BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGUJIAN RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM SUSU SEGAR DARI BEBERAPA PETERNAKAN SAPI PERAH DI PROVINSI JAWA BARAT MENGGUNAKAN METODE BIOASSAY

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik

TINJAUAN PUSTAKA Susu Pasteurisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Susu segar-bagian 1: Sapi

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

BAB III BAHAN DAN METODE

METODE PENELITIAN. Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan April Bahan dan Alat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANTIBIOTIK AMINOGLIKOSIDA

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

TINJAUAN PUSTAKA mg mg

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita

PENGARUH SUHU PEMANASAN TERHADAP KANDUNGAN RESIDU ANTIBIOTIK DALAM AIR SUSU SAPI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2011), dalam survey yang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

PENDAHULUAN. Latar Belakang. tidak saja dapat tumbuh baik di air tawar, namun juga air payau dan laut. Sebagai

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

DAFTAR ISI. ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR LAMPIRAN...v DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii PENDAHULUAN...

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

membunuh menghambat pertumbuhan

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

I. PENDAHULUAN. Secara alami hewan ternak, khususnya itik memiliki kekebalan alami. yang berfungsi menjaga kesehatan tubuhnya. Kekebalan alami ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Alat dan Bahan

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

Analisis Kadar Seng (Zn) dan Penentuan Angka Lempeng Total (Alt) Mikroba pada Susu Segar di Peternakan Kawasan Arjasari Kab. Bandung.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengantar Farmakologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Obat yang termasuk golongan ini ialah : a. Sulfonamid, b. Trimetoprin, c. Asam p-aminosalisilat (PAS), dan

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGANTAR FARMAKOLOGI

I. PENDAHULUAN. perunggasan merupakan salah satu penyumbang sumber pangan hewani yang

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2016, VOL.16. NO.1

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. baik sekali untuk diminum. Hasil olahan susu bisa juga berbentuk mentega, keju,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt

FARMAKOKINETIKA. Oleh Isnaini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam

Penggunaan Obat pada Anak FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Penggunaan Obat pada Anak. Alfi Yasmina. Dosis: berdasarkan usia, BB, LPT

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Alfi Yasmina

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

TINJAUAN PUSTAKA. bahan pangan yang sehat, tanpa dikurangi komponen-komponennya (Hadiwiyoto,

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat mutu susu segar menurut SNI tentang Susu Segar

Pengkajian Residu Tetrasiklin Dalam Daging Ayam Pedaging, Ayam Kampung Dan Ayam Petelur Afkir Yang Dijual Di Kota Kupang

PENDAHULUAN. Salah satu sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi tinggi adalah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pangsa yang besar bagi industri obat hewan (Palupi dkk., 2011).

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu peternakan. Pakan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Susu merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena. vitamin, mineral, dan enzim. Menurut Badan Standart Nasional (2000).

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

I. PENDAHULUAN. pengetahuan masyarakat tentang gizi yang meningkat. Penduduk Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan protein hewani dapat

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

TINJAUAN PUSTAKA Probiotik

TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TUGAS FARMAKOKINETIKA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

I. PENDAHULUAN. dan perkembangan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Tingkat konsumsi

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Susu Susu adalah cairan yang berasal dari ambing ternak perah yang sehat dan bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar sesuai ketentuan yang berlaku yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan (BSN 2008). Susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman dikonsumsi dan digunakan untuk proses pengolahan lanjutan. Syarat mutu dari susu segar dapat dilihat di Tabel 1. Tabel 1 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011 No. Karakteristik Syarat 1. Berat jenis (pada suhu 27.5 C) minimum 1.0270 2. Kadar lemak minimum 3.0% 3. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 7.8% 4. Kadar protein minimum 2.8% 5. Warna, bau, rasa dan kekentalan tidak ada perubahan 6. Derajat asam 6-7.5 SH 7. Uji alkohol (70%) negatif 8. ph 6.3-6.75 9. Cemaran mikroba maksimum: 1. Total kuman 1 x 10 6 CFU/ml 2. Salmonella negatif 3. E. coli (patogen) negatif 4. Koliform 1 x 10 3 CFU/ml 10. Jumlah sel somatis maksimum 4 x 10 5 sel/ml 11. Cemaran logam berbahaya, maksimum: 1. Timbal (Pb) 2. Merkuri (Hg) 3. Arsen (As) 12. Residu antibiotika (golongan laktam, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida) 0.02 ppm 0.03 ppm 0.1 ppm Negatif 13. Uji pemalsuan Negatif 14. Titik beku -0.520 C s/d -0.560 C 15. Uji peroksidase Positif Susu merupakan hasil utama pada usaha budidaya ternak perah. Susu yang dihasilkan harus memenuhi syarat ASUH yaitu aman, sehat, utuh, dan halal (Hidayat 2010). Hal ini membutuhkan perhatian khusus karena susu merupakan sumber utama yang paling memungkinkan terjadinya foodborne disease pada

4 masyarakat, terutama anak-anak. Foodborne disease bisa disebabkan oleh virus, bakteri, cendawan, dan residu antibiotika (Gustiani 2009). 2.2 Keamanan pangan Keamanan pangan menuntut tanggung jawab bersama antara pemerintah, konsumen, dan produsen (Sparringa 2006). Masalah keamanan pangan meliputi berbagai aspek mulai dari pangan dihasilkan hingga dikonsumsi. Masyarakat berhak mendapatkan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Pangan dikatakan aman jika tidak ada bahan berbahaya dalam kandungannya. Bahan berbahaya dalam pangan terbagi menjadi tiga, yaitu bahaya biologi (mikroba), bahaya kimia (residu pestisida, residu hormon, residu antibiotika, dan residu atau kontaminan lainnya), dan bahaya fisik (debu, bulu, rambut, rumput, ranting kayu, pecahan kaca). 2.3 Penggunaan Antibiotika dalam Peternakan Antibiotika sering digunakan dalam peternakan dengan tujuan mengobati dan menghindari penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, terutama infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika juga dipercaya dapat memperbaiki konversi pakan ternak sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi dan meningkatkan laju pertumbuhan, sehingga mendekati pertumbuhan yang ideal sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki ternak. Hal ini menyebabkan antibiotika tersebut biasanya ditambahkan dalam makanan sebagai imbuhan pakan atau disebut sebagai antibiotic growth promotors (AGP) (Parakkasi & Effendi 1992). Antibiotika yang banyak dipakai di peternakan antara lain golongan beta laktam (prokain penisilin G, kalium penisilin G), golongan tetrasiklin (tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin), golongan aminoglikosida (gentamisin sulfat, neomisin, dihidrostreptomisin sulfat), dan golongan makrolida (eritromisin, tilosin) (Lastari & Murad 1995). 2.3.1 Penisilin Penisilin merupakan antibiotika kelompok β-laktam yang penggunaannya efektif terutama untuk melawan sebagian besar bakteri gram positif. Senyawa ini sering digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk semua infeksi karena tidak menimbulkan efek samping yang toksik dan bersifat bakterisidal (Olson 2003). Menurut Admin (2007), absorbsi penisilin bisa melalui peroral, intramuscular,

5 intravena, intratracheal, intrauterine, dan intramamary. Melalui peroral, penisilin di dalam lambung mamalia akan mengalami inaktifasi oleh asam lambung sampai 70%. Pada individu tua yang produksi asam lambung sangat menurun, pemberian penisilin dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam proses absorbsinya di duodenum. Melalui intramuskuler, penisilin diserap cukup cepat. Penyuntikan secara intravena menghasilkan kadar tinggi di dalam plasma darah, yang segera diikuti eliminasi yang cepat pula selama 4-6 jam. Melalui intrauterine, absorbsi penisilin terjadi setelah infusi intrauterine dengan dosis 1.5 juta IU penisilin yang diberikan secara intrauterine. Melalui intramamary, absorbsi penisilin berlangsung secara difusi jaringan lokal (Admin 2007). Menurut Admin (2007), dalam keadaan normal penisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma darah ke dalam jaringan tubuh. Persentase volume distribusi (apparent volume distribution, AVD) sebesar 50% memperlihatkan cepat dan mudahnya distribusi penisilin ke dalam jaringan. Melalui ginjal penisilin diekskresikan dengan cepat yaitu mencapai 60-80% dari obat yang dimasukkan, sedangkan ekskresi lewat kelenjar susu hanya mencapai 16% dari yang ada di dalam plasma. Hal ini menunjukkan bahwa penisilin lebih banyak dieliminasi dari tubuh melalui ginjal daripada melalui susu. 2.3.2 Aminoglikosida Aminoglikosida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan bakteri gram negatif. Antibiotika yang termasuk golongan ini adalah streptomisin, neomisin, kelompok kanamisin-gentamisin, dan spektinomicin. Streptomisin merupakan obat pilihan pertama untuk menangani kasus tuberculosis. Namun, aminoglikosida memiliki potensi toksik dan residu pada pangan asal hewan (Riviere & Papich 2009). Menurut Adams (2001), absorpsi aminoglikosida lebih baik melalui parenteral sehingga absorpsi terjadi sangat cepat dan tuntas. Distribusi aminoglikosida terjadi dalam waktu 1 jam setelah injeksi. Polykationik dari antibiotika ini menyebabkan penetrasi aminoglikosida melalui membran barier dengan cara difusi sederhana sangat terbatas sehingga konsentrasi aminoglikosida yang ditemukan di cairan sekresi sangat sedikit. Rute ekskresi utama dari aminoglikosida adalah melalui ginjal.

6 2.3.3 Tetrasiklin Menurut Mutschler (1991), tetrasiklin merupakan golongan antibiotika berspektrum luas yang bekerja pada semua mikroba yang peka terhadap penisilin, bakteri gram negatif, mikoplasma, leptospira, rikettsia, dan amoeba. Obat ini sering digunakan untuk mengatasi Bruselosis di peternakan sapi perah. Menurut Karlina et al. (2009), dalam plasma darah semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Tetrasiklin mampu berpenestrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh dengan cukup baik. Golongan tetrasiklin dapat menembus membran barier dan terdapat dalam susu dalam kadar yang relatif tinggi. Selain melalui susu, antibiotika ini diekskresikan melalui empedu dan urin. 2.3.4 Makrolida Makrolida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan hampir semua bakteri gram positif. Jenis antibiotika yang termasuk dalam golongan ini antara lain eritromisin, tilmikosin, tylosin, dan spiramisin. Eritromisin merupakan obat pilihan untuk pneumonia akibat mikoplasma (Mutschler 1991). Menurut Plumb dan Pharm (1999), makrolida diabsorpsi di usus halus setelah administrasi melalui oral. Beberapa faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitas makrolida antara lain dosis, keasaman gastrointestinal, makanan dalam lambung, dan waktu kosong lambung. Makrolida peka terhadap degradasi asam, sedangkan absorpsi sangat lambat melalui intramuscular atau subkutan pada sapi. Bioavailabilitas makrolida hanya sekitar 40% melalui subkutan dan 65% melalui intramuscular. Makrolida didistribusikan ke seluruh tubuh terutama melalui cairan dan jaringan. Makrolida diekskresikan terutama melalui empedu. Namun, level makrolida sekitar 50% dapat ditemukan dalam susu. 2.4 Residu Antibiotika dalam Susu Residu antibiotika adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari antibiotika tersebut. Residu dalam bahan pangan meliputi senyawa asal yang tidak berubah, metabolit dan/atau konjugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan dengan senyawa asalnya, namun beberapa metabolit bersifat lebih toksik (Lukman 2010).

7 Menurut Rahayu (2010), senyawa yang dimasukkan ke dalam tubuh, akan mengalami berbagai proses yang terdiri dari penyerapan (absorbsi), distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Kecepatan proses biologik tersebut tergantung kepada jenis, bentuk senyawa, cara masuknya, dan metabolisme dari senyawa tersebut. Penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus apabila bahan tersebut dimasukkan melalui mulut. Senyawa yang berbentuk asli maupun metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh setelah terjadi penyerapan. Metabolisme akan terjadi di dalam organ-organ tubuh yang berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal, dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja. Senyawa-senyawa dalam bentuk murni maupun metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu. Timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh akan terjadi apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama, itulah yang disebut dengan residu (Rahayu 2010). Ambing kaya akan suplai darah terutama dari a. externa pudenda, a. subcutanea abdominis, dan a. perinealis. Rasio volume sirkulasi darah melalui kelenjar susu terhadap volume produksi susu adalah 670:1. Hal ini menunjukkan adanya oportunitas dari obat-obatan yang larut dalam lemak yang secara difusa pasif melalui sirkulasi darah masuk ke dalam susu. Masuknya agen antimikroba ke dalam susu segar tergantung dari pengaruh kimia alami, derajat ionisasi, solubilitas lipid dan tingkat plasma protein binding pada konsentrasi equilibrium yang berhasil menembus barier seluler. Agen antimikroba yang memiliki lipidsoluble, asam atau basa lemah yang tidak terionisasi dan bebas (tidak berikatan dengan protein) dalam plasma mampu melakukan penetrasi ke dalam membran sel, masuk ke dalam susu, dan berdifusi ke dalam cairan transelular (Giguere et al 2006). Menurut Bishop (2005), penggunaan produk obat-obatan dalam menangani berbagai permasalahan kesehatan di peternakan dapat menyebabkan terjadinya residu dalam susu dan mempengaruhi kualitas susu tersebut. Kehadiran

8 substansi antimikrobial dalam susu seperti residu antibiotika dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius. Hadirnya residu antibiotika dalam susu dapat diakibatkan oleh tidak diperhatikannya withdrawal time antibiotika tersebut. Withdrawal time dari golongan penisilin, makrolida, tetrasiklin, dan aminoglikosida disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Withdrawal time beberapa jenis antibiotika No. Jenis antibiotika Withdrawal time 1. Penisilin G 96 jam 2. Eritromisin 36 jam 3. Tetrasiklin 72 jam 4. Streptomisin 48 jam Sumber: Bishop (2005). 2.5 Dampak Residu Antibiotika pada Konsumen Residu antibiotika dalam makanan dan penggunaannya dalam bidang kedokteran hewan berkaitan dengan aspek kesehatan, aspek teknologi, dan aspek lingkungan. Ancaman potensial residu antibiotika dalam makanan terhadap kesehatan secara umum dibagi menjadi tiga kategori, yaitu aspek toksikologis, aspek mikrobiologis, dan aspek imunopatologis. Residu antibiotika bersifat toksik terhadap hati, ginjal, dan pusat hemopoitika (pembentukan darah) bila ditinjau dari aspek toksikologis, sedangkan dari aspek mikrobiologis, residu antibiotika dapat mengganggu mikroflora dalam saluran pencernaan dan menyebabkan terjadinya resistensi mikroorganisme yang dapat menimbulkan masalah kesehatan manusia dan hewan. Bahaya potensial residu antibiotika dari aspek imunopatologis dapat menimbulkan reaksi alergi yang ringan dan lokal, hingga menyebabkan shock yang berakibat fatal. Dampak negatif keberadaan residu antibiotika dalam bahan pangan dari aspek teknologi pengolahan dapat menghambat atau menggagalkan proses fermentasi yang menggunakan mikroba dalam pengolahannya (Lukman 2010). Oleh sebab itu perlu dilakukan pengawasan untuk mencegah keberadaan residu antibiotika dalam susu dengan menetapkan batas maksimum residu antibiotika dalam susu sebagaimana dituangkan dalam SNI 01-6366-2000 (Tabel 3).

9 Tabel 3 Batas maksimum residu antibiotika dalam susu (mg/kg) Jenis antibiotika Batas maksimum residu (mg/kg) Penisilin 0,1 Oksitetrasiklin 0,05 Streptomisin 0,1 Eritromisin 0,1 Sumber: BSN (2000). 2.6 Metode Pengujian Residu Antibiotika Metode pengujian residu antibiotika dapat berupa uji cepat, uji tapis (screening test) atau uji konfirmasi. Begitu banyak jenis uji yang ada, namun tidak ada satu pun uji yang paling baik untuk dilakukan pada semua produk (Wehr & Frank 2004). 2.6.1 Uji Cepat Menurut Wehr dan Frank (2004), uji cepat merupakan metode pengujian residu antibiotika yang tidak memakan waktu banyak dan mudah penggunaannya. Pengujian dengan menggunakan uji cepat digunakan sangat luas hampir di seluruh dunia dalam bentuk test kits. Test kits ini memudahkan pengujian residu antibiotika dalam susu saat pengambilan atau penerimaan di pabrik susu. Uji cepat mampu menguji golongan maupun jenis dari antibiotika tertentu. Namun uji cepat hanya dapat menguji residu antibiotika secara kualitatif. Beberapa jenis uji cepat yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu antibiotika dalam susu antara lain adalah milkguard beta lactams rapid test kit, chloramphenicol rapid test kit, milk test kit, milk antibiotic analysis test kit, beta star, dan lain-lain. 2.6.2 Uji Tapis dengan Bioassay Metode uji tapis pada umumnya merupakan uji kualitatif atau semikuantitatif. Uji ini didesain agar dapat memberikan hasil positif atau negatif yang mengindikasikan hadir atau tidaknya residu antibiotika dalam susu atau produk peternakan lainnya. Uji tapis ini tidak dapat mengidentifikasi secara spesifik residu antibiotika yang ada dalam sampel. Uji ini berfungsi untuk mengidentifikasi kehadiran residu antibiotika dengan cepat, mudah digunakan,

10 dan relatif tidak mahal. Salah satu metode uji tapis yang umum digunakan untuk mendeteksi residu antibiotika pada pangan, termasuk susu adalah bioassay. Bioassay merupakan suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotika yang masih aktif (BSN 2008). Menurut Eenennaam et al. (1993), sensitifisitas dari metode bioassay dapat ditunjukkan dengan konsentrasi minimum residu antibiotika yang bisa dideteksi. Limit deteksi bioassay terhadap golongan beta laktam adalah 0.00125 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu beta laktam dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.00125 ppm. Limit deteksi bioassay terhadap golongan tetrasiklin adalah 0.03 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu tetrasiklin dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.03 ppm. Limit deteksi bioassay terhadap golongan aminoglikosida dan makrolida adalah 0.1 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu beta laktam dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.1 ppm. Limit deteksi ini masih di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan oleh SNI nomor 01-6366-2000. Hal ini menunjukkan bahwa metode bioassay dapat diandalkan untuk mendeteksi residu antibiotika dari golongan beta laktam, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida. Menurut Eenennaam et al. (1993), spesifisitas dari metode bioassay dapat ditunjukkan dari tipe golongan antibiotika yang dapat dideteksi dengan melihat hambatan pertumbuhan bakteri. Bakteri tersebut adalah Bacillus stearothermophilus ATCC 7953 untuk golongan beta laktam, Bacillus cereus ATCC 11778 untuk golongan tetrasiklin, Bacillus subtilis ATCC 6633 untuk golongan aminoglikosida, dan Kocuria rizophila ATCC 9341 untuk golongan makrolida. Bakteri-bakteri ini digunakan karena kemampuannya untuk melakukan pertumbuhan yang cepat pada suhu optimum sehingga memungkinkan untuk memperoleh hasil analisis dalam waktu beberapa jam saja. Sporanya dapat disimpan dalam waktu cukup lama sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu (Pikkemat et al. 2009). Prinsip dari uji ini adalah adanya daya hambatan pertumbuhan bakteri oleh antibiotika yang terkandung dalam produk peternakan menunjukkan positif ada residu. Sebaliknya, jika tidak ada daya hambatan pertumbuhan bakteri oleh antibiotika maka produk peternakan dinyatakan tidak mengandung residu antibiotika atau negatif residu (Zulfianti 2005).

11 2.6.3 Enzyme Linked Immunosorbent Assay Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu metode yang sangat banyak digunakan pada beberapa tahun terakhir. Metode ELISA dapat digunakan untuk menguji puluhan sampel dalam sekali pengujian dengan waktu yang singkat. Hingga saat ini, ELISA telah menjadi metode yang popular untuk mendeteksi residu antibiotika dan residu pestisida dalam pangan asal hewan karena memiliki sensitivitas yang tinggi, sederhana, dan kemampuan untuk menguji banyak sampel hanya dengan volume yang sedikit (Wang et al 2009). 2.6.4 High Performance Liquid Chromatographic High performance liquid chromatographic (HPLC) merupakan metode yang sangat membantu dalam konfirmasi keberadaan residu antibiotika dalam pangan asal hewan. Metode HPLC untuk pengujian residu antibiotika didasarkan pada reversed-phase chromatography dan multisignal UV-visiblediode-array detection (UV-DAD). Spektrum UV berperan sebagai alat identifikasi tambahan (Husgen & Schuster 2001). Metode HPLC mampu mengkonfirmasi kehadiran dan identifikasi antibiotika dalam susu. Umumnya, analisis HPLC digunakan untuk membantu identifikasi residu yang positif pada uji cepat atau uji tapis. Informasi tambahan ini dapat membantu dalam pencegahan insidensi yang sama di masa mendatang (Wehr & Frank 2004).