ANALISIS LIFE CYCLE COST PENGEMBANGAN POTENSI PARIWISATA PADA CONCEPTUAL DESIGN PROYEK JEMBATAN SELAT SUNDA DENGAN PENDEKATAN VALUE ENGINEERING

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS FINANSIAL PADA INVESTASI JALAN TOL CIKAMPEK-PADALARANG

IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. AsiA Day Madiun-Malang, penelitian menggunakan metode-metode penilaian

BAB I PENDAHULUAN. Bandung ibu kota Jawa Barat terkenal dengan banyaknya objek wisata yang dikunjungi oleh

ALTERNATIF PENGADAAN BATU PECAH DI KABUPATEN KAPUAS DITINJAU DARI ASPEK FINANSIAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini penulis menjelaskan tinjauan teori-teori yang terkait yang

Analisis Ekonomi Proyek Jalan Tol Penajam Samarinda

BAB I PENDAHULUAN. Pekanbaru mempunyai Pelabuhan Pelita Pantai, Pelabuhan Laut Sungai Duku dan

TINJAUAN KELAYAKAN PROYEK DENGAN MENGGUNAKAN NET PRESENT VALUE METHOD DAN INTERNAL RATE OF RETURN METHOD

PEMASARAN PRODUK INDUSTRI KONSTRUKSI PRACETAK PRATEGANG

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL PEMBANGUNAN JALAN TOL GEMPOL-PANDAAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISA EKONOMI PROYEK PADA PEMBANGUNAN PALANGKA RAYA MALL. Rida Respati Program Studi Teknik Sipil UM Palangka Raya ABSTRAK

DAN ANALISIS TEKNO EKONOMI

ANALISA MANFAAT BIAYA PROYEK PEMBANGUNAN TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) BUNDER DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NEW YOGYAKARTA INTERNATIONAL AIRPORT (NYIA)

Analisa Biaya Manfaat Penerapan Power Management System Pada PT Petrokimia Gresik. Awang Djohan Bachtiar

BAB I PENDAHULUAN. Jaringan jalan sebagai bagian dari sektor transportasi memiliki peran untuk

Menunggu Jalur Lintas Selatan Pulau Jawa Menjadi Kenyataan

RANGKUMAN BAB 23 EVALUASI EKONOMI DARI PENGELUARAN MODAL (Akuntansi Biaya edisi 13 Buku 2, Karangan Carter dan Usry)

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Sekitar 4,7 juta pembaca majalah Time yang terbit di Amerika Serikat

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Obyek penelitian berupa proyek pembangunan apartemen Grand Taman

STUDI KELAYAKAN JALAN ALTERNATIF SIRING LAUT PERTAMINA KOTA BARU KALIMANTAN SELATAN

PERBANDINGAN BIAYA MANFAAT PEMBANGUNAN GEDUNG PERTEMUAN UMUM KUALA KAPUAS KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. baik agar penambangan yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian baik. dari segi materi maupun waktu. Maka dari itu, dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. ini tentu akan meningkatkan resiko dari industri pertambangan.

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia usaha yang semakin berkembang saat ini, di mana ditunjukkan

BAB 2 LANDASAN TEORI

I.PENDAHULUAN. Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi

PENINGKATAN NILAI TAMBAH PROYEK INFRASTRUKTUR MELALUI PENDEKATAN VALUE ENGINEERING (Studi Kasus : Jembatan Selat Sunda)

KELAYAKAN FINANSIAL PENGEMBANGAN TERMINAL PENUMPANG BANDAR UDARA INTERNASIONAL HUSEIN SASTRANEGARA

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EVALUASI INVESTASI ANGKUTAN KOTA TRAYEK ST HALL - SARIJADI

ABSTRAK. Universitas Kristen Marantha. Kata Kunci: Capital Budgeting, Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return.

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

= Jumlah stasiun kerja. 4. Keseimbangan Waktu Senggang (Balance Delay) Balance delay merupakan ukuran dari ketidakefisienan

Aspek Ekonomi dan Keuangan. Pertemuan 11

REKAYASA NILAI VALUE ENGINEERING

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

EVALUASI PERUBAHAN SEGMEN JALUR KERETA API BANGIL- SURABAYA SEBAGAI DAMPAK LUAPAN LUMPUR DI PORONG. Rofi Budi Hamduwibawa ( )

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor usaha di Indonesia beberapa tahun terakhir

Analisis Kelayakan Proyek. Muhammad Taqiyyuddin Alawiy, ST., MT Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang

EVALUASI KELAYAKAN PROYEK PEMBANGUNAN GARUDA WISNU KENCANA DI KABUPATEN BADUNG BALI

ANALISA PILIHAN INVESTASI ANTARA APARTEMEN DAN LANDED HOUSE UNTUK KAWASAN MILIK PT. X DI SIDOARJO

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB V HASIL ANALISA. dan keekonomian. Analisis ini dilakukan untuk 10 (sepuluh) tahun. batubara merupakan faktor lain yang juga menunjang.

PERBANDINGAN BERBAGAI ALTERNATIF INVESTASI

SIDANG TUGAS AKHIR ANALISIS ELAYAKAN USAHA MAKANAN TRADISIONAL PEPES

ALTERNATIF INVESTASI BERDASARKAN RATE OF RETURN PADA LAHAN EX-BIOSKOP PANALA KOTA PALANGKARAYA

Pengambilan Keputusan Investasi dengan menggunakan Metode Life Cycle Cost Anaysis

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

TUGAS PASAR MODAL DAN MANAJEMEN KEUANGAN PENGANGGARAN MODAL

Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ABSTRACT. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Selain sektor penggerak ekonomi yang lain, sektor pariwisata telah

III. METODE PENELITIAN. Studi ini dilakukan dengan mengumpulkan literatur, baik berupa buku-buku

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta

Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

STRUKTUR HARGA PLTMH. Gery Baldi, Hasan Maksum, Charles Lambok, Hari Soekarno

IV. METODE PENELITIAN

ANALISA KELAYAKAN INVESTASI PROYEK PEMBANGUNAN PERUMAHAN BERLIAN KUOK SEJAHTERA

BAB I PENDAHULUAN. Industri minyak dan gas bumi merupakan salah satu sektor penting dalam

PENGGUNAAN TERTINGGI DAN TERBAIK PADA BANGUNAN DI KORIDOR JL. BASUKI RACHMAT KAYUTANGAN MALANG

EXECUTIVE SUMMARY STUDI KELAYAKAN TERMINAL TERPADU INTERMODA DAN ANTARMODA DI KETAPANG BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di D.I. Yogyakarta pada

layak atau tidak maka digunakan beberapa metode dengan harapan mendapatkan

BAB III LANDASAN TEORI

BAB V ANALISA DATA. Tabel 5.1. Hasil Survei Harga Jual Ruko sekitar Kedoya

STUDI KELAYAKAN INVESTASI PERUMAHAN GREEN SEMANGGI MANGROVE SURABAYA DITINJAU DARI ASPEK FINANSIAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Menurut Surakhmad, (1994: ), metode deskriptif analisis, yaitu metode

Analisa Investasi Perumahan Kalianget Paradise di Kabupaten Sumenep Ditinjau dari Aspek Finansial

BAB 2 LANDASAN TEORI

ABSTRAKSI. Dengan perkembangan jaman yang semakin pesat ini, membuat banyak

Studi Kelayakan HOTEL BERBINTANG di PROVINSI KEPULAUAN RIAU, Mohon Kirimkan. eksemplar. Posisi : Nama (Mr/Mrs/Ms) Nama Perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. PT Trikarya Idea Sakti selaku Developer telah

PENILAIAN KELAYAKAN USAHA ATAS KERJASAMA PEMANFAATAN ASET TETAP MILIK NEGARA

BAB VI ASPEK KEUANGAN. investasi dari perusahaan Saru Goma. Proyeksi keuangan ini akan dibuat dalam

BAB 5 ANALISA KEUANGAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Manajemen Proyek. Seleksi Proyek Model Keuangan dan Mengelola Portfolio MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

VII. RENCANA KEUANGAN

STUDI KELAYAKAN INVESTASI THE CORAL HOTEL DI SURAKARTA

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN 1

TKS 7338 EKONOMI TRANSPORTASI Dr. GITO SUGIYANTO, S.T., M.T.

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Ketika MRT Urai Kemacetan Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dewasa ini ditandai dengan semakin. meningkatnya persaingan yang ketat di berbagai bidang usaha, hal ini

PENETAPAN TARIF PROPERTI RITEL HIBURAN PADA BANJARMASIN ONE STOP ENTERTAINMENT CLUB (BOEC)

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata merupakan salah satu tujuan favorit bagi wisatawan. Untuk

ABSTRAK. Kata Kunci: Capital Budgeting, Payback Period, Net Present Value, dan Internal Rate of Return. Universitas Kristen Maranatha

Transkripsi:

ANALISIS LIFE CYCLE COST PENGEMBANGAN POTENSI PARIWISATA PADA CONCEPTUAL DESIGN PROYEK JEMBATAN SELAT SUNDA DENGAN PENDEKATAN VALUE ENGINEERING Juanda Guardy Arief 1, Mohammed Ali Berawi 1, dan Rosmariani Arifuddin 1 1 Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Jawa Barat, Indonesia E-mail: juanda.guardy@gmail.com Abstrak Pembangunan infrastruktur jembatan selat sunda diproyeksikan menghabiskan dana hingga + 250 trilyun, sedangkan sedikit sekali investor yang terjaring dalam proyek ini, sehingga dibuatlah beberapa inovasi yang mampu menarik minat investor, salah satunya adalah pengembangan kawasan pariwisata dikawasan selat sunda. Pengembangan kawasan pariwisata selat sunda yang terintegrasi dengan JSS akan dipusatkan pada Pulau Sangiang dengan konsep resort yang didalamnya terdapat theme park sebagai wahana utama. Analisis kelayakan dilakukan dengan menggunakan skema Life Cycle Costing dengan parameter berupa nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 10,30% serta Net Present Value (NPV) sebesar Rp. 20.100.940.090.529. Kata Kunci: Jembatan Selat Sunda; Life Cycle Costing; Value Engineering; Pulau Sangiang; Pengembangan Pariwisata. Life Cycle Analysis Development of Tourism Potential in Sunda Strait Bridge Conceptual Design Using Value Engineering Approach. Abstract Sunda strait bridge construction is projected to cost up to + 250 trillion, while the few investors in the running for this project, which was made several innovations that can attract investors, one of which is the development of the tourist area of the Sunda Strait region. Sunda strait tourism area development integrated with the JSS will be centered on the concept Sangiang island resort in which there are theme park as the main vehicle. Feasibility analysis is done by using Life Cycle Costing scheme with a parameter value of the Internal Rate of Return (IRR) of 10.30% and the Net Present Value (NPV) of Rp. 20.100.940.090.529. Keywords: Sunda Strait Bridge; Life Cycle Costing; Value Engineering; Sangiang Island; Tourism Development. 1. Pendahuluan Konsep Jembatan Selat Sunda (JSS) merupakan suatu sarana infrastruktur yang memiliki tujuan utama yaitu pemerataan dan percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam MP3EI (Sianipar, 2012). Ide mengenai jembatan selat sunda ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Sedyatmo (1960). Saat ini, ide mengenai

jembatan selat sunda tersebut sudah dikaji oleh Prof. Wiratman Wangsadinata (1997) dan Dr.Ir. Jodi Firmansyah (2003). Pembangunan Jembatan Selat Sunda ini dianggarkan dengan biaya mencapai + Rp. 250 trilyun dengan sistem pendanaan Public Private Partnership (PPP). Dengan sifat pendanaan seperti ini, maka dibutuhkan investasi dari sektor private yang cukup besar. Dengan nilai proyek yang sangat besar sedangkan fungsi yang dihasilkan hanya berupa satu fungsi saja serta tingkat pengembalian modal yang berjalan lama, akan membuat pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) ini hanya dapat melibatkan sedikit investor. Oleh karena itu, dilakukanlah penambahan fungsi pada Jembatan Selat Sunda dengan menggunakan pendekatan Value Engineering atau rekayasa nilai. Berawi, M.A, et al (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Conceptual Design of Sunda Strait Bridge Using Value Engineering Method menyebutkan bahwa dapat dilakukan penambahan-penambahan fungsi dalam desain konseptual Jembatan Selat Sunda (JSS), diantaranya Tidal Power Plants, Wind Power Plants, Oil Pipelines and Gas Distribution Integration, Fiber Optic Integration, Tourism Development, dan Development Along Sunda Strait, yang mana akan menambah minat serta jumlah investor yang terlibat dalam pembangunan megaproyek Jembatan Selat Sunda (JSS) selain itu, penambahan-penambahan fungsi tersebut juga akan mempercepat tingkat pengembalian modal dari para investor. Oleh karena itu, dalam jurnal ini akan dibahas secara mendalam mengenai salah satu fungsi tambahan yaitu Tourism Development atau pengembangan potensi pariwisata yang terintegrasi dengan Jembatan Selat Sunda (JSS). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui jenis pariwisata apa yang dapat dibangun atau dikembangkan pada kawasan selat sunda, terutama pada pulau Sangiang. 2. Untuk mengetahui berapa nilai kelayakan investasi dari pengembangan pariwisata yang terintegrasi dengan conceptual design jembatan selat sunda dari sisi investor pariwisata dengan pendekatan skema Life Cycle Cost. 2. Tinjauan Teoritis 2.1 Value Engineering (VE) Banyak sekali definisi Value Engineering (VE) yang telah dikembangkan oleh para ahli, sehingga diperlukan referensi yang banyak untuk lebih mendalami pengertian sebenarnya dari VE ini. Salah satu pengertian VE yang dikemukakan oleh Society Of

American Value Engineer (SAVE) adalah Rekayasa Nilai (Value Engineering) merupakan usaha yang terorganisasi secara sistematis dan mengaplikasikan suatu teknik yang telah diakui, yaitu teknik mengidentifikasi fungsi produk atau jasa yang bertujuan memenuhi fungsi yang diperlukan dengan harga yang terendah (paling ekonomis). Menyederhanakan pengertian VE yang telah diungkapkan tersebut, maka VE adalah: 1. Multidisciplined Team Approach, terdiri dari Pemilik Proyek dan Value Engineering Consultant. 2. Proven Management Technique. 3. Oriented System, untuk menentukan dan menghilangkan unnecessary cost. 4. Oriented Function, untuk mencapai fungsi yang diperlukan sesuai dengan nilai yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan. 5. Life Cycle Cost Oriented, meneliti jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh dan mengoperasikan fasilitas yang diperlukan. Sedangkan Value Engineering (VE) bukan merupakan revisi desain yang diperlukan untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh perencana, maupun mengoreksi perhitungan selain itu juga bukan merupakan suatu proses untuk membuat sesuatu menjadi murah ataupun pemotongan harga dengan mengurangi penampilan, dan juga bukan merupakan kontrol terhadap kualitas ataupun pemeriksaaan ulang dari perencanaan proyek atau produk. Konsep Value Engineering (VE) adalah penekanan biaya produk atau jasa dengan melibatkan prinsip-prinsip engineering. Teknik ini berusaha untuk mencapai mutu yang minimal sama dengan yang direncanakan denganbiaya seminimal mungkin. Proses perencanaan yang dilakukan dalam pelaksanaan value engineering selalu didasarkan pada fungsi-fungsi yang dibutukan serta nilai yang diperoleh. Berikut merupakan diagram keseimbangan dalam value engineering Gambar 1. Konsep Value Engineering Sumber: Berawi M.A, 2012

2.2 Life Cycle Costing (LCC) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pengertian dari Value Engineering (VE) secara sederhana berdasarkan pada Life Cycle Cost (LCC), yaitu meneliti jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh dan mengoperasikan fasilitas yang diperlukan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap LCC pun merupakan suatu keharusan karena merupakan sebuah alat yang akan digunakan dalam analisis VE ini. Menurut RICS pada tahun 1999 diungkapkan bahwa Life Cycle Cost (LCC) didefinisikan sebagai nilai saat ini yang mencakup keseluruhan biaya proyek meliputi biaya investasi awal, biaya operasional, biaya kepemilikan dan nilai akhir proyek pada umur rencana yang ditentukan. Menurut P.J. Barrett (2001), LCC digambarkan sebagai berikut: Gambar 2. Konsep Life Cycle Cost menurut P.J. Barrett (2001) Sumber: Life Cycle Costing, Better Practice Guide, 2001 Selanjutnya, menurutnya proses Life Cycle Costing (LCC) pada dasarnya meliputi 2 macam kegiatan, yaitu: a. Menilai biaya yang timbul dari aset selama siklus hidupnya. b. Mengevaluasi alternatif yang berdampak pada biaya kepemilikan. Menyederhanakan pengertian LCC diatas, maka dapat disimpulkan bahwa LCC merupakan nilai yang mencakup keseluruhan biaya proyek, mulai dari biaya investasi diawal, biaya operasional dan perawatan dari proyek, hingga biaya yang timbul diakhir pada umur rencana proyek. Life Cycle Cost juga memberikan perspektif jangka panjang, karena mempertimbangkan semua biaya selama siklus hidup keseluruhan yang biasanya dipisahkan menjadi beberapa komponen. Selain itu, dalam analisa ekonomi menggunakan cara yang

disebut life cycle cost ini, di mana life cycle cost sebagai alat bantu dalam mencari alternatifalternatif berbagai kemungkinan dalam pengambilan keputusan dan menggambarkan nilai sekarang dan nilai yang akan datang dari suatu proyek pembangunan selama umur manfaat proyek itu sendiri. Saat ini terdapat berbagai macam metode yang digunakan dalam perhitungan LCC, diantaranya adalah Simple Payback Method, Discounted Payback Method, Net Present Value, Equivalent Annual Cost, Internal Rate of Return, dan Net Saving. Diantara sekian banyak metode LCC tersebut, Net Present Value (NPV) merupakan teknik yang sesuai untuk menghitung cash flow comparisons untuk jangka waktu yang lama seperti proyek-proyek infrastruktur dengan skema Public Finance Investment (Kelly, Roy and Wilkinson, 2003). Dalam penerapan konsep life cycle cost, Departmen of Education & Early Development alaska School Facilities dalam bukunya yang berjudul Life Cycle Cost Analysis Handbook, 1st Edition (1999) mengungkapkan terdapat 3 komponen dalam konsep ini, yaitu biaya, waktu dan tingkat suku bunga atau diskon. Komponen pertama dalam persamaan LCC adalah biaya. Ada dua kategori utama dimana biaya proyek harus dievaluasi dalam LCCA, yaitu biaya awal dan biaya masa depan. Biaya awal adalah semua biaya yang dikeluarkan sebelum pendudukan fasilitas. Biaya masa depan adalah semua biaya yang terjadi setelah pendudukan fasilitas. Mendefinisikan biaya yang tepat dari masing-masing kategori biaya bisa sedikit sulit dikarenakan, pada saat studi LCC, hampir semua biaya tidak diketahui. Namun, melalui penggunaan akal, konsisten, dan asumsi yang digunakan dengan baik, sebuah LCCA yang kredibel dapat disiapkan. Komponen kedua dari persamaan LCC adalah waktu. Masa studi adalah periode waktu pengeluaran selama kepemilikan dan operasi yang harus dievaluasi. Biasanya, masa studi dapat berkisar 20 sampai 40 tahun, tergantung pada pilihan pemilik, stabilitas program pengguna, dan usia keseluruhan fasilitas yang dimaksudkan. Sedangkan panjang masa studi sering merupakan refleksi dari usia fasilitas yang dimaksudkan, masa studi biasanya lebih pendek dari umur fasilitas yang dimaksudkan. NIST membagi masa studi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah periode perencanaan / konstruksi dan tahap kedua adalah periode layanan. Periode perencanaan / konstruksi adalah periode waktu dari tanggal awal penelitian hingga waktu tanggal bangunan mulai melakukan masa operasional (tanggal layanan). Periode layanan adalah periode waktu dari tanggal bangunan mulai melakukan operasional hingga akhir penelitian. Komponen ketiga dalam persamaan LCC adalah tingkat diskon. Tingkat diskon, seperti yang didefinisikan oleh Life Cycle Costing for Design Professionals, 2nd Edition,

adalah "suku bunga mencerminkan nilai waktu terhadap uang investor. Pada dasarnya, ini adalah tingkat bunga yang akan membuat investor bersikap tidak tertarik terhadap apakah ia menerima pembayaran sekarang atau pembayaran lebih besar pada beberapa waktu di masa depan. NIST mendefinisikan tingkat diskon selangkah lebih maju dengan memisahkannya menjadi dua jenis, yang pertama adalah tingkat diskon sebenarnya dan yang kedua adalah tingkat diskon nominal. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa tingkat diskon yang sebenarnya tidak termasuk tingkat inflasi dan tingkat diskon nominal termasuk tingkat inflasi. Ini bukan untuk mengatakan bahwa tingkat diskon sebenarnya mengabaikan inflasi, penggunaannya hanya menghilangkan kompleksitas akuntansi untuk inflasi dalam persamaan present value. Baik penggunaan tingkat diskon maupun perhitungan present value akan memperoleh hasil yang sama. Dalam penggunaan Life Cycle Cost, terdapat beberapa langkah-langkah yang harus dipahami lalu dilakukan, diantaranya yaitu: 1. Mendefinisikan semua biaya investasi awal. Biaya investasi awal adalah biaya yang akan timbul sebelum kepemilikan fasilitas. 2. Mendefinisikan semua biaya operasional yang akan terjadi di masa depan. Biaya operasional adalah biaya tahunan, termasuk pemeliharaan dan biaya perbaikan, yang terlibat dalam pengoperasian fasilitas. Sebagian dari biaya ini berhubungan dengan membangun utilitas dan jasa kustodian. Semua biaya operasi harus didiskontokan ke present value sebelum dilakukan perhitungan dengan present value. Biaya operasional yang tidak secara langsung berhubungan dengan bangunan biasanya harus dikecualikan dari LCCA. Contoh dari biaya yang harus dikeluarkan adalah biaya bahan kantor. Sementara itu adalah biaya operasional tahunan, itu tidak ada hubungannya dengan pengoperasian bangunan tetapi merupakan sebuah fungsi pengguna bangunan. 3. Mendefinisikan semua biaya pemeliharaan dan perbaikan pada masa depan. Biaya pemeliharaan merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk memelihara bahkan memperpanjang masa layak penggunaan dari suatu fasilitas. Biaya perbaikan adalah pengeluaran tak terduga yang diperlukan untuk memperpanjang umur dari sistem bangunan atau fasilitas tanpa mengganti sistem. Contohnya adalah perbaikan jendela rusak. Beberapa biaya pemeliharaan dikeluarkan setiap tahun, sedangkan biaya perbaikan adalah dengan biaya yang tak terduga sehingga tidak mungkin untuk memprediksi kapan akan terjadi. Untuk menyederhanakan, biaya pemeliharaan dan biaya perbaikan harus diperlakukan sebagai biaya tahunan. Semua biaya pemeliharaan dan perbaikan harus didiskontokan ke present value.

4. Mendefinisikan semua biaya penggantian pada masa depan. Biaya penggantian mengantisipasi pengeluaran untuk membangun komponen utama sistem yang diperlukan untuk mempertahankan operasional fasilitas. Biaya pengganti semua harus didiskontokan ke present value. Biaya penggantian biasanya dihasilkan oleh penggantian sistem bangunan atau komponen yang telah mencapai akhir masa pakainya. 5. Menentukan nilai sisa. Nilai sisa, sebagaimana didefinisikan sebelumnya, adalah kekayaan bersih dari sistem bangunan atau bangunan di akhir masa studi LCCA. Ini adalah kategori biaya yang dalam LCCA memiliki nilai negatif, salah satu yang mengurangi biaya, dapat diterima. Nilai sisa dari fasilitas atau sistem bangunan sangat penting ketika mengevaluasi proyek alternatif yang memiliki umur pakai yang berbeda. Nilai sisa dari alternatif proyek dapat dibentuk dari beberapa cara yang berbeda, tergantung pada tingkat detail yang tersedia. Namun, solusi yang memilih untuk mengganti fasilitas baru sebagai pengganti renovasi dan penambahan fasilitas yang ada harus membentuk nilai sisa pada sistem dasar bangunan. Setelah semua biaya terkait telah dibentuk dan didiskontokan ke present value, biaya dapat dijumlahkan untuk menghasilkan siklus hidup biaya total alternatif proyek. Setelah ini telah dilakukan untuk semua alternatif proyek yang layak, ringkasan dari hasilnya harus disiapkan. Ringkasan dari proyek alternatif harus membandingkan biaya siklus hidup total Investasi Awal, Operasi, Pemeliharaan & Perbaikan, Penggantian, dan Nilai Sisa dari semua alternatif proyek. Hal ini mengantisipasi bahwa alternatif proyek dengan biaya hidup terendah secara keseluruhan akan menjadi proyek Alternatif yang dipilih. 2.3 Conceptual Design Jembatan Selat Sunda (JSS) Ide mengenai jembatan selat sunda ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Sedyatmo (1960). Saat ini, ide mengenai jembatan selat sunda tersebut sudah dikaji oleh Prof. Wiratman Wangsadinata (1997) dan Dr.Ir. Jodi Firmansyah (2003). Namun saat ini sudah terdapat beberapa rute yang diperkenalkan untuk jembatan selat sunda ini, yaitu rute yang diusulkan oleh Wiratman (1997), Firmansyah (2003), JICA (1986), Balitbang PU (2008), dan Binamarga (2008). Saat ini telah dilakukan riset mengenai penambahan fungsi pada rencana pembangunan jembatan selat sunda tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa Proyek Jembatan Selat Sunda ini diperkirakan akan menghabiskan dana hingga Rp. 250 trilyun (PPP Book, 2012) dengan sistem Public Private Partnership yang berarti kerjasama pembiayaan antara sektor pemerintah dan sektor swasta. Dengan perkiraan masa pengembalian modal yang akan berjalan lama, tentunya akan sulit untuk menarik minat para investor untuk tergabung dalam proyek ini, sehingga untuk mensiasati hal tersebut, dilakukanlah

penambahan fungsi pada conceptual design Jembatan Selat Sunda sehingga dapat memberikan masa pengembalian modal dengan jangka waktu yang lebih cepat serta dapat menarik minat para investor yang menjadi sasaran dari proyek ini. Conceptual design jembatan selat sunda saat ini masih dalam tahap pra kelayakan. Titik awal dan akhir dari desain jembatan ini masih belum ditetapkan, hal ini dikarenakan adanya perencanaan rute pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) yang tidak tunggal. Salah satu alternatif yang disampaikan adalah rute yang disampaikan oleh Prof. Wiratman dengan panjang jembatan selat sunda mencapai + 27,9 km dengan 6 (enam) macam segmen yang akan membentang dari Pulau Jawa hingga Pulau Sumatra. Segmen pertama merupakan viaduct atau jembatan layang dengan panjang 3 km, dimulai dari Pulau Jawa hingga Pulau Ular. Segmen kedua sepanjang 7,8 km dengan konstruksi jembatan gantung (Suspension Bridge) yang akan membentang dari Pulau Ular hingga Pulau Sangiang. Segmen ketiga sepanjang 5 km yang akan berada disepanjang Pulau Sangiang dengan konstruksi jembatan dengan fasilitas jalan dan rel kereta api diatasnya. Segmen keempat sepanjang 7,6 km yang membentang dari Pulau Sangiang hingga Pulau Prajurit dengan konstruksi berupa jembatan gantung (Suspension Bridge). Segmen kelima berupa jembatan dengan fasilitas jalan dan rel kereta api diatasnya dengan panjang 1 km yang terletak disepanjang Pulau Prajurit. Segmen yang terakhir merupakan segmen keenam dengan konstruksi viaduct atau jembatan laying dengan panjang 3 km yang dimulai dari Pulau Prajurit hingga Pulau Sumatra, sehingga keseluruhan dari jembatan selat sunda tersebut memiliki panjang mencapai 29 km (wiratman, 1992). Berikut merupakan alignment jembatan selat sunda (JSS). Gambar 3. Alignment Jembatan Selat Sunda (JSS) Sumber: Wiratman, 1997 Berawi, M.A, et al (2012) dalam Jurnalnya yang berjudul Conceptual Design of Sunda Strait Bridge Using Value Engineering Method menyebutkan bahwa akan ada kesenjangan yang tidak kompatibel antara manfaat dan biaya jika konsep jembatan selat sunda ini hanya didasarkan untuk sarana transportasi saja, sehingga iterasi berdasarkan metodologi Value Engineering diharapkan akan dapat memberikan solusi yang mengarah pada penciptaan

proyek yang lebih kompetitif dalam kualitas, biaya dan waktu, sehingga dilakukanlah penambahan-penambahan fungsi dalam desain konseptual dari jembatan selat sunda ini sebagai berikut: Tabel 1. Variabel fungsi tambahan Fungsi yang ditambahkan Tidal Power Plants Wind Power Plants Oil Pipelines and Gas Distribution Integration Fiber Optic Integration Tourism Development Development Along Sunda Stait Keuntungan yang diharapkan Menghasilkan listrik Langkah baru dalam mengimplementasikan energi terbarukan Efisiensi sumber daya alam Bebas polusi Menghasilkan listrik Mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi tradisional Bebas polusi Memperlancar distribusi minyak dan gas Efisiensi biaya Mempermudah akses Memperlancar sistem komunikasi dan informasi Efisiensi biaya Mempermudah akses Menarik turis domestik dan turis pendatang Membuat lapangan pekerjaan baru Menambah nilai ekonomi regional Pengembangan industri perikanan Pembangkit listrik Industri manufaktur Sumber: Conceptual Design of Sunda Strait Bridge Using Value Engineering Method, Berawi, M.A, Miraj, P, Gunawan & Husin, A.E, 2012 Selain penambahan fungsi yang telah disebutkan diatas, terdapat hal-hal yang membedakan antara konsep desain jembatan selat sunda dengan jembatan selat sunda yang sudah berbasis value engineering adalah pada desain konsep jembatan selat sunda yang berbasis VE trasenya tidak akan melewati dua pulau kecil, yaitu Pulau Ular dan Pulau Prajurit seperti pada konsep desain yang disampaikan oleh Prof. Wiratman (Gunawan, 2013). Berikut merupakan trase Jembatan Selat Sunda berbasis value engineering.

Gambar 4. Trase Jembatan Selat Sunda (JSS) Sumber: Gunawan, 2013 Secara teknis, bentuk dari Jembatan Selat Sunda (JSS) ini akan memakai jembatan gantung generasi ketiga untuk tipe jembatan gantungnya. Selain itu, secara konstruksi terhadap fungsifungsinya, hampir serupa dengan jembatan messina di Italia. Jembatan Selat Sunda (JSS) berbasis VE ini memiliki fungsi 6 jalur jalan tol, 2 jalur rel kereta api, 2 jalur servis dan emergency, serta 2 jalur untuk pejalan kaki diatasnya, sedangkan terdapat 2 jalur hanging train dibagian bawahnya. Untuk bagian pylon dari Jembatan Selat Sunda (JSS) ini akan terdapat tidal turbine yang berfungsi sebagai penghasil energi. Disamping jalur hanging train akan terdapat lintasan perpipaan yang akan membawa hasil minyak serta fiber optic menyebrangi selat sunda. Selain itu, dibagian atas jembatan juga terdapat wind turbine (Gunawan, 2013). Berikut merupakan potongan penampang melintang JSS berbasis value engineering.

Gambar 5. Penampang melintang JSS pengembangan fungsi Sumber: Gunawan, 2013 Berkaitan dengan penambahan fungsi pariwisata, pada Jembatan Selat Sunda (JSS) ini akan memiliki jalan keluar atau ramp yang akan menuju langsung ke jalan utama didalam Pulau Sangiang, serta akan terintegrasi dengan stasiun hanging train yang terletak dibawah jembatan selat sunda. Dengan penambahan fungsi baru tersebut yang akan memberikan dampak pada peningkatan biaya pembangunan daerah, namun juga dapat meningkatkan fungsi dari pembangunan jembatan selat sunda ini. 3. Metode Penelitian Metode penelitian sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2012). Pada penelitian ini berfokus pada analisis terhadap penambahan fungsi Jembatan Selat Sunda (JSS) yaitu pengembangan potensi pariwisata. Strategi penelitian ini adalah studi banding (benchmarking) terhadap konsep desain pariwisata yang dikembangkan pada suatu pulau dengan akses-aksesnya yang digunakan untuk mencapai pulau yang dimaksud. Konsep pariwisata tersebut diambil dari beberapa negara yang telah menerapkannya, seperti pada Cina dan Singapore. Strategi penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Mengumpulkan seluruh data skema pembiayaan dari setiap theme park dan akses seperti hanging train serta cable car dengan rentan waktu 2 (dua) tahun kebelakang. 2. Membuat kuisioner yang berisi tentang besaran minat masyarakat terhadap pariwisata theme park yang akan dikembangkan di Pulau Sangiang. 3. Membagikan kuisioner tersebut secara langsung pada golongan-golongan masyarakat secara acak yang khususnya berada diwilayah Ibukota Jakarta. 4. Mengumpulkan jawaban kuisioner yang telah diisi/dibagikan. 5. Melakukan deep interview serta FGD terhadap beberapa ahli, termasuk ahli arsitek pariwisata. 6. Menganalisa dan mengolah data dengan menggunakan metode Life Cycle Costing untuk data skema pembiayaan pada setiap theme park dan fasilitas pariwisata yang lainnya serta menggunakan metode statistik deskriptif untuk jawaban kuisioner yang telah diisi. 7. Mengambil kesimpulan dari data-data tersebut Berdasarkan strategi penelitian yang telah diungkapkan diatas, maka dilakukan 2 (dua) tahap pengolahan data pertama berupa analisis statistik deskriptif yang didalamnya terdapat peringkasan, pengklasifikasian dan penyajian data yang akan digunakan dalam hasil kuesioner. Selanjutnya pengolahan data menggunakan Net Present Value (NPV) untuk data pembiayaan untuk masing-masing komponen pembentuk pariwisata dengan membagi pembiayaan tersebut menjadi 2 (dua) tipe pembiayaan, yaitu Cost Structure dan Revenue Structure sebagai berikut: Proyek Pariwisata Initial Cost (Construction Cost & Investment Cost) Operation & Maintenance Cost Theme Park Hotel Jalan Raya Hanging Train Cable Car Gambar 6. Cost Structure Konsep Pengembangan Pariwisata Sumber: Hasil Olahan Pribadi, 2013

Revenue Cost Theme Park Hotel Cable Car Hanging Train Tiket Masuk Sewa Kamar dan Ruangan Tiket Cable Car Tiket Hanging Train Souvenir dan Merchandise Makanan dan Minuman Makanan dan Minuman Laundry Pendapatan Lainnya Paket Pariwisata Pendapatan Lainnya Gambar 7. Revenue Cost Structure Untuk Konsep Pengembangan Pariwisata Sumber: Hasil Olahan Pribadi, 2013 Dengan asumsi-asumsi yang digunakan berupa nilai BI Rate selama 5 tahun terakhir, yaitu sebesar 6,81% dan besaran inflasi selama 5 tahun terakhir, yaitu sebesar 5,95% Setelah didapatkan besaran pembiayaan dari masing-masing kategori pembiayaan, dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: NPV =!! + Dengan: C 0 = Initial Investment / Initial Cost!!!!!! (!!!)! C = Cash Flow (O&M Cost dan Annual Revenue) r = Discount Rate T = Waktu Jangka waktu (umur rencana) dari proyek ini adalah sebesar 26 tahun, yaitu dimulai dari tahun 2024 hingga tahun 2050. 4. Hasil Penelitian Conceptual Design Jembatan Selat Sunda (JSS) yang telah mendapatkan penambahan fungsi seperti yang telah dijelaskan oleh Berawi, M.A, et al (2012) dalam Jurnalnya yang berjudul Conceptual Design of Sunda Strait Bridge Using Value Engineering Method bahwa konsep jembatan akan melewati pulau Sangiang. Secara administratif, wilayah dari pulau

Sangiang ini termasuk kedalam wilayah Propinsi Banten, tepatnya masuk kedalam wilayah Desa Cikoneng dengan 1 wilayah Rukun tetangga, yaitu RT 11. Berdasarkan data dari Desa Cikoneng, pulau sangiang memiliki luas daratan sebesar 700,35 Ha atau 8.174 km 2 (Kecamatan Anyar, 2005). Pulau Sangiang memiliki topografi mulai dari dataran rendah, perbukitan, agak curam sampai curam yang secara garis besar dibagi kedalam 3 golongan, yaitu: 1. Daerah landai sebagian besar terletak di bagian timur merupakan wilayah terbuka dan sudah ada pemukiman penduduk. 2. Daerah berbukit terletak mulai dari utara sampai barat laut, dan menyusuri tepian pulau sampai bagian barat sampai ke arah pantai di bagian barat. 3. Daerah curam sampai sangat curam didominasi oleh bagian barat, hanya sebagian kecil daerah barat yang merupakan bagian pantai berpasir putih. Menurut informasi dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat yang membawahi Pulau sangiang, pulau ini sejak tanggal 8 Februari 1993 melalui SK Menteri Kehutanan No. 55/Kpts-II/1993 ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) seluas 528,15 Ha untuk TWA daratan dan 720 Ha untuk TWA laut. Penetapan TWA Sangiang dilatar belakangi oleh adanya keinginan investor untuk masuk ke sangiang dan berencana membangun resort, sehingga dibebaskanlah lahan milik (klaim) masyarakat seluas 259,224 Ha, yang semula merupakan tanah negara. BKSDA mengembangkan Pulau Sangiang menjadi beberapa zona, yaitu zona perlindungan (zona rimba) seluas 173,662 Ha, zona pemanfaatan seluas 297,717 Ha, zona enclave (pengembang) seluas 259,224 Ha, zona estuaria seluas 82,224 Ha dan seluas + 9 Ha pinjam pakai TNI Angkatan Laut untuk pos pengamatan (BKSDA Jawa Barat). Pulau sangiang ini disebut-sebut sebagai surga yang tersembunyi, dikarenakan kurangnya usaha pengembangan pariwisata pada daerah tersebut. Dilihat dari potensinya, pulau tersebut memiliki potensi wisata alam berupa lintas alam, mendaki gunung, memotret, bersepeda, berkemah dan menikmati panorama alam pantai yang landai maupun pantai yang curam. Potensi wisata bahari berupa scuba diving, snorkling, menikmati keindahan terumbu karang di taman laut dengan glass bottom boat, memancing dan bersantai berjemur di pantai berpasir. Serta potensi wisata budaya berupa menikmati/mengamati sisa-sisa perang dunia kedua, berupa benteng bekas pertahanan Jepang. Melihat potensi Pulau Sangiang tersebut, maka pengembangan potensi pariwisata tersebut dipusatkan pada pulau ini dengan perencanaan sebagai berikut:

Gambar 8. Konsep kawasan pariwisata Pulau Sangiang Sumber: Hasil olahan pribadi dari berbagai sumber, 2012 Konsep pengembangan kawasan pariwisata akan memiliki akses jalan raya dengan panjang total + 15 km, memiliki lebar + 7 meter dengan rincian 2 lajur 2 arah dan terdapat median ditengah jalannya. Selain itu jalur khusus sepeda juga terletak pada sisi paling kiri pada setiap arahnya. Perkerasan yang akan digunakan merupakan perkerasan lentur (Hotmix). Menurut Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam Standar Biaya Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008, pembangunan jalan baru dengan perkerasan hotmix yang memiliki lebar jalan hingga 7 meter akan memakan biaya sebesar Rp. 9.405.450.000 per kilometer, biaya peningkatan jalan sebesar Rp. 2.793.000.000 per kilometer, sedangkan untuk biaya pemeliharaan berkala sebesar 1.048.000.000 per kilometer dan biaya pemeliharaan rutin sebesar Rp. 44.500.000 per kilometer. Untuk struktur biaya pendapatannya, tidak dapat

didefinisikan, hal ini dikarenakan pada sarana jalan raya tidak dipungut biaya apapun, sehingga tidak dihasilkan revenue dari sarana ini. Sehingga biaya-biaya yang akan dikeluarkan untuk pengadaan fasilitas jalan raya pada Pulau Sangiang adalah sebagai berikut: Tabel 2. Initial cost dan O&M Cost Pengadaan Jalan Raya No Item Satuan Volume Harga Satuan Sub Harga 1 1 INITIAL COST Akses Jalan Km 15 Rp 2,793,000,000 Rp 41,895,000,000 (Hanya peningkatan jalan eksisting dengan perkerasan lentur) OPERATION AND MAINTENANCE COST Akses Jalan Km 15 Rp 44,500,000 Rp 667,500,000 (Harga Satuan Pemeliharaan Rutin Perkerasan Lentur) Sumber: Hasil olahan pribadi dari berbagai sumber, 2013 Selain itu akses berupa hanging train juga akan diintegrasikan pada jembatan ini dengan panjang lintasan + 29 km dengan rincian rute 14 km di Pulau Sumatra menuju Pulau Sangiang dan 15 km dari Pulau Jawa menuju Pulau Sangiang serta akan ditopang oleh 5 rangkaian untuk masing-masing rute. Hanging train ini akan mengikuti konsep yang telah diterapkan oleh Wuppertal Scwhebebhan di Jerman. Untuk pendapatan dari sarana ini akan menggunakan proyeksi dari wisatawan yang akan berkunjung ke Pulau Sangiang denan asumsi sebanyak 60% pengunjung akan menggunakan fasilitas ini dengan tarif sebesar Rp. 30.000 dan akan mengalami kenaikan tarif yang konstan selama umur rencana sebesar 3% per tahun. Konsep ini akan memiliki biaya initial cost atau pembangunan sebesar Rp. 13.024.767.899.365,60 sedangkan untuk biaya operasionalnya sebesar Rp. 4.766.846.253,75. Untuk lebih jelasnya, pembiayaan hanging train pada konsep ini dapat dilihat pada lampiran 1. Dalam kawasan Pulau Sangiang sendiri akan terdapat 2 (dua) macam sarana pariwisata yang akan menjadi pusat bagi para pengunjung. Pertama, theme park yang akan menjadi pusat kegiatan para pengunjung sedangkan yang kedua adalah cable car yang menjadi sarana bagi ara wisatawan untuk mengelilingi seluruh kawasan wisata Pulau Sangiang dari ketinggian. Konsep pengembangan kawasan wisata Sangiang Resort pada Pulau Sangiang pada sektor theme park dan kawasan perhotelan akan mengikuti konsep resort yang dimiliki oleh Hong Kong Disneyland Resort yang terletak di Pulau Lantau Hong Kong.

Konsep resort yang terletak di Pulau Sangiang akan memiliki luas sebesar 126 Ha yang didalamnya terdapat fasilitas seperti sebuah theme park yang memiliki luas sebesar 22,4 Ha dan terdapat dua buah hotel dengan kelas bintang 4 dan memiliki kapasitas hingga 1000 kamar tamu. Biaya initial cost dari pengembangan konsep Sangiang Resort ini adalah sebesar Rp. 25.798.627.768.885 yang termasuk didalamnya Rp. 630.000.000.000 untuk biaya pembebasan lahan sebesar 126 Ha. Untuk biaya operasional dan pemeliharaan Sangiang Resort ini merupakan biaya operasional dan perawatan yang didapatkan dari hasil melakukan benchmarking terhadap biaya operasional dan perawatan yang dimiliki oleh Hong Kong Disneyland Resort yang dimulai dari tahun 2008 hingga tahun 2012. Setelah mendapatkan besaran biaya operasional dan perawatan dari Hong Kong Disneyland Resort pada masingmasing tahun, maka selanjutnya dilakukan pencarian persentase besaran perubahan biaya O&M setiap tahunnya, sehingga didapatkan besaran perubahan biaya O&M rata-rata pertahunnya sebesar 8%. Berdasarkan nilai O&M sebelumnya, maka nilai O&M dari Sangiang Resort dapat diprediksikan. Berikut merupakan skema pembiayaan O&M pada tahun 2024 (tahun pertama operasional) hingga tahun 2050. Tabel 3. Biaya operasional & Perawatan Sangiang Resort Tahun O&M Cost Tahun O&M Cost 2024 Rp 4,290,549,964.68 2038 Rp 12,602,176,000.80 2025 Rp 4,633,793,961.85 2039 Rp 13,610,350,080.87 2026 Rp 5,004,497,478.80 2040 Rp 14,699,178,087.34 2027 Rp 5,404,857,277.10 2041 Rp 15,875,112,334.32 2028 Rp 5,837,245,859.27 2042 Rp 17,145,121,321.07 2029 Rp 6,304,225,528.01 2043 Rp 18,516,731,026.75 2030 Rp 6,808,563,570.25 2044 Rp 19,998,069,508.89 2031 Rp 7,353,248,655.87 2045 Rp 21,597,915,069.61 2032 Rp 7,941,508,548.34 2046 Rp 23,325,748,275.18 2033 Rp 8,576,829,232.21 2047 Rp 25,191,808,137.19 2034 Rp 9,262,975,570.79 2048 Rp 27,207,152,788.16 2035 Rp 10,004,013,616.45 2049 Rp 29,383,725,011.22 2036 Rp 10,804,334,705.76 2050 Rp 31,734,423,012.11 2037 Rp 11,668,681,482.22 Sumber: Hasil olahan pribadi dari berbagai sumber, 2013 Untuk besaran nilai revenue didapatkan dari hasil perhitungan proyeksi wisatawan pada tahun 2024. Sumber dari besaran ini adalah dengan melakukan studi benchmarking terhadap besaran jumlah pengunjung yang terjadi pada konsep wisata yang sama pada wilayah Jakarta,

yaitu pada kawasan wisata Ancol. Dengan melakukan pengolahan data jumlah pengunjung ancol, serta menurut direktur PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, yang menyatakan bahwa jumlah pengunjung ancol rata-rata tumbuh sebesar 3-5 persen per tahun (Tabloid Swa, edisi 24 Januari 2013) dapat diproyeksikan pada tahun 2024 diperkirakan ancol akan dapat menarik hingga 22 juta wisatawan yang akan diberlakukan tarif sebesar Rp. 350.000 per orangnya dan akan mengalami kenaikan tarif sebesar 3% setiap tahunnya. Sedangkan untuk hotel, akan dikenakan tarif sebesar Rp. 1.150.000 dan akan mengalami kenaikan sebesar 3% per tahun. Untuk lebih jelasnya, pembiayaan Sangiang Resort dapat dilihat pada lampiran 2. Konsep pengembangan kawasan wisata pada sektor Cable Car menggunakan hasil benchmarking yang telah dilakukan terhadap sistem cable car yang terdapat di dataran tinggi Genting, Malaysia. Sistem cable car yang digunakan di dataran tinggi tersebut merupakan sistem Monocable Detachable Gondola (MDG). Secara keseluruhan, sistem cable car ini akan memiliki jalur sepanjang + 8 km, yang dibagi menjadi 3 rute. Rute biru beroperasi disisi selatan Pulau Sangiang dengan panjang lintasan 2 km, rute merah yang beroperasi disisi tengah Pulau Sangiang dengan panjang lintasan 3 km, dan rute jingga yang beroperasi disisi utara Pulau Sangiang dengan panjang lintasan 3 km. untuk initial cost dari sangiang cable car ini adalah Rp. 1.572.789.876.013,23 dengan biaya operasional dan perawatan akan dipengaruhi oleh tarif dasar listrik yang berlaku, yaitu seesar Rp. 1.059 pada periode 1 Juli 2013 hingga 30 september 2013, dikarenakan cable car ini membutuhkan daya sebesar 2 x 640 kwh. Sedangkan untuk revenue dari cable car ini berlaku hal yang serupa dengan hanging train, yaitu berdasarkan banyaknya pengunjung pada Pulau Sangiang sebesar 60% yang dikenakan tariff sebesar Rp. 30.000 dengan kenaikan tarif sebesar 3% per tahunnya. Untuk lebih jelasnya, pembiayaan cable car ini dapat dilihat paa lampiran 3. 5. Pembahasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diatas, didapatkan bahwa konsep pengembangan pariwisata pada Pulau Sangiang diatas merupakan konsep yang layak untuk diterapkan pada Pulau Sangiang, hal ini didasarkan pada tanggapan yang positif dari masyarakat yang menjadi sampel dari kuesioner penelitian yang sebanyak 87% responden menyatakan setuju jika pada Pulau Sangiang dikembangkan konsep pariwisata seperti yang telah diajukan oleh peneliti. Selain itu, konsep pariwisata yang dikemukakan oleh peneliti juga mendapatkan tanggapan dari pakar arsitektur yang menyetujui konsep seperti ini dan

juga beliau memprediksikan bahwa dengan konsep seperti ini, akan membuka peluang yang sangat besar bagi Pulau Sangiang untuk mengembangkan pariwisatanya. Berdasarkan hasil analisis Life Cycle Costing (LCC) dari skema pembiayaan seluruh konsep tersebut, didapatkan bahwa konsep ini akan memiliki nilai sebagai berikut: Tabel 4. Nilai NPV dan IRR Net Present Value (NPV) Rp. 20.100.940.090.529 Internal Rate of Return (IRR) 10.30% Sumber: Hasil olahan pribadi, 2013 Dengan menggunakan konsep ini, mampu memberikan nilai Internal Rate of Return (IRR) total sebesar 10,30% yang berarti jika konsep seperti ini dikembangkan pada Pulau Sangiang, akan memberikan tingkat pengembalian investasi sebesar 10,30%, selain itu nilai Net Present Value (NPV) total yang dihasilkan pada konsep ini sebesar Rp 20,100,940,090,529, terlepas dari beberapa komponen yang memiliki nilai NPV negatif, jika digabungkan keseluruhan komponen, maka didapatkan NPV yang bernilai positif dan lebih besar dari 0, yang menyatakan jika konsep ini dilaksanakan, maka akan memberikan keuntungan hingga Rp 20,100,940,090,529. Tentu dengan tingkat pengembalian mencapai sebesar 10,30%, konsep ini dapat dikatakan layak untuk dilaksanakan (Skema LCC dapat dilihat pada lampiran 4). 6. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis pariwisata yang dapat dibangun atau dikembangkan pada kawasan selat sunda, terutama pada Pulau Sangiang dan juga untuk mengetahui berapa nilai kelayakan investasi dari pengembangan pariwisata yang terintegrasi dengan conceptual design Jembatan Selat Sunda (JSS) dari sisi investor pariwisata dengan pendekatan skema LCC. Jenis pengembangan pariwisata yang dapat dikembangkan pada kawasan selat sunda, khususnya pada Pulau Sangiang adalah konsep pariwisata resort yang didalamnya terdapat theme park sebagai wahana utama, hal ini ditegaskan oleh tanggapan dari pakar arsitektur pariwisata yang mengatakan bahwa konsep ini akan berkembang sangat pesat, sehingga akan membantu biaya pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), khususnya dari sisi investor pariwisata, selain itu tanggapan positif dari masyarakat terhadap konsep ini, menjadi landasan utama pula mengapa konsep ini dapat dilaksanakan pada Pulau Sangiang. Sedangkan untuk

nilai kelayakan investasi konsep ini didasarkan pada nilai IRR dan NPV. Kedua parameter ekonomi tersebut menunjukkan nilai yang positif, selain itu nilai IRR jauh lebih besar dari nilai BI Rate yang digunakan sebagai parameter kelayakan proyek tersebut. Dengan hasil seperti ini, maka konsep pengembangan pariwisata ini layak untuk dilaksanakan pada Pulau Sangiang. 7. Saran Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adaah sebagai berikut: 1. Pengintegrasian sarana transportasi masal dengan sarana transportasi masal yang akan terletak pada Jembatan Selat Sunda (JSS) diharapkan dapat lebih dikembangkan 2. Data komponen pembiayaan yang harus lebih didetailkan kembali, sehingga pengeluaranpengeluaran yang tidak perlu dapat diminimalisir. 3. Perlunya data mengenai MARR (Minimum Attractive Rate of Return) pada bidang pariwisata, sehingga parameter kelayakan IRR tidak hanya berdasarkan BI Rate. 4. Masih perlunya pengembangan konsep, terutama dalam hal ecoturism sesuai dengan permintaan dari masyarakat. 8. Daftar Referensi Berawi, M. Ali, et al. (2012). Kajian Pembangunan & Konseptual Design Jembatan Selat Sunda Berbasis Rekayasa Nilai Untuk Meningkatkan Daya Saing & Inovasi. Hibah Penelitian Prioritas MP3EI. Jakarta: Kemendikbud. Department of Education & Early Development State of Alaska. (1999). Life Cycle Cost Analysis Handbook 1st edition. Alaska: Education Support Services/Facilities. Gunawan. (2013). Peningkatan Nilai Tambah Proyek Infrastruktur Melalui Pendekatan Value Engineering (Studi Kasus Jembatan Selat Sunda). Teknik Sipil. Depok: Universitas Indonesia. Sianipar, Purba Robert. (Agustus, 2012). Jembatan Selat Sunda dan Kepentingan Nasional. Disampaikan dalam seminar setengah hari dalam rangka Hari Kebangkitan Teknoligi Nasional, Sabuga ITB. Bandung. Wangsadinata, W. (1997). The Sunda Strait Bridge and Its Feasibility as a Link Between Jawa and Sumatera. BPP Teknologi, May 1997.