Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II GAMBARAN UMUM

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN. Hal. 1. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota Semarang Akhir Tahun Anggaran 2016

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

IV. METODOLOGI PENELITIAN

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BUPATI BANGKA TENGAH

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kota Kendari dengan Ibukotanya Kendari yang sekaligus Ibukota Propinsi

BAB 3 TINJAUAN WILAYAH

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV KONDISI UMUM TAPAK

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PENGANTAR. Latar Belakang. Tujuan pembangunan sub sektor peternakan Jawa Tengah adalah untuk

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III GAMBARAN UMUM KECAMATAN GUNUNGPATI

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III TINJAUAN WILAYAH BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan lahan untuk pembangunan berbagai sektor berbasis lahan.

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

INFORMASI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI PROVINSI JAMBI

BAB II LANGKAH PERTAMA KE NIAS

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tabel 28. Kesesuaian RUTRK untuk RTH terhadap Inmendagri No. 14 Tahun RUTRK Untuk RTH (ha)

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, kawasan industri, jaringan transportasi, serta sarana dan prasarana

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

BAB III TINJAUAN LOKASI. 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

Aria Alantoni D2B Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

0 BAB 1 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

MODEL BANGKITAN PERJALANAN YANG DITIMBULKAN PERUMAHAN PURI DINAR MAS DI KELURAHAN METESEH KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi

KONDISI UMUM BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

Rencana Tata Ruang Wilayah kota yang mengatur Rencana Struktur dan

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB III TINJAUAN WILAYAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Di Kota Banda Aceh

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. 143,5 mm/tahun dengan kelembaban 74% - 85%. Kecepatan angin pada musim

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. cahaya matahari secara tetap setiap tahunnya hanya memiliki dua tipe musim

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN. Berdasarkan kondisi geografisnya wilayah Kabupaten Sleman terbentang

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PROFIL SANITASI SAAT INI

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

Transkripsi:

8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota Semarang seperti kondisi umum di Indonesia, mempunyai iklim tropik basah yang dipengaruhi oleh angin muson barat dan muson timur. Bulan November hingga Mei angin bertiup dari arah Utara Barat Laut (NW) menciptakan musim hujan dengan membawa banyak uap air dan hujan. Sifat periode ini adalah curah hujan tinggi dan kelembaban relatif tinggi. Lebih dari 80% dari curah hujan tahunan turun di periode ini. Bulan Juni hingga Oktober angin bertiup dari Selatan Tenggara (SE) menciptakan musim kemarau, karena membawa sedikit uap air. Sifat periode ini adalah curah hujan dan kelembaban lebih rendah. Curah hujan di Kota Semarang mempunyai sebaran yang tidak merata sepanjang tahun, dengan total curah hujan rata-rata 2180 mm per tahun. Suhu rata-rata bulanan yang diukur di Stasiun Klimatologi Semarang berubah-ubah berkisar antara 26.5 C hingga 28.5 C. Kelembaban relatif bulanan rata-rata berubah-ubah dari minimum 71% pada bulan September ke maksimum 83% pada bulan Januari. Radiasi sinar matahari yang sampai hingga permukaan Kota Semarang bervariasi dari 50% pada bulan Januari sampai 87% pada bulan September (Gambar 2 & 3). 4.1.3 Hidrologi Kondisi Hidrologi potensi air di Kota Semarang bersumber pada sungai-sungai yang mengalir di Kota Semarang antara lain Kali Garang, Kali Pengkol, Kali Kreo, Kali Banjirkanal Timur, Kali Babon, Kali Sringin, Kali Kripik, Kali Dungadem dan lain sebagainya. Kali Garang yang bermata air di Gunung Ungaran, alur sungainya memanjang ke arah utara hingga mencapai Pegandan tepatnya di Tugu Soeharto, bertemu dengan aliran Kali Kreo dan Kali Kripik. Kali Garang sebagai sungai utama pembentuk kota bawah yang mengalir membelah lembah-lembah Gunung Ungaran mengikuti alur yang berbelok-belok dengan aliran yang cukup deras. Debit Kali Garang merupakan 53.0 % dari debit total, kali Kreo 34.7 % dan Kali Kripik 12.3 %. Oleh karena Gambar 2 Grafik suhu dan RH bulanan Kota Semarang Gambar 3 Grafik CH dan radiasi matahari bulanan Kota Semarang (Sumber: BMKG Kota Semarang tahun 1990-2007)

9 Kali Garang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum warga Kota Semarang, maka langkah-langkah untuk menjaga kelestariannya juga terus dilakukan (Bapeda 2010). 4.1.4 Permasalahan Kota Semarang Permasalahan di Kota Semarang tak jauh berbeda dengan permasalahan kota-kota besar lain di Indonesia. Masalah perkotaan yang umum menurut Sundari (2005) antara lain masalah yang berkaitan dengan : a. Perusakan alam, meliputi pencemaran air sungai di dalam kota dan penyempitan ruang hijau b. Perusakan nilai historis kota c. Prioritas diberikan pada kendaraan bermotor, bukan pejalan kaki d. Konsenstrasi di pusat kota, pertumbuhan yang cepat di pinggir kota, pemangunan yang tidak beraturan and menyebar serta memperpanjang jarak tempuh Kota Semarang memiliki posisi geostrategis karena berada pada jalur lalu lintas ekonomi pulau Jawa, dan merupakan koridor pembangunan Jawa Tengah. Salah satu permasalahan lingkungan yang sangat menonjol antara lain adalah terjadinya alih fungsi lahan dari tegalan menjadi lahan terbangun untuk kawasan permukiman, terutama lereng-lereng perbukitan antara 8-15% bahkan di beberapa tempat pada lereng sekitar 25%. Adanya tekanan penduduk terhadap kebutuhan lahan baik untuk kegiatan pertanian, perumahan, industri, rekreasi, maupun kegiatan lain akan menyebabkan perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan lainnya seperti, pertanian, perumahan ataupun industri. Sekitar 1200 Ha lahan di Semarang bawah (Pantura Semarang) berada di bawah permukaan air laut (Semarang Barat Utara, Semarang Barat, Genuk) sehingga rob dan banjir sangat sering terjadi di wilayah ini. Sebagaimana diatur di dalam Perda Nomor 5 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2000-2010 telah ditetapkan kawasan yang berfungsi lindung dan kawasan yang berfungsi budidaya sebagian besar terletak di wilayah bagian Selatan. Kawasan lindung setempat adalah kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan waduk, dan sempadan mata air. Kawasan lindung rawan bencana merupakan kawasan yang mempunyai kerentanan bencana longsor dan gerakan tanah. Kegiatan budidaya dikembangkan dalam alokasi pengembangan fungsi budidaya. Pada Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2010-2030 ditetapkan bahwa kota Semarang yang terdiri dari 10 Bagian Wilayah Kota (BWK) disetiap BWK harus ada titik-titik pusat lingkungan yang bertujuan untuk menjaga dan mengawasi kegiatan pembangunan di tiap-tiap BWK agar tetap memperhatikan kelestarian lingkungan (Gambar 4 & 5).

Gambar 4 Peta pembagian Bagian Wilayah Kota (BWK) Semarang (Sumber: Bapeda 2010). 10

Gambar 5 Peta rencana struktur tata ruang Kota Semarang (Sumber: Bapeda 2010). 11

12 4.2 Kebutuhan Luas RTH Berdasarkan Kebutuhan Oksigen Kota Semarang 4.2.1 Ruang Terbuka Hijau Penentuan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota Semarang sangat bergantung pada kondisi RTH di Kota Semarang saat ini dan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kota Semarang. Sesuai dengan RUTRK Kota Semarang tahun 2010 ditetapkan bahwa saat ini RTH di Kota Semarang sebesar ±15621 Ha (42%) terdiri dari RTH privat ±3737 Ha (10%) dan RTH publik ±11884 Ha (32%). Penataan dan alokasi RTH di Kota Semarang ditujukan untuk menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan, perlindungan tata air, menciptakan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan, serta sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih. RTH di Kota Semarang terdiri dari taman kota, taman lingkungan perumahan dan perkantoran, hutan lindung, cagar alam, pemakaman umum, lapangan olah raga, lahan pertanian, sempadan sungai, sempadan rawa, sempadan pantai, lapangan udara, kawasan dan jalur hijau. RTH Kawasan hutan konservasi merupakan RTH yang mendominasi di wilayah Kota Semarang (Gambar 6), yaitu sebagai berikut: a. Kecamatan Tembalang 806 Ha b. Kecamatan Mijen 5115 Ha c. Kecamatan Banyumanik 960 Ha d. Kecamatan Ngaliyan 976 Ha e. Kecamatan Gunungpati 5214 Ha Kota Semarang memiliki luas wilayah sebesar 373.70 km 2 atau 37370 Ha. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988, standar RTH yang didasarkan atas persentase luas area dan jumlah penduduk suatu wilayah yaitu 40-60% dari total wilayah harus dihijaukan. Pada tahun 2010 persentase luas RTH Kota Semarang mencapai 42%, nilai ini berada dalam kisaran nilai yang ditetapkan. Akan tetapi dalam penyebarannya, RTH Kota Semarang hanya terpusat di wilayah Semarang atas yang secara topografis merupakan daerah dataran tinggi dan kawasan konservasi, sedangkan wilayah Semarang bawah yang merupakan pusat kota dan daerah pantai utara Jawa memiliki luasan RTH yang kecil (Gambar 7). Gambar 6 Peta lokasi wilayah konservasi Kota Semarang(Sumber: RIWRD 2001).

13 Gambar 7 Peta penggunaan lahan di Kota Semarang (Sumber: Citra Landsat 11 Mei 2010 path/row 120/65) 4.2.2 Kebutuhan Oksigen Segala aktivitas kehidupan membutuhkan oksigen (O 2 ). Manusia, hewan ternak dan kendaraan bermotor merupakan konsumen oksigen dalam jumlah yang sangat besar. Konsumsi oksigen oleh manusia dan hewan ternak yaitu untuk proses metabolisme dan pembakaran zat-zat makanan dalam tubuh, sedangkan kendaraan bermotor mengkonsumsi oksigen untuk proses pembakaran bahan bakarnya. A. Kebutuhan Oksigen oleh Penduduk Kota Semarang Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Semarang Tahun 1990-2010, tahun 1990 jumlah penduduk Kota Semarang sebanyak 1146931 jiwa dan tahun 2010 mencapai 1527433 jiwa dengan rata-rata persentase pertambahan penduduk 1.6% per tahun. Pertambahan jumlah penduduk yang paling pesat terjadi antara tahu 1994-1995 dengan persentase pertambahan penduduk 4.7%. Rumus bunga berganda, dapat digunakan untuk memprediksi jumlah penduduk Kota Semarang pada tahun yang akan datang yaitu sesuai dengan target penelitian ini, dari tahun 2015 sampai 2025. Serta dengan asumsi bahwa kebutuhan oksigen perhari tiap orang adalah sama yaitu sebesar 600 liter/hari atau 0.864 kg/hari maka dapat dihitung kebutuhan oksigen penduduk Kota Semarang. Berdasarkan data proyeksi jumlah kebutuhan Tabel 4 Proyeksi jumlah penduduk dan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan penduduk Kota Semarang tahun 1985-2025 Jumlah Penduduk Kebutuhan Oksigen Kebutuhan Oksigen Tahun (Jiwa) (liter/hari) (kg/hari) 1985 1096271 0.66 x 10 9 0.95 x 10 6 1990 1146931 0.69 x 10 9 0.99 x 10 6 1995 1232931 0.74 x 10 9 1.07 x 10 6 2000 1309667 0.79 x 10 9 1.13 x 10 6 2005 1419478 0.85 x 10 9 1.23 x 10 6 2010 1527433 0.92 x 10 9 1.32 x 10 6 2015 1635237 0.98 x 10 9 1.41 x 10 6 2020 1750649 1.05 x 10 9 1.51 x 10 6 2025 1874207 1.12 x 10 9 1.62 x 10 6 (Sumber: BPS Kota Semarang tahun 1985-2010 dan hasil perhitungan)

14 oksigen yang dibutuhkan penduduk Kota Semarang dari tahun 1985 sampai 2025 (Tabel 4), jumlah penduduk Kota Semarang cenderung mengalami tren peningkatan yang relatif konstan yaitu 1.6 % per tahun atau 8 % per lima tahun sehingga kebutuhan oksigen penduduk Kota Semarang turut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. B. Kebutuhan Oksigen oleh Kendaraan Bermotor Kota Semarang Konsumen terbesar oksigen selain manusia adalah kendaraan bermotor sehingga penting juga untuk diperhitungkan. Besarnya kebutuhan oksigen oleh kendaraan bermotor per hari dapat ditentukan dari jumlah konsumsi bahan bakar (bensin dan solar) per hari. Kota Semarang yang tergolong kota besar mempunyai konsumsi BBM total per tahun sekitar 115477 kiloliter (Handajani 2009) Prinsip kerja kendaraan bermotor adalah pengapian, proses pembakaran bahan bakarnya menggunakan oksigen. Untuk menghitung kebutuhan oksigen oleh kendaraan bermotor maka perlu diketahui jumlah dan jenis kendaraan bermotor yang ada di Kota Semarang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Semarang Tahun 1990-2010, jenis kendaraan bermotor di Kota Semarang dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: kendaraan bus, kendaraan beban (truk), kendaraan penumpang (mobil dinas, mobil pribadi, taksi, mikrolet) dan sepeda motor (Tabel 5). Jumlah kendaraan bermotor Kota Semarang mengalami peningkatan yang sangat besar dari tahun ke tahun yaitu sebesar lebih dari 10% per tahun. Berdasarkan data proyeksi jumlah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan kendaraan bermotor di Kota Semarang dari tahun 1990 sampai 2025 dapat diketahui bahwa pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang sangat besar dari tahun ke Tabel 5 Proyeksi jumlah kendaraan bermotor berdasarkan jenisnya di Kota Semarang tahun 1990-2025 Tahun Bus Kendaraan Beban Kendaraan Penumpang Sepeda Motor 1990 240 902 10950 48109 1995 769 1217 19090 74580 2000 244 904 22353 82490 2005 530 732 22190 93073 2010 443 913 46784 119019 2015 804 948 75609 154207 2020 1457 983 122195 199798 2025 2644 1021 197484 258869 (Sumber: BPS Kota Semarang tahun 1990-2010 dan hasil perhitungan) Tabel 6 Proyeksi kebutuhan oksigen kendaraan bermotor di Kota Semarang tahun 1990-2025 Tahun Kendaraan Penumpang Kebutuhan Oksigen Kendaaraan (kg/hari) Kendaraan Bus Kendaraan beban Sepeda Motor Total (kg/hari) 1990 553550 25229 75855 145922 0.80 x 10 6 1995 965047 80837 102345 226212 1.37 x 10 6 2000 1130000 25649 76023 250205 1.48 x 10 6 2005 1121760 55714 61558 282304 1.52 x 10 6 2010 2365048 46568 76780 361002 2.85 x 10 6 2015 3822241 84468 79683 467733 4.45 x 10 6 2020 6177265 153212 82697 606018 7.02 x 10 6 2025 9983305 277905 85824 785188 11.13 x 10 6

15 tahun menyebabkan kebutuhan oksigen yang dibutuhkan juga turut meningka. Tahun 1990 kebutuhan oksigen kendaraan bermotor sebesar 0.80 x 10 6 kg/hari dan pada tahun 2010 meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 2.85 x 10 6 kg/hari, sedangkan prediksi di tahun 2025 meningkat sangat drastis hingga mencapai 11.13 x 10 6 kg/hari (Tabel 6). C. Kebutuhan Oksigen oleh Hewan Ternak Kota Semarang Populasi hewan ternak di Kota Semarang yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Kota Semarang pada tahun 2010 adalah sebagai berikut: populasi kerbau dan sapi sebesar 2951 ekor, populasi kuda nol, populasi kambing dan domba sebesar 27783 ekor, populasi unggas sebesar 1309801 ekor. Jumlah hewan ternak Kota Semarang pada tahun yang akan datang (2015, 2020 dan 2025) diprediksi dengan rumus bunga berganda (Tabel 7). Berdasarkan data jumlah hewan ternak tersebut dan dengan menggunakan data hasil penelitian yang telah ada mengenai besarnya konsumsi oksigen hewan ternak maka dapat dihitung jumlah kebutuhan oksigen hewan ternak di Kota Semarang. Jumlah hewan ternak Kota Semarang cenderung mengalami tren peningkatan yaitu 3.2% per tahun sehingga kebutuhan oksigen penduduk Kota Semarang turut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Tabel 8). Tabel 7 Proyeksi jumlah hewan ternak berdasarkan jenisnya di Kota Semarang tahun 1990-2025 Tahun Kerbau dan Sapi Kuda Kambing dan Domba Unggas 1990 11470 164 30076 782591 1995 10132 186 27355 2169933 2000 10674 203 32439 5108257 2005 5965 79 20239 787463 2010 2951 0 27783 1309801 2015 2278 0 28428 2602752 2020 1758 0 29088 5172020 2025 1357 0 29764 10277504 (Sumber: BPS Kota Semarang tahun 1990-2007 dan hasil perhitungan) Tabel 8 Proyeksi kebutuhan oksigen hewan ternak Kota Semarang tahun 1990-2025 Tahun Kerbau dan Sapi Kebutuhan Oksigen Ternak (kg/hari) Kuda Kambing dan Domba Unggas Total (kg/hari) 1990 19523 304 9441 130724 0.16 x 10 6 1995 17245 345 8587 362466 0.39 x 10 6 2000 18168 377 10183 853283 0.88 x 10 6 2005 10153 147 6353 131538 0.15 x 10 6 2010 5023 0 8722 218789 0.23 x 10 6 2015 3877 0 8924 434764 0.45 x 10 6 2020 2992 0 9131 863934 0.88 x 10 6 2025 2309 0 9343 1716754 1.73 x 10 6

16 4.2.3 Kebutuhan Luas RTH Menentukan kebutuhan luas RTH berdasarkan kebutuhan oksigen suatu kota dapat digunakan pendekatan metode Gerarkis (1974) yang memperhitungkan kebutuhan ruang terbuka hijau dari tiga konsumen oksigen utama yaitu manusia, kendaraan bermotor dan hewan ternak. Hasil perhitungan luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen Kota Semarang disajikan dalam Tabel 9. Hasil perhitungan kebutuhan luas RTH berdasarkan kebutuhan oksigen menunjukkan bahwa kebutuhan oksigen oleh manusia, kendaraan bermotor dan hewan ternak di Kota Semarang cenderung meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun waktu 20 tahun yaitu dari tahun 1990 sampai 2010 kebutuhan oksigen Kota Semarang meningkat lebih dari dua kali lipat yaitu dari 1.95 x 10 6 kg/hari meningkat menjadi 4.40 x 10 6 kg/hari. Sehingga luas RTH yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen kota juga meningkat yaitu pada tahun 1990 sebesar 3855 Ha (10% dari luas Kota Semarang) dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 8695 Ha (23% dari luas Kota Semarang). Selama 20 tahun tersebut luas ruang terbuka hijau yang tersedia di Kota Semarang masih cukup besar dan sanggup memenuhi kebutuhan oksigen kota Semarang yaitu sebesar 42% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Berdasarkan hasil prediksi kebutuhan luas RTH, pada tahun 2015-2025 dapat diketahui bahwa kebutuhan oksigen oleh manusia, kendaraan bermotor dan hewan ternak di Kota Semarang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tahun 2015 kebutuhan oksigen Kota Semarang diperkirakan mencapai 6,31 x 10 6 kg/hari sehingga luas RTH yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen kota yaitu seluas 12473 Ha atau 33% dari luas Kota Semarang dan RTH yang tersedia di Kota Semarang pada tahun tersebut seluas 15207 Ha atau 41% dari luas kota Semarang. Tahun 2020 kebutuhan oksigen Kota Semarang diperkirakan mencapai 9,41 x 10 6 kg/hari sehingga luas ruang terbuka yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen kota yaitu seluas 18583 Ha atau 50% dari luas Kota Semarang dan RTH yang tersedia di Kota Semarang pada tahun tersebut seluas 14804 Ha atau 40% dari luas Kota Semarang. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Semarang sudah tak sanggup memenuhi kebutuhan oksigen kota. Tahun 2025 kebutuhan oksigen Kota Semarang diperkirakan akan mencapai 1,45 x 10 7 kg/hari sehingga luas ruang terbuka yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen kota yaitu seluas 28602 Ha atau 77% dari luas kota Semarang dan RTH yang tersedia di Kota Semarang pada tahun tersebut seluas 14412 Ha atau 39% dari luas Kota Semarang. Perlu dicermati dari hasil prediksi bahwa jumlah oksigen yang dibutuhkan kendaraan bermotor jauh lebih besar dibandingkan yang dibutuhkan manusia maupun hewan ternak per hari. Besarnya tingkat kebutuhan oksigen kendaraan bermotor disebabkan oleh laju Tabel 9 Proyeksi kebutuhan oksigen, luas RTH yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen, dan luas RTH yang tersedia di Kota Semarang tahun 1990-2025 Luas RTH yang dibutuhkan untuk Luas RTH Kebutuhan Oksigen (kg/hari) memenuhi yang tersedia Tahun kebutuhan oksigen kota Kendaraan Hewan Penduduk Total (Ha) (%) (Ha) (%) Bermotor Ternak 1990 0.99 x 10 6 0.80 x 10 6 0.16 x 10 6 1.95 x 10 6 3855 10% 21847 65% 1995 1.07 x 10 6 1.37 x 10 6 0.39 x 10 6 2.83 x 10 6 5587 15% 21732 58% 2000 1.13 x 10 6 1.48 x 10 6 0.88 x 10 6 3.50 x 10 6 6905 18% 21469 57% 2005 1.23 x 10 6 1.52 x 10 6 0.15 x 10 6 2.90 x 10 6 5720 15% 18786 50% 2010 1.32 x 10 6 2.85 x 10 6 0.23 x 10 6 4.40 x 10 6 8695 23% 15621 42% 2015 1.40 x 10 6 4.45 x 10 6 0.45 x 10 6 6.31 x 10 6 12473 33% 15207 41% 2020 1.51 x 10 6 7.02 x 10 6 0.88 x 10 6 9.41 x 10 6 18583 50% 14804 40% 2025 1.62 x 10 6 11.13 x 10 6 1.73 x 10 6 1.45 x 10 7 28602 77% 14412 39% (Sumber: BPS Kota Semarang tahun 1990-2010 dan hasil perhitungan) Keterangan: Luas RTH yang tersedia di Kota Semarang tahun 2010-2030 berdasarkan RUTRK sebesar 42%

17 pertambahan jumlah kendaraan bermotor lebih besar dibandingkan laju pertambahan jumlah penduduk maupun hewan ternak. Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor per tahunnya lebih dari 10%, sedangkan laju pertambahan penduduk sekitar 1.62% per tahun dan hewan ternak sekitar 3.20%. Jika hal ini tidak diantisipasi sedini mungkin, maka dapat mengurangi kenyamanan penduduk kota dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan menganggu keseimbangan ekologi kota. Solusi untuk menganggulangi permasalahan tersebut yaitu menekan laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor di Kota Semarang dan penerapan pajak progresif. Selain itu, upaya lain yang harus dilakukan adalah mengoptimalkan fungsi ruang terbuka hijau terutama di lokasi-lokasi yang padat kegiatan seperti pusat kota. Upaya pengoptimalan fungsi ruang terbuka hijau dapat dilakukan melalui pembangunan ruang terbuka hijau dengan jenis tanaman yang memiliki produksi oksigen tinggi dan mampu meredam polutan yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor. Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu menentukan bentuk dan tipe ruang terbuka hijau yang sesuai dengan rencana pengembangan wilayah kota. 4.3 Pengaruh RTH Terhadap Keadaan Iklim Kota Semarang Kota Semarang berdasarkan data iklim selama 17 tahun yaitu dari 1990 hingga 2007, suhu udara rata-rata cenderung mengalami peningkatan, sedangkan kelembaban relatif, curah hujan dan radiasi matahari rata-rata cenderung mengalami penurunan di setiap tahunnya. Perubahan kondisi iklim Kota Semarang ini juga diiringi dengan perubahan luasan ruang terbuka hijau Kota Semarang yang semakin menyusut dari tahun ke tahun. Gambar 8 hingga 11 menunjukkan hubungan perubahaan luasan RTH Kota Semarang tiap lima tahunan (1990, 1995, 2000, 2005, dan 2007) dengan kondisi iklim Kota Semarang selama 17 tahun (1990 hingga 2007). Variasi jarak antara suhu rata-rata bulanan maksimum dan minimum dari tahun ke tahun semakin kecil dan suhu rata-rata bulanan cenderung mengalami peningkatan dalam kurun waktu 17 tahun (1990-2007), Peningkatan suhu udara di Kota Semarang tak terlepas dari pengurangan luasan ruang terbuka hijau di Kota Semarang. Pada tahun 1990 luas ruang terbuka hijau di Kota Semarang seluas 21847 Ha dan menyusut menjadi 18153 Ha pada tahun 2007 (Gambar 8). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Effendy (2009) yang menyebutkan bahwa pada saat laju transfer panas diasumsikan tetap dan luasan ruang terbuka hijau berkurang maka nilai perubahan suhu udara menjadi besar yang berarti suhu akhir lebih besar dari suhu awal, sehingga pengurangan ruang terbuka hijau menyebabkan peningkatan suhu udara. Gambar 8 Grafik suhu udara rata-rata bulanan dan persentase RTH Kota Semarang tahun 1990-2007 (Sumber: BMKG).

18 Gambar 9 Grafik kelembaban relatif udara rata-rata bulanan dan persentase RTH Kota Semarang tahun 1990-2007 (Sumber: BMKG). Gambar 10 Grafik curah hujan rata-rata bulanan dan persentase RTH Kota Semarang tahun 1990-2007 (Sumber: BMKG). Gambar 11 Grafik radiasi surya rata-rata bulanan dan persentase RTH Kota Semarang tahun 1990-2007 (Sumber: BMKG).