Penggunaan Pestisida Berdasarkan Konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

dokumen-dokumen yang mirip
TEKNIK PENYEMPROTAN PESTISIDA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PDP-S V.1.1 (PERANGKAT LUNAK PENCARI PESTISIDA PERTANIAN DAN KEHUTANAN VERSI 1

Enam Tepat Penggunaan Pestisida & Teknik Penyemprotan Pestisida

I. PENDAHULUAN. Tanggamus merupakan salah satu daerah penghasil sayuran di Provinsi Lampung.

CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2)

BEBERAPA ASPEK PERBAIKAN PENYEMPROTAN PESTISIDA UNTUK MENGENDALIKAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. faktor struktur tanah, pencemaran, keadaan udara, cuaca dan iklim, kesalahan cara

Modul Pelatihan Budidaya Cabai Merah, Tomat, dan Mentimun Berdasarkan Konsepsi Pengendalian Hama Terpadu

PESTISIDA 1. Pengertian 2. Dinamika Pestisida di lingkungan Permasalahan

LAPORAN HASIL PERCOBAAN

BAB I PENDAHULUAN. pekerja yang terganggu kesehatannya (Faris, 2009). masyarakat untuk mempertahankan hidupnya dan kehidupan.

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

AGROEKOSISTEM PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1995 TENTANG PERLINDUNGAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PESTISIDA : HAL HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PESTISIDA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai

Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian OPT. Status Pengendalian

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 Tentang : Perlindungan Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang multiguna, dapat digunakan sebagai bumbu masakan, sayuran, penyedap

tanam, tanamlah apa saja maumu aku akan tetap datang mengganggu karena kau telah merusak habitatku maka aku akan selalu menjadi pesaingmu

Paparan Pestisida. Dan Keselamatan Kerja

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan tanaman secara preventif dan kuratif merupakan bagian yang

III. METODE PENELITIAN. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI MERAH, TOMAT, DAN MENTIMUN

PERILAKU DAN APLIKASI PENGGUNAAN PESTISIDA SERTA KELUHAN KESEHATAN PETANI DI DESA URAT KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR

BAB I PENDAHULUAN. hama. Pertanian jenis sayuran kol, kubis, sawi dan sebagainya, salah satu

PAPARAN PESTISIDA DI LINGKUNGAN KITA

*) Dibiayai Dana DIPA Universitas Andalas Tahun Anggaran 2009 **) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Univ.Andalas Padang

PENGARUH EKSTRAK ETANOL CABAI MERAH

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

I. PENDAHULUAN. mengganggu kenyamanan hidup manusia karena meninggalkan bau yang

M. Syarief, Aplikasi Pestisida Berdasarkan Monitoring Dan Penggunaan Kelambu Kasa Plastik Pada Budidaya Bawang Merah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

INSEKTISIDA YANG UMUM DIGUNAKAN OLEH PETANI KUBIS DI DATARAN TINGGI SULAWESI SELATAN SEBAGAI DASAR PEMILIHAN INSEKTISIDA YANG TEPAT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

JENIS DAN PADAT POPULASI HAMA PADA TANAMAN PERANGKAP Collard DI SAYURAN KUBIS

BAB I PENDAHULUAN. masih tergantung pada penggunaan pestisida sintetis yang dianggap

1.2 Tujuan Untuk mengetahui etika dalam pengendalian OPT atau hama dan penyakit pada tanaman.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang secara ekonomis sangat merugikan petani. Organisme Pengganggu

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan)

AGROEKOSISTEM PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PESTISIDA» BIOSIDA. Dr Sugiyarto, M.Si. Pemberantasan Pengendalian Pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. membunuh atau mengendalikan berbagai hama tanaman. Tetapi pestisida. lingkungan apabila tidak tepat dalam menggunakannya.

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan

BALITSA & WUR the Netherlands,

Budidaya Cabai Merah di Bawah Naungan untuk Menekan Serangan Hama dan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. (OPT). Pestisida nabati bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam. dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang.

BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI BERASTAGI MELALUI BERTANAM BAWANG DAUN

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan produksi sayuran meningkat setiap tahunnya.

No.1274, 2014 KEMENTAN. Pestisida. Pengawasan. Pencabutan.

III. METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB II KERANGKA TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk membunuh hamahama

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya menyebabkan peningkatan

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.1

KONSEP DAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI PENDAHULUAN

Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

tersebut mencapai miliaran rupiah setiap tahun (Setiawati et al., 2008).

Pemeliharaan Ideal Pemeliharaan ideal yaitu upaya untuk mempertahankan tujuan dan fungsi taman rumah agar sesuai dengan tujuan dan fungsinya semula.

PEMBAHASAN. Budidaya Bayam Secara Hidroponik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERILAKU PETANI DALAM MENGGUNAKAN PESTISIDA DI SENTRA PRODUKSI BAWANG MERAH KABUPATEN BREBES

Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat

TATA CARA PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III BAHAN DAN METODE. Medan Area yang berlokasi di Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan

LAMPIRAN XI PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 24/Permentan/SR.140/4/2011 TANGGAL : 8 April 2011

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta mempunyai peluang pasar yang baik.

Moch Taufiq Ismail_ _Agroekoteknologi_2013

PENDAHULUAN. Di seluruh dunia, produksi kentang sebanding dengan produksi gandum,

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PELAKSANAAN MAGANG Penanaman Ulang Tanaman Stroberi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eva Tresnawati, 2013

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIAN HAMA WERENG PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3KK Nglegok

DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA KABUPATEN BANTAENG TAHUN PELAJARAN 2014/2015. : Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura : Kompetensi Kejuruan

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016

MEMAHAMI LABEL DAN SIMBOL PESTISIDA DENGAN BENAR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

MENGENAL DAN MERAWAT MESIN PENYEMPROT

METODOLOGI PENELlTlAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. petani dan dikonsumsi masyarakat karena sayuran tersebut dikenal sebagai

Good Agricultural Practices

BAB I PENDAHULUAN. Agro Ekologi 1

PRAKTEK BUDIDAYA PERTANIAN YANG BAIK (Good Agricultural Practices) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

Transkripsi:

ISBN : 978-602-19092-1-8 Penggunaan Pestisida Berdasarkan Konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Oleh : Tonny K. Moekasan Laksminiwati Prabaningrum Penerbit YAYASAN BINA TANI SEJAHTERA LEMBANG - BANDUNG BARAT 2 0 11

Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat ii

KATA PENGANTAR Dalam praktik budidaya tanaman sayuran, petani pada umumnya masih menggandalkan pestisida untuk menyelamatkan hasil panennya dari serangan hama dan penyakit. Pestisida telah dianggap sebagai jaminan keberhasilan usahataninya. Sementara, pengetahuan petani tentang pestisida masih sangat terbatas. Di lapangan masih banyak sekali kekeliruan yang dilakukan oleh petani dalam penggunaan pestisida. Penyemprotan dengan volume tinggi, praktik pencampuran yang sembarangan, interval penyemprotan yang pendek, dan sebagainya merupakan contoh praktik-praktik yang kurang tepat yang umum dilakukan oleh petani. Akibat dari semua itu, hama dan penyakit semakin sulit dikendalikan, sehingga petani beranggapan bahwa pestisida yang digunakan tidak efektif. Dalam buku Penggunaan Pestisida Berdasarkan Konsepsi PHT diulas beberapa kekeliruan cara penggunaan pestisida tersebut dan dibahas pula tentang teknik penggunaan pestisida yang baik dan benar. Dengan mengetahui beberapa kekeliruan dan cara penggunaan pestisida yang baik dan benar tersebut, diharapkan penggunaan pestisida akan dilakukan secara bijaksana dan diperoleh hasil pengendalian yang optimum. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Yayasan Bina Tani Sejahtera yang telah sudi menerbitkan dan menyebarkan buku ini melalui websitenya. Semoga buku ini bermanfaat bagi petani, praktisi pertanian, dan khalayak yang memerlukan. Penulis menyadari bahwa buku ini belum sempurna. Oleh karena itu segala saran dan masukan akan penulis terima dengan tangan terbuka. Lembang, September 2011 Penulis Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat iii

Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat iv

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... PENDAHULUAN... 1 PESTISIDA... 4 ENAM TEPAT PENGGUNAAN PESTISIDA... 6 Tepat Sasaran... 6 Tepat Mutu... 7 Tepat Jenis Pestisida... 8 Tepat Waktu Penggunaan... 8 Tepat Dosis atau Konsentrasi Formulasi... 9 Tepat Cara Penggunaan... 10 TEKNIK PENYEMPROTAN PESTISIDA... 11 Pembuatan Larutan Semprot... 11 Pencampuran Pestisida... 13 Pemilihan Jenis Nozzle (Spuyer)... 14 Tekanan Alat Semprot... 15 Volume Semprot... 16 Arah Nozzle (Spuyer) terhadap Bidang Semprot (Tanaman)... 17 Kecepatan Berjalan... 18 iii v vii viii Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat v

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH TERHADAP KEBERHASILAN PENYEMPROTAN PESTI- SIDA... 19 Suhu... 19 Kelembaban... 20 Kecepatan Angin... 20 KEAMANAN PETUGAS PENYEMPROTAN... 22 PENGELOLAAN RESISTENSI ORGANISME PENGGANG- GU TUMBUHAN TERHADAP PESTISIDA... 24 Pergiliran Pestisida... 24 Penggunaan Pestisida Selektif... 26 Pencampuran Pestisida... 26 Evaluasi Penggunaan Pestisida... 26 PENUTUP... 29 DAFTAR PUSTAKA... 30 Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat vi

DAFTAR TABEL 1. Kelompok pestisida untuk mengendalikan OPT pada tanaman sayuran... 6 2. Rata-rata laju penguapan butiran semprot dengan berbagai ukuran pada suhu 25 0 C dan kelembaban udara 80%... 20 Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat vii

DAFTAR GAMBAR 1. Buku pestisida pertanian dan kehutanan yang memuat daftar pestisida yang diijinkan beredar di Indonesia pada tahun 2010... 7 2. Membaca label pada kemasan pestisida wajib dilakukan sebelum menggunakan pestisida... 8 3. Pengamatan OPT wajib dilakukan sebelum menggunakan pestisida... 9 4. Dosis atau konsentrasi formulasi anjuran untuk setiap OPT sasaran tertera pada setiap label kemasan pestisida... 9 5. Penyiapan air sebagai pelarut pestisida : (a) ambil air bersih sesuai dengan kebutuhan, (b) ukur ph air dengan ph meter, (c) jika ph air > 7 tambahkan asam nitrat sesuai dengan kebutuhan, dan (d) ukur kembali ph-nya, dan jika ph air < 7, air tersebut dapat digunakan untuk membuat larutan pestisida... 12 6. Proses pembuatan larutan semprot untuk penyemprot punggung : (a) pestisida dituangkan ke dalam ember berisi air, (b) dilakukan pengadukan sampai merata, dan (c) larutan semprot dituangkan ke dalam tangki semprot... 12 7. Proses pembuatan larutan semprot untuk power sprayer : (a) pestisida diencerkan dalam wadah berisi air, (b) dilakukan pengadukan sampai merata, (c) larutan pestisida dituangkan ke dalam drum berisi air, dan (d) dilakukan pengadukan sampai merata... 13 Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat viii

8. Nozzle atau spuyer : (a) nozzle hollow cone 4 lubang (b) dan nozzle kipas... 14 9. Alat semprot pestisida : (a) penyemprot punggung dan (b) power sprayer. Insert : alat pengukur tekanan semprot (manometer) pada power sprayer... 15 10. Hasil penyemprotan pestisida : (a) hasil yang baik dan (b, c dan d) hasil penyemprotan pestisida yang tidak rata akibat ukuran butiran semprot yang terlalu besar... 16 11. Arah penyemprotan dan jarak nozzle dan tanaman : (a) arah semprotan dari bawah ke atas dan (b) jarak nozzle dari tanaman 30 cm... 17 12. Praktik penyemprotan yang keliru : (a) arah penyemprotan yang tidak tepat (b), butiran semprot hanya di permukaan atas daun (b), dan (c) bagian bawah daun tidak terkena larutan semprot... 18 13. Petugas penyemprotan pestisida yang dilengkapi dengan tutup kepala (topi), baju lengan panjang, celana panjang, sarung tangan, masker dan sepatu boot... 22 14. Bekas kemasan pestisida yang dibuang sembarangan akan membahayakan lingkungan... 23 15. Bagan pergiliran pestisida untuk menghambat terjadinya resistensi OPT... 25 16. Grafik perubahan intensitas serangan trips pada tanaman cabai... 27 Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat ix

PENDAHULUAN Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu konsepsi pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) atau hama dan penyakit dengan pendekatan ekologi yang bersifat multidisiplin untuk mengelola populasi hama dan penyakit dengan memanfaatkan beragam taktik pengendalian yang kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan (Smith 1978). Ada beberapa faktor yang mendorong penerapan PHT secara nasional, terutama dalam rangka program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yaitu terjadinya kegagalan pengendalian hama, kesadaran akan keamanan pangan, dan kebijakan pemerintah. a. Kegagalan pengendalian hama Adiyoga et al. (1999) melaporkan bahwa 63-93% petani di Kabupaten Brebes melakukan penyemprotan pestisida secara rutin 3-7 hari sekali untuk mencegah serangan OPT dan kegagalan panen pada tanaman cabai. Hampir semua petani melakukan pencampuran 2-4 macam pestisida. Meskipun demikian, petani mengakui bahwa penggunaan pestisida intensif tersebut tidak selamanya berhasil, sehingga konsentrasi pestisida yang digunakan ditingkatkan. Kebiasaan tersebut memacu timbulnya hama yang tahan terhadap insektisida seperti yang dilaporkan oleh Moekasan (1998), yaitu bahwa hama ulat bawang asal Brebes telah tahan terhadap formulasi insektisida Profenofos, Lufenuron, dan Bacillus thuringiensis. Hendrik (1990) juga melaporkan bahwa ulat grayak di Kabupaten Brebes telah tahan terhadap insektisida golongan Organofosfat, Piretroid Sintetik, dan Karbamat. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 1

b. Kesadaran akan keamanan pangan Dalam beberapa tahun terakhir, masalah keamanan pangan sudah menjadi masalah global, terutama di negara-negara maju seperti Amerika dan negara-negara di Eropa. Di Amerika Serikat telah diterapkan peraturan mengenai residu pestisida pada makanan segar dan olahan (Batie et al. 1999). Di negara-negara Eropa konsumen menuntut pelabelan "bebas residu pestisida" pada komoditas sayuran dan buah-buahan segar (Sook-Eom 1994). Di Amerika penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) telah dipercaya dapat menurunkan residu pestisida tanpa mengurangi kuantitas dan kualitas produk pertanian, terutama sayuran dan buahbuahan. PHT dianggap lebih aman dan murah dibandingkan dengan cara budidaya secara konvensional. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hasil survai mengenai konsumen menunjukkan bahwa lebih dari 70% konsumen mau membeli produk PHT meskipun harganya lebih mahal sampai 10% di atas harga produk non-pht (Govindasamy et al. 1998). Di Indonesia kepedulian konsumen akan produk pertanian yang aman sudah mulai tampak. Hasil penelitian Ameriana (2004) mengenai konsumen buah tomat di Jawa Barat menunjukkan bahwa sekitar 60% responden bersedia membayar lebih mahal 12,5-200% untuk tomat yang berlabel aman dari residu pestisida. c. Kebijakan pemerintah Masalah keamanan pangan secara global tidak hanya dikaitkan dengan masalah kesehatan, tetapi juga masalah ekonomi dan politik. Agar tidak tersisih dari persaingan global, Indonesia harus memberikan perhatian yang lebih serius untuk membangun sistem keamanan pangan. Untuk itu diperlukan praktik budidaya yang lebih berwawasan lingkungan. Dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dinyatakan bahwa perlindungan tanaman ditetapkan dengan sistem PHT, dan Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 2

pelaksanaannya merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian perlindungan tanaman sayuran juga harus dilaksanakan dengan sistem PHT. Dalam penerapan PHT beberapa faktor pengendalian dipadukan untuk menekan populasi OPT untuk memperkecil kerusakan tanaman dan menyelamatkan hasil panen. Secara prinsip, PHT berbeda dengan konsep pengendalian OPT secara konvensional yang sangat tergantung pada penggunaan pestisida. Namun demikian, PHT bukanlah konsepsi yang anti terhadap penggunaan pestisida. Apabila memang benar-benar sangat diperlukan, pestisida yang selektif dan aman dapat digunakan ketika populai OPT sudah mencapai ambang pengendaliannya dan sepanjang tidak mengganggu faktor pengendalian lain atau interaksinya. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 3

PESTISIDA Pestisida secara harafiah dapat diartikan membunuh hama dan penyakit, karena pestisida berasal dari kata pest yang artinya hama dalam arti luas termasuk penyakit tanaman dan cide yang artinya membunuh. Menurut Peraturan Pemerintah No. 7, Tahun 1973, pestisida ialah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk (Djojosumarto 2008) : Mengendalikan hama atau penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian Mengendalikan rerumputan liar atau gulma Mengatur atau mengendalikan pertumbuhan yang tidak diinginkan Mengendalikan atau mencegah hama pada hewan peliharaan atau ternak Mengendalikan hama-hama air Mengendalikan atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air Dari batasan-batasan tersebut, cakupan penggunaan pestisida sangat luas, yaitu dalam bidang pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan dan rumah tangga. Dalam tulisan ini penulis membatasi mengenai penggunaan pestisida hanya dalam bidang pertanian, khususnya pada budidaya tanaman sayuran. Dalam budidaya tanaman sayuran, pestisida telah dikenal cukup lama. Bahkan budidaya tanaman sayuran seolah-olah tidak dapat dipisahkan dari penggunaan pestisida. Beberapa hasil penelitian telah banyak dilaporkan bahwa penggunaan pestisida pada tanaman sayuran telah dilakukan dengan intensif dengan interval penyemprotan yang semakin pendek dan dosis yang Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 4

semakin ditingkatkan. Keadaan ini jika terus dibiarkan akan mengakibatkan dampak negatif bagi keselamatan lingkungan, bahaya bahan beracun bagi pengguna (petani) dan residu bahan kimia yang sangat membahayakan bagi konsumen yang mengkonsumsi produk pertanian tersebut. Oleh karena itu penggunaan pestisida yang bijaksana pada budidaya sayuran harus mulai disosialisasikan. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 5

ENAM TEPAT PENGGUNAAN PESTISIDA Berdasarkan konsepsi PHT, penggunaan pestisida harus berdasarkan pada enam tepat, yaitu (1) tepat sasaran, (2) tepat mutu, (3) tepat jenis pestisida, (4) tepat waktu, (5) tepat dosis atau konsentrasi, dan (6) tepat cara penggunaan (Dirjen Bina Produksi Hortikultura 2002). Tepat Sasaran Pestisida yang digunakan harus berdasarkan jenis OPT yang menyerang tanaman. Oleh karena itu, sebelum menggunakan pestisida langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan pengamatan terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengidentifikasi jenis OPT yang menyerang. Langkah selanjutnya ialah memilih jenis pestisida yang akan digunakan. Jika jenis OPT yang menyerang dari golongan serangga hama, maka pestisida yang dipilih adalah insektisida. Secara lengkap jenis pestisida yang umum digunakan untuk mengendalikan beberapa jenis OPT disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kelompok pestisida untuk mengendalikan OPT pada tanaman sayuran No. Pestisida OPT sasaran 1. Insektisida Serangga hama 2. Akarisida Hama golongan akarina (tungau) 3. Rodentisida Binatang pengerat (tikus) 4. Molluskisida Siput atau moluska 5. Nematisida Nematoda 6. Fungisida Penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan 7. Bakterisida Penyakit tanaman yang disebabkan oleh bakteri 8. Herbisida Rumput-rumput liar atau gulma Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 6

Tepat Mutu Pestisida yang digunakan bahan aktifnya harus bermutu. Oleh karena itu dipilih pestisida yang terdaftar dan diijinkan oleh Komisi Pestisida. Pestisida yang tidak terdaftar, sudah kadaluarsa, rusak atau yang diduga palsu tidak boleh digunakan karena efikasinya diragukan dan bahkan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Jenis-jenis pestisida tersebut dapat dilihat pada buku Pestisida Pertanian dan Kehutanan yang diterbitkan setiap tahun oleh Pusat Perizinan dan Investasi, Sekretariat Jendral, Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Gambar 1). Gambar 1. Buku pestisida pertanian dan kehutanan yang memuat daftar pestisida yang diijinkan beredar di Indonesia pada tahun 2010 Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 7

Tepat Jenis Pestisida Pestisida yang digunakan harus diketahui efektif terhadap hama dan penyakit sasaran tetapi tidak mengganggu perkembangan dan peranan organisme berguna. Informasi ini dapat diperoleh dari buku panduan penggunaan pestisida yang dikeluarkan oleh Pusat Perijinan dan Investasi Kementerian Pertanian atau berdasarkan hasil-hasil penelitian terbaru. Oleh karena itu membaca label yang tertera pada kemasan pestisida atau melihat peruntukannya pada buku Pestisida Pertanian dan Kehutanan mutlak diperlukan. Gambar 2. Membaca label pada kemasan pestisida wajib dilakukan sebelum menggunakan pestisida (Foto : Tonny K. Moekasan) Tepat Waktu Penggunaan Penggunaan pestisida berdasarkan konsepsi PHT harus dilakukan berdasarkan hasil pemantauan atau pengamatan rutin, yaitu jika populasi OPT atau kerusakan yang ditimbulkannya telah mencapai Ambang Pengendalian. Hal ini disebabkan keberadaan OPT pada tingkat populasi tertentu secara ekonomi belum tentu merugikan. Waktu yang tepat untuk melakukan penyemprotan adalah pada sore hari (± pukul 17.00), ketika suhu udara < 30 o C dan kelembaban udara berkisar antara 50-80%. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 8

Gambar 3. Pengamatan OPT wajib dilakukan sebelum menggunakan pestisida (Foto : Tonny K. Moekasan) Tepat Dosis atau Konsentrasi Daya racun pestisida terhadap jasad sasaran ditentukan oleh dosis atau konsentrasi formulasi pestisida yang digunakan. Gambar 4. Dosis atau konsentrasi formulasi anjuran untuk setiap OPT sasaran tertera pada setiap label kemasan pestisida (Foto : Tonny K. Moekasan) Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 9

Dosis atau konsentrasi formulasi pestisida yang lebih rendah atau lebih tinggi dari yang dianjurkan akan memacu timbulnya generasi OPT yang akan kebal terhadap pestisida yang digunakan. Dengan demikian penggunaan pestisida harus mengikuti dosis atau konsentrasi formulasi yang direkomendasikan pada label kemasannya. Tepat Cara Penggunaan Beberapa cara penggunaan pestisida antara lain ialah, pencelupan, pengasapan, pemercikan, penyuntikan, pengolesan, penaburan, penyiraman, dan penyemprotan. Pengetahuan tentang cara penggunaan pestisida mutlak diperlukan agar efikasi pestisida tersebut sesuai dengan yang diinginkan. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 10

TEKNIK PENYEMPROTAN PESTISIDA Di antara berbagai cara penggunaan pestisida, hampir 75% dilakukan dengan cara disemprotkan. Ketidak efektifan pestisida terhadap OPT sasaran salah satunya disebabkan oleh kesalahan teknik penyemprotan. Di lapangan masih terlihat beberapa kesalahan teknis mulai dari cara pembuatan larutan semprot, penggunaan peralatan semprot, waktu penyemprotan, cara penyemprotan dan lain-lain. Oleh karena itu untuk keberhasilan penyemprotan pestisida, beberapa hal yang harus diperhatikan diuraikan di bawah ini. Pembuatan Larutan Semprot Air adalah salah satu faktor penting dalam penyemprotan pestisida. Untuk melarutkan pestisida harus digunakan air bersih. Air kotor yang berasal dari sungai atau selokan tidak terjamin mutunya, karena mungkin mengandung logam berat yang akan bereaksi dengan bahan aktif pestisida, yang akan menyebabkan efikasi pestisida tersebut menurun. Selain itu, air kotor mungkin juga sudah tercemar oleh patogen penyakit yang akan membahayakan bagi tanaman yang dibudidayakan. Pada umumnya pestisida bersifat asam. Untuk itu diperlukan air dengan ph asam hingga netral, yaitu 4 7 dan yang optimal ph 5 (Moekasan et al. 2010). Jika air bersifat basa maka efikasi pestisida tersebut akan menurun. Jika ph air lebih besar dari 7, maka harus diturunkan menggunakan Asam Nitrat (HNO 3 ) sampai ph nya mencapai 5. Larutan semprot hendaknya dibuat di dalam wadah yang terpisah dari alat semprot. Jika digunakan penyemprot punggung, maka larutan semprot harus dibuat di dalam wadah yang volumenya lebih besar dari kebutuhan volume semprot itu sendiri (Gambar 6). Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 11

Gambar 5. Penyiapan air sebagai pelarut pestisida : (a) ambil air bersih sesuai dengan kebutuhan, (b) ukur ph air dengan ph meter, (c) Jika ph air > 7, tambahkan asam nitrat sesuai dengan kebutuhan, dan (d) ukur kembali ph air, dan jika ph-nya < 7, air tersebut dapat digunakan untuk membuat larutan pestisida (Foto : Tonny K. Moekasan) Gambar 6. Proses pembuatan larutan semprot untuk penyemprot punggung : (a) pestisida dituangkan ke dalam ember berisi air, (b) dilakukan pengadukan sampai merata, dan (c) larutan semprot dituangkan ke dalam tangki semprot (Foto : Tonny K. Moekasan) Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 12

Hal tersebut dimaksudkan agar proses pengadukan dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga diperoleh larutan yang homogen. Praktik pembuatan larutan semprot langsung di dalam tangki semprot tidak dapat dibenarkan karena larutan semprot tersebut tidak akan homogen, akibatnya efikasi pestisida tersebut menurun. Jika digunakan penyemprot bertekanan tinggi (power sprayer), pestisida mula-mula diencerkan dengan cara dilarutkan dalam air di dalam wadah yang berukuran lebih kecil, lalu diaduk sampai merata. Setelah itu disiapkan wadah yang berukuran besar (misalnya drum) dan diisi dengan air bersih sesuai dengan volume yang dibutuhkan (Gambar 7). Larutan pestisida yang telah diencerkan tersebut sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam drum yang telah berisi air bersih sambil diaduk hingga larutan pestisida tersebut homogen. Gambar 7. Proses pembuatan larutan semprot untuk power sprayer : (a) pestisida diencerkan dalam wadah berisi air, (b) dilakukan pengadukan sampai merata, (c) larutan pestisida dituangkan ke dalam drum berisi air, dan (d) dilakukan pengadukan sampai merata (Foto : Tonny K. Moekasan) Pencampuran Pestisida Pada umumnya petani melakukan pencampuran lebih dari 2 macam pestisida. Moekasan dan Prabaningrum (2011) melaporkan bahwa petani cabai merah dan bawang merah di Kabupaten Brebes Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 13

mencampur 8 macam pestisida untuk mengendalikan OPT pada pertanamannya. Praktik ini kurang tepat karena pencampuran yang dilakukan secara sembarangan dapat menimbulkan efek antogonistik (saling mengalahkan) atau netral, akibatnya efikasi pestisida tersebut menurun. Selain itu, pencampuran pestisida dengan pupuk daun juga tidak dibenarkan karena akan mengakibatkan kemanjuran pestisida tersebut menurun. Pemilihan Jenis Nozzle (Spuyer) Pemilihan jenis nozzle atau spuyer perlu mendapat perhatian, karena jenis spuyer menentukan ukuran butiran semprot, yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan penyemprotan. Dengan penggunaan spuyer yang tepat akan dihasilkan butiran semprot dengan ukuran yang tepat pula, yaitu 200 mikron (Lumkes 1989). Pada umumnya petani sayuran di Indonesia menggunakan spuyer hollow cone 4 lubang (Gambar 8a) yang menghasilkan butiran semprot terbanyak berukuran 400 mikron, sedangkan spuyer kipas (Gambar 8b) akan menghasilkan butiran semprot terbanyak berukuran 200 mikron. Dengan demikian, spuyer kipas lebih baik dibandingkan spuyer hollow cone 4 lubang. Gambar 8. Nozzle atau spuyer : (a) nozzle hollow cone 4 lubang (b) dan nozzle kipas Moekasan) Umur spuyer juga berpengaruh terhadap ukuran butiran semprot. Spuyer yang telah lama digunakan, lubangnya akan membesar akibat korosi. Oleh karena itu Omoy (1993) Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 14

menganjurkan agar hollow cone 4 lubang paling lama digunakan selama satu tahun. Penggantian spuyer kipas tergantung pada bahannya. Jika lubang spuyer kipas tersebut terbuat dari plastik, maka penggantiannya dianjurkan setiap 6 bulan, sedangkan jika terbuat dari stainless steel maka penggantiannya setiap 2-3 tahun, dan yang lubang spuyernya terbuat dari keramik diganti setiap 5 tahun. Tekanan Alat Semprot Peralatan semprot harus mempunyai tekanan yang optimum. Untuk penyemprot punggung, tekanan optimumnya adalah 3 bar (atmosfer) (Gambar 9a), sedangkan untuk penyemprot mesin (power sprayer) tekanan optimumnya adalah 8 10 bar (Gambar 9b) (Lumkes 1989). Gambar 9. Alat semprot pestisida : (a) penyemprot punggung dan (b) power sprayer. Insert : alat pengukur tekanan semprot (manometer) pada power sprayer (Foto : Tonny K. Moekasan) Jika tekanan semprot kurang dari ketentuan tersebut, akan dihasilkan butiran semprot yang terlalu besar, sehingga sulit Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 15

menempel pada permukaan tanaman, akibatnya hasil penyemprotan tidak merata. Jika tekanan semprot terlalu tinggi akan dihasilkan butiran semprot yang terlalu kecil, yang mudah tertiup angin sehingga tidak mengenai tanaman. Gambar 10. Hasil penyemprotan pestisida : (a) hasil yang baik dan (b, c dan d) hasil penyemprotan pestisida yang tidak rata akibat ukuran butiran semprot yang terlalu besar (Foto : Djojosumarto) Volume Semprot Volume semprot ialah banyaknya larutan pestisida yang digunakan untuk satu luasan tertentu. Volume semprot yang terlalu sedikit akan menghasilkan penyemprotan yang tidak merata, sedang volume semprot yang terlalu banyak mengakibatkan terjadinya pemborosan. Oleh karena itu untuk mendapatkan volume semprot yang tepat perlu dilakukan kalibrasi terlebih dahulu, dengan cara menyemprotkan air pada luasan lahan pertanaman tertentu. Sebagai Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 16

contoh, kita menyemprotkan air pada lahan seluas 100 m 2 yang ditanami cabai merah umur 1 bulan, misalnya dihabiskan air sebanyak 2 liter. Jika kita memiliki lahan tanaman cabai merah seluas 1.000 m 2 dengan umur yang sama, maka volume semprot pestisida yang dibutuhkan untuk penyemprotan tanaman tersebut adalah sebanyak 1.000 : 100 x 2 = 20 liter. Arah Nozzle (Spuyer) terhadap Bidang Semprot (Tanaman) OPT pada umumnya berada di permukaan daun bagian bawah. Oleh karena itu nozzle atau spuyer hendaknya diarahkan menghadap ke atas dengan sudut kemiringan 45 o C (Gambar 11). Menurut Lumkes (1989) jarak spuyer dengan tanaman sejauh ± 30 cm. Jika jarak antara spuyer dengan tanaman kurang dari 30 cm akan dihasilkan ukuran butiran semprot yang besar, akibatnya larutan semprot akan menetes ke tanah. Jika jarak spuyer dan tanaman lebih dari 30 cm butiran semprot tidak akan mengenai sasaran. Gambar 11. Arah penyemprotan dan jarak nozzle dan tanaman : (a) arah semprotan dari bawah ke atas dan (b) jarak spuyer dengan tanaman 30 cm (Foto : Tonny K. Moekasan) Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 17

Gambar 12. Praktik penyemprotan yang keliru : (a) arah penyemprotan yang tidak tepat, (b) butiran semprot hanya dipermukaan atas daun, dan (c) bagian bawah daun tidak terkena larutan semprot (Foto : Djojosumarto) Kecepatan Berjalan Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam penyemprotan pestisida adalah kecepatan berjalan petugas penyemprotan. Menurut Omoy (1993) kecepatan berjalan petugas penyemprotan untuk mendapatkan hasil yang baik adalah sekitar 6 km/jam. Jika kecepatan berjalan kurang dari 6 km/jam, maka volume semprot yang digunakan akan boros dan jika kecepatan berjalan lebih dari 6 km/jam, maka hasil penyemprotan tidak rata. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 18

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH TERHADAP KEBERHASILAN PENYEMPROTAN PESTISIDA Selain faktor teknis, keberhasilan penyemprotan pestisida juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu : (1) suhu, (2) kelembaban udara, dan (3) kecepatan angin. Suhu Suhu udara adalah salah satu faktor kritis yang dapat mempengaruhi keberhasilan penyemprotan pestisida. Pada siang hari, suhu udara di atas permukaan bumi lebih tinggi daripada suhunya di dekat tanah. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran udara dari bawah ke atas, yang dapat menghembuskan butiran semprot, sehingga butiran semprot tidak dapat sampai ke sasaran. Selain itu suhu yang tinggi akan menyebabkan terjadinya penguapan butiran semprot secara cepat, sehingga residu pestisida pada tanaman menjadi semakin singkat. Menurut vad der Staaij (2010), dua jam setelah penyemprotan pestisida suhu udara harus konstan atau menurun. Suhu yang konstan atau turun akan mengurangi laju penguapan pestisida, sehingga penetrasinya ke dalam tanaman optimal. Di Indonesia, pada pagi dan siang hari suhu udara cenderung meningkat. Oleh karena penyemprotan pestisida yang dilakukan pada pagi dan siang hari tidak tepat. Pada sore hari, suhu udara menurun sehingga pada saat itulah sebaiknya dilakukan penyemprotan. Pada Tabel 2 disajikan rata-rata penguapan ukuran butiran semprot. Pada tabel tersebut terlihat bahwa semakin kecil ukuran butiran semprot, semakin cepat menguap. Oleh karena itu Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 19

penyemprotan pestisida sebaiknya dilakukan pada suhu di bawah 25 0 C. Di Indonesia kondisi tersebut dapat dicapai pada sore hari. Tabel 2. Rata-rata laju penguapan butiran semprot dengan berbagai ukuran pada suhu 25 0 C dan kelembaban udara 80% Ukuran butiran semprot (mikron) Sumber : Lumkes (1989) 300 400 200 200 100 50 50 12,5 Laju penguapan (detik) Kelembaban Udara Pada kelembaban udara < 50%, penguapan butiran semprot akan terjadi lebih cepat walaupun butiran pestisida tersebut telah menempel pada tanaman. Oleh karena itu tidak dianjurkan melakukan penyemprotan pestisida pada kondisi tersebut (Omoy 1993). Pada kondisi dengan kelembaban udara > 80%, udara banyak mengandung uap air, sehingga konsentrasi pestisida turun. Akibatnya daya racun atau daya bunuh pestisida menurun pula. Selain itu, uap air di udara akan menghambat lajunya butiran semprot untuk sampai pada sasaran. Kondisi ini di Indonesia umumnya terjadi pada pagi hari. Dengan demikian penyemprotan pestisida pada pagi hari tidak dianjurkan. Kelembaban udara yang ideal untuk dilakukan penyemprotan berkisar antara 50-80%. Kondisi ini di Indonesia dicapai pada sore hari sekitar pukul 17.00. Kecepatan Angin Kecepatan angin akan mempengaruhi sampai tidaknya butiran semprot pada bidang sasaran. Menurut Lumkes (1989), kecepatan angin yang ideal untuk dilakukan penyemprotan pestisida adalah 4-6 Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 20

km/jam. Kecepatan angin diukur dengan alat anemometer. Namun demikian, jika tidak ada alat tersebut, kita dapat mengukurnya dengan cara memasang bendera. Jika lambaian bendera membentuk sudut 45 0, maka diperkirakan bahwa kecepatan angin sekitar 4-6 km/ jam. Indikator lain untuk mengetahui kecepatan angin sekitar 4-6 km/ jam adalah jika tiupan angin terasa pada wajah kita dan daun-daun bergoyang perlahan. Selain itu, jika terjadi angin mati (tidak ada angin), penyemprotan pestisida tidak boleh dilakukan, karena butiran semprot tidak akan tersebar merata ke seluruh bagian tanaman. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 21

KEAMANAN PETUGAS PENYEMPROTAN Pestisida merupakan bahan beracun. Oleh karena itu faktor keamanan petugas penyemprot harus mendapat perhatian. Petugas penyemprot harus dilengkapi dengan celana panjang, baju lengan panjang, topi atau penutup kepala, masker, sarung tangan, dan kaca mata khusus (Gambar 49). Gambar 13. Petugas penyemprotan pestisida yang dilengkapi dengan tutup kepala (topi), baju lengan panjang, celana panjang sarung tangan, masker dan sepatu boot (Foto : Tonny K. Moekasan) Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 22

Penanganan pestisida juga harus mendapat perhatian. Pestisida di tempatkan di dalam lemari khusus dan jauh dari jangkauan anak-anak. Kemasan pestisida yang sudah tidak terpakai sebaiknya dikumpulkan lalu dibakar. Bekas kemasan pestisida tidak boleh dibuang secara sembarangan karena akan mencemari lingkungan. Gambar 14. Bekas kemasan pestisida yang dibuang sembarangan akan membahayakan lingkungan (Foto : Tonny K. Moekasan) Faktor-faktor keamanan lain yang harus diperhatikan pada saat melakukan penyemprotan pestisida ialah : Penyemprotan harus dilakukan sambil berjalan mundur agar petugas penyemprot tidak terpapar langsung oleh pestisida Jangan makan, minum atau merokok selama melakukan aktivitas penyemprotan pestisida Jangan menyentuh tanaman yang baru disemprot Cuci tangan sebelum makan, minum atau merokok Bersihkan badan dan cuci pakaian setelah digunakan. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 23

PENGELOLAAN RESISTENSI ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TERHADAP PESTISIDA Salah satu dampak penggunaan pestisida secara intensif ialah timbulnya OPT yang resisten terhadap pestisida tersebut. Resistensi OPT berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama beberapa generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada OPT yang mendapatkan perlakuan pestisida secara terus menerus. Akibatnya jumlah individu yang rentan dalam suatu populasi semakin sedikit dan meninggalkan individu-individu yang resisten. Individu yang resisten ini akan berkembang biak dan menurunkan sifat resisten tersebut kepada keturunannya. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menghambat terjadinya resistensi OPT terhadap pestisida yang digunakan. Pergiliran Pestisida Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat terjadinya resistensi OPT ialah dengan melakukan pergiliran pestisida berdasarkan cara kerjanya (mode of action). Pengelompokan cara kerja pestisida dapat dilihat pada situs IRAC (Insecticide Resistance Action Committee) dan FRAC (Fungicide Resistance Action Committee) dengan alamat http//.www.iraconline.org dan http//.www.frac-online.org. Sebagai contoh : insektisida yang berbahan aktif Abamectin tidak dapat digilir dengan insektisida yang berbahan aktif Emamectin Benzoate, Lepimectin, atau Milbemectin, karena walaupun bahan aktifnya berbeda tetapi cara kerjanya termasuk ke dalam kelompok yang sama yaitu No.6, sebagai racun saraf yang menghambat saluran Klorin aktivator (Irac 2011). Sebaiknya Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 24

Abamectin digilir dengan insektisida Spinosad (No.5), Deltametrin (No.3A) atau Diflubenzuron (No.15). Cara menggilir pestisida harus mengikuti kaidah yang benar. Satu jenis pestisida sebaiknya digunakan paling banyak tiga kali berturut-turut selama kurun waktu tiga minggu. Pada umumnya siklus hidup serangga ± 3 minggu. Pada kurun waktu tersebut serangga yang lolos dari aplikasi insektisida akan menurunkan generasi yang resisten terhadap insektisida tersebut. Oleh karena itu pada tiga minggu berikutnya harus dilakukan pergiliran insektisida dengan yang bahan aktif dan cara kerjanya berbeda. Pola pergiliran penggunaan pestisida dalam satu musim tanam dilakukan sebagai berikut : Minggu ke-1 sampai ke-3, gunakan pestisida A Minggu ke-4 sampai ke-6, gunakan pestisida B Minggu ke-7 sampai ke-9, gunakan pestisida C Minggu ke-10 kembali seperti minggu ke-1 Secara lengkap skema pergiliran penggunaan pestisida dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Bagan pergiliran pestisida untuk menghambat terjadinya resistensi OPT (Foto : Tonny K. Moekasan) Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 25

Penggunaan Pestisida Selektif Penggunaan pestisida yang selektif secara biologis dan secara ekologis sangat dianjurkan dalam upaya menghambat terjadinya resistensi OPT terhadap pestisida. Selektif secara biologis artinya pestisida tersebut hanya efektif terhadap OPT sasaran, tetapi musuh alami tidak terbunuh. Pestisida yang selektif secara bologis dapat dikombinasikan dengan penggunaan predator atau parasitoid, sehingga pengendalian OPT optimum. Selektif secara ekologis dapat diartikan bahwa aplikasi pestisida dilaksanakan berdasarkan pada tingkat populasi atau intensitas serangan OPT yang secara ekonomi dapat menimbulkan kerugian. Dengan demikian aplikasi pestisida tersebut tidak dilakukan secara terjadwal tetapi dilakukan berdasarkan tingkat populasi atau intensitas serangan OPT yang diperoleh dari hasil pengamatan. Pencampuran Pestisida Pada umumnya petani melakukan pencampuran pestisida pada setiap penyemprotan. Salah satu dampak negatif pencampuran pestisida yang dilakukan secara sembarangan ialah terjadinya resistensi OPT. Jika dilakukan pencampuran 2 jenis pestisida atau lebih dan dilakukan terus-menurus dalam jangka waktu tertentu, maka kemungkinan yang akan terjadi ialah timbulnya OPT yang resisten terhadap beberapa jenis pestisida yang dicampur tersebut. Evaluasi Penggunaan Pestisida Hasil penyemprotan perlu dievaluasi untuk mengetahui keefektifan pestisida yang digunakan. Cara sederhana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : Lakukan pengamatan terhadap populasi atau intensitas serangan OPT secara berkala dengan interval 1 minggu Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 26

Gambarkan hasil pengamatan tersebut pada selembar kertas grafik (Gambar 16) Jika populasi OPT atau intensitas serangan yang ditimbulkannya selama dua kali pengamatan ada kecenderungan terus meningkat, maka pestisida yang digunakan harus diganti Pestisida pengganti diusahakan yang bahan aktif dan cara kerjanya berbeda dengan yang digunakan sebelumnya Gambar 16. Grafik perubahan intensitas serangan trips pada tanaman cabai merah Sebagai contoh dapat dilihat pada pada Gambar 16, yang menyajikan perubahan intensitas serangan trips pada tanaman cabai merah. Pada umur 2 minggu setelah tanam (MST) intensitas serangan trips mendekati angka 20% dan berada di atas nilai ambang pengendalian (15% intensitas serangan), artinya tanaman cabai harus disemprot dengan pestisida, lalu dipilihlah insektisida A. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 27

Seminggu kemudian dilakukan pengamatan lagi ternyata intensitas serangannya meningkat di atas 20%, maka dilakukan penyemprotan kembali dengan insektisida A. Pada minggu ke-4, dilakukan pengamatan kembali dan ternyata intensitas serangannya semakin tinggi. Hal itu mengindikasikan bahwa insektisida A tidak mampu mengendalikan hama tersebut. Oleh karena itu insektisida tersebut harus diganti dengan insektisida B. Seminggu kemudian dilakukan pengamatan, ternyata intensitas serangannya menurun walaupun masih di atas ambang pengendalian. Penyemprotan selanjutnya masih menggunakan insektisida B, karena pestisida tersebut dipandang mampu menekan intensitas serangan trips. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 28

PENUTUP Pada umumnya petani masih mengandalkan penggunaan pestisida untuk menyelamatkan hasil panen tanaman yang dibudidayakannya dari serangan OPT. Namun demikian, penggunaan pestisida yang tidak bijaksana akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, pengguna, dan konsumen. Salah satu cara untuk menekan dampak negatif tersebut ialah dengan menerapkan konsepsi PHT. Sebagaimana telah dipaparkan dalam uraian pada bab-bab sebelumnya, hal penting yang harus dilakukan untuk menerapkan PHT dalam penggunaan pestisida ialah pengamatan OPT, yang sampai saat ini masih belum terbiasa dilakukan oleh pelaku usahatani. Dengan menyadari dampak negatif tersebut di atas, maka para pelaku usahatani dituntut untuk menggunakan hasil pengamatan sebagai landasan pengambilan keputusan pengendalian. Untuk maksud tersebut, mereka diharapkan mulai membiasakan diri melakukan pengamatan OPT dan meninggalkan kebiasaan penggunaan pestisida secara terjadwal. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 29

DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W., R. Sinung-Basuki, Y. Hilman, dan B.K. Udiarto. 1999. Studi Lini Dasar Pengembangan Teknologi PHT pada Tanaman Cabai di Jawa Barat. J.Hort. 9(1) : 67-83. Ameriana, M. 2004. Kesediaan Konsumen untuk Membayar Premium serta Kepedulian Petani terhadap Usaha Pengurangan Residu Pestisida pada Sayuran Tomat. Disertasi. Progran Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Batie, S.S., S.M. Swinton, and M.A. Schulz. 1999. FQPA Implementation to Reduce Pesticide Residue Risks : Agricultural Concerns. Staff Paper No.99-3. Dep. Agric. Econ. Michigan State Univ., East Lansing, MI. Direktorat Jendral Bina produksi Hortikultura. 2002. Penggunaan Pestisida Secara Benar dengan Residu Minimum. Ditlinhort. Jakarta. Djojosumarto, P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida (Edisi Revisi). Penerbit Kanisius. 211 hal. Govindasamy, R., J. Italia, D. Thatch, and A. Adelaja. 1998. Consumer Response to IPM-grown Produce. J. Extension. (August 1998, Vol.36, No.4). Hendrik, D. 1990. Status Resistensi Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuide) Strain Brebes terhadap Beberapa Jenis Insektisida Golongan Organofosfor, Piretroid Sintetik, Karbamat, dan Benzoil Urea. Skripsi Fakultas Pertanian, Uninus, Bandung. 120 hal. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 30

Irac. 2011. IRAC MoA Classification Scheme. Issued, June 2011, Version 7.1 Insecticide Resistance Action Committee. www.irac-online.org (diakses pada tanggal 12 Maret 2011). 23 hal. Lumkes, L.M. 1989. Course on Spraying Techniques for Intregrated Pest Management. Proefstation voor de Akkerbouw en de Groenteteelt in the Volleground. PAGV, Lelystad Netherlands. Moekasan, T.K. 1998. Pengaruh Pencampuran Formulasi Insektisida Profenofos dan Lufenuron dengan Bacillus thuringiensis terhadap Mortalitas Larva Spodoptera exigua Hbn. di Laboratorium. J.Hort. 8(2) : 1102-1111. Moekasan, T.K., L. Prabaningrum, N. Gunadi dan W. Adiyoga. 2010. Rakitan Komponen Teknologi PTT Cabai Merah-Bawang Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Applied Plant Research and WUR Greenhouse Horticulture, Wageningen University and Research Center, the Netherlands. 80 hal. Moekasan, T.K. dan L. Prabaningrum. 2011. Mitigasi Dampak Perubahan Iklim Terhadap Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) pada Tanaman Cabai Merah Di Dataran Rendah. Laporan Penelitian Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Applied Plant Research and WUR Greenhouse Horticulture, Wageningen University and Research Center, the Netherlands. 16 hal. Omoy, T.R. 1993. Perbaikan Teknik Penyemprotan Pestisida Menekan Biaya Produksi dan Kepedulian terhadap Lingkungan. Materi latihan PHT pada Tanaman Sayuran Staf PT Sarana Agropratama pada tanggal 4 s.d. 8 Januari 1993 di Balithort Lembang. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 31

Smith, C.M. 1989. Plant Resistance to Insects. A fundamental approach. John Willey & Co., New York. Sook-Eom, Y. 1994. Pesticide Residue Risk and Food Safety Valuation : A Random Utility Approach. Amer. J. Agr. Econ (November 1994) : 760-771. van der Staaij, M. 2010. Teknik Aplikasi Pestisida. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Applied Plant Research and WUR Greenhouse Horticulture, Wageningen University and Research Center, the Netherlands. 48 hal. Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 32

Yayasan Bina Tani Sejahtera, Lembang Bandung Barat 33