ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL UNIT USAHA PANCING LAYANGAN DI PERAIRAN BANGGAE KABUPATEN MAJENE

dokumen-dokumen yang mirip
5 HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN

METODE PENANGKAPAN IKAN

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN RUMPON DI PPP PONDOKDADAP

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

TEKNIK PENGOPERASIAN PANCING TENGGIRI DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BANTU CAHAYA

PERIKANAN PANCING TONDA DI PERAIRAN PELABUHAN RATU *)

OPERASI PENANGKAPAN IKAN PADA USAHA PERIKANAN POLE AND LINE DI PT. PERIKANAN PERKEN UTAMA KENDARI SULAWESI TENGGARA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

Alat Tangkap Longline

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas 2.2 Musim

TINJAUAN PUSTAKA. jenis merupakan sumber ekonomi penting (Partosuwiryo, 2008).

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Penangkap Ikan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

Kajian aspek teknis unit penangkapan kapal pole and line yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Perikanan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

PRODUKTIVITAS PANCING ULUR UNTUK PENANGKAPAN IKAN TENGGIRI (Scomberomorus commerson) DI PERAIRAN PULAU TAMBELAN KEPULAUAN RIAU

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Perikanan

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP PANCING TONDA DI LAUT BANDA YANG BERBASIS DI KENDARI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

Kesesuaian ukuran soma pajeko dan kapalnya di Labuan Uki Kabupaten Bolaang Mongondow

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

SELAMAT DATANG. Peserta Training

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

KARAKTERISTIK DIMENSI UTAMA KAPAL PERIKANAN PUKAT PANTAI (BEACH SEINE) DI PANGANDARAN

KAPAL IKAN PURSE SEINE

I. PENDAHULUAN. 143,5 mm/tahun dengan kelembaban 74% - 85%. Kecepatan angin pada musim

BAB II KAJIAN PUSTAKA

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

Perbandingan hasil tangkapan tuna hand line dengan teknik pengoperasian yang berbeda di Laut Maluku

Pengaruh warna umpan pada hasil tangkapan pancing tonda di perairan Teluk Manado Sulawesi Utara

3 METODOLOGI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 6 Peta lokasi penelitian.

III. METODE PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unit Penangkapan Payang Alat tangkap payang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TEKNIK PENGOPERASIAN HUHATE (POLE AND LINE) DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPANNYA DI LAUT SULAWESI

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

5 PEMBAHASAN 5.1 Desain Perahu Katamaran General arrangement (GA)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Kapal / Perahu

DESKRIPSI ALAT TANGKAP IKAN DI KECAMATAN BONTOMANAI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar

6 KESELAMATAN OPERASIONAL KAPAL POLE AND LINE PADA GELOMBANG BEAM SEAS

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kapal Perikanan

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

BAB III BAHAN DAN METODE

3 METODOLOGI PENELITIAN

USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI SADENG, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Small Scale Fisheries Effort At Sadeng, Yogyakarta Province)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KEADAAN UMUM PENELITIAN. Kecamatan Labuhan Haji merupakan Kecamatan induk dari pemekaran

Muhamad Farhan 1), Nofrizal 2), Isnaniah 2) Abstract

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

EFFECT OF PRODUCTION FACTORS ON PURSE SEINE FISH CAPTURE IN THE LAMPULO COASTAL PORT, BANDA ACEH

WARNA UMPAN TIRUAN PADA HUHATE

PENDAPATAN PANCING ULUR (HAND LINE) DI DESA BONGO, KECAMATAN BATUDAA PANTAI, KABUPATEN GORONTALO

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI PENELITIAN

Jumlah kapal (unit) pada ukuran (GT) >100

Alat bantu Gill net Pengertian Bagian fungsi Pengoperasian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perembesan air asin. Kearah laut wilayah pesisir, mencakup bagian laut yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

Transkripsi:

ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL UNIT USAHA PANCING LAYANGAN DI PERAIRAN BANGGAE KABUPATEN MAJENE S K R I P S I H. SUHARTONO N. PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2004

ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL UNIT USAHA PANCING LAYANGAN DI PERAIRAN BANGGAE KABUPATEN MAJENE S K R I P S I H. SUHARTONO N. Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2004

J u d u l : Analisis Teknis dan Finansial Unit Usaha Pancing Layangan di Perairan Banggae Kabupaten Majene. Nama Mahasiswa : H. Suhartono N. Stambuk : L 231 00 009 Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh : Ir. Mahfud Palo Pembimbing Utama Dr. Ir. H. Najamuddin, M.Sc Pembimbing Anggota Mengetahui Ir. H. Hamzah Sunusi, M.Sc Dekan FIKP Dr. Ir. H. Sudirman M.Pi Ketua Program Studi P.S.P Tanggal Pengesahan : Mei 2005

ABSTRAK SUHARTONO N. Analisis Teknis dan Finansial Unit Usaha Pancing Layangan di Perairan Banggae Kabupaten Majene, dibawah bimbingan MAHFUD PALO sebagai pembimbing utama, NAJAMUDDIN sebagai pembimbing anggota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek teknis dan finansial Pancing Layangan dan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi masyarakat dan instansi terkait dalam usaha pengembangan alat tangkap Pancing Layangan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Juli 2004 di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene. Metode penelitian ini adalah metode survei dengan sampel sebanyak 10% dari populasi Pancing Layangan. Pencatatan data dilakukan dengan mengambil data primer melalui pengukuran dan pengamatan secara langsung dengan mengikuti operasi penangkapan serta melakukan wawancara dengan pemilik/pengelola alat tangkap Pancing Layangan. Pancing Layangan terdiri atas bagian-bagian yaitu : joran dari bambu dengan panjang 4-5 m, cincin yang dipasang pada ujung joran, tali pancing dari bahan monofilamen No. 300 600 dengan panjang 300 m, layangan dengan ukuran panjang antara 42 100 cm dan lebar 40,5 85 cm yang terbuat dari plastik dengan rangka yang terbuat dari rotan, mata pancing No. 3 5 serta umpan tiruan berbentuk cumi-cumi yang terbuat dari karet. Ukuran utama kapal dengan panjang (L) antara 10 13 m, lebar (B) antara 1,4 1,9 m dan tinggi (D) antara 1,2 1,3 m, dengan kapasitas muat 3 ton. Dari rasio perbandingan yang diperoleh, nilai L/B, L/D dan B/D tidak ada kapal sampel yang memenuhi standar kelayakan sehingga masih memerlukan perbaikan. Untuk aspek finansial, usaha

perikanan Pancing Layangan memiliki nilai R/C yaitu rata-rata 1,58 dan keuntungan bersih rata-rata Rp. 30.724.655,6, maka dari segi finansial, usaha perikanan Pancing Layangan tersebut dapat terus dilanjutkan karena usaha tersebut cukup menguntungkan dan layak untuk dikembangkan.

ABSTRACT Suhartono N. Technical and Financial Analysis of Hand Line Using a Kite in Banggae Waters of Majene District. Under the Supervison of MAHFUD PALO and NAJAMUDDIN. This research aimed to know the technical and financial aspects of hand line using a kite. The result of this study was expected to become information to relevant institution and society in the effort of its development. This research was conducted from June to July 2004 in the sub district of Banggae, district of Majene. The survey methods were applied with samples more than 10% of hand line population. Records keeping of data were conducted by taking primary data through perception and measurement directly to the following fishing operation and interview with owner/organizer of hand line using a kite. Hand line using a kite were consist of: Joran of bamboo with length 4 5 m, attached ring at the end of Joran, line with monofilament materials No. 300 600 with length 300 m, kite with length range 42 100 cm and wide range 40,5 85 cm, made from plastic with rattan frame, hook No. 3 5 and artificial bait in the form of squid made from rubber. The principle dimension of boat such as: length over all (LOA) range 10 13 m, wide (B) range 1,4 1,9 m and depth (D) range 1,2 1,3 m, with capacities 3 GT. The main dimension ratio obtained value of L/B, L/D of B/D of sample out of the standard ratio, so that still need repair. The financial aspect, R/C ratio value is mean 1,58 and net benefit mean of Rp. 30.724.655,6. It s concluded that hand line using a kite was feasible to develop either technically or financially.

RIWAYAT HIDUP H. Suhartono N., dilahirkan di Pare pare pada tanggal 7 Juli 1982. Merupakan anak tunggal dari ayah bernama Nurdin dan ibu bernama Hj. Hasni. Penulis dibesarkan oleh pasangan H. P. Lampa dan Hj. P. Dara yang juga merupakan kakek/nenek penulis. Penulis menjalani pendidikan formal di SD Inpres 229 Paccoka, Suppa, Pinrang pada tahun 1988 1994, SMP Negeri 1 Suppa, Pinrang pada tahun 1994 1997, dan SMU Negeri 1 Pare pare pada tahun 1997 2000. Penulis diterima di Universitas Hasanuddin pada tahun 2000 melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Perikanan dengan bidang Keahlian Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Selama menjalani studi sebagai mahasiswa, dalam bidang akademik penulis tercatat sebagai asisten pada mata kuliah Dasar-dasar Teknologi Hasil Perikanan pada tahun 2003 dan 2004 dan mata kuliah Kepelautan pada tahun 2004.

PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan bangsa Indonesia dinilai sangat cerah karena dukungan potensi dan keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang terkandung oleh bentang alamnya yang berbentuk suatu gugusan kepulauan. Garis pantai sepanjang 81.000 km 2 yang melingkupi sejumlah ± 17.502 buah pulaupulau besar maupun kecil di nusantara, garis pantai ini menjadi pembatas wilayah daratan dengan perairan laut seluas 5,8 juta km 2 yang terdiri dari perairan kepulauan ditambah zona ekonomi eksklusif (ZEE) (Manggabarani, 2003). Bentang alam tersebut di atas menyediakan bermacam-macam potensi sumberdaya alam hayati dan non-hayati yang telah memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan bangsa Indonesia hingga saat ini. Sektor kelautan dan perikanan telah lama menjadi tumpuan hidup keluarga nelayan dan masyarakat pesisir yang aktivitasnya terkait dengan kegiatan perikanan. Sumberdaya perairan laut di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan cukup melimpah, kaya dan beragam, terutama di wilayah pesisir. Dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, maka permintaan hasil laut khususnya ikan semakin meningkat. Meningkatnya permintaan tersebut, menuntut para nelayan dan para pengusaha yang bergerak dalam bidang penangkapan ikan untuk meningkatkan produksinya, Untuk itu perlu peningkatan pengetahuan dan keterampilan nelayan serta penerapan alat tangkap yang efektif dan efisien.

Kabupaten Majene merupakan salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki potensi sumberdaya perikanan terutama wilayah pesisir yang cukup besar, sehingga usaha penangkapan ikan sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Salah satu alat tangkap yang banyak dioperasikan dalam usaha penangkapan ikan di Kabupaten Majene adalah Pancing Layangan. Pancing Layangan adalah salah satu jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tuna (Thunnus sp), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan tongkol (Euthynnus affinis). Pancing Layangan merupakan salah satu bentuk modifikasi dalam teknik penangkapan ikan dengan memanfaatkan sifatsifat ikan tersebut, dalam hal ini kebiasaan dan cara makannya. Studi tentang Pancing Layangan di perairan Kabupaten Majene masih sangat kurang. Penelitian terakhir tentang Pancing Layangan dilakukan pada tahun 1992. Dalam rentang waktu yang cukup lama tersebut telah terjadi peningkatan jumlah unit Pancing Layangan yang cukup pesat, peningkatan skala usaha, modifikasi alat tangkap maupun teknik penangkapan, sehingga penelitian ini perlu dilakukan dan mengingat potensi sumberdaya ikan tuna, ikan cakalang dan ikan tongkol yang cukup melimpah di daerah tersebut. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek teknis dan finansial Pancing Layangan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi masyarakat dan instansi terkait dalam usaha pengembangan Pancing Layangan.

TINJAUAN PUSTAKA Aspek Teknis Aspek teknis dari suatu usaha penangkapan yang perlu diperhatikan adalah jenis alat dan ukurannya, jenis perahu/kapal (termasuk jenis penggerak yang digunakan), kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan, metode penangkapan, lama trip, jumlah trip per bulan, jumlah trip per tahun, penanganan hasil tangkapan selama operasi, daerah penangkapan, waktu penangkapan dan kapasitas tangkap dari unit yang diusahakan (Monintja dkk., 1986). Berdasarkan tingkat produksi fisik yang dihasilkan untuk suatu alat tangkap, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan hasil perikanan dapat dilakukan dengan cara penambahan jumlah trip (khusus pada musim puncak). Selain itu ditunjang oleh daya tahan alat dan harga hasil penangkapan yang layak. Faktor lain yang turut menentukan peningkatan produksi adalah penyempurnaan alat, metode dan teknik penangkapan (Monintja dkk., 1986). A. Deskripsi Alat Tangkap Pancing adalah salah satu alat tangkap yang umum dikenal oleh masyarakat ramai, terlebih di kalangan nelayan. Pada prinsipnya pancing ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu tali (Line) dan mata pancing (hook). Tali pancing biasa dibuat dari bahan benang katun, nilon, polyethylene, plastik (senar), dan lain-lain. Sedang mata pancingnya (mata kailnya) dibuat dari kawat berkait balik, namun ada juga yang tanpa kait balik. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi, disesuaikan dengan besar kecilnya ikan yang akan di tangkap (Subani dan Barus, 1988).

Menurut Subani dan Barus (1988), walaupun pancing tersebut pada dasarnya terdiri dari dua komponen utama (tali, mata pancing) namun sesuai dengan macam atau jenis-jenisnya ia dapat dilengkapi dengan komponen-komponen lain, seperti : gandar atau tangkai (pole, rod), pemberat (sinker), pelampung (float). Pada prinsipnya alat penangkapan dengan menggunakan pancing tidak banyak mengalami perubahan/kemajuan namun dalam segi teknisnya banyak mengalami perubahan dan kemajuan. Hal tersebut dapat dilihat pada penggunaan warna tali, umpan yang di beri bau-bauan, umpan tiruan (Ayodhyoa, 1981). Selanjutnya ditambahkan bahwa Jenis pancing akan bergantung pada tujuan penangkapan dan dengan adanya perbedaan tersebut juga akan menyebabkan perbedaan pada struktur pancing. Karena struktur ini tidak rumit maka terlihatlah bahwa banyak variasi dari alat pancing ini. Menurut Von Brandt (1964) Sejak jaman dulu, layang-layang telah digunakan dalam operasi penangkapan ikan di Barat Daya Asia, terutama untuk menangkap ikan garfish dan ikan bonito. Metode ini juga telah dilakukan di Micronesia, Polynesia dan Philipina. Penggunaan layang-layang dalam penangkapan ikan telah tersebar luas walaupun terhambat oleh permasalahan religius/agama. Menurut sejarahnya, penangkapan ikan dengan bantuan layanglayang diperkenalkan di Indonesia dari Philippina, yaitu dari pulau Larantuka di Laut Banda. Seperti layang-layang mainan, layang-layang yang digunakan terbuat dari kertas atau daun pandan yang dikeringkan, yang dijahit pada bingkai bambu. Layang-layang seperti itu dapat dibuat dalam ukuran yang cukup besar, panjang bisa mencapai 100 cm dan lebarnya 50 cm. Panjang tali layangan yang digunakan bisa mencapai 100 meter dan tali pancing yang diikatkan pada ekor

sekitar 75 meter, yang ujungnya diikatkan mata pancing yang telah diberi umpan. Ditambahkan oleh Nontji (1993) bahwa pancing layang-layang mempunyai tali pancing yang dihubungkan dengan layang-layang yang bahannya dari daun pakupakuan epifit (Polypodium quercifolium). Ekor layang-layang tersebut diperpanjang dengan tali yang berakhir dengan jerat. Ekor layang-layang tersebut dimainkan sedemikian rupa sehingga jerat bermain-main dipermukaan. Menurut Ayodhyoa (1981) bahwa secara umum segi-segi positif dari pancing antara lain mudah dalam struktur sehingga operasi dapat dilakukan dengan mudah, organisasi usahanya kecil sehingga dengan modal sedikit usaha sudah dapat berjalan, syarat-syarat fishing groundnya relatif sedikit dan dapat dengan bebas memilih, pengaruh cuaca dan suasana laut lainnya relatif kecil sehingga dengan sedikit manusia usaha sudah dapat dilakukan. B. Kapal Penangkap Kapal penangkap adalah kapal yang digunakan dalam usaha menangkap/mengumpulkan aquatik resources ataupun usaha peternakan aquatik resources atau pekerjaan-pekerjaan research, guidance, training, controll dan lainlain sebagainya yang berhubungan dengan usaha-usaha tersebut di atas (Ayodhyoa, 1972). Selanjutnya dikemukakan bahwa kapal ikan adalah salah satu jenis dari kapal, dengan demikian sifat-sifat dan syarat-syarat yang diperlukan oleh sesuatu kapal akan diperlukan pula oleh kapal ikan. Tetapi berbeda dengan kapal penumpang dan kapal barang, pada kapal dilakukan kerja menangkap ikan, menyimpan ikan, mengangkut ikan dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian akan ada keistimewaan

yang pokok yang dimiliki oleh kapal ikan, antara lain ialah tentang kecepatan kapal, kemampuan olah gerak, kelaik lautan, luas lingkup area pelayaran, konstruksi, perlengkapan storage, tenaga penggerak, peralatan kapal dan lain-lain. Nomura dan Yamazaki (1977) mengemukakan bahwa kapal ikan harus selalu beroperasi bahkan pada saat cuaca yang buruk sekalipun. Oleh karena itu diperlukan stabilitas yang tinggi agar kapal tetap dapat beroperasi. Kapal ikan dibuat dengan konstruksi dan bahan yang khusus, sehingga akan menjamin keselamatan dalam operasi penangkapan. Untuk keberhasilan operasi penangkapan, kapal ikan harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti mesin, peralatan navigasi, alat pendeteksi ikan, alat komunikasi, dll. Menurut Ayodhyoa (1972) bahwa kapal ikan mempunyai jenis dan bentuk yang beraneka ragam, dikarenakan tujuan usaha, keadaan perairan dan lain sebagainya, yang dengan demikian bentuk usaha itu akan menentukan bentuk dari kapal ikan. Ukuran utama kapal terdiri dari panjang kapal (L), lebar kapal (B), dan tinggi kapal (D). Besar kecilnya ukuran utama kapal berpengaruh pada kemampuan (ability) suatu kapal dalam melakukan pelayaran atau operasi penangkapan, dimana : Nilai L (panjang), erat hubungannya dengan interior arrangement, seperti letak kamar mesin, tangki bahan bakar, tangki air tawar, palka,kamar ABK, perlengkapan alat tangkap dan peralatan lainnya. Nilai B (lebar), berhubungan dengan stabilitas dan daya dorong kapal. Nilai D (dalam, tinggi), berhubungan erat dengan tempat penyimpanan barang atau ruang palka serta stabilitas dari kapal.

Jika nilai L/B mengecil, akan berpengaruh buruk terhadap kecepatan. Jika L/D membesar, longitudinal strength akan melemah. Jika B/D membesar, stabilitas akan baik tetapi daya dorong kapal akan memburuk. Ayodhyoa (1972) menyatakan bahwa untuk kapal ikan kecil, L berkisar antara 6 15 meter, B antara 1,45 3,30 meter dan D antara 0,55 1,40 meter. Sedangkan untuk kapal Hand Line Panjang (L) = 10 m, Lebar (B) = 2,60 m dan tinggi (D) = 1,40, dengan rasio ukuran utama yaitu: L/B = 3,85, L/D = 7,14 dan B/D = 1,86. C. Teknik Pengoperasian Alat Tangkap Pengoperasian pancing layangan diusahakan demikian rupa sehingga kedudukan mata pancing selalu berada dipermukaan atas perairan. Operasi penangkapan tergantung dari keadaan angin, kalau anginnya kurang kuat, kadang harus di dayung agar layang-layang tetap di udara. Berbeda dengan pancing-pancing lainnya, mata pancing yang digunakan berupa suatu gelangan (kolongan, ring). Cara memberi umpan pada mata pancing tersebut ialah dengan menusukkan salah satu ujung tali kawat pada sisi umpan sampai menembus pada sisi lainnya, kemudian dibentuk suatu gelangan sebelum didikatkan pada tali pancing. Disamping menggunakan umpan dari ikan dapat juga digunakan umpan dari sarang laba-laba yang dililit-lilitkan pada mata pancing yang terbuat dari siratan bambu atau kayu yang dibuat demikian rupa sehingga menyerupai bulatan lonjong (Subani dan Barus, 1988). Lebih lanjut dikemukakan bahwa penangkapan dengan pancing dapat dilakukan baik pada siang maupun malam hari dan dapat digunakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim.

Aspek Finansial Aspek finansial menyangkut terutama perbandingan antara pengeluaran uang dengan revenue earning dari pada proyek. Apakah proyek itu akan terjamin dananya yang diperlukan, apakah proyek akan mampu membayar kembali dana tersebut dan apakah proyek itu akan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansal dapat berdiri sendiri (Kadariah, Karlina dan Gray, 1978). Analisa finansial ini penting artinya dalam memperhitungkan insentif bagi orang-orang yang turut serta dalam mensukseskan pelaksanaan proyek. Sebab, tidak ada gunanya untuk melaksanakan proyek yang menguntungkan dilihat dari sudut perekonomian sebagai keseluruhan, jika para petani yang menjalankan aktivitas produksi tidak bertambah baik keadaannya (Kadariah, Karlina dan Gray, 1978). Menurut Kadariah, Karlina dan Gray (1978) bahwa efisiensi suatu usaha penangkapan dapat ditentukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengukur produktifitas usaha atau dengan Gross R/C. Ditambahkan oleh Soekartawi (1995) bahwa kriteria investasi yang umum digunakan dalam suatu analisa adalah analisis R/C yaitu singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Jika R/C = 1, maka proyek bersifat tidak untung dan tidak rugi hanya sekedar menutupi biaya saja. Jika R/C > 1, maka hasil yang diperoleh lebih besar dari biaya total sehingga proyek dapat dilaksanakan. Dan jika R/C < 1, maka hasil yang diperoleh lebih kecil daripada biaya total usaha, maka proyek tidak dapat dilaksanakan. Semakin tinggi R/C, maka semakin tinggi prioritas yang dapat diberikan pada proyek tersebut.

A. Biaya-biaya Anas (1989) berpendapat bahwa biaya meliputi semua pengeluaran yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang, yang terdiri atas : a. Biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk membiayai setiap kali operasi penangkapan. Biaya ini merupakan biaya operasional, yang mencakup biaya yang habis terpakai dalam satu kali proses produksi. Biaya ini terdiri atas : biaya pembelian solar, rokok, ransum, restribusi, upah pekerja, dan biaya perawatan (perawatan kapal, mesin dan alat tangkap). b. Biaya tetap adalah biaya yang digunakan untuk menutupi penyusutan dari pada barang-barang modal (kapal, mesin dan alat tangkap) dan biaya yang merupakan kewajiban berupa SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan), yang besarnya tidak bergantung pada jumlah trip yang dijalankan. Biaya penyusutan merupakan perbandingan antara harga pembelian (Rp) dengan waktu daya guna (tahun) dari faktor produksi. Metode untuk menghitung penyusutan adalah metode garis lurus (Mas ud dan Mustafa, 1982 dalam Patalle, 1993). B. Pendapatan Menurut Soekartawi (1995) bahwa pendapatan merupakan hasil kali atau perkalian antara produksi yang dihasilkan atau yang diperoleh dengan harga jual dari produk. Setiap usaha diharapkan untuk memperoleh pendapatan yang setinggi-tingginya. Penerimaan yang tinggi mencerminkan suatu usaha memperoleh laba yang tinggi pula, sebaliknya bila penerimaan rendah bahkan negatif berarti suatu usaha menderita kerugian. Ditambahkan oleh Anas (1989) bahwa pendapatan usaha adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya.

Laba atau keuntungan perusahaan merupakan hasil usaha yang dapat dipergunakan sebagai sumber dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan (Riyanto, 1979 dalam Patalle, 1993). C. Sistem Bagi Hasil Sistem bagi hasil dapat dijumpai dimana-mana, baik pada masyarakat primitif maupun pada masyarakat modern sekalipun, yang terjadinya tidak dapat diterangkan secara pasti, namun sebagai hipotesa dapat diungkapkan bahwa terjadinya sistem bagi hasil karena asas saling membantu, kemalasan dan mungkin pula untuk menghemat biaya (Harianto, 1991). Dalam usaha penangkapan ikan di laut, sebagian besar nelayan tidak memiliki alat penangkapan karena keterbatasan modal. Usaha untuk mengatasi keterbatasan modal tersebut adalah dengan mengadakan kerjasama dengan pemilik peralatan melalui ikatan tertentu yang tercermin dalam sistem bagi hasil. Dengan sistem ini akan tercipta saling ketergantungan antara golongan nelayan penggarap dengan majikan sebagai pemilik alat tangkap (Harianto, 1991). Undang-undang bagi hasil perikanan Nomor 16 tahun 1964, Pasal 3, tentang perikanan laut, dimana jika suatu usaha parikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian bagi-hasil, maka dari hasil usaha itu kepada fihak nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut: a) Jika dipergunakan perahu layar: minimum 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari hasil bersih; b) Jika dipergunakan kapal motor: minimum 40% (empat puluh perseratus) dari hasil bersih (Anonim, 2004).

Aspek Biologi Menurut Effendie (1997) bahwa dalam pengukuran panjang ikan dapat dibedakan menjadi tiga cara yaitu : 1. Panjang total atau panjang mutlak yaitu pengukuran panjang ikan mulai dari ujung paling depan bagian kepala sampai ke ujung terakhir bagian ekor. 2. Fork length yaitu pengukuran panjang ikan mulai dari ujung paling depan bagian kepala sampai ke ujung terluar lekukan ekor. 3. Panjang standar atau panjang baku yaitu pengukuran panjang ikan mulai dari ujung paling depan bagian kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggung. Tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dapat bertahan hidup hingga berusia 7 tahun, dan umumnya mulai memijah pada saat berumur 2 tahun dengan panjang 90 cm. Tuna sirip kuning memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan tuna mata besar (Thunnus obesus), dimana panjangnya dapat mencapai 210 cm dan berat 176,4 Kg (Sumadhiharga, Sapulete dan Djamali,. 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa di perairan Philipina, tuna sirip kuning bisa mencapai panjang 52,5 cm dan 56,7 cm, sedangkan di perairan sekitar Khatulistiwa tuna sirip kuning bisa mencapai panjang 70 80 cm. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) umumnya mencapai panjang 40 60 cm dan dapat mencapai panjang satu meter serta berat 550 800 gram (Anonim, 1979). Sedangkan Sunusi (2001) mengemukakan bahwa ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang tertangkap dengan alat tangkap Pole and Line di Perairan Kendari Sulawesi Tenggara berukuran antara 30 60 cm. Ikan tongkol (Euthynnus affinis) hidup di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian Barat. Ikan tongkol dewasa melakukan pemijahan di perairan dekat pantai, dan ukurannya bisa mencapai panjang maksimum 1 meter (Nontji, 1993).

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 25 Juni sampai 28 Juli 2004, di kecamatan Banggae Kabupaten Majene. Materi Penelitian Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah unit usaha Pancing Layangan. Terhadap obyek penelitian tersebut (unit Pancing Layangan dan hasil tangkapannya) dilakukan pengukuran langsung dengan menggunakan peralatan meteran dan timbangan. Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dan wawancara. Pengumpulan data yang dilakukan adalah pengukuran dan pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian, mengikuti operasi penangkapan dan melakukan wawancara dengan para pemilik/pengelola alat tangkap Pancing Layangan. Jumlah sampel yang dijadikan obyek penelitian adalah 10% atau 10 unit dari total 100 unit pancing layangan yang ada di daerah tersebut.

Parameter Pengamatan Parameter yang diamati yaitu aspek teknis, aspek finansial dan aspek biologi : Aspek teknis Aspek teknis meliputi : Deskripsi alat tangkap o Joran o Tali pancing o Mata pancing o Layang-layang Kapal Penangkap o Panjang kapal (L) o Lebar kapal (B) o Tinggi kapal (D) o Mesin kapal Teknik pengoperasian alat tangkap Daerah dan musim penangkapan Hasil tangkapan Aspek Finansial Aspek finansial meliputi : Biaya-biaya o Biaya tetap o Biaya variabel

Pendapatan/Keuntungan Sistem bagi hasil Aspek Biologi Pengamatan aspek biologi hanya mengevaluasi ukuran masing-masing jenis ikan yang tertangkap dengan menggunakan Pancing Layangan.

Analisis Data Aspek Teknis Analisis teknis meliputi tehnik pengoperasian alat tangkap, produksi fisik (jumlah hasil tangkapan), deskripsi alat tangkap dan juga kesesuaian ukuran utama kapal untuk mengetahui rasio ukuran utamanya (L/B, L/D, dan B/D). Aspek finansial Aspek finansial yang digunakan adalah analisis R/C dan pendapatan usaha. a. R/C R/C adalah singkatan dari Return Cost Ratio yang dikemukakan oleh Soekartawi (1995), sebagai berikut : R/C = Total Penerimaan (R) Total Biaya (C) Keterangan : Total Penerimaan adalah total penerimaan dari tahun yang bersangkutan (Rp,). Total biaya adalah total biaya yang dikeluarkan pada tahun yang bersangkutan (Rp,). b. Analisis Keuntungan Analisis keuntungan diperoleh dengan menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Soekartawi (1995), sebagai berikut :

K = Pt ( BT + BV ) Keterangan : Pt = Total Penerimaan BT = Biaya tetap BV = Biaya Variabel Aspek Biologi Aspek biologi meliputi pengukuran panjang ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan tongkol (Euthynnus affinis) yang tertangkap adalah dengan cara mengukur Fork Length sesuai dengan yang dikemukakan oleh Effendie (1997), yaitu pengukuran panjang ikan mulai dari ujung paling depan bagian kepala sampai ke ujung terluar lekukan ekor.

HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Teknis Unit usaha perikanan Pancing Layangan yang beroperasi di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene pada umumnya mengoperasikan 4 macam alat tangkap pancing yaitu Pancing Layangan, Pancing Ulur, Pancing Tonda dan Pancing Ulur Vertikal. Namun yang lebih menonjol dan menjadi ciri khas bagi masyarakat di daerah tersebut adalah Pancing Layangan sehingga masyarakat menamakan unit penangkapan tersebut dengan nama Pancing Layangan. A. Deskripsi Alat Tangkap a) Pancing Layangan Berdasarkan konstruksinya, Pancing Layangan termasuk dalam klasifikasi Pole and Line. Satu set Pancing Layangan terdiri dari joran, tali pancing, layanglayang dan mata pancing. Pada mata pancing dipasang umpan tiruan. Nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene menggunakan bahan alami dan sintetis untuk membuat satu set Pancing Layangan. Joran terbuat dari bambu dengan panjang 4 5 meter, diameter pangkal 4 cm dan diameter ujung 1 cm. Joran digunakan untuk memainkan tali pancing dan layangan sehingga mata pancing tetap berada diatas gerombolan ikan. Ujung joran dipasangi cincin sebagai tempat masuknya tali pancing, sehingga memungkinkan tali pancing dimainkan. Tali pancing terbuat dari tasi (monofilamen), nomor 300-600 dengan panjang total 300 meter. Panjang tali pancing antara joran dengan layangan yang umum dipakai adalah < 75 meter atau disesuaikan dengan jarak antara gerombolan ikan dengan kapal, sedangkan panjang tali pancing antara layangan

dengan mata pancing adalah 4 6 meter. Menurut Von Brandt (1964), Panjang tali layangan yang digunakan bisa mencapai 100 meter dan tali pancing yang di ikatkan pada ekor sekitar 75 meter, yang ujungnya di ikatkan mata pancing yang telah diberi umpan. Layangan terbuat dari plastik sehingga dapat digunakan berulang kali walaupun telah jatuh ke dalam air. Rangka layangan terbuat dari rotan sehingga lebih lentur dan dapat dilengkungkan bila layangan sulit dinaikkan. Ukuran layangan yang digunakan memiliki lebar berkisar antara 42 100 cm dan tinggi antara 40,5 85 cm, Hal ini disesuaikan dengan kondisi angin pada saat Pancing Layangan dioperasikan, dimana bila angin cukup kuat maka digunakan layangan yang berukuran kecil sedangkan bila angin lemah maka digunakan layangan yang berukuran besar. Menurut Von Brandt (1964), layang-layang yang digunakan terbuat dari kertas atau daun pandan yang dikeringkan, yang dijahit pada bingkai bambu. layang-layang seperti itu dapat dibuat dalam ukuran yang cukup besar, panjang bisa mencapai 100 cm dan lebarnya 50 cm. Mata pancing yang digunakan adalah mata pancing nomor 3 5 dan dalam satu unit Pancing Layangan digunakan 2 atau 3 mata pancing yang diikat menjadi satu. Pada pangkal mata pancing dipasang umpan tiruan yang terbuat dari karet berbentuk cumi-cumi untuk menarik perhatian ikan (Gambar 2). Konstruksi Pancing Layangan yang digunakan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:

g Gambar 1. Konstruksi Pancing Layangan Keterangan : a. Joran b. Tali Pancing (Joran Layangan) c. Layangan d. Tali Pancing (Layangan Mata Pancing) e. Mata Pancing dan Umpan Tiruan f. Gulungan Tasi g. Cincin Baja Gambar 2. Mata Pancing dan Umpan Buatan yang Digunakan Pada Alat Tangkap Pancing Layangan.

b) Pancing Ulur Satu unit Pancing Ulur yang dioperasikan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, terdiri atas tali utama yang terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 200 400, dengan panjang 300 meter. Pemberat 1 (satu) buah, dari bahan timah dengan berat 0,5 Kg. Pemberat dipasang pada tali utama dengan jarak ± 20 cm diatas mata pancing. Mata pancing yang digunakan 1 (satu) buah, nomor 5 7. Mata pancing dipasang pada bagian ujung tali utama. Pangkal mata pancing dipasang umpan berupa sobekan kain yang berwarna-warni untuk menarik perhatian ikan (Gambar 3). Swivel dipasang pada tali utama, yaitu ± 10 cm diatas dan ± 10 dibawah pemberat, agar mata pancing dan pemberat mudah dilepaskan Gambar 3. Mata Pancing dan Umpan Buatan yang Digunakan Pada Alat Tangkap Pancing Ulur. c) Pancing Tonda Satu unit Pancing Tonda yang dioperasikan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, terdiri atas bagian-bagian yaitu : tali utama, tali cabang, mata pancing, umpan dan swivel. Tali utama terdiri atas 3 (tiga) bagian

yaitu bagian paling atas terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 200 atau 300, dengan panjang 100 meter. Tasi tersebut kemudian disambung dengan kawat nomor 1,5, dengan panjang 30 meter, yang berfungsi sebagai pemberat. Bagian paling bawah terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 50, dengan panjang 50 meter. Antara tali utama bagian tengah (kawat) dengan tali utama bagian atas dan tali utama bagian bawah masing-masing dipasangi swivel. Tali cabang terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 40, dengan panjang ± 20 cm. Mata pancing yang digunakan adalah mata pancing nomor 9 atau 10, dengan jumlah mata pancing untuk tiap unit adalah 7 15 mata pancing. Jarak antara satu mata pancing dengan mata pancing lainnya ± 3 meter. Mata pancing dipasangi umpan berupa sobekan kain yang berwarna warni untuk menarik perhatian ikan (Gambar 4). Gambar 4. Mata Pancing dan Umpan Buatan yang Digunakan Pada Alat Tangkap Pancing Tonda.

d) Pancing Ulur Vertikal Satu unit Pancing Ulur Vertikal yang dioperasikan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, terdiri atas bagian-bagian yaitu : tali utama, tali cabang, pemberat, mata pancing dan umpan. Tali utama terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 50, dengan panjang 100 meter. Tali cabang terbuat dari bahan tasi (monofilamen) nomor 40, dengan panjang masing-masing 3 5 cm. Pemberat yang digunakan adalah 1 (satu) buah yang terbuat dari bahan timah, dengan berat 0,5 Kg dan dipasang pada bagian ujung paling bawah dari tali utama. Mata pancing yang digunakan adalah mata pancing nomor 17 20. untuk satu unit Pancing Ulur Vertikal digunakan 50 100 mata pancing. Mata pancing dipasangi umpan berupa karet pentil dengan panjang ± 3 cm untuk menarik perhatian ikan (Gambar 5). Gambar 5. Mata Pancing dan Umpan Buatan yang Digunakan Pada Alat Tangkap Pancing Ulur Vertikal.

B. Kapal Penangkap Kapal penangkap yang digunakan oleh nelayan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene untuk mengoperasikan alat tangkap Pancing Layangan, mempunyai ukuran panjang (L) berkisar 10 13 meter, lebar (B) berkisar 1,4 1,9 meter dan tinggi (D) berkisar 1,2-1,3 meter, dengan kapasitas muat berkisar 3,26 6,23 ton (Gambar 6). Gambar 6. Kapal yang Digunakan Untuk Mengoperasikan Alat Tangkap Pancing Layangan. Berdasarkan ukuran kapal yang diperoleh diketahui bahwa kapal yang digunakan oleh nelayan setempat tergolong dalam jenis kapal kecil. Hal ini sesuai dengan klasifikasi menurut Ayodhyoa (1972), bahwa untuk kapal ikan kecil, L berkisar antara 6 15 meter, B antara 1,45 3,30 meter dan D antara 0,55 1,40 meter, sedangkan untuk kapal Hand Line, Panjang (L) = 10 m, Lebar (B) = 2,60 m dan tinggi (D) = 1,40, dengan rasio perbandingan ukuran utama yaitu: L/B = 3,85, L/D = 7,14 dan B/D = 1,86. Ukuran utama dan kapasitas muat kapal yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Ukuran Utama, Perbandingan Ukuran Utama dan Kapasitas Muat Kapal yang Digunakan pada Operasi Penangkapan Ikan dengan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene. Kapal Panjang (L) (m) Lebar (B) (m) Tinggi (D) (m) L/B L/D B/D Jenis Kayu Kps. Muat (ton) A 12,7 1,6 1,25 7,94 10,16 1,28 Palapi 4,93 B 12,5 1,6 1,2 7,81 10,42 1,33 Palapi 4,66 C 13 1,8 1,3 7,22 10 1,38 Palapi 5,91 D 13 1,9 1,3 6,84 10 1,46 Palapi 6,23 E 10 1,4 1,2 7,14 8,33 1,17 Palapi 3,26 F 11 1,5 1,2 7,33 9,17 1,25 Palapi 3,84 G 12,5 1,85 1,3 6,76 9,62 1,42 Palapi 5,84 H 12 1,7 1,25 7,06 9,6 1,36 Palapi 4,95 I 12,3 1,8 1,3 6,83 9,46 1,38 Palapi 5,59 J 12 1,8 1,2 6,67 10 1,5 Palapi 5,03 Kapal yang digunakan oleh nelayan setempat umumnya terbuat dari kayu Palapi (Heritiera sp). Untuk menggerakkan kapal, pada umumnya nelayan menggunakan mesin yang berkekuatan 23 24 HP dengan bahan bakar solar (Gambar 7). Gambar 7. Mesin Utama untuk Menggerakkan Kapal.

Pengoperasian alat tangkap Pancing Layangan diperlukan kapal yang mempunyai kecepatan yang tinggi karena sifatnya mengejar gerombolan ikan, untuk itu disain bentuk kapal yang digunakan haruslah ramping dan menggunakan mesin yang berkekuatan besar. Berdasarkan ketentuan rasio ukuran utama kapal Hand Line (Ayodhyoa, 1972), dapat diketahui sampel mana yang memenuhi ketentuan ukuran kapal. Untuk nilai L/B, tidak ada sampel yang memenuhi karena nilainya melebihi ketentuan persyaratan untuk kapal Hand Line. Mulyanto dan Zyaki (1990) menyatakan bahwa untuk nilai L/B yang besar akan menambah kecepatan kapal, menambah harga perbandingan ruangan kapal yang lebih baik, tapi akan mengurangi kemampuan olah gerak kapal dan mengurangi stabilitas kapal, sedangkan bila nilai L/B lebih kecil maka akan menambah kemampuan stabilitas kapal yang lebih baik dan akan menambah kekuatan memanjang kapal. Ditambahkan oleh Ayodhyoa (1972) bahwa bila nilai L/B lebih kecil dari ketentuan tersebut maka akan berpengaruh buruk terhadap kecepatan kapal. Berdasarkan nilai L/D yang diperoleh, tidak ada kapal sampel yang memenuhi ketentuan karena nilainya melebihi ketentuan persyaratan untuk kapal Hand Line, sehingga kekuatan memanjang kapal kurang bagus. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyanto dan Zyaki (1990) bahwa nilai L/D yang besar dapat mengurangi kekuatan memanjang kapal dan bila diperkecil akan menambah kekuatan memanjang kapal. Nilai B/D kapal sampel tidak ada yang memenuhi karena lebih kecil dari ketentuan persyaratan untuk kapal Hand Line, sehingga berdampak buruk terhadap stabilitas kapal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mulyanto dan Zyaki

(1990) bahwa nilai B/D yang besar akan berdampak positif terhadap stabilitas kapal akan tetapi daya dorong kapal akan memburuk, sedangkan bila nilai B/D kecil maka akan berdampak buruk terhadap stabilitas kapal. Baik nilai L/B, L/D maupun B/D, tidak ada satupun kapal sampel yang memenuhi ketentuan persyaratan untuk kapal Hand Line, hal ini disebabkan karena Lebar kapal (B) terlalu kecil sehingga stabilitas kapal kurang baik namun daya dorong kapal cukup baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Ayodhyoa (1972) bahwa Nilai B (lebar), berhubungan dengan stabilitas dan daya dorong kapal. Meskipun demikian, pada kenyataannya kondisi dilapangan berbeda dengan hasil analisis, hal ini karena nelayan di daerah tersebut membuat kapal Pancing Layangan secara tradisional berdasarkan pengalaman nelayan secara turun temurun yang lebih mengutamakan kecepatan kapal, sesuai dengan prinsip penangkapan Pancing Layangan yang sifatnya mengejar gerombolan ikan (hunting), kurang memperhatikan ketentuan ukuran utama kapal ikan, sehingga banyak kejadian kapal Pancing Layangan yang tenggelam saat beroperasi karena terkena ombak yang besar, oleh karena itu sebaiknya semua kapal sampel menambah ukuran lebar kapal (B), sehingga stabilitas kapal menjadi lebih baik. Dampak negatif dari penambahan lebar kapal (B) ini yaitu berkurangnya daya dorong/kecepatan kapal. Untuk mengatasi hal tersebut, maka sebaiknya bersamaan dengan penambahan ukuran lebar kapal (B), tenaga mesin penggerak (HP) kapal juga ditambah. Hal ini sesuai dengan pendapat Ayodhyoa (1972) bahwa dampak negatif dari penambahan nilai lebar kapal (B) adalah propulsive ability akan memburuk sehingga sukar mendapatkan speed yang cukup. Untuk mengatasi hal ini antara lain bisa dilakukan dengan jalan memperbesar HP yang berakibat fuel consumption juga akan membesar.

C. Metode Pengoperasian Operasi penangkapan ikan dengan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, biasanya dilakukan 3 4 hari dalam 1 trip, dan dalam satu bulan ± 4 trip. Umumnya nelayan meninggalkan fishing base antara pukul 05.00 07.00 dan kembali sekitar pukul 15.00 17.00. Sebelum meninggalkan fishing base menuju fishing ground, nelayan melakukan beberapa persiapan, antara lain : 1. Persiapan bahan bakar dan es. 2. Persiapan konsumsi, meliputi beras, air minum, rempah-rempah dan rokok. 3. Persiapan alat tangkap, kapal dan mesin. Nelayan meninggalkan fishing base menuju ke fishing ground setelah semua persiapan di darat telah selesai. Daerah yang menjadi fishing ground nelayan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene ada dua yaitu daerah Ujung Lero (Kabupaten Pinrang) dan daerah Pulau Ambo (Kabupaten Mamuju) Operasi penangkapan dengan Pancing Layangan bersifat hunting atau mengejar gerombolan ikan. Satu unit kapal penangkap terdiri dari 4 5 orang, dimana 1 orang sebagai ponggawa (nakhoda) sedangkan yang lainnya adalah sawi. Satu unit Pancing Layangan dioperasikan oleh satu orang, dan umumnya dalam satu unit kapal penangkap hanya dioperasikan maksimal 2 unit Pancing Layangan, yaitu 1 orang di bagian lambung kapal dan 1 orang lagi di buritan kapal. Nakhoda dan ABK bersama-sama mencari gerombolan ikan di daerah fishing ground. Bersamaan dengan pencarian gerombolan ikan tersebut, ABK yang bertugas mengoperasikan alat tangkap Pancing Layangan mempersiapkan alat tangkapnya

masing-masing. Pertama-tama, ujung tali pancing dimasukkan kelubang cincin kemudian mata pancing dan umpan tiruan di ikatkan pada ujung tali pancing tersebut, kemudian tali pancing di ikatkan dengan layangan (Gambar 8). Jarak tali pancing antara mata pancing dengan layangan berkisar antara 4 6 meter, sedangkan jarak tali pancing antara layangan dengan joran disesuaikan dengan jarak antara gerombolan ikan dengan kapal atau disesuaikan dengan kondisi angin pada saat layangan dinaikkan, dimana bila angin cukup kencang dan layangan sulit dinaikkan maka tali pancing akan diulur sampai layangan naik pada posisi yang dikehendaki, setelah itu pemancing bersiap-siap pada posisinya masing-masing yaitu di lambung kiri atau kanan dan di buritan kapal, kemudian menunggu saat yang tepat untuk menaikkan layangan. Gambar 8. Persiapan Alat Tangkap Pancing Layangan.

Bilamana gerombolan ikan ditemukan, nakhoda akan mendekati gerombolan ikan tersebut dan mencari posisi yang tepat agar pemancing dapat mengoperasikan Pancing Layangannya. Setelah posisinya memungkinkan, maka pemancing segera menaikkan layangannya, kemudian tali pancing diulur hingga mata pancing tepat berada di gerombolan ikan yang akan ditangkap (Gambar 9). Gambar 9. Pemancing Menaikkan Layangan. Posisi kapal diusahakan selalu melawan arah angin atau menyamping dari arah angin, sehingga layangan mudah dinaikkan (Gambar 10). Selama proses penangkapan, kapal bergerak terus mengikuti arah renang ikan dan jika ikan merubah arah renangnya maka pemancing akan memberi isyarat kepada nakhoda untuk merubah haluan kapal mengikuti arah renang ikan dengan posisi tetap melawan atau menyamping arah angin.

Gambar 10. Posisi Kapal, Layangan, Gerombolan Ikan dan Arah Angin Pada Saat Pengoperasian Pancing Layangan Bila umpan termakan oleh ikan, maka layangan akan tertarik dan jatuh ke air (Gambar 11), kemudian pemancing akan menarik tali pancing secara perlahan-lahan, sambil kapal tetap melaju namun kecepatannya dikurangi. Perlahan-lahan tali pancing ditarik hingga mencapai kapal, kemudian ikan yang tertangkap dilepaskan dari mata pancing (Gambar 12) dan alat tangkap dipersiapkan untuk dioperasikan kembali. Untuk lebih jelasnya, metode penangkapan dengan Pancing Layangan secara keseluruhan dapat dilihat dalam diagram alir pada Gambar 13.

Gambar 11. Layangan Terjatuh ke dalam Air Setelah Pancing Termakan oleh Ikan. Gambar 12. Ikan yang Tertangkap Dilepaskan Dari Mata Pancing.

Persiapan (Alat tangkap, Kapal, Mesin, BBM, Es dan Konsumsi) Berangkat dari Fishing base Tiba di fishing ground Pancing dipersiapkan Pencarian gerombolan ikan (nakhoda dan ABK) Tanda-tanda alam Gerombolan ikan di dekati Layangan tertarik jatuh ke air Pemancing bersiap-siap pada posisinya Layangan dinaikkan Umpan termakan oleh ikan Posisi kapal menyamping/ melawan arah angin Tali pancing ditarik Kecepatan kapal dikurangi Ikan pada mata pancing dilepaskan Pancing siap dioperasikan kembali Gambar 13. Diagram Alir Metode Penangkapan Pancing Layangan.

Pengoperasian pancing dengan menggunakan layangan sebagai alat bantu dimaksudkan agar posisi mata pancing dan umpan selalu berada di permukaan air dan selalu bergerak-gerak untuk menarik perhatian ikan. Layangan yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan mempunyai ukuran yang beragam mulai dari yang terkecil sampai yang paling besar. Bila angin bertiup cukup kencang maka nelayan akan menggunakan layangan yang berukuran kecil, sedangkan bila kondisi angin lemah, maka nelayan menggunakan layangan yang berukuran besar. Bila nelayan mengami kesulitan untuk menaikkan layangan atau mata pancing sesalu terangkat di atas permukaan air, nelayan biasanya mengulur tali pancing untuk mengurangi tekanan angin pada layangan hingga lanyangan dan mata pancing tetap berada pada posisi yang tepat. Usaha yang lain untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memperpanjang jarak tali pancing antara layangan dengan mata pancing atau layangan diturunkan kemudian layangan dibuat lebih melengkung. Bersamaan dengan pengoperasian Pancing Layangan, nelayan juga mengoperasikan Pancing Tonda, pengoperasiannya dilakukan dengan cara diseret pada saat kapal berjalan. Pancing tonda tersebut di operasikan pada buritan kapal. Untuk Pancing Ulur dan Pancing Ulur Vertikal, pemancingan dilakukan dengan menggunakan sampan kecil yang telah disiapkan, sedangkan kapal penangkap ditambatkan di rumpon. Tiap sampan terdiri dari satu orang pemancing dan akan mengoperasikan alat tangkap di sekitar rumpon tersebut.

D. Daerah dan Musim Penangkapan Daerah penangkapan ikan untuk alat tangkap Pancing Layangan di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene ada dua tempat yaitu daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang (Lampiran 1) dan daerah Pulau Ambo Kabupaten Mamuju (Lampiran 2). Koordinat daerah penangkapan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3. Ciri-ciri daerah penangkapan yang dijadikan sebagai tanda adanya gerombolan ikan yaitu adanya tanda-tanda alam seperti adanya gerombolan ikan lumba-lumba, adanya riak atau percikan air dipermukaan laut, kayu yang terapung, burung laut yang terbang dan menukik ke permukaan laut dan ikan-ikan yang berlompatan menyambar mangsa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ayodhyoa (1981) bahwa petunjuk untuk mengetahui adanya gerombolan ikan adalah adanya burung-burung yang menukik menyambar ke permukaan laut, ikan yang melompat di atas permukaan atau ikut beruaya bersama kayu-kayu yang hanyut, adanya ikan paus atau ikan hiu dan lain sebagainya. Pengoperasian alat tangkap Pancing Layangan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan kondisi oseanografi perairan dimana alat tangkap tersebut di operasikan. Walaupun pada perairan tersebut cukup banyak ikan, tetapi karena kondisi cuaca dan oseanografi yang tidak memungkinkan untuk melakukan operasi penangkapan maka hal itu tidak akan dilakukan mengingat resiko keselamatan jiwa nelayan. Oleh karena itu nelayan mempunyai dua daerah penangkapan yang berbeda yaitu daerah Ujung Lero dan daerah Pulau Ambo. Pada musim barat, nelayan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene umumnya melakukan operasi penangkapan di daerah Pulau Ambo (Kabupaten Mamuju) karena pada musim barat, perairan di daerah tersebut cukup teduh dan aman untuk melakukan operasi penangkapan. Disamping itu

pada musim barat, ikan-ikan dasar seperti ikan merah (Lutjanus erythropterus), ikan kakap (Lates calcarifer) dan Ikan kerapu (Epinephelus sp) yang dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap Pancing Ulur, cukup melimpah di daerah tersebut. Sedangkan pada musim timur, nelayan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene umumnya melakukan operasi penangkapan di daerah Ujung Lero (Kabupaten Pinrang) karena pada musim timur, perairan di daerah tersebut cukup teduh dan aman untuk melakukan operasi penangkapan. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, diketahui bahwa daerah penangkapan Pulau Ambo jaraknya lebih jauh dibandingkan Ujung Lero, sehingga biaya operasional yang dikeluarkan juga lebih besar. Namun hasil tangkapan yang diperoleh juga jauh lebih banyak sehingga juga dikenal dengan musim puncak, karena hasil tangkapan yang diperoleh pada saat itu sangat melimpah dan jenis ikan tuna yang tertangkap umumnya berukuran besar (ukuran ekspor) yaitu > 30 Kg, karena operasi penangkapan dilakukan dengan mengejar gerombolan ikan. Selain itu jenis ikan cakalang dan ikan tongkol yang tertangkap juga cukup banyak dengan ukuran yang relatif besar dan banyak pula tertangkap jenis-jenis ikan karang yang juga bernilai ekonomis tinggi. Sedangkan penangkapan di daerah Ujung Lero juga dikenal dengan musim paceklik karena pada saat tersebut hasil tangkapannya hanyalah ikan-ikan cakalang, tongkol dan tuna yang berukuran kecil, sehingga hanya di jual di pasaran lokal saja. Hal ini disebabkan pada daerah tersebut operasi penangkapan hanya di lakukan di sekitar rumpon karena sangat sulit menemukan gerombolan ikan di daerah tersebut pada musim timur. Pada umumnya ikan-ikan yang berada di sekitar rumpon mempunyai ukuran yang lebih kecil dibanding ikanikan yang berenang bebas (bergerombol).

Berdasarkan hasil survei pada saat mengikuti operasi penangkapan, hasil wawancara dengan nelayan dan disesuaikan dengan skala Beauford (Lampiran 4), diketahui bahwa Pancing Layangan dapat dioperasikan pada kondisi kecepatan angin 0 10 knot, atau pada ketinggian gelombang 0-1,0 meter. Menurut nelayan, pada kondisi tersebut Pancing Layangan dapat dioperasikan dengan baik dan keamanan pelaksanaan operasi penangkapan masih cukup terjamin. Namun bila kecepatan angin > 10 knot atau ketinggian gelombang > 1 meter, maka pengoperasian alat tangkap tidak bisa dilakukan karena kondisi tersebut akan membahayakan keselamatan jiwa nelayan, disamping alat tangkap sangat sulit dioperasikan karena layangan sangat sulit untuk dinaikkan. Nelayan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene seperti halnya nelayan di daerah lain di Indonesia, pada umumnya mengenal tiga musim penangkapan yaitu musim puncak pada bulan September - Desember, musim biasa pada bulan Januari Mei dan musim paceklik pada bulan Juni - Agustus. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada musim puncak dan musim biasa yaitu pada bulan September Mei, nelayan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene melakukan operasi penangkapan di daerah Pulau Ambo (Kabupaten Mamuju), dengan total jumlah trip yaitu 36 trip (16 trip pada musim puncak dan 20 trip pada musim biasa). Sedangkan pada musim paceklik yaitu pada bulan Juni Agustus, operasi penangkapan dilakukan di daerah Ujung Lero (Kabupaten Pinrang), dengan total jumlah trip yaitu 10 trip dari yang seharusnya 12 trip, karena pada bulan Agustus yaitu pada minggu III dan IV umumnya nelayan tidak melakukan operasi penangkapan karena pada saat itu di Kabupaten Majene (daerah Mandar) diadakan acara pesta rakyat secara besar-besaran, sehingga para nelayan tidak turun melaut.

E. Hasil Tangkapan Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan nelayan, diketahui bahwa khusus untuk alat Tangkap Pancing Layangan, dapat menangkap jenis ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) serta jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan tongkol (Euthynnus affinis) yang berukuran besar saja, mengingat jenis mata pancing yang digunakan berukuran cukup besar yaitu mata pancing nomor 3 5 dan tiap unitnya menggunakan 2 3 mata pancing yang diikat menjadi satu. Sedangkan untuk alat tangkap Pancing Tonda, Pancing Ulur dan Pancing Ulur vertikal hanya dapat menangkap ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan ikan tongkol (Euthynnus affinis) yang berukuran kecil saja, karena mata pancing yang digunakan ukurannya lebih kecil yaitu mata pancing nomor 5 20 dan terdiri dari satu mata pancing saja. Khusus untuk Pancing Ulur, yang dioperasikan di daerah Pulau Ambo (Kabupaten Mamuju) pada musim puncak dan musim biasa, dapat menangkap beberapa jenis ikan dasar (Demersal) antara lain ikan merah (Lutjanus erythropterus), ikan kakap (Lates calcarifer) dan ikan kerapu (Epinephelus sp).

Aspek Finansial Aspek finansial menyangkut terutama perbandingan antara pengeluaran uang dengan revenue earning dari pada proyek. Apakah proyek itu akan terjamin dananya yang diperlukan, apakah proyek akan mampu membayar kembali dana tersebut dan apakah proyek itu akan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansal dapat berdiri sendiri (Kadariah, Karlina dan Gray, 1978). Aspek ini menyangkut masalah penerimaan dan pengeluaran dari pelaksanaan usaha. Biaya yang dikeluarkan meliputi modal investasi, biaya operasional, biaya tetap dan biaya variabel. A. Investasi Modal investasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh biaya yang ditanamkan dalam pembuatan kapal, pembelian mesin, alat tangkap serta peralatan lainnya. Besarnya investasi yang ditanamkan per unit usaha perikanan Pancing Layangan berkisar antara Rp. 11.124.300,- Rp. 17.055.650,-, dimana modal investasi terbesar ditanamkan oleh kapal A sedangkan yang terkecil adalah kapal E. Besarnya biaya investasi tersebut dipengaruhi oleh besar skala usaha dan tingkat teknologi yang digunakan, karena semakin besar skala usaha dan tingkat teknologi yang digunakan dalam suatu usaha perikanan tangkap, maka semakin besar pula dana investasi yang harus ditanamkan. Untuk lebih jelasnya, nilai investasi tiap unit usaha perikanan Pancing Layangan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Modal Investasi Unit Usaha Perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene. Kapal Kapal Modal Investasi (Rp) Alat Mesin Tangkap Total (Rp) A 9.342.000 7.000.000 713.650 17.055.650 B 8.182.000 4.500.000 1.089.430 13.771.430 C 8.502.000 2.500.000 1.096.750 12.098.750 D 8.362.000 3.200.000 567.900 12.129.900 E 7.087.000 3.000.000 1.037.300 11.124.300 F 12.187.000 2.200.000 1.201.850 15.588.850 G 8.612.000 3.000.000 577.170 12.189.170 H 9.187.000 3.500.000 577.900 13.264.900 I 9.187.000 3.500.000 571.690 13.258.690 J 8.097.000 3.000.000 658.500 11.755.500 B. Biaya Tetap (Fixed Cost) Biaya tetap meliputi biaya penyusutan dan pajak, karena jumlahnya relatif tetap dan terus dikeluarkan meskipun jumlah produksi bertambah atau berkurang. Biaya penyusutan merupakan perbandingan antara nilai investasi dan lamanya alat digunakan. Besarnya biaya penyusutan tergantung pada nilai awal dan lama modal tetap (investasi) tersebut digunakan, atau dengan kata lain daya tahan alat dapat berkurang karena pengaruh umur ataupun karena pemakaian alat tersebut sehingga mempengaruhi nilai awal dari modal tetap yang akan menyusut selama pemakaian. Apabila nilai investasi tinggi sedangkan masa pemakaian singkat, maka biaya penyusutan relatif besar. Sebaliknya bila nilai investasi tidak terlalu tinggi dan masa pemakaian cukup lama, maka biaya penyusutan relatif lebih kecil. Biaya penyusutan tiap unit usaha perikanan Pancing Layangan berkisar antara Rp. 2.586.800,- Rp. 4.079.183,-. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Biaya tetap lainnya yang harus dikeluarkan adalah pajak, berupa Surat Izin Pelayaran dari KP3 yang harus diperbaharui setiap tahunnya. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan yaitu sebesar Rp. 50,000,- setiap tahunnya. Tabel 3. Biaya Tetap Per Tahun Unit Usaha Perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene. Kapal Pajak Biaya Tetap (Rp) Penyusutan Total (Rp) A 50.000 4.079.183 4.129.183 B 50.000 3.155.990 3.205.990 C 50.000 2.775.416 2.825.416 D 50.000 2.636.300 2.686.300 E 50.000 2.586.800 2.636.800 F 50.000 3.290.216 3.340.216 G 50.000 2.669.710 2.719.710 H 50.000 2.838.400 2.888.400 I 50.000 2.776.070 2.826.070 J 50.000 2.778.500 2.828.500 Rata-rata 50.000 2.958.658,5 3.008.658,50 Berdasarkan Tabel 3 tersebut, diketahui besarnya biaya tetap per tahun dari 10 responden berkisar antara Rp. 2.636.800,- Rp. 4.129.183,-, dengan nilai rata-rata Rp. 3.008.658,50. C. Biaya Variabel (Variabel Cost) Biaya variabel merupakan biaya yang tidak tetap jumlahnya karena dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah produksi yang diperoleh. Biaya variabel meliputi biaya perawatan, biaya operasional dan upah ABK.

Biaya perawatan diperlukan untuk memelihara kelangsungan kerja semua unit penangkapan dimana besarnya tergantung seberapa besar tingkat kerusakan yang dialami oleh kapal ataupun mesin pada unit usaha perikanan Pancing Layangan tersebut. Besarnya biaya perawatan yang dikeluarkan berkisar antara Rp. 1.648.000,- Rp. 3.274.000,-. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Lampiran 7. Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan aktivitas operasional penangkapan ikan. Pada unit usaha perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, semua biaya operasional ditanggung sepenuhnya oleh pemilik kapal dan akan dikembalikan setelah hasil tangkapan dijual. Besarnya biaya operasional pada unit usaha perikanan Pancing Layangan tergantung dari banyaknya trip, lokasi fishing ground dan kenaikan harga barang pada saat tertentu. Komponen biaya operasional meliputi pembelian bahan bakar (solar), es, konsumsi dan rokok. Besarnya biaya operasional per tahun berkisar antara Rp. 8.252.728,- Rp. 12.746.600,-. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Lampiran 8. Upah ABK tiap orang pertahun masing-masing unit usaha perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene berkisar antara Rp. 10.065.477 Rp. 12.633.917. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Lampiran 10.

Tabel 4. Biaya Variabel Per Tahun Unit Usaha Perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene. Kapal Biaya Variabel (Rp) Operasional Upah ABK Perawatan Total (Rp) A 12.746.600 44.519.657 3.274.000 60.540.257 B 10.553.500 43.819.829 2.301.800 56.675.129 C 9.111.500 31.654.250 2.296.000 42.845.750 D 10.185.000 35.744.000 1.807.000 47.736.000 E 8.252.728 32.446.636 1.754.000 42.453.364 F 10.573.900 42.290.914 2.117.000 54.981.814 G 11.246.200 33.942.900 1.878.000 47.067.100 H 10.251.250 37.570.375 1.648.000 49.469.625 I 11.096.500 37.901.750 2.130.000 50.748.250 J 12.428.664 40.261.906 1.913.000 54.603.570 Rata-rata 10.644.584,2 38.015.221,7 2.111.880 50.771.685,9 Tabel 4 di atas menunjukkan besarnya biaya variabel yang terdiri atas biaya operasional, upah ABK dan biaya perawatan pada tiap unit usaha perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene yang berkisar antara Rp. 42.453.364,- Rp. 60.540.257,-, dimana biaya variabel yang terbesar dikeluarkan oleh kapal A sedangkan yang terkecil adalah kapal E. Total biaya yang dikeluarkan pada tiap unit usaha perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene diperoleh dengan menjumlahkan biaya tetap dengan biaya variabel sehingga diperoleh total biaya pada tiap unit yang berkisar antara Rp. 45.090.164,- Rp. 64.669.440,-, dimana total biaya yang terbesar dikeluarkan oleh kapal A sedangkan yang terkecil adalah kapal E. untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 11.

D. Sistem bagi hasil Pada unit usaha perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, sistem bagi hasil yang berlaku adalah setiap ABK masingmasing memperoleh satu bagian dan pemilik mendapatkan tiga bagian (masingmasing satu bagian untuk ponggawa, kapal dan mesin) karena yang menjadi ponggawa pada umumnya adalah pemilik kapal itu sendiri. Menurut undang-undang bagi hasil perikanan no. 16 tahun 1964, pasal 3 yaitu jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian bagi hasil, maka dari hasil usaha itu kepada pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian pada perikanan laut yaitu a). dipergunakan perahu layar, minimum 75% dari hasil bersih dan b). Jika Jika dipergunakan kapal motor, minimum 40% dari hasil bersih. Berdasarkan undangundang bagi hasil tersebut diketahui bahwa sistem bagi hasil yang berlaku pada unit usaha perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, tidak sesuai dengan ketentuan. Dalam hal ini pemilik telah dirugikan, sedangkan ABK atau nelayan penggarap lebih diuntungkan, karena jumlah ABK setiap unit penangkapan yaitu 3 4 orang, sehingga jika ABK pada unit penangkapan tersebut berjumlah 3 orang, maka bagian untuk ABK yaitu 50%, sedangkan jika ABKnya 4 orang, maka bagian untuk ABK yaitu 57%, nilai ini jauh diatas standar pembagian hasil yang telah ditetapkan yaitu minimum 40%.

Analisis Usaha A. R/C Berdasarkan data-data yang telah diperoleh pada perhitungan sebelumnya, maka dapat dilakukan analisis R/C yang dikemukakan oleh Soekartawi (1995) yaitu perbandingan antara penerimaan total dengan biaya total, dimana bila nilai R/C = 1, maka usaha bersifat tidak mendapat laba dan tidak pula mengalami kerugian. Jika R/C > 1, maka hasil yang diperoleh lebih besar daripada biaya total sehingga usaha mendapatkan laba dan layak untuk dilaksanakan. Sedangkan jika R/C < 1, maka hasil yang diperoleh lebih kecil daripada biaya total usaha, sehingga usaha mengalami kerugian dan tidak layak untuk dilaksanakan. Semakin tinggi R/C maka semakin tinggi prioritas yang dapat diberikan pada usaha tersebut. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap unit usaha perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae Kabupaten Majene, diketahui bahwa semua sampel yang menjadi objek penelitian dapat melanjutkan atau mengembangkan usahanya, karena nilai R/C dari usaha mereka di atas 1 atau R/C > 1 yaitu berkisar antara 1,45 1,66. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 11. B. Keuntungan Pendapatan usaha diperoleh dari total penjualan hasil tangkapan. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa pendapatan unit usaha perikanan Pancing Layangan berkisar antara Rp. 74.550.000,- Rp. 93.980.000,-. Sedangkan keuntungan kotor diperoleh dari selisih antara

hasil penjualan dengan biaya operasional ditambah biaya perawatan dan pajak sehingga di peroleh nilai yang berkisar antara Rp. 63.308.500,- Rp. 77.909.400,- yang selanjutnya diambil untuk pembagian hasil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Keuntungan bersih diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan total biaya, yang berkisar antara Rp. 27.417.930,- Rp. 34.745.680,-. Berdasarkan hasil perhitungan keuntungan bersih yang diperoleh tersebut, diketahui bahwa semua sampel yang menjadi objek penelitian dapat melanjutkan atau mengembangkan usahanya, karena ke sepuluh kapal sampel tersebut semuanya memperoleh keuntungan yang cukup besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 11. Aspek Biologi Berdasarkan hasil survei dan pengukuran langsung terhadap beberapa sampel ikan yang tertangkap dengan alat tangkap Pancing Layangan, diperoleh kisaran ukuran panjang ikan hasil tangkapan tersebut sebagai berikut: ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) panjangnya berkisar antara 30 65 cm, ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) panjangnya berkisar antara 27,5 33 cm dan ikan tongkol (Euthynnus affinis) panjangnya berkisar antara 27 34 cm. Ikan yang tertangkap tersebut berukuran relatif kecil karena pada saat pengambilan data, bertepatan dengan musim paceklik dimana operasi penangkapan umumnya dilakukan di sekitar rumpon sedangkan pada musim puncak, biasanya didapatkan hasil tangkapan yang berukuran cukup besar karena operasi penangkapan umumnya dilakukan dengan sistem pengejaran gerombolan ikan. Menurut Sumadhiharga, Sapulete dan Djamali (1995), pada perairan sekitar Khatulistiwa,

ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) bisa mencapai panjang 70 80 cm. Ditambahkan oleh Anonim (1979) bahwa ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) umumnya mencapai panjang 40 60 cm dan dapat mencapai panjang satu meter. Selanjutnya Nontji (1993) menyatakan bahwa ukuran ikan tongkol bisa mencapai panjang maksimum 1 meter. Untuk lebih jelasnya, ukuran ikan yang tertangkap dengan alat tangkap Pancing Layangan dapat dilihat pada Lampiran 12.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap usaha perikanan Pancing Layangan di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, dapat disimpulkan sebagai beikut : 1. Satu Unit Pancing Layangan terdiri atas bagian-bagian yaitu : joran dari bambu dengan panjang 4-5 m, cincin yang dipasang pada ujung joran, tali pancing dari bahan monofilamen No. 300 600 dengan panjang 300 m, layangan dengan ukuran panjang antara 42 100 cm dan lebar 40,5 85 cm yang terbuat dari plastik dengan rangka yang terbuat dari rotan, mata pancing No. 3 5 serta umpan tiruan berbentuk cumi-cumi yang terbuat dari karet. 2. Dalam satu unit kapal penangkap selain dioperasikan alat tangkap Pancing Layangan, juga dioperasikan alat tangkap Pancing Ulur, Pancing Tonda dan Pancing Ulur Vertikal 3. Rasio ukuran utama kapal, baik nilai L/B, L/D maupun B/D, tidak ada kapal sampel yang memenuhi ketentuan persyaratan untuk kapal Hand Line. 4. Secara finansial, usaha perikanan Pancing Layangan dapat terus dilanjutkan karena usaha tersebut cukup menguntungkan dan layak untuk dikembangkan.

Saran Untuk aspek teknis yang perlu ditinjau kembali adalah mengenai perbandingan ukuran utama kapal, dimana tidak satupun kapal sampel yang memenuhi persyaratan teknis laut dari segi ukuran kapal. Untuk sistem bagi hasil sebaiknya juga dipertimbangkan kembali terutama oleh pemilik kapal, sehingga sistem bagi hasil yang selama ini digunakan dan sangat merugikan para pemilik kapal dapat dirubah sesuai dengan ketentuan undang-undang bagi hasil, sehingga tidak ada lagi pihakpihak yang dirugikan baik ABK maupun pemilik kapal.

DAFTAR PUSTAKA Anas, H. 1989. Studi Tentang Perikanan Huhate di Perairan Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Tesis. Jurusan Perikanan. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Anonim. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikanan. (http://202.159.94.45/domino/html/ BDD2.nsf/ Daftar+ Undang+Undang?OpenView). Anonim. 1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Bagian I (Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting). Dirjen Perikanan. Departemen pertanian. Jakarta. Ayodhyoa, A. U. 1972. Craft and Gear. Correspondence Course Centre. Jakarta.. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. Brandt, A. V. 1964. Fish Catching Methods of the World. Fishing News Books Ltd. Farnham. Surrey. England. Branson, P. 1987. Fishermen s Handbook. British Marine Mutual insurance Association Limited. Fishing News Book Ltd. Farnham. Surrey. Englang. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harianto. 1991. Analisis Teknis dan Ekonomis Terhadap Beberapa Alat Penangkapan Ikan Demersal di Perairan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai. Tesis. Jurusan Perikanan. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Hermansson, B. 1978. Training Fishermen at Sea. FAO fishing Manuals. Food and agriculture Organization Of The United Nations. Fishing News Book Ltd. Farnham. Surrey. Englang. Kadariah, L. Karlina dan C. Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Manggabarani, H. 2003. Kebijakan Perikanan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Makalah seminar Nasional Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Monintja, D. R, B. P. Pasaribu dan I. Jaya. 1986. Manajemen Penangkapan Ikan. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor.

Mulyanto, R.B. dan A. Zyaki. 1990. Pengertian Dasar Besaran-Besaran Kapal. Bagian Proyek Pengembangan Penangkapan Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan. Semarang. Nomura, M dan T. Yamazaki. 1977. Fishing Techniques. Compilation of Transcript of Lectures Presented at The Training Department. SEAFDEC. Japan International Cooperation Agency. Tokyo. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Patalle, M. 1993. Studi Perikanan Jaring Insang Cakalang di Perairan Pantai Sekitar Kabupaten Dati II Polmas Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Subani, W. dan H. R. Barus. 1988. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Balai Penelitian perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Sumadhiharga.O.K., Sapulete.D., dan Djamali.A., 1995. Development of Tuna Fisheries in Eastern Indonesian Waters. Research and Development Center for Oceanology. Indonesia Institute of Science (LIPI). Jakarta. Sunusi, S. 2001. Struktur Ukuran dan Tingkat Eksploitasi Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang Tertangkap dengan Alat Pole and Line di Perairan Kendari Sulawesi Tenggara. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Lampiran 1. Peta Lokasi Daerah Penangkapan Pulau Ambo (Kabupaten Mamuju).