VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT

dokumen-dokumen yang mirip
VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 97/M-IND/PER/8/2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN KINERJA DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN III TAHUN 2017

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. komoditas yang diunggulkan di sektor kelautan dan perikanan.. Tujuan

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

DISAMPAIKAN PADA RAPAT KOORDINASI DAN SINKRONISASI PENYUSUNAN PROGRAM KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO TAHUN 2013 Oleh : SEKRETARIS DIREKTORAT

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN LADA PUTIH

PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN

Keynote Speech. Menteri Pertanian Republik Indonesia PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

KATA PENGANTAR. Jakarta, Juli Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Dr. Ir. Maman Suherman, MM NIP

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015

BOX UMKM : PERKEMBANGAN PEMBIAYAAN KOMODITAS 'GERBANG EMAS' OLEH PERBANKAN SULAWESI SELATAN

STABILISASI HARGA PANGAN

I. PENDAHULUAN. agribisnis, agroindustri adalah salah satu subsistem yang bersama-sama dengan

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Permintaan produk peternakan terus meningkat sebagai konsekuensi. adanya peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya proporsi penduduk

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LAMPIRAN USULAN RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA TAHUN 2015

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERLUASAN KREDIT USAHA RAKYAT DENPASAR, 20 APRIL 2011

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JUNI 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN TAHUN 2016 UNTUK PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

OLEH : ENDAH MURNININGTYAS DEPUTI BIDANG SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP SURABAYA, 2 MARET 2011

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS

DEPUTI BIDANG PEMBIAYAAN Drs. Braman Setyo, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Kopi Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang telah di ekspor

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAHAN BAKU: URAT NADI INDUSTRI PENGOLAHAN PERIKANAN MIKRO KECIL DAN MENENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERHASILKAH GARAM BERYODIUM SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENURUNAN GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM (GAKY) DI INDONESIA?

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: ANTISIPATIF DAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL. Oleh :

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. struktur pembangunan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo

BAB IV ANALISA SISTEM

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013

PENDAHULUAN Latar Belakang

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

IV. TUJUAN DAN SASARAN

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN RAMI DAN DUKUNGAN PADA PILOT PROJECT PENGEMBANGAN RAMI DI KABUPATEN GARUT

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, oleh sektor

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN APRIL 2016

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

Transkripsi:

67 VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor atau melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk dari luar. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input maupun output. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan output yang diminta oleh produsen (privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perbedagangan bebas. Kebijakan pemerintah yang diberlakukan pada input maupun output adalah kebijakan subsidi dan pajak serta hambatan berupa tarif dan kuota (Anindita dan Michael, 2008). 6.1. Kebijakan Terhadap Input Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pengembangan usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke adalah subsidi positif. Subsidi positif adalah pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada penyedia tunggal suatu barang. Pada kegiatan usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke, subsidi positif terdapat pada input solar, sedangkan untuk input lain seperti bibit, tenaga kerja, tali utama, pelampung dan peralatan lainnya tidak terdapat subsidi. Pemberian subsidi bertujuan untuk meningkatkan kegiatan usahatani rumput laut sehingga akan diperoleh peningkatan produksi yang optimal. Harga BBM dalam hal ini adalah solar berlaku sama diseluruh Indonesia yaitu Rp 4 500 per liter. Undang- Undang No.8 Tahun 1971 menyatakan bahwa subsidi BBM diberikan oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai konsekuensi dari penetapan harga yang dilakukan oleh pemerintah. Pertamina melaksanakan tugas sebagai penyedia dan pelayanan BBM untuk keperluan dalam negeri sebagai tugas pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi subsidi ini secara bertahap akan dikurangi. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001, dimana dijelaskan bahwa penugasan khusus pertamina untuk menyediakan BBM dalam negeri akan berakhir tahun 2005 (Nugroho, 2004).

68 6.2. Kebijakan Terhadap Output Salah satu kebijakan pemerintah yang ditetapkan pada suatu komoditas adalah kebijakan perdagangan. Kebijakan perdagangan terdiri atas kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan perdagangan yang diberlakukan pada usahatani rumput laut adalah kebijakan ekspor. Kebijakan ekspor bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia. Kebijakan perdagangan untuk komoditi ekspor dilakukan melalui penetapan pajak ekspor baik per unit barang yang di ekspor maupun secara keseluruhan dan pembatasan jumlah ekspor (kuota ekspor). Dalam rangka mendorong peningkatan ekspor Indonesia, Departemen Perdagangan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.558/MPP/Kep/12/1998 jo. Peraturan Menteri Perdagangan No. 01/M-DAG/PER/1/2007 Tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor. Dalam keputusan ini ditetapkan tiga kategori tata niaga ekspor yaitu komoditi yang diatur, diawasi dan dilarang ekspornya. Komoditi rumput laut tidak termasuk dalam keputusan ini melainkan termasuk dalam kelompok barang yang bebas tata niaga ekspornya, artinya setiap badan kategori usaha atau perorangan dapat melakukan kegiatan ekspor apabila telah memiliki SIPU, TDP dan NPWP. Meskipun komoditi rumput laut masuk dalam komoditi yang bebas tataniaga ekspornya, tetap memerlukan perhatian yang serius terutama dalam kebijakan tentang penetapan standar mutu produk mulai dari hulu sampai ke hilir (Supply Chain). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas rumput laut yang akan di ekspor sebab negara tujuan ekspor khususnya negara-negara maju sangat memperhatikan keamanan pangan yang terkait Sanitary dan Phytosanitary (SPS) dan dapat menjadi hambatan non tarif bagi negara pengekspor seperti Indonesia. Kebijakan ekspor yang perlu mendapat perhatian adalah Laboratorium Penguji Mutu baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta (Kementrian Perindustrian dan Perdagangan, 2010). Berdasarkan kebijakan pemerintah dalam hal ekspor rumput laut, pada tahun 2010 hingga akhir 2011, pemerintah Indonesia memberlakukan pajak ekspor rumput laut khusus ke Negara China sebesar 30 persen. Hal ini dilakukan pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi ekspor bahan baku rumput laut

69 kering ke Negara China secara besar-besaran, selain itu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri. Kebijakan pemerintah dengan menetapkan pajak ekspor tersebut berdampak terhadap volume ekspor yang menurun terutama ke negara China dan harga rumput laut dalam negeri menjadi rendah akibat banyaknya bahan baku rumput laut kering yang tidak terserap oleh pasar domestik akibat industri pengolahan rumput laut dalam negeri masih kurang. Oleh karena itu pada akhir tahun 2011 hingga sekarang, Kementerian perdagangan memutuskan untuk tidak memberlakukan kebijakan tersebut sehingga pajak ekspor rumput laut kering tetap nol persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi intervensi dalam perdagangan output rumput laut, sehingga mekanisme harga rumput laut domestik lebih ditentukan oleh mekanisme pasar. Meskipun komoditi rumput laut termasuk dalam komoditi yang bebas tata niaga ekspornya, kebijakan yang penting mendapat perhatian adalah kebijakan tentang standar mutu produk. Kebijakan ini ditempuh untuk memenuhi keinginan negara-negara pengimpor rumput laut dari Indonesia sehingga sesuai standar yang ditetapkan. Kebijakan pemerintah dalam mengurangi hambatan non tarif seperti Sanitary dan Phynosanitary (SPS) serta Technical Barrier To Trade (TBT) yang terkait dengan regulasi teknis, standar dan prosedur konformitas dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 59/M-DAG/PER/2010 tentang penerbitan Certificate of Legal Origin (CoLo) untuk barang ekspor termasuk rumput laut. Sertifikat CoLo ini diterbitkan oleh Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini dalam rangka mencapai ekuivalen dengan peraturan negara tujuan ekspor. Kebijakan ini menyebabkan biaya kegiatan ekspor terutama biaya legalisasi dokumen ekspor menjadi tinggi dan membutuhkan waktu yang lama. 6.3. Kebijakan Revitalisasi Rumput Laut Indonesia merupakan salah satu negara eksportir rumput laut dunia, akan tetapi beberapa tahun terakhir ini mengalami kemunduran akibat semakin berkurangnya jumlah dan nilai ekspor rumput laut. Pencapaian produksi belum

70 diimbangi oleh pengembangan mata rantai pemasaran rumput laut seperti penyerapan produksi, stabilitas harga dan jaminan kualitas produksi belum konsisten. Harga rumput laut yang tidak menentu di pasar internasional, kualitas rumput laut yang kurang memenuhi standar dunia dan permintaan yang inelastis sehingga persaingan rumput laut dunia semakin ketat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat dalam pengembangan rumput laut di Indonesia. Kebijakan pengembangan rumput laut meliputi kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau lokal. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan mengacu pada kebijakan pemerintah pusat, sehingga kebijakan tersebut dapat bersinergi dengan program lainnya dan berkesinambungan. Adapun kebijakan nasional pengembangan rumput laut yang telah dan akan dilaksanakan adalah : (1) kebijakan peningkatan produksi rumput laut, (2) kebijakan peningkatan produk derivatif rumput laut, (3) kebijakan kelembagaan, dan (4) kebijakan intensifikasi pasar. Kebijakankebijakan tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 1. Kebijakan peningkatan produksi rumput laut melalui : a. Mengoptimalkan potensi dan pengembangan kawasan budidaya rumput laut. b. Mengembangkan jumlah unit lahan budidaya pada kawasan-kawasan strategis dan potensial pengembangan rumput laut di Indonesia melalui klaster budidaya rumput laut untuk kawasan Indonesia bagian Barat (Aceh, Kepri, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jatim, Jabar dan Jateng), kawasan Indonesia bagian Tengah (Bali, NTB, NTT, Kaltim, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel) sedangkan kawasan Indonesia Timur meliputi Maluku dan Papua. c. Mengembangkan input teknologi budidaya yang secara langsung berdampak pada peningkatan jumlah unit budidaya dan kapasitas produksi. d. Penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas melalui pengembangan kebun bibit rumput laut di kawasan sentral budidaya rumput laut. e. Kebijakan alokasi subsidi bibit rumput laut f. Penyediaan pendanaan perbankan nasional seperti pemberian kredit usahatani dan pengembangan UMKM 2. Kebijakan Peningkatan Produk Derivatif Rumput Laut

71 a. Memperbanyak jumlah industri pengolah rumput laut penghasil ekstrak (chip) dan bubuk (powder) dalam negeri melalui nota kesepahaman pengembangan kawasan budidaya dan industri rumput laut di 7 provinsi yaitu Propinsi NTT, NTB, Sulawesi Tengah, Maluku, MalukuUtara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Nota kesepahaman tersebut melibatkan 6 lembaga/kementerian yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian PDT, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. b. Peningkatan kegiatan penelitian untuk menciptakan diversifikasi produk rumput laut c. Pengembangan teknologi berbasis mutu dan keamanan pangan 3. Kebijakan Kelembagaan a. Membangun kerjasama, sinergitas, persamaan persepsi dan tanggungjawab antara seluruh steakholder dalam upaya pengembangan rumput laut nasional melalui Forum Budidaya Rumput Laut dan menjadikan Forum rumput laut nasional sebagai agenda tahunan. b. Pengembangan dan pemantapan hubungan kerja Asosiasi Petani dan pengusaha Rumput Laut Indonesia (ASPERLI) dengan pemerintah pusat maupun daerah. c. Pengembangan kelembagaan penunjang seperti koperasi yang dikelola secara professional di kawasan pengembangan rumput laut untuk menjamin pergerakan rantai pasok (Suply Chain). d. Membentuk kemitraan usaha melalui pola inti plasma atau CSR (Cooperate Social Responsibility) 4. Kebijakan Intensifikasi Pasar a. Pengembangan jaringan pemasaran dalam negeri dan ekspor b. Promosi produk-produk rumput laut Indonesia, baik dalam bentuk raw material (rumput laut kering) dengan standar mutu yang berkualitas maupun produk turunan rumput laut. c. Melakukan ekspansi pasar ke negara-negara yang bukan merupakan negara tujuan ekspor untuk memperluas pasar ekspor

72 6.4. Kebijakan Pemerintah Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebagai salah satu penghasil rumput laut terbesar di Indonesia dan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat juga melaksanakan revitalisasi rumput laut yang bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi rumput laut, memperbanyak produk turunan sehingga nilai jualnya lebih tinggi dan mengintensifkan negara tujuan ekspor rumput laut (Berita Daerah, 2009). Provinsi Sulawesi Selatan sebagai sentra pengembangan budidaya rumput laut, sejak tahun 2009, kegiatan program pengelolaan dan pengembangan sumberdaya perikanan budidaya diprioritaskan untuk mendukung kegiatan pengembangan komoditas diantaranya : (1) pengembangan budidaya rumput laut, (2) peningkatan kualitas rumput laut, (3) peningkatan pemasaran, (4) peningkatan strategi regulasi, dan (5) peningkatan permodalan. Pengembangan komoditas tersebut di atas dirinci sebagai berikut : 1. Pengembangan Budidaya Rumput Laut a. Penyaluran paket penguatan modal pengembangan budidaya di 8 kabupaten (Bulukumba, Pangkep, Wajo, Barru, Maros, Pinrang, Luwu dan Takalar) sebanyak 57 paket. b. Penyaluran sarana produksi berupa bibit, tali no. 9, no. 5 dan pelampung di 8 kabupaten. 2. Peningkatan Kualitas Rumput laut a. Penyediaan dan ketersediaan jumlah bibit rumput laut berkualitas dengan harga murah. b. Pelatihan sertifikasi penangkaran bibit rumput laut kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi petani dan pedagang 3. Peningkatan Pemasaran a. Membangun komitmen dan kesadaran para pelaku pada tingkat pedagang pengumpul terhadap kualitas SNI rumput laut. b. Membangun dan memfungsikan lembaga pengawas mutu sehingga tindakan penyimpangan dalam pemenuhan mutu dapat dihindari. 4. Peningkatan Strategi Regulasi

73 Pengaturan agribisnis rumput laut (sea plan) hendaknya difokuskan pada penetapan suatu peraturan tentang penetapan penggunaan wilayah perairan pantai khususnya peruntukan budidaya rumput laut oleh masyarakat. Perencanaan laut (sea plan) untuk memberikan kesejalasan bagi masyarakat dalam mengembangkan wilayah pantai agar tidak berbenturan dengan rencana pembangunan daerah misalnya rencana untuk pengembangan daerah wisata pantai tidak berbenturan dengan kegiatan masyarakat yang akan mengembangkan budidaya rumput laut. 5. Peningkatan Permodalan Permodalan bagi para petani/nelayan rumput laut adalah pemberdayaan kepada aksebilitas pada lembaga keuangan mikro, sehingga petani/nelayan mampu memiliki usaha budidaya rumput laut secara mandiri. Kenyataan dilapangan menunjukkan banyak petani/nelayan rumput laut sangat bergantung kepada pedagang pengumpul karena adanya ikatan pelunasan utang yang telah dijanjikan sehingga mereka tak pernah menjadi pemilik usaha secara mandiri. Keberadaan lembaga keuangan mikro berupa koperasi, BPR, BRI unit atau keberadaan BDS (Business Development Service) mempunyai peranan yang strategis dalam hal akses permodalan tersebut. Selain kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Sulawesi Selatan pada peningkatan industri hulu rumput laut, pemerintah juga menetapkan kebijakan untuk industri hilir atau industri pengolahan rumput laut yaitu : (1) sasaran pengembangan; dan (2) strategi pengembangan. Kebijakan tersebut dirinci sebagai berikut : 1. Sasaran Pengembangan Sasaran Jangka Menengah (2010 2014) a. Meningkatnya areal tanaman rumput laut. b. Meningkatnya produktivitas tanaman rumput laut menjadi 3 ton kering/ha/2 bulan c. Tumbuhnya industri Semi Refined Carragenan (SRC). d. Tumbuhnya industri makanan dan kosmetik berbasis rumput laut. e. Meningkatnya akses pasar, khususnya pasar SRC. f. Meningkatnya brand image rumput laut Sulawesi Selatan.

74 Sasaran Jangka Panjang (2015 2025) a. Budidaya rumput laut sebagai mata pencaharian pokok masyarakat pesisir Sulawesi Selatan. b. Meningkatnya produktivitas tanaman menjadi 4 ton kering/ha/2 bulan. c. Semakin tumbuh dan berkembangnya industri SRC dan industri makanan dan kosmetik berbasis rumput laut. d. Tumbuhnya industri Refined Carragenan (RC). e. Semakin meluasnya akses pasar SRC, RC dan produk rumput laut dan Sulawesi Selatan merupakan penghasil SRC, RC terkemuka di dunia. 2. Strategi Pengembangan a. Peningkatan produktivitas tanaman rumput laut melalui pengembangan kultur jaringan, teknologi budidaya dan pengolahan pasca panen. b. Pengembangan teknologi proses untuk menghasilkan SRC, RC dan produk berbasis rumput laut. c. Penerapan berbagai standar.