5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN"

Transkripsi

1 5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap aspek merupakan kumpulan komponen pengelolaan yang memiliki ciri khas tertentu. Hasil pengukuran yang diperoleh disajikan seperti berikut. 5.1 Perencanaan Kawasan Terdapat tiga kelompok utama yang menjadi penilaian dalam mengukur kekuatan perencanaan kawasan konservasi yaitu: penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak. Ketiga kelompok tersebut terdiri dari masing-masing 5 komponen penilaian. Hasil penilaian terhadap ketiga kelompok utama perencanaan di 2 kawasan konservasi di Indonesia disajikan dalam Gambar Nilai Perencanaan Perlindungan kehati Keterkaitan dengan aset kehati Konsistensi Pemahaman pengelola Dukungan masyarakat Perlindungan hukum Resolusi konflik Tata batas Ketiadaan klaim lahan SDM dan keuangan Kesesuaian tempat Lay out Tujuan Kepastian Hukum Desain Tapak Pemanfaatan sekitar kawasan Zonasi Keterkaitan kawasan lain Gambar 16 Grafik nilai berbagai komponen dalam perencanaan kawasan konservasi Gambar 16 menunjukkan bahwa semua kelompok penilaian perencanaan kawasan konservasi yaitu penetapan tujuan, kepastian hukum, dan desain tapak, masih relatif lemah dimana nilai rata-rata keseluruhan aspek lebih kecil dari. Secara umum nilai perencanaan tujuan kawasan konservasi sudah relatif lebih baik dibandingkan aspek kepastian hukum dan desain tapak. Hal-hal yang masih perlu perhatian serius dalam

2 60 penyusunan tujuan kawasan konservasi adalah ketidak konsistenan rencana detail pengelolaan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, pemahaman staf terhadap tujuan pengelolaan dan dukungan masyarakat masih lemah. Ditinjau dari aspek kepastian hukum hampir semua komponen yang diamati belum sesuai dengan harapan yaitu masih seringnya muncul klaim atas sumberdaya, tata batas yang tidak jelas, dan konflik yang tidak terselesaikan. Aspek perlindungan hukum yang menunjukkan nilai relatif tinggi pada Gambar 16. lebih mengacu pada adanya dasar hukum pembentukan Taman Nasional yaitu Keputusan Menteri, tapi hal ini tidak didukung oleh aspek lain. Komponen-komponen dalam kelompok desain tapak yang sudah relatif lebih baik adalah komponen kesesuaian tempat dan komponen lay out kawasan konservasi. Sedangkan zonasi, pemanfaatan sekitar kawasan, dan keterkaitan dengan kawasan lain masih relatif lemah. Aspek perencanaan dalam mengelola kawasan konservasi adalah hal yang mengawali sukses tidaknya pengelolaan kawasan konservasi. Lemahnya aspek perencanaan kawasan konservasi yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan untuk kembali menata ulang rencana-rencana strategis pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada saat ini. 12 Nilai Perencanaan Berbak Sembilang Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur Lorentz Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih Kepulauan Seribu Komodo Bunaken Taka Bonerate Wakatobi Siberut Baluran Alas Purwo Meru Betiri Manupeu Tanadaru d h t Rawa Pantai dan Mangrove Mangrove- Hutan Pantai Gambar 17 Grafik nilai perencanaan 2 kawasan konservasi. Huruf d merupakan desain kawasan, h kepastian hukum, dan t untuk penetapan tujuan.

3 61 Sebagian besar kawasan konservasi yang diamati dalam penelitian ini masih lemah dalam hal perencanaan pengelolaan seperti yang disajikan dalam Gambar 17. Kawasan konservasi yang perencanaannya sudah relatif baik yang lain adalah dari kelompok terumbu karang dan kelompok gabungan terumbu karang dan mangrove. Hal ini disebabkan karena kelompok ini telah bisa memformulasi tujuan pembentukan kawasan dengan baik. Sebaliknya kawasan dengan nilai rata-rata perencanaan yang paling lemah adalah kelompok hutan pantai disebab oleh karena lemahnya desain tapak kawasan. Secara individual, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Bali Barat, Komodo, Taka Bonerate, dan Wasur adalah kawasan konservasi yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain. Kawasan konservasi yang nilai perencanaannya paling lemah terdapat pada kelompok hutan pantai dan rawa mangrove yaitu masing-masing adalah Taman Nasional Siberut dan Tanjung Puting. Gambaran tersebut diatas sekilas menunjukkan adanya kebutuhan yang berbeda pada masing-masing type kawasan dengan satu satu kesamaan yaitu bahwa formulasi tujuan pembentukan kawasan telah dibuat lebih baik dibandingkan penegakan/ perlindungan hukum dan desain tapak kawasan. Prioritas penanganan lebih lanjut akan sangat bergantung pada seberapa jauh faktor-faktor ini terkait atau mempengaruhi efektifitas pengelolaan secara umum. Hasil RAPPAM di negara tropis berkembang lain memiliki kebutuhan yang cenderung berbeda dalam tahapan perencanaan kawasan. Kamboja misalnya telah cukup memadai dalam menyusun desain tapak kawasan, tapi lemah dalam perencanaan dimana pembentukan kawasan tidak sejalan dengan kondisi keanekaragaman hayati, kawasan konservasi lahan basah pesisir tidak mewakili lahan basah pesisir yang ada di Kamboja, dan banyak dari kawasannya belum memiliki kepastian hukum penetapannya (Lacerda et.al. 2005). Kondisi yang relatif lebih baik ditunjukkan oleh hasil RAPPAM di Brazil dimana perencanaan kawasan telah sejalan dengan kondisi keanekaragaman hayati dan desain tapak dirancang dengan baik sehingga kebutuhan intervensi dalam dua komponen ini relatif kecil (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005). Perbedaan keduanya terletak pada

4 62 pemenuhan kebutuhan akan tenaga yang profesional di Kamboja masih relatif rendah dibandingkan di Brazil. 5.2 Masukan Aspek masukan dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi adalah segala hal yang dibutuhkan dalam proses pengelolaan untuk membantu mencapai tujuantujuan pengelolaan. Terdapat empat kelompok komponen penilaian yang menjadi perhatian dalam menilai kekuatan masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu: pegawai, komunikasi, infrastruktur, dan keuangan. Nilai masing-masing kelompok tersebut beserta komponen-komponennya disajikan dalam gambar berikut. Nilai Masukan Penilaian kinerja Pelatihan Keterampilan Jumlah staff Kondisi kerja Komunikasi ke masyarakat Peralatan komunikasi Data bio, sosek Peralatan survey Analisis data Transportasi Peralatan lapangan Fasilitas staf Fasilitas pengunjung Perawatan peralatan Alokasi Pengelolaan keuangan Dana 5 tahun kedepan Dana 5 tahun terakhir staff komunikasi infrastruktur keuangan Stabilitas jangka panjang Gambar 18 Grafik nilai berbagai komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi Gambar 18 menunjukkan bahwa tidak satupun dari 20 komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang telah memadai (nilai>) untuk mendukung pencapaian tujuan-tujuan pengelolaan kawasan konservasi. Kelompok komponen yang memperoleh nilai paling lemah adalah kelompok infrastruktur. Sedangkan kelompok komponen yang relatif lebih baik dibanding kelompok lain adalah kelompok pegawai. Dua komponen yang paling lemah dari 20 komponen yang diamati sebagai modal suksesnya pengelolaan kawasan konservasi adalah kondisi kerja bagi staf dan

5 6 perawatan terhadap peralatan. Komponen yang relatif lebih baik dibandingkan dengan yang lain adalah komunikasi dengan masyarakat. Gambaran ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan komponen-komponen masukan sumberdaya manusia, sarana komunikasi, infrastruktur, dan keuangan masih sangat tinggi. Hal ini menjadi sangat penting karena belum terdapat pertumbuhan nyata alokasi keuangan pada lembaga-lembaga pemerintah yang menangani isu konservasi. Meski secara perlahan Departemen Kehutanan mulai menanamkan pemahaman konservasi yang lebih dini pada staf-staf barunya dengan memagangkan semua staf baru di kawasan-kawasan konservasi seluruh Indonesia. 12 Nilai Masukan f i k u 0 Berbak Sembilang Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur Rawa Pantai dan Mangrove Lorentz Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih Mangrove- Kepulauan Seribu Komodo Bunaken Taka Bonerate Wakatobi Siberut Baluran Alas Purwo Hutan Pantai Meru Betiri Manupeu Tanadaru Gambar 19. Grafik akumulasi nilai berbagai masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hurup f menunjukkan pegawai, i untuk infrastruktur, k untuk komunikasi, dan u anggaran. Gambar 19 menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang nilai masukannya sudah relatif lebih baik dibandingkan kawasan konservasi lainnya adalah dari kelompok terumbu karang. Secara individual Taman Nasional Bunaken, Kepulauan Seribu, Bali Barat, Wakatobi, Alas Purwo, Way Kambas dan Wasur adalah kawasan konservasi yang memiliki nilai masukan yang lebih baik. Kawasan konservasi yang nilai masukannya paling rendah adalah Taman Nasional Lorentz dan Manupeu Tanadaru. Kelima kawasan konservasi pertama yang memiliki masukan relatif baik tersebut umumnya memiliki potensi wisata laut yang terkenal sedangkan dua kawasan

6 64 konservasi yang masukannya paling rendah adalah taman nasional yang didominasi kawasan upland. Gambar 19 juga menunjukkan bahwa nilai masukan suatu kawasan konservasi tidak ditentukan pada kelompok mana dia berada. Meski demikian terdapat kecenderungan bahwa kelompok kawasan konservasi terumbu karang mendapatkan masukan yang lebih baik sesuai yang kebutuhan. Terdapat indikasi yang kuat bahwa masukan yang tinggi terjadi pada kawasan konservasi yang dikelola secara kolaboratif dengan LSM Internasional besar the BiNGOs yaitu WWF, CI, TNC, WCS. Pemenuhan kebutuhan akan masukan memiliki isu yang relatif sama di Kamboja (Asia), Brazil (Amerika), Kwazulu Natal (Afrika Selatan) yaitu masih terdapat kekurangan yang luar biasa. Hasil RAPPAM di Brazil menemukan bahwa dari segi jumlah, Brazil hanya memenuhi 17% akan kebutuhan jumlah dan kualitas stafnya dan kurang dari 50% terpenuhi kebutuhan infrastruktur maupun kebutuhan keuangannya (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005). Hasil RAPPAM Kamboja bahkan mengkategorikan pemenuhan kebutuhan akan komponen masukan (staf, infrastruktur, keuangan) dalam pengelolaan kawasan konservasi di Kamboja sebagai mengalami kekurangan yang kronis disetiap level pengelola (Lacerda et. Al. 2005). Hal yang unik terjadi pada Hasil RAPPAM Kwazulu Natal yang menemukan bahwa jumlah staff maupun keahliannya sudah cukup memadai, komunikasi dalam batas sedang, yang masih kurang hanya pada aspek pemenuhan kebutuhan keuangan pengelolaan (Goodman, 200) 5. Proses Pengelolaan Proses pengelolaan adalah tahapan dalam siklus pengelolaan yang merupakan tindak lanjut perencanaan dan desain kawasan konservasi berdasarkan kondisi obyektif yang ada. Penilaian proses pengelolaan ditujukan untuk mengetahui apakah proses tersebut konsisten dengan tujuan-tujuan kawasan konservasi. Terdapat tiga kelompok yang menjadi penilaian terhadap proses pengelolaan yaitu: (1) perencanaan pengelolaan; (2) pengambilan keputusan dalam pengelolaan atau praktek-praktek pelaksanaan; () penelitian, monitoring, dan evaluasi kegiatan.

7 65 Nilai Proses Pengelolaan Rencana pengelolaan Analisis ancaman Pendataan Rencana kerja detail Pemantauan Keterbukaan Organisasi internal Kolaborasi dgn masyarakat Partisipasi masyarakat Komunikasi efektif Penelitian ekologis Pencatatan dampak Pemanfaatan monitoring Akses hasil penelitian Penelitian isu sosek perencanaan pengelolaan praktek-praktek pelaksanaan monitoring evaluasi Gambar 20. Grafik nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan kawasan konservasi Rendahnya nilai pada komponen masukan dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti yang disajikan dalam Gambar 18 menyebabkan kita sulit untuk berharap bahwa dalam tahapan siklus pengelolaan selanjutnya yaitu proses pengelolaan akan diperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini terlihat dari hasil penelitian terhadap 15 komponen proses yang diamati, ternyata hanya ada komponen yang dinilai cukup memadai yaitu struktur organisasi internal, keterbukaan dalam pengelolaan, dan kolaborasi dengan masyarakat seperti ditunjukkan dalam Gambar 20. Gambar 20 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, komponen-komponen proses pengelolaan memiliki nilai capaian yang sangat rendah dengan nilai dibawah 2 yang berarti bahwa sebagian besar kondisi yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan harapan. Proses pengelolaan yang relatif lebih baik adalah pada kelompok praktekpraktek pelaksanaan, terutama pada komponen organisasi internal pengelola, keterbukaan dalam pengelolaan, dan upaya-upaya kolaborasi dengan masyarakat. Secara umum, bagian paling lemah dalam kegiatan proses pengelolaan adalah monitoring dan evaluasi terutama pada penelitian-penelitian isu sosial ekonomi. Dua dari tiga kelompok komponen dalam proses pengelolaan yang memiliki nilai yang sangat rendah yaitu kelompok perencanaan dan kelompok monitoring dan

8 66 evaluasi. Lemahnya proses perencanaan biasanya disebabkan oleh hambatan teknis seperti ketiadaan data dan informasi, pendekatan proyek yang dilakukan oleh konsultan, dan terbatasnya waktu pelaksanaan. Akibatnya banyak kawasan konservasi yang tidak menyelesaikan rencana pengelolaannya, kalaupun ada karena difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat, biasanya hanya berupa dokumen yang tersimpan sebagai arsip tanpa adanya upaya implementasi. Bagian lain dari proses pengelolaan yang lemah adalah pada kelompok monitoring dan evaluasi. Saat ini sistem monitoring dan evaluasi yang dikembangkan masih belum memadai. Akibatnya, informasi yang diperoleh dari kegiatan monitoring sulit untuk diakses pihak lain yang berkepentingan dan sering tidak dimanfaarkan untuk menjadi masukan bagi siklus pengelolaan selanjutya. Gambaran ketidakmemadaian ini bisa dilihat pada produk informasi Taman Nasional yang dipublikasikan Pusat Informasi Konservasi Alam (PIKA) Departemen Kehutanan melalui websitenya Hingga saat penulisan hasil penelitian ini dilakukan (Desember 2006), informasi mengenai taman nasional yang ditampilkan dalam website tersebut praktis masih berupa tabel-tabel yang sebagian besar dalam keadaan kosong Nilai Proses 6 0 m p e Berbak Sembilang Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur Lorentz Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih Kepulauan Seribu Komodo Bunaken Taka Bonerate Wakatobi Siberut Baluran Alas Purwo Meru Betiri Manupeu Tanadaru Rawa Pantai dan Mangrove Mangrove - Hutan Pantai Gambar 21. Grafik akumulasi nilai berbagai komponen dalam proses pengelolaan 2 kawasan konservasi. Hurup m pada keterangan gambar menunjukkan rencana pengelolaan, p untuk praktek pelaksanaan, dan e untuk evaluasi.

9 67 Seperti halnya dalam siklus-siklus pengelolaan sebelumnya, Taman Nasional Bali Barat, Komodo, Wakatobi, dan Bunaken tetap merupakan kawasan konservasi yang relatif lebih baik dalam proses pengelolaan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 21. Sedangkan kawasan konservasi yang proses pengelolaannya masih lemah antara lain Taman Nasional Lorentz, Gunung Palung, Kutai, Baluran, dan Sembilang. Secara umum kawasan konservasi kelompok terumbu karang memiliki nilai proses pengelolaan yang lebih baik dibandingkan kelompok kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan konservasi kelompok rawa/mangrove memiliki nilai proses yang lebih lemah dibanding kelompok lainnya. Hasil RAPPAM di tiga negara tropis yang sedang berkembang menunjukkan kesamaan yang dialami di Indonesia. Kamboja, Brazil, maupun Kwazulu Natal memiliki kelemahan dalam penyusunan rencana detail pengelolaan, penelitian, monitoring dan evaluasi pengelolaan. Sedangkan praktek-praktek pelaksanaan telah dijalankan dengan baik seperti keterbukaan, kolaborasi dengan masyarakat, dan komunikasi yang efektif. 5.4 Keluaran Penilaian terhadap keluaran dalam siklus pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk mengetahui apakah selama dua tahun terakhir keluaran tersebut konsisten untuk mencapai tujuan-tujuan umum pengelolaan, perencanaan kerja tahunan, dan kesesuaiannya dalam menghadapi tekanan dan ancaman yang dialami kawasan konservasi. Terdapat 10 komponen keluaran dalam siklus pengelolaan mencakup isu-isu sosial, ekonomi, biologi, dan kelembagaan pengelola seperti disajikan dalam Gambar 22.

10 Peningkatan kepedulian Pelatihan staf Manajemen staf Hasil penelitian dan monitoring Perencanaan dan inventarisasi Habitat dan satwa liar Pencegahan ancaman Pengembangan infrastruktur Nilai Keluaran Pengelolaan pengunjung Upaya restorasi Jenis-jenis Keluaran Gambar 22. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan kawasan konservasi Hasil penilaian terhadap keluaran yang diperoleh dari pengelolaan kawasan konservasi Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua komponen keluaran masih jauh dari memuaskan (nilai<, Gambar 22). Hasil yang paling lemah adalah upaya restorasi, pengelolaan pengunjung, dan pengembangan infrastruktur. Sedangkan komponen keluaran yang relatif lebih baik adalah peningkatan kepedulian. 5 Nilai Keluaran Berbak Sembilang Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur Lorentz Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih Kepulauan Seribu Komodo Bunaken Taka Bonerate Wakatobi Siberut Baluran Alas Purwo Meru Betiri Manupeu Tanadaru Rawa Pantai dan Mangrove Mangrove- Hutan Pantai Gambar 2. Grafik nilai keluaran dalam pengelolaan 2 kawasan konservasi. Pengelolaan yang dilakukan oleh masing-masing kawasan konservasi memberikan hasil yang bervariasi satu sama lain seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2. Kawasan konservasi keluaran yang lebih baik dalam pengelolaanya adalah Taman

11 69 Nasional Bali Barat dan Komodo. Sedangkan nilai keluaran yang rendah dapat ditemukan pada Taman Nasional Lorentz dan Rawa Aopa, Gunung Palung, dan Karimun Jawa. Penyebab perbedaan ini kompleks karena status masing-masing kawasan konservasi sangat berbeda demikian pula dengan tingkat masukan, proses, dan monitoring pengelolaannya. Secara umum kawasan konservasi kelompok terumbu karang memiliki keluaran yang lebih baik dibanding kelompok lainnya dan kelompok Rawa Pesisir dan mangrove memiliki nilai keluaran yang paling rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penilaian terhadap proses pengelolaan seperti disajikan dalam Gambar 21 dimana kelompok terumbu karang umumnya memiliki nilai lebih tinggi dibanding kelompok lain dan kelompok Rawa Pesisir dan mangrove umumnya memiliki nilai rendah. Nilai keluaran yang diperoleh dari hasil RAPPAM di Kamboja, Brazil, dan Kwazulu Natal juga masih jauh dari memuaskan. Laporan RAPPAM dari ketiga negara tropis sedang berkembang terus meyakini bahwa lemahnya input menyebabkan keluaran yang diperoleh juga menjadi lebih rendah dari tujuan-tujuan pengelolaan (Lacerda et.al. 2005; Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo. 2005; dan Goodman 200). 5.5 Akumulasi Komponen Siklus Pengelolaan Efektivitas Pengelolaan merupakan akumulasi penilaian terhadap seluruh siklus pengelolaan mulai dari perencanaan, masukan, proses, dan keluaran seperti yang disajikan pada Gambar 24. Efektivitas pengelolaan kawasan konservasi Indonesia sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan sebagian besar masih dikelola dengan tidak efektif yang ditunjukkan oleh nilai dibawah 9. Gambaran ini merupakan pembenaran terhadap isu yang sudah diketahui secara luas oleh publik pemerhati pengelolaan kawasan konservasi bahwa pengelolaan kawasan konservasi secara umum berjalan tidak efektif.

12 70 Nilai Efektivitas Pengelolaan Berbak Sembilang Way Kambas Tanjung Puting Kutai Gunung Palung Rawa Aopa Watumohai Wasur Lorentz Ujung Kulon Karimun Jawa Bali Barat Teluk Cendrawasih Kepulauan Seribu Komodo Bunaken Taka Bonerate Rawa dan Mangrove Mangrove - Hutan Pantai Wakatobi Siberut Baluran Alas Purwo Meru Betiri Manupeu Tanadaru keluaran proses masukan perencanaan Gambar 24. Grafik nilai efektivitas pengelolaan di 2 kawasan konservasi Terlepas dari rendahnya nilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara keseluruhan, secara umum kawasan konservasi yang nilai efektivitasnya cenderung tinggi dibanding kelompok lain adalah kelompok terumbu karang. Sebaliknya kelompok yang nilai efektivitasnya cenderung rendah adalah kelompok rawa dan mangrove. Terdapat paling tidak 2 kawasan konservasi yang pengelolaannya sudah efektif yaitu Taman Nasional Bali Barat, Komodo. Sedangkan Bunaken, Wakatobi, dan Kepulauan Seribu tergolong dalam kategori pengelolaan yang cukup efektif. Gambar 24 juga memberikan kita informasi bahwa kawasan konservasi yang paling tidak efektif dalam pengelolaannya adalah Taman Nasional Lorentz, Tanjung Puting, dan Rawa Aopa Watumohai.

4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI

4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI 4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI Kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir yang dalam tulisan ini disingkat menjadi kawasan konservasi bisa ditemui di hampir setiap wilayah Indonesia. Taman

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS

RENCANA STRATEGIS TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi LAMPIRAN 168 Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi No Nama dan SK Kawasan 1 Bukit Barisan Selatan SK Mentan No. 736/Mentan/X/ 1982, 14 Oktober 1982 2 Bali Barat* SK Menhut

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Kawan

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

DIRFKTOKA I JI NDFRAL KONSFRV ASI SIJMBFRDAVA ALAM DAN FKOSISTFM

DIRFKTOKA I JI NDFRAL KONSFRV ASI SIJMBFRDAVA ALAM DAN FKOSISTFM KE^MHNTHRIAN LINCIKI NCjAN illdl ii> i)an K R N l I ANAN DIRFKTOKA I JI NDFRAL KONSFRV ASI SIJMBFRDAVA ALAM DAN FKOSISTFM G e d u n g M a n g g a l a W a n a b a k t i, B!ok i, Lantai 8, J.n. Jenderai

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Penilaian perlindungan keanekaragaman hayati dalam peringkat hijau dan emas ini meliputi: 1) Konservasi insitu, meliputi metode dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi alam Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis merupakan tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan sehingga Indonesia dikenal sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA,

KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA, SALINAN KEPUTUSAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA NOMOR 34/A/2016 TENTANG KOMISI NASIONAL UNTUK PROGRAM MAN AND BIOSPHERE (MAB) UNITED NATIONS EDUCATIONAL SCIENTIFIC AND CULTURAL ORGANIZATION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT DAN REKLAMASI TELUK BENOA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT DAN REKLAMASI TELUK BENOA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT DAN REKLAMASI TELUK BENOA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Taman Nasional Laut Dasar pengelolaan : UU NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R KEMENTERIAN KEHUTANAN SEKRETARIAT JENDERAL PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN B O G O R K E P U T U S A N KEPALA PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN Nomor : SK. 134/Dik-1/2010 T e n t a n g

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 SALINAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL I. UMUM Pancasila

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5490 WILAYAH. Kepulauan. Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.121, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERBAGITA. Kawasan Perkotaan. Tata Ruang. Perubahan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. negara yang memiliki kawasan pesisir yang sangat luas, karena Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Indonesia merupakan negara yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan Basah Pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan Basah Pesisir 6 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan Basah Pesisir Terdapat banyak definisi yang dikembangkan untuk menyatakan lahan basah sebagai sebuah kesatuan ekosistem. Definisi tersebut bisa dibuat oleh pakar di bidang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

Lampiran 1. Beberapa dasar hukum kebijakan pengelolaan lahan basah nasional

Lampiran 1. Beberapa dasar hukum kebijakan pengelolaan lahan basah nasional LAMPIRAN 104 Lampiran 1. Beberapa dasar hukum kebijakan pengelolaan lahan basah nasional No. Landasan Hukum Keterangan 1. UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Sumber Hukum Ayat (3)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak potensi wisata baik dari segi sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak potensi wisata baik dari segi sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi wisata baik dari segi sumber daya alam maupun kebudayaan unik dan tidak dimiliki oleh Negara lain. Oleh karena itu, Indonesia menjadi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SMP NEGERI 3 MENGGALA

SMP NEGERI 3 MENGGALA SMP NEGERI 3 MENGGALA KOMPETENSI DASAR Setelah mengikuti pembelajaran, siswa diharapkan dapat mengidentifikasi pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam pelestarian ekosistem. Untuk Kalangan Sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat.

Lebih terperinci

FUNGSI KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM SECARA BIJAK* Oleh : IMRAN SL TOBING**

FUNGSI KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM SECARA BIJAK* Oleh : IMRAN SL TOBING** FUNGSI KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM SECARA BIJAK* Pendahuluan Oleh : IMRAN SL TOBING** Ujung Kulon merupakan kebanggaan kita; tidak hanya kebanggaan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk visual. Pendapat ini muncul seiring dengan dimulainya gerakan untuk melakukan simulasi visual guna menilai baik buruknya keputusan terhadap

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN Mata Kuliah : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kode MK : M10B.111 SKS : 3 (2-1) DOSEN : Syawaludin Alisyahbana Harahap, S.Pi.,., MSc. DASAR-DASAR PENGELOLAAN PESISIR UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) merupakan salah satu kawasan pelestarian alam memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata di TNTC tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar http://blog.unila.ac.id/janter PENGERTIAN Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar perlindungan populasi satwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan

Lebih terperinci

Perjanjian Kerjasama Tentang Pengembangan dan Pemasaran Produk Ekowisata Taman Nasional Ujung Kulon.

Perjanjian Kerjasama Tentang Pengembangan dan Pemasaran Produk Ekowisata Taman Nasional Ujung Kulon. DATA MITRA BALAI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERIODE 2011 S/D 2014 1. PT KHARISMA LABUAN WISATA Perjanjian Kerjasama Tentang Pengembangan dan Pemasaran Produk Ekowisata Taman Nasional Ujung Kulon. Jangka

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan Indonesia pada peringkat keempat negara-negara yang kaya

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan Indonesia pada peringkat keempat negara-negara yang kaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman burung yang sangat tinggi. Sukmantoro et al. (2007), menjelaskan bahwa terdapat 1.598 jenis burung yang dapat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN USULAN STRUKTUR KELEMBAGAAN Dasar Hukum Lingkungan Hidup UU No. 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 18/2008: Pengelolaan Sampah PP turunannnya Kehutanan UU No. 41/1999: Kehutanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu organisme tertentu bertahan hidup dan bereproduksi(hall et al, 1997).

BAB I PENDAHULUAN. suatu organisme tertentu bertahan hidup dan bereproduksi(hall et al, 1997). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Habitat merupakan kondisi yang ada pada suatu area yang menyebabkan suatu organisme tertentu bertahan hidup dan bereproduksi(hall et al, 1997). Pengelolaan habitat

Lebih terperinci

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) Menimbang berbagai faktor utama yang menghambat pengelolaan hutan lindung secara efektif, maka pengelolaan hutan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) TUGAS AKHIR Oleh: LISA AGNESARI L2D000434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR Oleh: MULIANI CHAERUN NISA L2D 305 137 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya hingga Laporan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coatal Managemen-ICM)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/2008 TENTANG PERENCANAAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut

Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut Identifikasi Lokasi Prioritas Konservasi di Indonesia Berdasarkan Konektivitas Darat-Laut Christian Novia N. Handayani, Estradivari, Dirga Daniel, Oki Hadian, Khairil Fahmi Faisal, Dicky Sucipto, Puteri

Lebih terperinci

AN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2015 TENTANG KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

AN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2015 TENTANG KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN AN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2015 TENTANG KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan menurut fungsi pokoknya dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Dephut, 2009). Hutan konservasi sendiri didefinisikan kawasan

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF EKOWISATA INDONESIA: PERJALANAN DAN TANTANGAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF EKOWISATA INDONESIA: PERJALANAN DAN TANTANGAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 06 I 29 September 2016 USAID LESTARI EKOWISATA INDONESIA: PERJALANAN DAN TANTANGAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Menurut Organisasi Pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata

BAB I. PENDAHULUAN. mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perspektif administrasi publik, kemitraan merupakan isu yang mengemuka seiring dengan populernya paradigma governance dalam tata kepemerintahan. Tata kepemerintahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

SAMBAS BASUNI, DOSEN DEPT. KONSERVASI SDHE, FAKULTAS KEHUTANAN IPB

SAMBAS BASUNI, DOSEN DEPT. KONSERVASI SDHE, FAKULTAS KEHUTANAN IPB REVIEW HASIL DAN RENCANA KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PUSLITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI, BOGOR: ROYAL HOTEL, 28 JANNUARI 2013 SAMBAS BASUNI, DOSEN DEPT. KONSERVASI SDHE, FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera. Lampung memiliki banyak keindahan, baik seni budaya maupun

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera. Lampung memiliki banyak keindahan, baik seni budaya maupun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lampung merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki letak yang strategis. Hal ini karena keberadaan provinsi ini sebagai pintu gerbang memasuki Pulau Sumatera.

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

Pengelolaan Migrasi Burung Di Indonesia

Pengelolaan Migrasi Burung Di Indonesia Pengelolaan Migrasi Burung Di Indonesia www.indonesia-tourism.com www.eaaflyway.net Ir. Puja Utama, M.Sc. Kepala Sub Direktorat Pengawetan Jenis Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2011 TENTANG KEBUN RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2011 TENTANG KEBUN RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2011 TENTANG KEBUN RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kebun Raya sebagai kawasan konservasi tumbuhan

Lebih terperinci

VIII. PENUTUP. 8.1 Kesimpulan

VIII. PENUTUP. 8.1 Kesimpulan VIII. PENUTUP 8.1 Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan informasi tentang fungsi kawasan lindung partikelir dalam memenuhi kesenjangan sistem kawasan konservasi di Kabupaten Banyuwangi. Kawasan konservasi

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Taman Nasional Gunung Merapi merupakan kawasan hutan tropis pegunungan yang terletak pada gunung berapi yang masih aktif berada di wilayah Yogyakarta dan Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 40 spesies primata dari 195 spesies jumlah primata yang ada di dunia. Owa Jawa merupakan salah satu dari 21 jenis primata endemik yang dimiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008

Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008 1 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008 2 3 Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Jumlah Spesies dan Endemik Per Pulau

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Jumlah Spesies dan Endemik Per Pulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Indonesia Membutuhkan Lebih Banyak Kawasan Penunjang Konservasi Indonesia merupakan negara yang menyimpan kekayaan keanekaragaman ekosistem yang terbentang dari

Lebih terperinci