7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik

dokumen-dokumen yang mirip
3 METODOLOGI UMUM 3.1 Lokasi Penelitian

6 MODEL PROSES RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

PENGELOLAAN PERIKANAN KOLABORATIF PENGELOLAAN PERIKANAN BERSKALA KECIL DI DAERAH TROPIS

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

6 KESIMPULAN DAN SARAN

KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK PADA PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR ACHMAD BUDIONO

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan tanah yang jumlahnya tetap (terbatas) mengakibatkan perebutan

Peran Dan Tanggung Jawab Masyarakat Pelaksanaan Sistem Monitoring Karbon Hutan di Provinsi Maluku

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

11 LEMBARAN DAERAH Oktober KABUPATEN LAMONGAN 16/E 2006 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG KERJASAMA DESA

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK

DINAMIKA PERUBAHAN & RESOLUSI KONFLIK

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN (ESL 327 ) Ko-Manajemen. Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

I. PENDAHULUAN. Perusahaan perikanan merupakan salah satu pelaku dalam. pembangunan perekonomian nasional. Walaupun didukung oleh sumberdaya

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

merasa perlu untuk menawar kembali

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

TEKNIK NEGOSIASI S. BUDI PRAYITNO. Universitas Diponegoro Semarang

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES

Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN. Makna Pemberdayaan 5/24/2017. Penyebab Ketidakberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) Power/daya.

9. PERUBAHAN DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI

RENCANA STRATEGI KEGIATAN INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT DI KABUPATEN SUKABUMI

BAB 5. Gagasan tentang Pendidikan Resolusi Konflik

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN. mengeksplorasi faktor-faktor consequence (akibat) dari diterapkannya salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya era Otonomi Daerah pasca berlakunya Undang-Undang (UU)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. METODOLOGI ' ' ' ' ' Tg. Gosong. Dongkalang ' ' ' ' '

PERENCANAAN WATANG BACUKI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sngat kental dalam kehidupan masyarakat desa, membuat masyarakat saling

MODUL HUMAN RELATIONS (3 SKS) Oleh: Wihartantyo Ari Wibowo, ST, MM

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 4 METODE PENELITIAN. analitik yang terdiri dari 2 tahap pelaksanaan.

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat

Contoh topik penelitian manajemen rumahsakit

Kesepakatan: Kurikulum Dasar Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia RAKER AIPTKMI IX

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

BAB I PENDAHULUAN. penangkapan ikan dan binatang air lainnya (suyitno, 2012). Tingkat

BAB I PENDAHULUAN. persediaan obat. Adanya persediaan obat yang cukup untuk melayani permintaan

PENANGANAN KONFLIK NON LAHAN (SOSIAL) DI DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN DAN PABRIK KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas wilayah 506,85 km 2

STANDARD OPERATING PROCEDURE PENYELESAIAN KONFLIK EKSTERNAL

BAB VI SIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 5 Maret 2015; disetujui: 20 Maret 2015

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi. pertanggungjawaban kinerja organisasi.

Nama WAKATOBI diambil dengan merangkum nama. ngi- wangi, Kaledupa. dan Binongko

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

BAB III ANALISIS DAN PENGEMBANGAN MODEL

BAB VI PENUTUP. dengan pola aktivitas dan strategi penghidupan masyarakat nelayan di Kawasan. Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

MODEL PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS RESOLUSI KONFLIK Model of Capture Fisheries Resources Management Based on Conflict Resolution

8 KEBIJAKAN STRATEGIS PENGEMBANGAN PERIKANAN

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PENGEMBANGAN MODEL GENERIK BERBASIS INTERVENSI TERHADAP PERILAKU MANUSIA UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN KARANG INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman yang semakin meningkat dan diikuti oleh. perkembangan TI yang semakin modern berpengaruh terhadap kehidupan

BAB V KESIMPULAN & SARAN

BAB V SIMPULAN. dalam bab sebelumnya, keterbatasan dan saran untuk penelitian selanjutnya. Hasil

IV. METODE PENELITIAN. Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

PENGELOLAAN LINGKUNGAN SOSIAL

Transkripsi:

7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Konflik perikanan tangkap dapat muncul karena berbagai alasan. Menurut Bennett et al. (2004) konflik muncul sebagai fungsi struktur sosial (perspektif sosiologis), fungsi hubungan kekuatan (perpektif politis) atau akibat dari proses pengambilan keputusan rasional oleh individu dalam memaksimumkan utilitasnya pada kondisi sumberdaya yang terbatas (perspektif ekonomi). Isu yang sering muncul tentang konflik adalah adanya persepsi bahwa satu kelompok memperoleh keuntungan dengan merugikan kelompok lainnya. Warner (2000) mengidentifikasi empat isu yang dapat menjelaskan sebab terjadinya konflik sumberdaya alam, yaitu : 1) perubahan demografik, 2) kompetisi sumberdaya alam, 3) tekanan pembangunan sebagai dampak dari perubahan kebijakan pemerintah, dan 5) ketidakadilan struktural. Demikian pula Charles (1992) mengemukakan bahwa konflik perikanan terkait dengan bagaimana mempertahankan kesejahteraan masyarakat disatu sisi dengan kepentingan industri disisi yang lain. Keterangan diatas secara eksplisit menunjukkan keterkaitan konflik perikanan dengan isu ekonomi dan issue teknologi yang sejalan dengan temuan dari hasil penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan Faktor penyebab konflik perikanan tangkap terdiri dari 11 sub variabel yaitu, banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PART), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS), isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), jumlah nelayan (POPU), latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK). Faktor penyebab konflik tersebut merupakan pemicu munculnya konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian, yaitu 1) konflik retribusi (RETR), 2) konflik tambat labuh (TAML), 3) konflik daerah tangkap (DAET), 4) konflik alat tangkap (ALTA), 5) konflik penggunaan potas/obatobatan (POTA), 6) konflik bagi hasil (BAGH), 7) konflik nelayan lokal vs andon

(LOKA), 8) konflik pengolahan limbah (PENL)dan 9) konflik perusakan terumbu karang (PERK). Menarik untuk dicermati lebih lanjut adalah penyebab konflik yang terkait dengan persepsi masyarakat terhadap kondisi stok sumberdaya (STOK). Hasil wawancara secara mendalam menunjukkan bahwa sebagian masyarakat di lokasi penelitian memiliki pemahaman bahwa ketersediaan stok SDI menunjukkan tendensi yang menurun yang direpresentasikan pada hasil tangkapan yang dari waktu-kewaktu semakin berkurang. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan terjadinya konflik daerah penangkapan (DAET), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA) dan konflik perusakan terumbu karang (PERK). Persepsi keterbatasan stok SDI ini tidak seluruhnya benar karena hasil perhitungan dengan menggunakan metoda Walter-Hillborn (1977) menunjukkan bahwa pemanfaatan SDI saat ini dilokasi penelitian sesungguhnya masih berada dibawah MSY. Hal ini berarti pemanfaatan SDI masih bisa untuk ditingkatkan. Penyebab konflik yang terkait dengan struktur sosial adalah: banyak sedikitnya pihak terlibat dalam konflik (PART), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS), isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU), populasi nelayan (POPU), latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), adanya keinginan tertentu (INTE), serta keberadaan aturan dan penegakan hukum (LAWS). Penyebab konflik yang terkait dengan fungsi ekonomi adalah kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya (COMP), persepsi masyrakat terhadap stok sumberdaya (STOK) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON). Hasil analisis menggunakan principle component analysis dan structural equation model menunjukkan faktor penyebab konflik dapat dibedakan menjadi dua cluster, yaitu teknologi dan ekonomi. Cluster teknologi mencakup keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK). Sedangkan cluster ekonomi terdiri dari isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON). Faktor penyebab konflik tersebut merupakan 236

pemicu munculnya konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian, khususnya konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML), konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), konflik alat tangkap (ALTA) dan konflik daerah tangkap (DAET). Demikian pula hasil analisis yang mengkaitkan variabel penyebab konflik dengan variabel jenis konflik menunjukkan kombinasi dari faktor penyebab konflik di lokasi penelitian terutama menyebabkan terjadinya konflik daerah penangkapan (DAET) yang terjadi di tiga lokasi penelitian.. Temuan ini menjelaskan bahwa konflik daerah penangkapan (DAET) ternyata disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor penyebab konflik (multy factors) yang terutama dipicu oleh adanya tokoh yang melakukan provokasi (LEAD). Kondisi ini diperburuk oleh adanya peraturan atau kesepakatan (LAWS) lokal yang tidak dipatuhi oleh masyarakat nelayan.. Temuan penelitian ini relevan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bennet et al. (2004) dan Walker (2000) yang menyebutkan bahwa konflik tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tetapi merupakan kombinasi dan akumulasi dari berbagai faktor penyebab konflik. 7.2 Efektivitas Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Berdasarkan pengalaman empiris, Bennet dan Neiland (2000) menyatakan bahwa pengelolaan konflik perikanan tangkap umumnya bersifat site spesific, yang berarti tidak seluruh tehnik resolusi konflik cocok untuk menyelesaikan jenis konflik tertentu. Resolusi konflik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR). Konflik-konflik yang terjadi seluruhnya diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa (ADR). Dari tehnik ADR yang ada, hanya empat tehnik yang digunakan di lokasi penelitian, yaitu: negosiasi, mediasi, fasilitasi dan avoidance. Jika dilihat berdasarkan frekuensi penggunaannya, maka tehnik negoisasi merupakan tehnik yang paling banyak digunakan. Tehnik negosiasi digunakan untuk mengelola delapan jenis konflik, yaitu: konflik alat tangkap (ALTA), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA), konflik bagi hasil (BAGH), konflik perebutan daerah tangkap (DAET), konflik nelayan lokal vs andon 237

(LOKA), konflik pengolahan limbah (PENL) dan konflik tambat labuh (TAML). Tehnik mediasi digunakan untuk mengelola enam jenis konflik, yaitu: konflik alat tangkap (ALTA), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA), konflik bagi hasil (BAGH), konflik perebutan daerah tangkap (DAET), konflik nelayan lokal vs andon (LOKA),dan konflik retribusi (RETR). Tehnik fasilitasi digunakan untuk mengelola enam jenis konflik yaitu: konflik alat tangkap (ALTA), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA), konflik perebutan daerah tangkap (DAET), konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), konflik pengolahan limbah (PENL) dan konflik tambat labuh (TAML). Serta tehnik avoidance digunakan untuk mengelola enam jenis konflik, yaitu: konflik alat tangkap (ALTA), konflik penggunaan potas/obat-obatan (POTA), konflik bagi hasil (BAGH), konflik perebutan daerah tangkap (DAET), dan konflik pengolahan limbah (PENL). Temuan ini menunjukkan bahwa untuk menyelesaikan konflik perikanan tangkap dapat digunakan berbagai tehnik resolusi konflik sesuai situasi dan kondisi. Hasil analisis persamaan struktural, menunjukkan bahwa dari ke empat variabel tehnik resolusi konflik tersebut maka berdasarkan koefisien faktor loadingnya tehnik resolusi yang paling besar kontribusinya dalam pembentukan variabel resolusi konflik (RESO) adalah mediasi. Namun besaran koefisien tersebut beragam untuk tiap jenis konflik sehingga bisa disimpulkan bahwa tehnik resolusi tersebut bersifat spesifik. Penelitian ini juga menemukan tidak terdapat konflik yang diselesaikan dengan tehnik litigasi (pengadilan). Hasil pengukuran mengenai ketepatan tehnik ADR dengan menggunakan instrumen yang diadopsi dari Priscolli (2003), menunjukkan bahwa penggunaan tehnik ini memiliki kesesuaian yang tinggi dengan konflik yang terjadi. Hal ini sejalan dengan Koesnoe (1979), yang mengatakan bahwa karakteristik masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan kerukunan dan kerjasama, merupakan prasarat penting bagi suksesnya penggunaan tehnik ADR. Hasil analisis model persamaan struktural (SEM) untuk seluruh jenis konflik dilokasi penelitian, dapat disimpulkan bahwa tehnik resolusi yang paling berpengaruh positif terhadap outcome adalah mediasi. Metoda ini memiliki loading tertinggi dibandingkan dengan ketiga tehnik resolusi lainnya. 238

Dari perspektif outcome, resolusi konflik ternyata memberikan pengaruh positif terhadap partisipasi masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi belum mampu memberikan pengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkeadilan. Temuan ini secara empiris menjelaskan bahwa semakin baik proses resolusi konflik maka akan semakin baik pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Partisipasi dalam hal ini mencakup peran serta masyarakat nelayan dalam kegiatan monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya. 7.3 Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Terdapat dua model mendasar dalam memandang suatu konflik yaitu: model medis dan model friksi (Roark dan Wilkinson 1979). Asumsi yang mendasari model medis adalah konflik itu seperti penyakit, semakin sedikit penyakitnya semakin baik. Sementara model friksi mengasumsikan bahwa bentuk-bentuk hubungan (relationship) akan mendorong terjadinya konflik. Model yang dikembangkan oleh Gordon (1970) dalam Hill (1982) merupakan model yang paling dikenal. Secara umum model tersebut menyatakan bahwa ke dua belah pihak yang berkonflik memperoleh kemenangan (win-win solution) sebab resolusi konflik harus dapat diterima oleh kedua belah pihak, konflik dipandang sebagai masalah yang harus diselesaikan dan setiap orang berpartisipasi dalam menemukan solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setiap pihak yang berkonflik saling menghormati satu sama lain dan power tidak digunakan untuk menyelesaikan masalah. Memperhatikan tipologi konflik dan analisis keefektivan resolusi konflik yang dilakukan di lokasi penelitian, maka model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dirancang menggunakan community based fisheries management/community management (CBFM/CM), dengan menggunakan empat komponen dasar, yaitu: 1) perundangan dan regulasi, 2) peran serta organisasi masyarakat pantai, 3) infrastruktur dasar dan 4) kondisi sosial. Pengalaman dari lokasi/negara lain membuktikan CBFM/CM cenderung dapat berhasil di kalangan masyarakat nelayan kecil (artisanal fisheries), yang berarti sesuai dengan karakteristik nelayan yang ada di lokasi penelitian. 239

Sesuai dengan karakteristik masyarakat nelayan yang mengutamakan kerukunan, dan kerjasama serta adannya peran-serta masyarakat nelayan yang cukup tinggi dalam pengelolaan perikanan tangkap, maka kelembagaan yang dapat digunakan adalah pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PSBM). Bentuk kelembagaan ini sangat sesuai karena didalamnya sudah mencakup mekanisme pengelolaan konflik. Kelembagaan PSBM sudah berjalan Prigi, tetapi belum berjalan di dua lokasi lainnnya. Pada waktu penelitian ini dilakukan, perkembangan PSBM baru pada tahapan consultative co-mangement, yang dicirikan dicirikan oleh masih kuatnya intervensi pemerintah dalam membuat keputusan pengelolaan perikanan. Kondisi PSBM ini harus terus dikembangkan sehingga menjadi delegated co-management (Pomeroy, 2003). Pada delegated comanagement keputusan-keputusan pengelolaan perikanan dilakukan oleh stakeholder sementara peran pemerintah disatu sisi akan menjadi sangat kecil. Pada kondisi ini masyarakat nelayan memiliki kontrol yang besar terhadap pengelolaan perikanan, dilain pihak peran pemerintah akan menjadi sangat kecil. 240