Bab 2. Landasan Teori



dokumen-dokumen yang mirip
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 3. Metodologi Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan mahluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam menjalani suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman manusia yang paling umum. Menurut Sternberg (dalam Tambunan,

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

2015 INTIMACY WANITA KORBAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB I A. Latar Belakang Masalah dewasa muda Tugas tugas pergembangannya Wanita Kebutuhan intimacy workaholic

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cinta. kehilangan cinta. Cinta dapat meliputi setiap orang dan dari berbagai tingkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Usia yang Tinggal di Panti Werdha

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia

Transkripsi:

Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Perkembangan dewasa dibagi menjadi tiga bagian yaitu, dewasa muda (young adulthood) dengan usia berkisar antara 20 sampai 40 tahun. Dewasa menengah (middle adulthood) dengan usia berkisar antara 40 sampai 65 tahun dan dewasa akhir (late adulthood) dengan usia mulai 65 tahun ke atas (Papalia et al, 2007). Santrock (2002) mengatakan masa dewasa muda adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Masa dewasa muda diawali dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang melibatkan eksperimentasi dan eksplorasi yang disebut sebagai emerging adulthood (Arnett dalam Papaplia, Olds, & Feldman, 2005). Ada beberapa tugas perkembagan dewasa muda, yaitu (Turner & Helms dalam Dariyo, 2008): 1. Mencari dan memilih pasangan hidup 2. Belajar menyesuaikan diri dan hidup secara harmonis dengan pasangan 3. Mulai membentuk keluarga dan memulai peran baru sebagai orangtua 4. Membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan mereka 5. Belajar menata rumah tangga dan memikul tanggung jawab 6. Mengembangkan karir atau melanjutkan pendidikan 7. Memenuhi tanggung jawab sebagai warga Negara 8. Menemukan kelompok sosial yang sesuai Dari tugas perkembangan diatas terlihat bahwa tugas terpenting dari masa dewasa muda adalah untuk membentuk hubungan intim yang dekat dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Erickson, bahwa dimana permasalahan

utama individu yang berada dalam tahap perkembangan dewasa muda adalah intimacy versus isolation. Pada tahap ini individu berusaha untuk membuat komitmen pribadi maupun dengan orang lain, jika tidak berhasil maka ia dapat mengalami isolasi dan tenggelam dalam dirinya sendiri (Papalia, Olds, & Feldman, 2005). Menurut Erickson (dalam Alwisol, 2008) tahap dewasa muda ditandai dengan perolehan keintiman (intimacy) pada awal periode, dan ditandai perkembangan berketurunan (generetivity) pada akhir periode. Intimasi adalah kemampuan untuk menyatukan identitas diri dengan identitas orang lain tanpa takut kehilangan identitas diri itu. Karena intimasi hanya dapat dilakukan sesudah orang membentuk ego yang stabil, hubungan cinta yang luar biasa pada dewasa bukan intimasi yang sebenarnya. Erickson (dalam Howe, 2012) berpendapat juga bahwa tugas perkembangan penting untuk mencapai di masa dewasa muda agar dapat berbagi diri dengan orang lain tanpa kehilangan identitas diri sendiri. Dalam penelitian ini batas usia yang diambil untuk melakukan penelitian adalah usia 19 sampai 25 tahun. 2.2 Pacaran 2.2.1 Pengertian Pacaran Menurut Howe (2012) pacaran adalah sebuah hubungan percintaan yang mengacu pada tahap awal hubungan romantis yang berfungsi sebagai dasar untuk membangun hubungan yang berpotensi sebagai sebuah komitmen. Menurut DeGenova & Rice (2005) pacaran adalah menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain. Pacaran menurut Hardjana (2002) adalah suatu proses penyesuaian antara dua pribadi yang berbeda yang membutuhkan usaha keras untuk bisa sampai kearah sana. Masa pacaran dianggap sebagai masa pendekatan antar individu dari kedua lawan jenis, yaitu ditandai dengan saling pengenalan pribadi baik kekurangan dan kelebihan dari masing-masing individu. Bila berlanjut masa pacaran dianggap sebagai masa persiapan individu untuk dapat memasuki masa bertunangan atau masa pernikahan (Santrock, 2003). Dari penjelasan definisi-definisi pacaran, dapat diambil kesimpulan bahwa pacaran adalah hubungan percintaan yang romantis dimana pria dan wanita bertemu untuk mengenal lebih dalam sebelum berlanjut ketahap selanjutnya yang lebih serius. 2.2.2 Karakteristik Pacaran

Pacaran merupakan fenomena yang relatif baru, sistem ini baru muncul setelah perang dunia pertama terjadi. Hubungan pria dan wanita sebelum munculnya pacaran dilakukan secara formal, dimana pria datang mengunjungi pihak wanita dan keluarganya (dalam DeGenova & Rice, 2005). Menurut DeGenova & Rice (2005), proses pacaran mulai muncul sejak pernikahan mulai menjadi keputusan secara individual dibandingkan keluarga dan sejak adanya rasa cinta dan saling ketertarikan satu sama lain antara pria dan wanita mulai menjadi dasar utama seseorang untuk menikah. Komponen cinta menurut Stranberg (dalam Howe, 2012) terdiri dari 3 aspek : gairah (passion), keintiman (intimacy), komitmen (commitment). Hubungan dapat di karakteristikan tinggi atau rendah pada setiap komponennya. Gairah (passion) termasuk pikiran konstan tentang orang, keinginan yang kuat untuk dekat dengan pasangan, dan gairah sexual. Keintiman (intimacy) mengacu pada berbagai pikiran dan perasaan, dan menjadi cukup rentan untuk mengungkapkan jati diri seseorang. Komitmen (commitment) bahwa pasangan telah memutuskan untuk melepas semua hubungan, dan hidup dengan satu orang. Komponen keintiman, komitmen, dan gairah membuat hubungan manusia menjadi dinamis. Hubungan dinamis ini menurut Fiske (dalam Howe, 2012), ditemukan dalam hubungan manusia yang paling intim yang dibentuk oleh: - Communal sharing (bersikap terbuka dan intim dengan pasangan) - Authority ranking (memutuskan masalah kontrol dan pembagian kekuasaan) - Equality matching (menemukan kesamaan) - Market pricing (mencari tahu manfaat dan biaya dalam hubungan) Keempat dinamika tersebut mulai bermain ketika kita mulai berpacaran dengan seseorang. Pertama, kita harus memutuskan berapa banyak informasi tentang diri kita yang mau kita bagi dan seberapa tertutup atau terbuka kita ingin berbagi. Ketika kita ingin berinteraksi lebih dengan pasangan kita, isu-isu kekuasaan mulai muncul dalam hal pengambilan keputusan, dimana keluarganya datang mengunjungi, bagaimana menangani mantan pasangan kita yang dahulu, dan bagaimana menangani konflik. Jika kita mampu menemukan kesamaan dalam kepercayaan, tujuan, dan minat, pacaran atau hubungan akan lebih seimbang dan kuat. 2.2.3 Alasan Berpacaran

Menurut DeGenova & Rice (2005) ada beberapa hal yang menyebabkan individu-individu berpacaran, antara lain: 1. Pacaran sebagai bentuk rekreasi. Satu alasan bagi pasangan untuk keluar secara sederhana adalah untuk bersantai-santai, menikmati diri mereka sendiri dan memperoleh kesenangan. Pacaran merupakan suatu bentuk hiburan an ini jugalah yang menjadi tujuan akhir dari pacaran itu sendiri. 2. Pacaran memberikan pertemanan, persahabatan dan keintiman pribadi Banyak kaum muda yang memiliki dorongan yang kuat untuk mengembangkan kedekatan dan hubungan yang intim melalui pacaran 3. Pacaran adalah bentuk sosialisasi Pacaran membantu seseorang untuk mempelajari kealian-keahlian sosial, menambah kepercayaan diri dan ketenangan, dan mulai menjadi ahli dalam seni berbicara, bekerjasama, dan perhatian terhadap orang lain 4. Pacaran berkontribusi untuk pengembangan kepribadian Salah satu cara bagi individu untuk mengembangkan identitas diri mereka adalah melalui berhubungan dengan orang lain. Kesuksesan seseorang dalam pengalaman berpacaran merupakan bagian dari perkembangan kepribadian. Satu dari alasan-alasan kaum muda berpacaran adalah karena hubungan tersebut memberi mereka keamanan dan perasaan dihargai secara pribadi. 5. Pacaran memberikan kesempatan untuk mencoba peran gender Peran gender harus dipraktekkan dalam situasi kehidupan nyata dengan pasangan. Banyak wanita saat ini menyadari bahwa mereka tidak dapat menerima peran tradisionalnya yang pasif; pacaran membantu mereka mengetahui hal ini dan belajar jenis peran apa saja yang mereka temukan dalam hubungan yang dekat. 6. Pacaran adalah cara untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Kebutuhan akan kasih sayang ini merupakan satu dari motif utama orang berpacaran. 7. Pacaran adalah cara untuk menyeleksi pasangan hidup Kesesuaian dari seleksi pasangan menganjurkan agar individu-individu yang memiliki kecocokan yang baik dalam karakteristik-karakteristik pokok untuk dapat menikah satu sama lain karena kecocokan dapat meningkatkan

kemungkinan bahwa mereka akan mampu membentuk hubungan yang saling memuaskan. 8. Pacaran memberikan kesempatan bagi pencobaan dan kepuasan seksual Pacaran menjadi lebih berorientasi seksual, dengan adanya peningkatan jumlah kaum muda yang semakin tertarik untuk melakukan hubungan intim (Michael dalam DeGenova & Rice, 2005).

9. Pacaran mempersiapkan individu menuju pernikahan Pacaran dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang sikap dan perilaku pasangan satu sama lain; pasangan dapat belajar bagaimana cara mempertahankan hubungan dan bagaimana mendiskusikan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi. 2.2.4 Tipe-tipe Pacaran Berdasarkan jarak, Hampton (2004) membagi pacaran menjadi dua tipe yaitu : 1. Pacaran jarak dekat (Proximal relationship) Proximal Relationship dikenal dengan pacaran jarak dekat dimana pasangan tidak dipisahkan oleh jarak fisik yang berarti oleh karena itu kedekatan fisik dimungkinkan (Hampton, 2004). Persepsi hubungan jarak jauh atau dekat tergantung dengan persepsi subjek (Dellman-Jenkins dkk, 1994 dalam Skinner 2005), namun ada beberapa literatur yang membuat standar jarak dekat seperti kurang dari 60 mil (Shumway, 2004) atau 200 mil (Knox, Zusman, Daniels, & Brantley, 2002). 2. Pacaran jarak jauh (Long-distance relationship) Long-distance relationship adalah pacaran yang sering disebut pacaran jarak jauh dimana pasangan dipisahkan oleh jarak fisik yang tidak memungkinkan adanya kedekatan fisik untuk periode waktu tertentu (Hampton, 2004). 2.2.5 Pacaran Jarak Jauh (Long-distance Relationship) 1. Pengertian Pacaran jarak jauh atau Long-distance relationship Menurut Skinner (2005), definisi yang tepat tentang hubungan jarak jauh telah sangat bervariasi antara studi-studi sebelumnya. Sebagian besar studi sebelumnya menggunakan kriteria miles separated atau jarak, namun jumlah pasti jaraknya sangat bervariasi. Misalnya, Schwebel et al. (dalam Skinner, 2005) menggunakan jarak 50mil atau lebih pada studinya, sedangkan Lydon, Pierce, and O Regan dan Knox et al (dalam Skinner, 2005) menggunakan 200mil atau lebih untuk mendefinisikan hubungan jarak jauh. Studi lainnya menggunakan definisi partisipan terhadap hubungan tersebut. Contohnya, Guldner (dalam Skinner, 2005) menggunakan kata pasangan saya tinggal tidak jauh dari saya, bahwa saya bisa melihat dia setiap hari jika saya menginginkannya. Dari definisi yang berbeda ini menandakan bahwa banyak

faktor yang berperan dalam menentukan apakah suatu hubungan termasuk jarak jauh atau bukan dan ada lebih dari satu jenis hubungan jarak jauh. 2. Faktor penyebab pacaran jarak jauh Kaufmann (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab individu menjalani pacaran jarak jauh diantaranya : - Pendidikan Salah satu faktor penyebab pacaran jarak jauh adalah ketika individu berusaha untuk mengejar dan mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga hubungan mereka dengan pasangan harus dipisahkan oleh jarak. Stafford, Daly, & Reske (dalam Kauffman, 2000) menyatakan bahwa sepertiga dari hubungan pacaran di dalam universitas yang dijalani oleh mahasiswa merupakan jarak jauh. - Pekerjaan Pacaran jarak jauh juga berhubungan dengan kecenderungan sosial pada saat ini. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja ke luar negeri (Johnson & Packer dalam Kauffman, 2000) dan juga dengan adanya kondisi mobilitas kerja pada saat ini sehingga dalam usaha pencapaian karir mereka, hubungan percintaan yang terjadi harus dipisahkan oleh jarak.

2.3 Psychology Well-being 2.3.1 Definisi Pyschology Well-Being Teori psychological well-being(pwb) dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup seharihari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup dinamakan psychological well-being (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995). Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional yang positif, mampu melalui pengalamanpengalaman buruk yang dapat menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989). Ryff (dalam Wells, 2010) menyatakan ada enam dimensi yang membentuk psychological well-being yakni penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). 2.3.2 Dimensi-dimensi Psychology Well-Being Dimensi-dimensi yang membentuk psychological well-being menurut Ryff (dalam Wells, 2010): 1. Penerimaan diri (Self-acceptance) Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya. Seseorang yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya.

Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini. 2. Hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others) Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini. 3. Otonomi (autonomy) Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis.

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Individu dengan PWB yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar. 5. Tujuan Hidup (purpose in life) Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup, mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita. 6. Pertumbuhan pribadi (personal growth) Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan

tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani.

2.4 Kerangka Berpikir Dewasa Muda Intimacy Pacaran Jarak Dekat Jarak Jauh (+) Melatih kesetiaan (-) Kecemburuan (-)Ketidakpercayaan Psychologycal Well- Being Gambar 1.1 Bagian Kerangka berpikir Psychological Well-being pacaran jarak jauh pada dewasa muda