 m Dasar berlumpur; kedalaman 5-92 m Estuari dan laut; kedalaman 0-30 m I Ukuran Maksimum i 4 24 cm I 24 cm 270 gr 22 cm (bentina) 8 cm (Jantan) 23 cm (betina) 18 cm (jantan) 22 cm (umumn~a 17 cm) 10 cm (betina) 8 cm (jantan) I

- - - - -- -- -- - - Spesies -- - -- - Habitat Ukuran Maksimum M. ensis Estuari dan laut dengan dasar lumpur berpasir 16 (betina) I M monoceros I Tambak-tambak; 0-64 m Perairan dasar lumpur, berpasir, tambak-tambak; kedalaman 1-60 m; umumnya 10-30 m ' Parapenaeosis sp. I Muara sungai dan saluran tambak Sumber : Nurfirman dalam Lindawaty (1994) 13 cm (jantan) 19 cm (betina) 15 cm (jantan) I Josoef dalam Aziz eta/. (2001), menerangkan bahwa Panaeus merguensis dan P, indicus mempunyai daya penyesuaian yang besar terhadap semua tipe dasar perairan, tetapi lebih menyukai dasar perairan lempung liat. P. monodon lebih menyukai tekstur dasar perairan lempung berdebu (lumpur pasir). Udang Windu lebih menyukasi perairan yang terlindung dari musim barat, seperti teluk Lampung dan perairan selatan jawa khususnya di pantai Pangandaran-Cilacap. Umumnya juvenile udang atau juwana terutama Penaeus Monodon berada di wilayah perairan estuaria yang dipengaruhi oleh air sungai yang telah dewasa berada pada perairan dalam (Grey ef. a1.,1983). Udang penaeid bersifat bentik yang hidup pada permukaan dasar perairan laut. Habitat yang disukai adalah dasar laut yang lunak, biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir (Unar dalam Dahuri, 1984). Menurut Lindawaty (1994), udang penaeid umumnya hidup didasar berlumpur, berpasir, atau lumpur berpasir. Hal ini berhubungan erat dengan makanan dan cara makan dari udang. Makanan udang terdiri dari detritus dan binatang-binatang yang terdapat di dasar perairan Menurut Aziz et. al. (2001), beberapa jenis udang melakukan aktivitas makannya siang dan malam dan jarang membenamkan diri dalam substar seperti udang jerbung dan udang lainnya (udang dogol) lebih senang keluar dari substrat pada malam hari. Udang

jerbung meencari makan di atas atau dalam sedimen di dasar perairan, yaitu berupa detritus, organisme demersal kecil dan bagian dari tumbuhan air. Selanjutnya untuk jenis udang seperti Penaeus esculatus, P. merguensis, P. plebejus dan Metapenaeus spp. terdiri dari sisa-sisa hewan kecil dan sebagian besar material yang tidak dikenal dari makanan mikroorganisme (bakteri, ganggang dan mikrofauna) yang tumbuh di permukaan substrat. Perairan berbentuk teluk dengan aliran sungai cukup besar dan bervegetasi mangrove merupakan daerah udang penaeid yang baik (Kirkegraad dalam Naamin, 1984). Daerah Selatan Jawa yang memiliki bentuk teluk, salah satunya adalah kawasan Segara Anakan, dengan potensi pengaliran air sungai dari beberapa lokasi berbeda yang cukup besar memberikan masukan air tawar dan hutan mangrove yang cukup luas, sehingga perairan ini dapat memenuhi kesuburannya sebagai daerah berkembangnya udang. Beberapa wilayah di Indonesia memiliki beberapa daerah udalig yang baik, seperti pantai barat sumatera (Meulaboh, Sibolga, dan Air Bangis); pantai timur sumatera mulai dari langsa di sebelah utara sampai teluk lampung di sebelah selatan; sepanjang pantai utara jawa; pantai selatan jawa (Pangandaran, Cilacap, selatan Yogya, Pacitan, Nusa Barung, dan Grajagan); perairan Kalimantan (Barat, Tengah, Selatan, dan Timur); Sulawesi (Teluk Bone dan Selat Makasar); dan perairan Maluku-lrian Jaya (Laut Arafuru dan sekitarnya) (Naamin, 1984). Berdasarkan berbagai hasil penelitian oleh para pakar udang di dunia yang dirangkum oleh Naamin (1984), bahwa selain keadaan dasar laut dan aliran air sungai beberapa parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan perikanan udang penaeid adalah suhu, salinitas, oksigen, sedimentasi, curah hujan, kekeruhan, arus dan pasang surut air, fase bulan, keadaan hari (siang atau malam), unsur hara, dan

keadaan hutan mangrove. Menurut Gunarso (1985), keadaan perairan serta perubahan akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Selanjutnya faktor musim dan perubahan suhu tahunan akan mempengaruhi penyebaran dan kelimpahan suatu jenis ikan, karena terjadi pula perubahan kelimpahan makanan. Kehidupan udang penaeid di alam secara garis besar meliputi dua fase, yaitu fase lautan dan fase muara sungai (Toro dan Soegiarto, 1979). Menurut Gracia dan Le Reste dalam Aziz ef.al, (2001) mengungkapkan bahwa secara ekosistem, penyebaran udang dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah muara sungai atau estuaria (sebagai spawning ground) dan daerah lepas pantai pada stadia dewasa. Udang penaeid secara fisiologis juga, mengalami perubahan kapasitas dengan kenyataan hidup yang harus dijalani, yaitu bermigrasi dari satu kondisi lingkungan menuju kondisi lingkungan lainnya. Daur hidup kelompok udang ini dimulai dari induk udang betina yang memijahkan telurnya di daerah laut terbuka. Selanjutnya kira-kira setelah 24 jam, telur menetas menjadi larva tingkat pertama yang dinamakan nauptilus bersifat planktonis. Nauplius ini bergerak mengikuti arus kearah pantai atau muara sungai. Menurut Aziz ef. al. (2001), telur penaeid menetas setelah 24 jam dan menjadi larva (nauplius), selanjutnya mengalami delapan kali pergantian kulit (molting) dan berubah menjadi profozoea. Protozoea berubah menjadi mysis setelah tiga kali ganti kulit, dimana pada masa ini bersifat planktonis. Mysis akan menjadi pascalarva setelah berganti kulit sebanyak tiga kali. Matosudarmo dan Ranamihardjo (1983) menjelaskan, stadia nauplius berlangsung sekitar 35 jam pada Penaeus japanicus dan 46 jam untuk Penaeus monodon. Setelah mengalami molting atau pergantian kulit selama enam kali nauptilus berubah menjadi mysis selama 3-6 hari (De Los Santos dalam Asbar, 1994). Mysis berubah menjadi pasca

(PL) setelan tiga kali berganti kulit. Umumnya pada pasca larva memiliki pleopoda berambut (satae) untuk berenang dan merupakan stadia yang sudah mencapai daerah asuhan (nursery ground) di perairan pantai, serta mulai menuju ke dasar perairan. Pascalarva merupakan tingkat yang sudah mencapai daerah asuhan di dasar perairan, dirnana pada masa ini secara bertahap berubah menjadi yuwana setelah mengalami bebrapa kali pergantian kulit. Yuwana mencari makan dan tumbuh di daerah asuhan selama tiga sampai empat bulan, kemudian akan mulai beruaya kearah laut seiring dengan kematangan gonad. Udang akan matang gonad dan memijah di laut. Setelah matang gonad udang melepaskan telurnya ke laut untuk segera dibuahi sedangkan jenis udang lain umurnnya menyimpan telurnya samapi menetas menjadi larva. Fase kematangan gonad mengalami lima tahapan, yaitu belum berkembang (kondisi kantung telur), proses berkembang, hampir matang, matang, dan salin. Fekunditas diperkirakan antara 30.000-180.000 telur (Aziz et.al., 2001) Menurut lmai (1977), berpindahnya udang dari daerah asuhan menuju laut terjadi pada saat udang sudah matang gonad. Pada dearah laut terbuka udang penaeus menjadi dewasa kelamin dan melakukan pemijahan. Secara umum gambaran siklus udang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 2. Anatomi Udang Penaeidae (Grey et. Al. 1983) Gambar 3. Siklus Udang Penaeidae (Munro, 1986)

2.4. Kondisi Perairan Perairan kelurahan Karanganyar termasuk daerah Segara Anakan bagian barat. Kawasan ~ni merupakan perairan estuaria yang dinamik, sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan memiliki suplai air tawar dari beberapa sungai. Sungai yang berakhir di kawasan Segara Anakan antar lain: sungai Citanduy dan Cibeureum, dimana kedua aliran sungai ini berpotensi membawa partikel sedimen. Sehingga pengaruh keduanya terhadap perairan cukup besar, salah satunya dapat mengakibatkan pendangkalan pada daerah akhir atau kawasan Segara Anakan. Perubahan kualitas perairan di kawasan ini sangat cepat. Komponen yang dapat mempengaruhi kualitas perairan antara lain: a) Pasang Surut Pengaruh masuknya air laut dari laut lepas menyebabkan berfluktuasinya nilai kualitas air. Menurut Purba et. a1 dalam Matsuyama et. a/. (1994), Pergerakan air di kawasana Segara Anakan dipengaruhi oleh pasang surut yang berasal dari dua sumber yaitu, bagian barat dan timur estuaria. Fluktuasi permukaan air laut mengalami dua kali pasang (M2) atau semidiurnal mencapai 0,5 m di luar estuari. Menurut Defant, Pasang surut di sepanjang pantai selatan Jawa dominan bersifat semidiurnal, dimana terjadi dua kali pasang (M2) yang berlangsung kontinyu (Matsuyama et. al., 1994). Selanjutnya Matsuyama ef. a/. (1994) mengungkapkan maksimum kecepatan berasal dari pintu barat Segara Anakan dan berkisar 1,5 meterldetik. Pengaruh pasang ini mencapai majingklak dan kelurahan klaces, dimana pengaruh pasang melemah pada sekitar mulut sungai Cibereum dan Cikonde yang ber!angsung selama 3 jam.

Pada kondisi pasang umumnya nelayan apong tidak melakukan pemasangan apong, akan tetapi melakukan persiapan hingga terjadi surut. b) Suhu Adanya perubahan pasang surut dapat berpengaruh terhadap suhu perairan. Pengaruh langsung dari suhu terhadap kehidupan di perairan adalah fotosintesa tumbuhan air dan proses fisologi hewan, meliputi metabolisme dan siklus reproduksinya. c) ph dan Salinitas Nilai ph dan salinitas pada perairan Segara Anakan mengalami fluktuasi, dan sangat tergantung besar kecilnya pengaruh pasang surut dan suplai air yang berasal dari sungai di sekitar perairan. Menurut hasil penelitian Taurusman (1999), nilai ph di muara sungai Citanduy pada waktu kemarau sebesar 6,70 dan salinitas 0, sedangkan pada musim hujan nilai ph sebesar 7.33 dan salinitas 0,5 %o. Pada daerah tengah laguna pada musim kemarau nilai ph mencapai 7,11 dengan salinitas 3,O %o, sedangkan pada musim hujan nilai ph sebesar 7.48 dan salinitas 4,O %o. Sehingga pengaruhnya terhadap keberadaan sumberdaya sangat menentukan. 2.5. Aktivitas Penangkapan Alat Apong Alat tangkap yang beroperasi di sekitar Segara Anakan terdiri dari berbagai jenis diantaranya; jaring lempar, wadong, widei, jaring nilon, dan apong. Lokasi penangkapan udang dengan alat tangkap tersebut bervariasi, dan sangat tergantung dengan kedalaman dan sifat alam seperti pasang surut air. Alat jaring dioperasikan pada saat air mulai surut disekitar mangrove, dimana udang yang berada di hutan mangrove keluar untuk mencari makanan. Wadong dan jaring nilon memiliki waktu beroperasi yang hampir sama, akan tetapi alat tersebut merupakan jebakan bagi kepiting yang keluar saat air pasang.

Sedangkan alat tangkap apong yang beroperasi di kawasan Segara Anakan memiliki jumlah alat yang dominan. Jumlah alat tangkap apong yang beroperasi di Segara Anakan semakin meningkat dan daerah operasi penangkapannya selalu tetap. Setiap satu alat apong memiliki tiang yang diberi tanda untuk membedakan dengan milik nelayan lainnya. Tiang tanda pada daerah operasi penangkapan apong biasanya dimiliki secara turun temurun, sehingga kepemilikan tanda ini tidak dapat diganggu oleh nelayan lain. 2.6. Konstruksi Alat Tangkap Apong Alat tangkap apong sejak lama diperkenalkan nelayan dengan menjanjikan hasil tangkapan yang besar. Alat ini memiliki bentuk yang sama dengan jaring trawl, yaitu bentuk kantong yang menggunakan ukuran mata jaring besar pada mulut kantong dan semakin menuju kantong akan semakin mengecil hingga mirip berbentuk kantong besar. Ukuran alat ini bervariasi, karena tergantung dengan kedalaman lokasi penangkapan. Ukuran alat yang kecil dikenal dengan nama kisril, sedangkan yang besar disebut sebagai apong. Alat tangkap apong yang dioperasikan nelayan terdiri dari 2 (dua) ukuran, yaitu berukuran besar (apong) dan kecil (kisril). Ukuran besar memiliki bentuk bukaan mulut hingga mencapai 15 meter, sedangkan ukuran kecil hanya mencapai 5 meter (Gambar 5). Apong termasuk alat tangkap yang menetap yang dipasang pada kedalaman 3-5 m. Konstruksi alat tangkap ini terdiri dari sepasang sayap dan kantong. Alat tangkap ini diikatkan pada tiang kayu yang dipasang pada dasar perairan. Pemasangan jaring dilakukan selama seminggu dan diambil hasil tangkapannya setiap hari. Hasil tangkapan udang dan ikan demersal merupakan hasil terbanyak (Takashima, F. dan Suwardi K., 1994)

Apong dipasang pada saat air pasang hingga air surut, dimana saat air surut udang yang melakukan ruaya ke laut akan terperangkap di dalam jaring yang berbentuk kantung. Jenis ikan yang diperoleh dari penangkapan apong ini sangat banyak jenisnya, disamping udang kecil dan ikan yang melakukan ruaya menuju wilayah Segara Anakan. Penggunaan alat tangkap apong sangat tergantung dengan keadaan pasang surut perairan dan musim. Penghitungan kondisi pasang surut menentukan keberhasilan operasi penangkapan yang pada umumnya dihitung sesuai dengan keberadaan bulan. Pengaruh musim ikan akan menentukan jumlah dominan udang atau ikan tertentu pada hasil tangkapan yang diperoleh. Gambar 5. Alat Tangkap Apong 2.7. Daerah Penangkapan Alat Tangkap Apong Alat tangkap apong yang beroperasi di sekitar Segara Anakan pada umumnya berada pada aeral yang terpengaruh langsung dengan pasang surut perairan. Disamping

itu adanya tingkah laku ikan yang selalu mengikuti perubahan pasang surut dan umumnya melintas pada pinggir perairan, sehingga pemasangan alat dilakukan pada pinggir perairan, namun ditemukan banyak sekali alat yang dipasang ditengah perairan dan mengganggu aktifitas transportasi air di Segara Anakan.