LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PRODUK BESI BAJA NASIONAL

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sektor properti dan infrastruktur, dengan pertumbuhan Compound Annual

2016, No dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.011/2013 dan berlaku sampai dengan tanggal 1 April 2016; c. bahwa berdasarkan ketentua

MEDIA BRIEFING Pusat HUMAS Kementerian Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Tel: /Fax:

2 Anti Dumping Terhadap Impor Produk Canai Lantaian Dari Besi Atau Baja Bukan Paduan Dari Negara Jepang, Republik Korea, Taiwan, Republik Rakyat Tiong

TIDAK RAHASIA ESSENTIAL FACT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

2 d. bahwa hasil pembahasan Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional telah memutuskan untuk mengenakan Tindakan Pengamanan Perdagangan berupa kuota terha

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia Jl. M.I. Ridwan Rais No.5, Jakarta Indonesia

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ketika cakar Sang Naga kian kuat mencengkeram

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN RESTRIKSI NEGARA MITRA DAGANG TERHADAP PENCAPAIAN TARGET EKSPOR NON MIGAS INDONESIA 2014

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI DESEMBER 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND BULAN : JANUARI 2015

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Impor Besi. Baja. Ketentuan Impor.

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

PROFIL INDUSTRI BAJA

Kinerja Ekspor Nonmigas Januari-April Lampui Target *Sinyal bahwa FTA/EPA Semakin Efektif dan Pentingnya Diversifikasi Pasar

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Harmonized System 2012; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dan menyelaraskan dengan pro

RINGKASAN LAPORAN PERKEMBANGAN PERDAGANGAN BULAN JULI 2011

Konsumsi Baja per Kapita Tahun 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Ekspor Bulan Juni 2014 Menguat. Kementerian Perdagangan

LAPORAN AKHIR HASIL PENYELIDIKAN ATAS IMPORTASI PRODUK I & H SECTION DARI BESI ATAU BAJA PADUAN LAINNYA DENGAN NOMOR HS

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

Perdagangan Indonesia

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN. ada baru mampu memproduksi 4 juta ton per tahun.

57/PMK.011/2011 PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK KAWAT BINDRAT

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak dapat dihindari, karena setiap negara yang melakukan praktek di dunia

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI

2017, No Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 85/M-DAG/PER/12/2016 tentang Pelayanan Terpadu Perdagangan (Berita Negara Republik Indonesia

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108/PMK.011/2013 TENTANG

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel,

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

2016, No turunannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Me

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

LAPORAN AKHIR HASIL PENYELIDIKAN ATAS IMPORTASI PRODUK CANAI LANTAIAN DARI BESI ATAU BAJA BUKAN PADUAN DENGAN NOMOR HS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 533/KMK.01/1999 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Peresmian Pabrik Pelapisan Pipa Dan Laboratorium Services PT. Bakrie Pipe Industries.

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

HILIRISASI PEMBANGUNAN INDUSTRI BERBASIS MINERAL TAMBANG

HILIRISASI PEMBANGUNAN INDUSTRI BERBASIS MINERAL TAMBANG

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan T

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR

Analisis Kinerja Perdagangan Indonesia: Defisit Neraca Perdagangan Mei 2012 Dapat Ditekan

2 Perdagangan, yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap impor produk steel wire rod; d. bahwa dalam rangka menindaklanjuti hasil penyeli

Bab 5 Bisnis Global 10/2/2017 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PMK.010/2015 TENTANG

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI JUNI 2015

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI SEPTEMBER 2015

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG

ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish)

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

Analisis Perkembangan Industri

Prospek PT Inalum Pasca Pengambilalihan oleh Pemerintah. Oleh: Hilman Qomarsono 1

SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax:

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI AGUSTUS 2014

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR INDONESIA BULAN SEPTEMBER 2004

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN BARAT JUNI 2016

Ekspor Nonmigas 2010 Mencapai Rekor Tertinggi

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

2018, No /M-DAG/PER/12/2016 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya; Mengingat : Peraturan Menteri Perdaga

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN BARAT OKTOBER 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR KALIMANTAN BARAT JUNI 2015

BPS PROVINSI JAWA BARAT

Transkripsi:

LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PRODUK BESI BAJA NASIONAL PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2015

KATA PENGANTAR Segala puji dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas telah dapat diselesaikannya penulisan analisis ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Produk Besi Baja Nasional merupakan salah satu kajian yang bersifat jangka pendek yang dilaksanakan oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri pada Tahun Anggaran 2015. Penulisan analisis didasarkan atas pentingnya peran pemerintah dalam melindungi dan memajukan industri dan melindungi tenaga kerja domestik. Kami menyadari bahwa analisis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan penyempurnaan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu penyelesaian kajian ini. Semoga Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Produk Besi Baja Nasional dapat bermanfaat. Jakarta, Juni 2015 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR GAMBAR... iii BAB I. PENDAHULUAN... 4 1.1. Latar Belakang... 4 1.2. Tujuan... 6 1.3. Ruang Lingkup... 6 1.4. Metodologi... 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 7 2.1. Landasan Teori... 7 2.1.1. Hambatan Perdagangan Tarif... 7 2.1.2. Hambatan Perdagangan Non Tarif... 9 2.2. Penelitian Terdahulu... 16 BAB III. GAMBARAN UMUM INDUSTRI BESI BAJA NASIONAL... 18 3.1 Perkembangan industri besi baja nasional... 18 3.2 Perkembangan kinerja ekspor impor produk besi baja... 22 BAB IV. PENGAMANAN PERDAGANGAN PRODUK BESI BAJA DAN DAMPAKNYA... 25 4.1 Kebijakan pengamanan perdagangan besi baja nasional... 25 4.1.1. Kebijakan Anti Dumping... 27 4.1.2. Kebijakan Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard)... 33 4.2 Implikasi kebijakan... 40 BAB V. PENUTUP... 46 5.1 Kesimpulan... 46 5.2 Rekomendasi... 47 ii

DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1 Pohon Industri Besi Baja Nasional (Tanpa 18 Stainless Steel) Gambar 3.2 Konsumsi dan Penguasaan Pasar Dalam Negeri 22 Gambar 3.3 Komposisi Kinerja Impor Besi Baja 23 Gambar 4.1 Kinerja Impor HRC 28 Gambar 4.2 Kinerja Impor H & I Section, dan Tin Plate 29 Gambar 4.3 Kinerja Impor CRC dan HRP 31 Gambar 4.4 Komposisi Impor Besi Baja Terkena BMAD 32 Gambar 4.5 Kinerja Impor Paku 33 Gambar 4.6 Kinerja Impor Kawat Bindrant, Kawat Seng, dan 35 Tali Kawat Baja Gambar 4.7 Kinerja Impor Kawat Bronjong 36 Gambar 4.8 Kinerja Impor BJLAS, Casing dan Tubing, serta 38 HRC Gambar 4.9 Komposisi Impor Besi Baja terkena BMTP 39 iii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri besi baja nasional memiliki peran yang sangat strategis, antara lain sebagai penggerak ekonomi bagi industri nasional yang menggerakkan industri-industri yang menjadi input dan industriindustri yang menggunakan produk industri besi baja sebagai inputnya. Setiap peningkatan Rp 1 di sektor industri baja akan meningkatkan permintaan di sektor tambang bijih besi, energi, investasi, infrastruktur, teknologi dan SDM sebesar Rp 1,27 dan setiap peningkatan Rp 1 di sektor industri baja akan meningkatkan permintaan di sektor infrastruktur dan industri manufaktur lainnya sebesar Rp 1,02 1. Namun, industri besi baja nasional sedang mengalami gejolak di tengah perannya yang sangat strategis. Kurangnya pasokan bahan baku membuat pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui impor. Berdasarkan data Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia, dari total kebutuhan scrap nasional, hanya 30 persen yang dapat dipenuhi dari dalam negeri. Sebagian besar sisanya masih mengandalkan pasokan impor dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Singapura dan Australia 2. Sementara itu, impor scrap juga mengalami kendala karena pernah ditemukan scrap impor yang diindikasi mengandung bahan beracun berbahaya (B3) sehingga diterapkan mekanisme impor tentang verifikasi bahan baku besi bekas scrap. Selain itu, maraknya importasi produk besi baja dan adanya praktik perdagangan tidak jujur (unfair trade) membuat produk besi baja nasional tidak mampu bersaing dan menyebabkan kerugian bagi industri nasional. 1 Berdasarkan penelitian kementerian perindustrian yang dipaparkan dalam FGD Industri Besi Baja Nasional pada 1 April 2014. 2 Suara Karya 4

Dalam rangka menyelamatkan industri besi baja, perlu dilakukan berbagai upaya terutama dukungan pemerintah. Kementerian Koordinator Perekonomian telah menyelenggarakan rapat koordinasi yang melibatkan kementerian-kementerian terkait guna merumuskan paket tindakan yang harus dilakukan. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, dukungan pemerintah yang dibutuhkan antara lain mencakup kemudahan berinvestasi dalam pembangunan smelter dan pembaruan teknologi terutama di sektor hulu, serta pengamanan di sektor hilir atas produk-produk impor yang semakin meningkat dan/atau dijual dengan harga dumping. Tindakan tercepat yang bisa dilakukan sebagai upaya untuk menyelamatkan industri besi baja nasional salah satunya adalah mengamankan perdagangan produk besi baja di dalam negeri, terutama untuk produk antara seperti HRC/P, wire rod, CRC/S, serta produk akhir seperti tin plate. Produk antara berperan krusial dalam industri besi baja nasional karena jumlah produsen dalam sektor ini mencapai 76 perusahaan dari total perusahaan di industri besi baja sejumlah 111 perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa industri besi baja nasional terkonsentrasi pada produk antara. Dalam rangka mengamankan dan menyelamatkan industri besi baja nasional, terutama terkait dengan impor besi baja, pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan. Salah satunya adalah mengendalikan impor produk besi baja melalui regulasi tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja (Permendag No.54/M- DAG/PER/12/2010 yang telah diubah menjadi Permendag No.08/M- DAG/PER/2/2012) maupun Ketentuan tentang Impor Baja Paduan (Permendag No.28/M-DAG/PER/6/2014). Selain itu, pemerintah juga menerapkan tindakan pengamanan berupa pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). 5

Hingga tahun 2015, jumlah tindakan pengenaan BMAD atas impor produk besi baja nasional mencapai 12 tindakan, 5 tindakan dikenakan untuk produk akhir seperti CRC, tin plate dan I & H section; 6 tindakan dikenakan untuk produk antara seperti HRC dan wire rod; dan 1 tindakan dikenakan untuk produk hulu (besi mangan karbon dan silikon). Sementara hingga Januari 2015, jumlah tindakan BMTP yang dikenakan atas produk impor besi baja sebanyak 10 kasus, yang seluruhnya merupakan produk akhir besi baja. Hal ini tentunya mengancam industri besi baja nasional secara keseluruhan, mengingat posisi strategisnya sebagai penggerak ekonomi bagi industri-industri lainnya yang menjadi input terutama sektor hulu industri besi baja. 1.2. Tujuan Tujuan kajian adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi kebijakan pengamanan perdagangan yang diterapkan Indonesia terhadap produk besi baja. 2. Mengidentifikasi dampak kebijakan pengamanan perdagangan terhadap pengembangan industri besi baja nasional. 1.3. Ruang Lingkup Ruang lingkup kajian dibatasi pada aspek-aspek sebagai berikut : 1. Kebijakan pengamanan perdagangan mencakup tindakan pengenaan BMAD dan BMTP terhadap produk besi baja 2. Nilai dan pangsa impor produk Indonesia yang dikenakan kebijakan pengamanan perdagangan. 1.4. Metodologi Metodologi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber data dan selanjutnya diolah dengan menggunakan alat analisa statistik. 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Hambatan Perdagangan Tarif Tarif adalah hambatan perdagangan dalam bentuk penetapan pajak atas impor. Terdapat dua alasan yang mendasari pemerintah memberlakukan tarif impor, yakni untuk melindungi industri domestik yang bersaing dengan produk-produk impor dan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah. Di negara berkembang, pendapatan pemerintah melalui tarif impor lebih mudah didapatkan dibanding dengan pajak penghasilan, sehingga penetapan tarif impor untuk meningkatkan pendapatan pemerintah banyak dipraktikan di negara-negara berkembang. Namun, hal ini relatif tidak penting bagi negara maju untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan pemerintahnya. Penetapan tarif impor akan mempengaruhi harga keseimbangan domestik, namun tidak pada harga keseimbangan dunia. Diasumsikan sebuah perekonomian mengekspor barang Y dan mengimpor barang X. Pemerintah menetapkan tarif impor sehingga harga domestik untuk barang X menjadi naik sesuai dengan besaran tarif tersebut. Harga domestik dinotasikan sebagai p= px/py. Karena barang ekspor tidak dikenakan tarif (pajak ekspor), maka hubungan harga domestik dan harga dunia adalah px= px*(1+t) dan py= py* atau p=p*(1+t). Rasio harga domestik akan lebih besar dari rasio harga dunia (p > p*) 3. 3 Markusen et al. International Trade Theory and Evidence. (United States: McGraw-Hill, 1996) hlm. 246 7

Gambar 2.1 Dampak tarif impor Sumber: Markusen (1996) Sedikitnya ada tiga dampak dari kebijakan penetapan tarif. Pertama, tingkat kesejahteraan (welfare) lebih rendah jika diterapkan kebijakan tarif dibanding perdagangan bebas, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi autarki. Kedua, tarif impor menyebabkan pergerakan level produksi kembali ke titik autarki. Hal ini diakibatkan oleh harga domestik yang menyebabkan distorsi dalam pembuatan keputusan pelaku ekonomi domestik. Karena harga barang X domestik lebih tinggi, yang kemudian dipersepsikan sebagai tanda bahwa barang X lebih bernilai, sehingga banyak produser yang memproduksi barang X. Padahal, keunggulan komparatif negara tersebut adalah barang Y sehingga keuntungan dari adanya spesialisasi (keunggulan komparatif) tersebut hilang. Ketiga, penurunan impor yang disebabkan oleh diterapkannya kebijakan tarif impor mendorong penurunan pada volume ekspor. Dengan demikian, penetapan tarif berdampak pada impor dan ekspor dalam keseimbangan umum 4. 4 Ibid., hlm 247 8

2.1.2. Hambatan Perdagangan Non Tarif a. Kuota Kebijakan tarif impor mempengaruhi harga secara langsung, sedangkan kuota mempengaruhi kuantitas secara langsung. Kuota adalah sebuah hambatan perdagangan dalam bentuk penetapan maksimal kuantitas barang impor. Misal, sebuah negara H mengimpor barang X kemudian menerapkan kuota atas impor tersebut. Dengan adanya pembatasan volume impor, maka terjadi kekurangan pasokan barang X dan menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang X di negara H tersebut. Gap antara harga dunia dan harga domestik ini menguntungkan pihak-pihak importir di negara H karena mereka dapat mengimpor barang X dengan harga dunia dan menjualnya dengan harga domestik yang lebih tinggi. Keuntungan akibat kelangkaan barang yang disebabkan oleh kuota disebut keuntungan kuota (quota rents) 5. Gambar 2.2 Dampak kuota impor Sumber: Markusen (1996) 5 Ibid., hlm 268 9

Bentuk lain dari kuota adalah voluntary export restraint (VER), kuota yang secara sukarela ditetapkan oleh negara pengekspor. Implikasi dari kebijakan ini adalah keuntungan kuota (quota rents) beralih dari negara pengimpor ke negara pengekspor. b. Dumping dan Antidumping Terdapat dua pengertian dumping menurut, yaitu 1) praktik penjualan suatu barang pada tingkat harga di pasar ekspor yang lebih rendah dari tingkat harga domestik, dan 2) praktik penjualan suatu barang pada tingkat harga di pasar ekspor yang lebih rendah dari biaya rata-rata (average cost) produksi barang tersebut. Berdasarkan alasan pengenaannya, dumping dikategorikan menjadi dua bentuk. Pertama, karena turunnya permintaan di pasar domestik akibat terjadinya siklus bisnis, membuat perusahaan menjual kelebihan produksinya ke pasar ekspor dengan harga yang lebih murah untuk mendorong penjualan. Bentuk yang seperti ini disebut sporadic dumping karena berhubungan dengan fluktuasi ekonomi. Kedua, ketika perusahaan menjual produknya dengan harga yang lebih rendah di pasar ekspor dengan tujuan untuk menekan perusahaan domestik atau mencegah masuknya pesaing baru, disebut sebagai predatory dumping 6. Tindakan dumping tersebut termasuk dalam persaingan dagang yang tidak sehat. Namun, banyak pemerintahan negara yang menerapkan tindakan dumping untuk melindungi industri dalam negeri yang melakukan proses produksi dengan identifikasi produk 6 Ibid., hlm 355-357 10

yang sama. Tindakan dumping inilah yang melahirkan tindakan baru dalam perjanjian WTO berupa tindakan antidumping, guna meminimalisir dampak yang akan dirasakan oleh masing-masing negara atas tindakan tersebut. Sesuai dengan Agreement of Antidumping WTO, suatu negara diperbolehkan untuk melakukan pembelaan atas tindakan dumping yang dianggap merugikan dari sisi material pada industri dalam negeri. Tindakan antidumping yang diterapkan oleh pemerintah harus melalui proses penyelidikan yang didukung oleh fakta-fakta yang terjadi di lapangan untuk membuktikan adanya dumping yang dilakukan oleh negara lain. Selain hal tersebut, dalam penyelidikan tersebut juga perlu menunjukkan dumping telah menyebabkan kerugian atan mengancam keberlangsungan industri dalam negeri. Penerapan tindakan antidumping dilakukan berupa pengenaan bea masuk tambahan pada produk tertentu dari suatu negara pengekspor guna menghapus kerugian industri dalam negeri. Ada tiga alternatif cara yang digunakan untuk melakukan perhitungan untuk mengetahui apakah produk tersebut masuk dalam tindakan dumping berat atau ringan. Pertama adalah dengan melihat harga di pasar domestik ekportir. Kedua, dengan melihat harga yang dikenakan oleh eksportir di negara lain atau perhitungan yang dilihat dari kombinasi biaya produksi eksportir, biaya terkait lainnya dan margin keuntungan normal 7. 7 Puska Daglu. Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Indonesia di Negara Tujuan Ekspor (Jakarta: Kementerian Perdagangan, 2013) hlm. 4 11

Perhitungan untuk tindakan dumping tidak dapat dijadikan dasar penerapan tindakan anti dumping jika pada kenyataannya tidak terjadi kerugian industri dalam negeri atas adanya impor barang sejenis. Sehingga penyelidikan untuk penerapan tindakan antidumping ini harus dilakukan secara terperinci. Tahap penyelidikan dan pengevaluasian harus melihat semua faktor ekonomi yang relevan dan berkaitan dengan industrinya. Tata cara dalam melakukan anti dumping diatur secara terperinci dalam Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. PEraturan tersebut mengatur mulai dari dilakukannya investigasi hingga memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mengajukan bukti dan pembelaannya. Tindakan ini akan dikenakan dengan batas waktu hingga lima tahun dari tanggal penetapannya. Kecuali penyelidikan menunjukkan bahwa mengakhiri tindakan antidumping akan menyebabkan kerugian. Penyelidikan antidumping dapat dihentikan bila diketahui margin dumping tidak signifikan atau kurang dari 2% dari harga ekspor produksi serta melihat volume atas barang impor yang dituduh dumping sangat kecil atau kurang dari 3% dari total impor produk tersebut. Selain itu, penyelidikan dapat dihentikan jika beberapa negara yang masing-masing memasok 12

kurang dari 3% impor atau secara akumulasi mencapai 7% atau lebih dari total impor 8. c. Subsidi dan Countervailing Duties Subsidi merupakan bantuan keuangan oleh pemerintah atau badan publik dalam wilayah anggota WTO yang memberikan manfaat 9. Pemberian subsidi hanya untuk suatu perusahaan atau industri yang dilindungi secara hukum. Subsidi dikategorikan dalam tiga kategori. Pertama, subsidi yang dilarang baik berupa subsidi ekspor maupun subsidi untuk penggunaan barang domestik dibandingkan barang impor. Subsidi dilarang karena secara langsung mempengaruhi perdagangan dan memberikan efek negatif pada kepentingan anggotanya. Kedua, subsidi yang dapat ditindaklanjuti. Subsidi ini memberikan pengaruh bagi kepentingan negara anggota lainnya, yaitu kerugian industri dalam negeri dari negara lainnya, pembatalan atau gangguan dari manfaat yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dengan negara anggota yang menandatangani perjanjian GATT. Kerugian yang dianggap serius adalah total ad valorem subsidi produk melebihi 5%. Jika terlihat total yang melebihi batas tersebut, maka negara yang mendapat pengaruh tersebut dapat melakukan perujukan kepada badan penyelesaian sengketa. Tujuannya untuk meminta dilakukan penghapusan pemberian subsidi guna menarik efek negatif yang ditimbulkan. 8 Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 Pasal 6 ayat (2) 9 WTO. 2013. Agreement on Implementation of Article VI of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (Anti-Dumping Agreement) 13

Ketiga, subsidi yang tidak dapat ditindaklanjuti, subsidi ini berupa subsidi non-spesifik maupun subsidi khusus yang melibatkan bantuan terhadap penelitian sektor industri dan kegiatan pembangunan prakompetitif, bantuan kepada daerah tertinggal atau jenis bantuan tertentu untuk menyesuaikan fasilitas yang ada terhadap adanya pemberlakuan suatu perundingan atau peraturan. Selain itu, tindakan lain atas adanya barang impor bersubsidi adalah tindakan imbalan. Tindakan imbalan (countervailing) atas barang impor bersubsidi. Ketentuan tersebut mengatur mengenai inisiasi kasus tindakan imbalan, penyelidikan oleh otoritas nasional dan aturan penetapan bukti-bukti untuk memastikan bahwa semua pihak yang berkepentingan dapat menyajikan informasi dan argumen yang jelas. Perhitungan jumlah subsidi juga diatur dalam ketentuan sebagai dasar untuk penentuan kerugian pada industri dalam negeri. Semua faktor ekonomi yang relevan harus diperhitungkan dalam menilai keadaan suatu industri dan hubungan sebab akibat harus terpenuhi antara impor bersubsidi dan dugaan kerugian. Investigasi tindakan imbalan akan segera diakhiri dalam kasus dimana jumlah subsidi adalah de minimis (subsidi kurang dari 1% ad valorem) atau volume impor bersubsidi aktual atau potensial maupun kerugian dapat diabaikan. Kecuali dalam keadaan luar biasa, investigasi harus dapat disimpulkan dalam waktu satu tahun setelah inisiasi dan tidak boleh melebihi 18 bulan. 14

Semua bea masuk imbalan (countervailing duties) harus dihentikan dalam waktu 5 tahun dari tanggal pengenaan kecuali pihak yang berwenang menentukan bahwa berdasarkan review menjelang berakhirnya pengenaan bea masuk imbalan akan cenderung mengarah pada berlanjutnya atau berulangnya subsidi dan kerugian. d. Safeguard Safeguard adalah cara yang dilakukan untuk melindungi suatu industri dalam negeri dari peningkatan impor yang tidak terduga untuk setiap produk yang menyebabkan atau mungkin menyebabkan terjadinya kerugian atas industri tersebut 10. Sama halnya dengan tindakan antidumping, penerapan safeguard di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011. Sebelum menerapkan safeguard, dilakukan penyelidikan terlebih dahulu oleh otoritas berwenang yang dalam hal ini adalah Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Dalam penyelidikan safeguard, dilakukan pemberitahuan umum untuk mendengarkan masukkan dan saran lain dari berbagai pihak yang berkepentingan untuk memberikan bukti-bukti. Tindakan safeguard dapat dilakukan dengan penerapan safeguard sementara, dimana penerapan saferguard didasarkan pada penentuan awal terhadap kerugian serius. Tindakan safeguard didasari untuk mencegah atau memulihkan kerugian serius akibat adanya impor. Namun, tindakan ini tidak akan berlaku untuk produk dari anggota negara berkembang. Hal tersebut dapat 10 Agreement on Safeguard Article 2 15

terjadi jika negara berkembang yang nilai produk impornya tidak melebihi 3% dan pangsa impornya kurang kurang dari 3% serta secara kolektif tidak melebihi 9% dari total impor produk yang dimaksud 11. 2.2. Penelitian Terdahulu Analisis mengenai dampak kebijakan perdagangan yang bersifat restriksi terhadap ekonomi dan sosial cukup umum dalam literatur akademi dan diksusi kebijakan. Indikator tingkat restriksi perdagangan sebuah negara digunakan untuk melihat dampak kebijakan terhadap pertumbuhan ekonomi (Edwards, 1998; Frankel dan Romer, 1999), kemiskinan (Dollar dan Kraay, 2003), atau produktifitas perusahaan (Melitz, 2003) (Kee et al, 2009). Kee et al (2009) melakukan analisis yang bertujuan untuk memberikan ukuran mengenai bentuk retriksi perdagangan yang didasarkan pada teori perdagangan dan memberikan berbagai bentuk restriksi perdagangan dalam definisi lainnya (Anderson and Neary 1992; 1994; 1996; 2003; 2007). Dalam penerapan implementasi empiris mengenai indeks retriksi masih banyak ditemui batasan pada persyaratan terhadap data yang akan diolah. Hambatan yang dihadapi tersusun dalam bentuk indeks. Indeks yang pertama adalah TRI. TRI akan merangkum distorsi yang berkaitan terhadap kebijakan perdagangan yang dilakukan oleh masing-masing negara dan berhubungan dengan keuntungan yang akan diperoleh dari hal tersebut. Indeks yang kedua adalah OTRI, OTRI merangkum dampak yang akan dirasakan dari penerapan kebijakan perdagangan yang berhubungan dengan kegiatan impornya. Indeks yang ketiga adalah MA-OTRI, MA-OTRI merangkum dampak dari kebijakan perdagangan negara-negara lain pada ekspor masing-masing negara. 11 Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 Pasal 90 16

Semua indeks tersebut memperlihatkan penggunaan tingkatan batas tarif dalam penerapan perlindungan dan Ad Valorem Equivalents (AVEs) dalam NTBs. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa negara-negara yang kesejahteraannya berada dibawah memiliki restriksi perdagangan yang jauh lebih ketat dan hambatanhambatan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena hubungan timbal balik dalam perjanjian perdagangan baik secara bilateral maupun multilateral. Dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa NTB berkontribusi besar bagi restriksi perdagangan di negara. Selain itu, di 34 dari 78 negara dalam sampel, restriksi dengan NTB lebih besar dibanding retriksi menggunakan tarif. Dengan demikian, NTB harus menjadi prioritas bagi negosiator perdagangan, terutama bagi yang mencari akses lebih baik ke pasar negara maju, dimana restriksi dengan NTB akan terlihat lebih kuat (Kee et al, 2009). Tarif nominal dan pengamanan perdagangan yang diterapkan memperlihatkan kinerja yang efektif untuk sektor perdagangan Indonesia pada awal 2008 (kee et al,2009). Hal ini merujuk pada perbandingan angka-angka yang telah dihitung menggunakan RERP periode tahun 1987 hingga 1995 (Fane and Condo,1996). Tarif impor telah diturunkan, khususnya melalui pengaturan perdagangan preferensial regional. Penjelasan pengaturan tersebut dibuat dalam dua cara yang berbeda. Pajak ekspor bertahan di sektor sumber daya alam tertentu, namun harga telah berkurang. Kami menemukan bahwa lebih dari setengah dari dukungan yang efektif diberikan kepada tradable sektor produk yang berasal dari subsidi pada bahan bakar, pupuk, listrik dan bahan bakar gas cair, dan bukan dari kebijakan perdagangan. Kelemahan tugas dan pembebasan bagi eksportir meningkatkan tingkat efektif perlindungan bagi sektor tradable secara keseluruhan hingga dari 1%, dan tanpa sektor inputoutput lebih dari 3% (Marks dan Raharja, 2012). 17

BAB III. GAMBARAN UMUM INDUSTRI BESI BAJA NASIONAL 3.1 Perkembangan industri besi baja nasional Jika dilihat dari pohon industrinya, industri besi baja nasional memiliki pohon industri yang lengkap dari proses hulu hingga hilir (Gambar 1). Pohon industri adalah skema yang menggambarkan diversifikasi produk dalam sebuah industri beserta turunanturunannya. Industri besi baja dimulai dari sektor yang paling hulu yakni bijih besi dan berakhir pada produk-produk baja yang digunakan oleh industri pengguna seperti baja profil, paku, kawat, dan baja batangan. Gambar 3.1. Pohon Industri Besi Baja Nasional (Tanpa Stainless Steel) Sumber: Kementerian Perindustrian, diolah IISIA (2014) Pohon industri juga mencerminkan skema proses produksi besi baja. Dimulai dari sektor paling hulu yakni penambangan bijih besi 18

sebagai bahan baku utama pembuatan besi, dilanjutkan dengan proses ore dressing yang menghasilkan konsentrat (iron ore concentrate). Selanjutnya dalam proses aglomeration dihasilkan pellet dan sinter. Pellet dan sinter digunakan sebagai bahan baku pembuatan besi (iron making), menghasilkan sponge iron, hot bricket iron, hot metal, dan pig iron. Besi-besi tersebut, dan bahan baku lainnya termasuk scrap, selanjutnya diolah dalam proses steel making & casting menjadi baja kasar. Produk baja kasar mencakup bloom, billet, slab, dan iron/steel cast. Proses selanjutnya adalah hot forming atau dicanai panas. Dalam tahap ini, billet diolah menjadi round billet, wire rod, dan bar. Slab diolah menjadi hot rolled coil dan plate. Sementara bloom langsung diolah menjadi produk akhir berupa heavy profile dan rail. Setelah melalui tahap hot forming, sebagian produk diproses lebih lanjut melalui cold forming, seperti wire rod yang diolah menjadi wire dan hot rolled coil yang diolah menjadi cold rolled coil. Selebihnya, produk langsung diproses menjadi produk akhir. Sementara itu, berdasarkan tahap produksinya, produk besi baja dapat dikelompokkan menjadi produk hulu, produk antara, dan produk akhir. Produk hulu dimulai dari hasil proses penambangan hingga iron making, mencakup pellet, sinter, sponge iron, hot bricket iron, hot metal, pig iron. Produk antara mencakup baja kasar (bloom, billet, slab, dan iron/steel cast), round billet, wire rod, bar, hot rolled coil/plates. Produk akhir mencakup antara lain wire, cold rolled coil/sheets heavy profile, wire mesh, profile & deformed bar, dan tin plate. Selain berdasarkan tahap produksinya, produk besi baja terutama yang termasuk dalam produk antara, juga dikelompokkan berdasarkan bentuk dan fungsinya yaitu long product dan flat product. Flat product digunakan untuk menunjang industri otomotif dan home appliance, terdiri dari hot rolled coil/plates (HRC/P) dan cold rolled coil/sheet 19

(CRC/S). Sementara long product digunakan untuk pemenuhan industri konstruksi dan infrastruktur, terdiri dari bars, structurals, wire rod. Permintaan keduanya dalam periode 2002-2010, mengalami pertumbuhan dengan trend yang meningkat. Baik untuk konsumsi flat product maupun long product, keduanya masih banyak yang berasal dari impor. Khusus untuk industri long product, utilisasi produksi rendah (sekitar 60%), barang impor banyak di pasar, sehingga produksi lokal hanya terserap sebagian di pasar 12. Hampir semua produk dari hulu hingga hilir tersebut dapat diproduksi oleh industri besi baja nasional. Namun demikian, masih ada beberapa produk yang belum dapat diproduksi di Indonesia ataupun yang baru akan dibangun industrinya. Terutama di sektor hulu, beberapa produk seperti iron concentrate, pellet, hot bricket iron belum dapat diproduksi oleh industri nasional. Bijih besi sebagai bahan baku utama dalam pembuatan besi baja juga tidak cukup dipenuhi dari dalam negeri saja. Hal ini disebabkan karena sekitar 90% bijih besi dunia berasal dari jenis cebakan besi yang disebut sebagai cherty Banded Iron Formation/ BIF (Guilbert and Park, 1986). Sementara itu, secara geologi wilayah Indonesia hanya merupakan busur magmatis dan hanya sedikit mempunyai potensi cebakan besi tipe Banded Iron Formation/ BIF (Pardianto, 2011). Namun demikian, hal yang menggembirakan adalah produksi baja kasar nasional (billet, slab, ion/steel cast) dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang berarti. Selama tahun 2009-2013, produksi besi/baja kasar tumbuh 10,1% per tahun. Meskipun demikian, terjadi defisit suplai sebesar 4,9 juta ton pada tahun 2013 akibat produksi besi baja kasar baru mencapai mencapai 5,9 juta ton di saat kebutuhan nasional terhadap besi baja kasar mencapai 10,8 juta ton. Padahal kapasitas industrinya mencapai 12,9 juta ton. Tingkat utilisasi yang masih rendah ini mendorong pemenuhan 12 75 th OECD Steel Committee Meeting pada Desember 2013 20

kebutuhan besi baja kasar nasional melalui impor. Impor besi baja kasar pada tahun 2013 tercatat sebanyak 4,9 juta ton, tumbuh 24,1% per tahun dalam lima tahun terakhir. Sementara besi beton/profil ringan, dengan tingkat penguasaan dalam negeri telah mencapai 97,5% mampu memenuhi kebutuhan nasional meskipun masih melakukan impor untuk spesifikasi tertentu. Produksi besi beton/profil ringan mencapai 2,4 juta ton di tahun 2013, tumbuh 7,1% per tahun, dengan konsumsi nasional mencapai 2,5 juta ton yang juga tumbuh 7,1%. Di sektor antara, seperti produk wire rod, selama tahun 2009-2013 produksinya tumbuh 5,0% per tahun dan pada tahun 2013 mencapai 1,2 juta ton ton. Tingkat produksi ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan nasional wire rod yang mencapai 1,4 juta ton pada tahun 2013. Selain itu, produk hot rolled coil/plates (HRC/P) juga menunjukkan perkembangan yang berarti. Konsumsi nasional produk HRC/P meningkat signifikan selama tahun 2009-2013 sebesar 20,8% per tahun, namun pertumbuhan produksi nasionalnya hanya sebesar 8,4% per tahun. Produksi HRC/P yang mencapai 3,7 juta ton di tahun 2013, baru dapat memenuhi 58,2% kebutuhan HRC/P nasional yang mencapai 6,2 juta ton. Selebihnya, kebutuhan HRC/Plates nasional dipenuhi melalui impor. Importasi produk HRC/P juga mengalami peningkatan signifikan dalam periode yang sama, sebesar 35,7% per tahun atau mencapai 2,6 juta ton di tahun 2013. Tingginya impor tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri bagi industri nasional yang memicu diambilnya tindakan pengamanan perdagangan dalam bentuk pengenaan BMTP dan BMAD. Sementara kebutuhan nasional akan produk hilir atau produk akhir besi baja semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri pengguna. Pada tahun 2013, konsumsi produk akhir besi baja mencapai 12,7 juta ton atau tumbuh 15,1% per tahun (Worldsteel Association, 2014). 21

Ribu Ton 25,000 Besi/Baja Kasar Ribu Ton 6,000 Besi Beton/Profile Ringan 20,000 5,000 15,000 10,000 5,000 6,727.3 6,873.1 6,154.8 13.2 1.5 2.2 2,092.5 2,402.0 2,175.2 4,064.4 4,338.5 4,669.5 9,161.5 3.8 3,817.7 5,347.6 10,806.4 5.5 4,876.6 5,935.2 4,000 3,000 2,000 1,000 2,053.6 1,899.2 1,958.9 9.9 17.2 5.5 32.4 53.8 54.0 1,862.5 1,910.4 2,031.2 2,454.0 2,328.1 8.3 7.0 60.2 65.0 2,270.0 2,402.1 0 2009 2010 2011 2012 2013 0 2009 2010 2011 2012 2013 Produksi Impor Ekspor Konsumsi Produksi Impor Ekspor Konsumsi Ribu Ton 3,000 Wire Rod Ribu Ton 14,000 HRC/ Plates 2,500 12,000 2,000 1,500 1,000 500 1,084.5 205.3 223.8 1,066.1 953.1 132.6 163.3 922.3 1,041.2 165.1 180.7 1,025.7 1,227.8 50.7 149.4 1,129.1 1,361.3 47.7 176.6 1,232.5 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 5,570.5 4,551.2 3,538.9 164.0 3,026.0 395.0 2,384.0 420.9 1,802.1 462.3 1,099.7 828.2 2,660.1 2,860.1 3,144.1 3,350.6 6,195.3 73.1 2,591.6 3,676.8 0 2009 2010 2011 2012 2013 0 2009 2010 2011 2012 2013 Produksi Impor Ekspor Konsumsi Produksi Impor Ekspor Konsumsi Gambar 3.2 Konsumsi dan Penguasaan Pasar Dalam Negeri Sumber: Kementerian Perindustrian (2014) 3.2 Perkembangan kinerja ekspor impor produk besi baja Dalam memenuhi kebutuhan konsumsi domestik, selain dipenuhi dari produksi nasional, produk besi baja juga diimpor dari berbagai negara. Selama tahun 2010-2014, secara total impor besi baja meningkat signifikan sebesar 10,4% per tahun mencapai 14,16 juta 22

ton atau senilai USD 12,65 miliar di tahun 2014. Namun, impor besi baja di tahun 2014 tersebut telah berkurang 11,95% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 16,04 juta ton atau senilai USD 14,40 miliar. Dari total produk besi baja impor tersebut, sebagiannya telah dan sedang dikenakan tindakan pengamanan berupa tindakan antidumping dan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard). Jumlah impor produk yang dikenakan tindakan pengamanan tersebut, secara kumulatif 2010-2014, mencapai 27% dari impor produk besi baja, yang terdiri dari 20% impor yang dikenakan BMAD dan 7% impor yang dikenakan BMTP. Komposisi Kinerja Impor Besi Baja (Kumulatif 2010-2014) Total Besi Baja yang tidak terkena TPP 73% Total Besi Baja yang terkena TPP 27% BMAD 20% BMTP 7% Gambar 3.3 Komposisi Kinerja Impor Besi Baja Sumber: BPS (2015), diolah Impor yang dikenakan BMAD beberapa diantaranya adalah produk HRC dan CRC. Impor HRC, secara kumulatif 2010-2014, mencapai 6,82 juta ton atau 37,77% dari impor besi baja yang dikenakan TPP. Impor HRC terus mengalami lonjakan signifikan sejak tahun 2010 hingga 2013. Namun demikian, impor HRC di tahun 2014 23

turun 14,60% dibanding tahun sebelumnya. Sementara impor CRC, secara kumulatif juga berperan besar terhadap impor besi baja, mencapai 19,26% dari impor besi baja yang dikenakan TPP atau sebesar 3,48 juta ton. Impor HRC melonjak signifikan di tahun 2010-2012, dan mulai turun di tahun 2013. Impor CRC di tahun 2014 juga turun signifikan 44,50% dibanding tahun 2013. Selain diimpor, besi baja juga diekspor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dunia. Tercatat selama tahun 2010-2014, eskpor besi baja turun 0,22% per tahun. Namun demikian, di tahun 2014 ekspor besi baja mencapai 2,27 juta ton atau meningkat signifikan 88,26% dibanding tahun 2013 yang mencapai 1,21 juta ton. Produk HRC, selain impornya meningkat signifikan, ekspornya juga memperlihatkan kinerja yang sama. Ekspor HRC meningkat meningkat 27,8% per tahun selama 2010-2014. Bahkan ekspornya di tahun 2014 meningkat drastis hingga mencapai 49,67 ribu ton atau naik 67,12% dibanding tahun 2013 yang hanya mencapai 29,72 ribu ton. 24

BAB IV. PENGAMANAN PERDAGANGAN PRODUK BESI BAJA DAN DAMPAKNYA 4.1 Kebijakan pengamanan perdagangan besi baja nasional Dalam rangka mengamankan dan menyelamatkan industri besi baja nasional, terutama terkait dengan impor besi baja, pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan. Salah satunya adalah mengendalikan impor produk besi baja melalui regulasi tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja (Permendag No.54/M- DAG/PER/12/2010 yang telah diubah menjadi Permendag No.08/M- DAG/PER/2/2012) maupun Ketentuan tentang Impor Baja Paduan (Permendag No.28/M-DAG/PER/6/2014). Selain itu, pemerintah juga menerapkan tindakan pengamanan berupa pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Permendag No.54/M-DAG/PER/12/2010 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja dimaksudkan untuk peningkatan tertib administrasi di bidang impor besi atau baja guna menciptakan perdagangan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. Peningkatan tertib administrasi tersebut dilakukan antara lain dengan pengaturan bahwa impor besi atau baja hanya dapat dilakukan oleh Importir Produsen (IP) Besi atau Baja dan Importir Terdaftar (IT) Besi atau Baja. IP-Besi atau Baja adalah perusahaan yang telah memiliki izin usaha industri atau izin usaha lainnya yang mengimpor Besi atau Baja untuk keperluan proses produksinya atau perusahaan yang telah memiliki izin usaha industri atau izin usaha lainnya yang mengimpor Besi atau Baja untuk digunakan sendiri sebagai pendukung keperluan proses produksinya atau kegiatan usahanya. Sementara IT-Besi atau Baja adalah perusahaan yang telah memiliki izin usaha yang mengimpor produk Besi atau Baja untuk disalurkan kepada perusahaan produsen atau pengguna akhir. 25

Selain itu, setiap impor besi atau baja oleh IP-Besi atau Baja atau IT-Besi atau Baja harus dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis impor terlebih dahulu oleh surveyor di pelabuhan muat sebelum dikapalkan. Verifikasi tersebut mencakup jenis dan jumlah barang, klasifikasi barang sesuai Pos Tarif/HS 10 (sepuluh) digit, dan pelabuhan tujuan. Terkait dengan tindakan trade remedies, pemerintah dengan aktif telah memberlakuan kebijakan trade remedies (antidumping, antisubsidi dan safeguard) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011. Dalam rangka melindungi kepentingan industri dalam negeri, dalam hal terjadi lonjakan impor, adanya pratik dumping (unfair trade), dan menyebabkan kerugian serius, dapat dilakukan tindakan pengamanan secara temporer berupa pengenaan tambahan bea masuk bagi porduk impor tersebut. Berdasarkan Agreement on Antidumping, negara anggota dapat menerapkan tindakan antidumping terhadap produk impor yang terbukti melakukan dumping, yakni harga impor berada di bawah harga normal value-nya serta menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian serius bagi industri dalam negeri. Pembuktian dilakukan melalui penyelidikan yang dilakukan oleh otoritas berwenang, dalam hal ini Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI). Bentuk tindakan antidumping tersebut berupa pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) yang ditetapkan kepada perusahaan negara asal impor selama 4 tahun, yang bisa diperpanjang hingga 4 tahun berikutnya melalui review. Selain pengenaan BMAD, tindakan trade remedies yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan BMTP terhadap impor produk besi baja. Berdasarkan Agreement of Safeguard, negara anggota dapat menerapkan safeguard (tindakan pengamanan) jika terjadi lonjakan impor, baik secara absolut maupun relatif, dan kondisi tersebut menyebabkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius 26

bagi industri dalam negeri produk sejenis atau produk yang secara langsung bersaing. Safeguard dapat diterapkan setelah dilakukan penyelidikan oleh otoritas berwenang, dalam hal ini Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dan dalam penyelidikan itu terbukti adanya kerugian serius yang dialami akibat terjadinya lonjakan impor. 4.1.1. Kebijakan Anti Dumping Sejak tahun 1997, Indonesia telah menaruh perhatian pada pengamanan produk besi baja nasional dengan mengenakan tindakan pengamanan pertama kali terhadap impor produk HRC yang berasal dari negara RRT, Ukraina, Rusia, dan India. BMAD tersebut dikenakan selama lima tahun dengan besaran 30% untuk RRT, 18-42% untuk Ukraina, dan 19-39% untuk Rusia, sementara BMAD untuk India dicabut. Dalam perkembangannya, produk HRC kembali dikenakan BMAD di tahun 2008, 2011, dan 2013. Pengenaan BMAD di tahun 2013 merupakan lanjutan dari pengenaan BMAD di tahun 2008 yang diperpanjang melalui sunset review. Selama enam tahun terakhir, perkembangan impor HRC menunjukkan masih adanya peningkatan meskipun telah dikenakan BMAD. Peningkatan impor tersebut mencapai 21,1% setiap tahunnya. Di tahun 2010, impor HRC naik 29,2% dibanding tahun 2009, volumenya mencapai 805,184 ton. Peningkatan yang lebih tinggi terjadi di tahun 2011 yang volumenya mencapai 1,2 juta ton atau meningkat 55,2% dibanding tahun sebelumnya. Volume impor HRC terus meningkat hingga mencapai 1,7 juta ton di tahun 2013. Baru kemudian di tahun 2014, impor HRC dapat ditekan meskipun masih mencatat jumlah yang tinggi, yakni 1,4 juta ton. 27

Dilihat dari sisi permintaannya, kebutuhan nasional atas HRC mencapai 3,6 juta ton di tahun 2014, jauh di atas produksi nasionalnya yang hanya mencapai 1,8 juta ton. Di sisi lain, capaian produksi HRC nasional tersebut baru memanfaatkan 60,0% dari kapasitas produksinya. Kurangnya pasokan dari dalam negeri ini menyebabkan tetap tingginya pemintaan terhadap HRC impor untuk memenuhi kebutuhan industri nasional, meskipun telah dikenakan BMAD. Ribu Ton 1.800 1.600 Volume Impor HRC HRC 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 0 Pengenaan BMAD thd impor asal Korsel dan Malaysia Pengenaan BMADthd impor asal RRT, India, Rusia, Taiwan, Thailand Perpanjangan pengenaan BMAD thd impor asal RRT, India, Rusia, Taiwan, Thailand 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Gambar 4.1 Kinerja Impor HRC Sumber: BPS (2015), diolah Sementara itu, produksi HRC di RRT mencapai 156,5 juta ton 13 melebihi kebutuhan domestiknya sehingga juga mampu memasok untuk kebutuhan dunia mengingat RRT merupakan negara penghasil HRC terbesar di dunia. Di bulan September 2014, RRT mampu memproduksi HRC sebesar 16,0 juta ton, naik 2,4% dibanding bulan yang sama 13 www.meps.co.uk, MEPS-HRC Quarterly Steel Data, diakses pada tanggal 24 Juni 2015 28

di tahun sebelumnya. Selama periode Januari-September 2014, total produksi HRCnya mencapai 137,6 juta ton, cenderung tidak berfluktuasi dibanding tahun sebelumnya 14. Tidak mengherankan jika kebutuhan nasional juga banyak dipasok oleh impor HRC asal RRT. Dalam perkembangannya, industri besi baja dalam negeri kembali menghadapi serangan produk impor dumping, khususnya untuk produk wire rod. Pada tahun 1998, Indonesia mengenakan BMAD atas impor produk wire rod yang berasal dari India dan Turki masing-masing sebesar 23% dan 9-13%. Tahun 1999, Indonesia kembali menetapkan pengenaan BMAD untuk tiga produk sekaligus, yakni besi mangan karbon & besi mangan silicon, tin plate, serta I & H section. Ribu Ton 140 120 H & I Section, dan Tin Plate periode pengenaan BMAD... 100 80 60 40 periode pengenaan BMAD... 20 0 Volume Impor H&I SECTION Volume Impor TIN PLATE 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Gambar 4.2 Kinerja Impor H & I Section, dan Tin Plate Sumber: BPS (2015), diolah 14 www.yieh.com, Steel News, diakses pada tanggal 24 Juni 2015 29

Di tahun 2010, impor I & H Section kembali dikenakan BMAD, selama lima tahun. Sejak dikenakannya BMAD tersebut, impor I & H section memperlihatkan penurunan yang berarti, hingga kembali mencapai titik terendahnya dalam enam tahun terakhir, yakni 44,316 ton setelah sempat mencapai 80,983 ton di tahun 2010. Sementara itu, tin plate juga kembali dikenakan BMAD di tahun 2014 selama lima tahun. Impor tin plate asal Korea Selatan, RRT, dan Taiwan dinilai mengandung dumping sehingga merugikan industri domestik. Kinerja impornya mencapai 113,112 ton di tahun 2014, meningkat 14,8%, dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 98,487 ton. Di tahun 2012 dan 2013, BMAD dikenakan atas impor HRP dan CRC masing-masing selama tiga tahun enam bulan untuk HRP dan 3 tahun untuk CRC. Kinerja impor selama periode pengenaan BMAD menunjukkan penurunan yang signifikan dan diperkirakan akan terus turun hingga berakhirnya pengenaan BMAD tersebut. Impor HRP berhasil ditekan hingga mencapai 357,373 ton di tahun 2014, turun signifikan 42,1% dibanding tahun 2013 yang mencapai 617,114 ton, atau turun 27,5% dibanding tahun 2011 yang mencapai 493,248 ton. Sementara impor CRC juga berhasil ditekan hingga mencapai 381,845 ton di tahun 2014, turun 44,5% dibanding tahun 2013 yang mencapai 688,036 ton. 30

Ribu Ton CRC dan HRP 1.000 800 600 400 periode pengenaan BMAD... 200 Volume Impor CRC Volume Impor HRP 0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Gambar 4.3 Kinerja Impor CRC dan HRP Sumber: BPS (2015), diolah Secara keseluruhan, pada tahun 2014, nilai impor produk yang dikenakan BMAD mencapai USD 1,6 miliar atau 2,3 juta ton. Nilai ini turun 27,5% dibanding tahun 2013 yang mencapai USD 2,3 miliar atau 3,2 juta ton. Turunnya nilai impor ini sebagai imbas dari penerapan BMAD setidaknya dalam lima tahun terakhir (2009-2013). Selama periode tersebut, impor produk yang dikenakan BMAD tumbuh ratarata 13% per tahun. Secara kumulatif, hingga tahun 2015, jumlah tindakan pengenaan BMAD atas impor produk besi baja nasional mencapai 12 tindakan, 5 tindakan dikenakan untuk produk akhir seperti CRC, tin plate dan I & H section; 6 tindakan dikenakan untuk produk antara seperti HRC dan wire rod; dan 1 tindakan dikenakan untuk produk hulu (besi mangan karbon dan silikon). Nilai kumulatifnya mencapai USD 11,6 31

miliar, atau 16,3% dari total impor besi baja. Nilai ini didominasi oleh impor HRC yang mencapai USD 5,3 miliar, atau 45,9% dari impor besi baja yang dikenakan BMAD. Komposisi Impor berdasarkan Produk 6% CRC 19% 26% H&I SECTION HRC 3% HRP 46% TIN PLATE Gambar 4.4 Komposisi Impor Besi Baja Terkena BMAD Sumber: BPS (2015), diolah Dari 12 tindakan anti dumping yang telah dikenakan oleh Indonesia, 8 diantaranya merupakan pengenaan impor produk besi baja asal RRT, diikuti oleh negara asal impor Taiwan (5 tindakan), Rusia dan Korea Selatan ( 4 tindakan), India (3 tindakan). Selain itu pangsa impor produk besi baja yang berasal dari kelima negara tersebut juga tinggi, nilainya mencapai 48,7% sementara volumenya mencapai 50,1% pada tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa RRT, Taiwan, Rusia, Korea Selatan, dan India merupakan negara pesaing utama untuk produk besi baja nasional di pasar dalam negeri. 32

4.1.2. Kebijakan Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) BMTP terhadap impor produk besi baja pertama kali diterapkan pada tahun 2009 untuk produk paku. BMTP dikenakan selama tiga tahun dengan besaran masingmasing tahun mencapai 145%, 115%, dan 85%. Pangsa impor untuk produk paku tersebut didominasi oleh antara lain Thailand (35,1%), RRT (22,7%), Taiwan (18,7%), dan Vietnam (16,2%). Ribu Ton 12.0 10.0 Paku Volume Impor Paku 8.0 6.0 4.0 periode pengenaan BMTP 2.0-2009 2010 2011 2012 2013 2014 Gambar 4.5 Kinerja Impor Paku Sumber: BPS (2015), diolah Selama periode pengenaan BMTP atas impor paku berlaku, kinerja impor paku berhasil ditekan secara signifikan. Impor paku pada tahun pertama pengenaan BMTP (tahun 2010) mencapai 2,576 ton atau turun sebesar 49,1% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 5,060 ton. Di tahun 2012 yang merupakan akhir periode pengenaan BMTP atas impor paku, volume impor telah turun 39,7% dibanding tahun 2009 atau menjadi 3,051 ton. 33

Namun demikian, impor paku kembali mengalami lonjakan tinggi pasca berakhirnya pengenaan BMTP. Di tahun 2013, impor paku mencapai 8,662 ton atau meningkat drastis 184,0% dibanding tahun sebelumnya, dan meningkat 71,2% dari tahun 2009. Peningkatan impor paku ini terus berlangsung hingga tahun 2014 mencapai 9,831 ton. Hal ini menunjukkan bahwa pengenaan BMTP pada paku sangat berpengaruh dalam menekan laju impor. Paku termasuk produk hilir yang tidak dapat bersaing dengan barang impor karena harga barang impor yang jauh lebih murah. Tingginya biaya produksi menyebabkan harga jual paku nasional cenederung lebih tinggi dibanding paku impor. Sebagian besar paku diproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik sehingga masuknya paku impor dengan harga yang murah membuat produsen paku kehilangan pasar utamanya. Selain paku, Indonesia juga mengenakan BMTP untuk empat produk besi baja sekaligus di tahun 2011, yakni kawat bindrant, kawat seng, tali kawat baja (steel wire rope), dan tali kawat baja lainnya. Pangsa impor untuk produk-produk tersebut didominasi terutama oleh RRT. Hal ini menegaskan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara sasaran bagi RRT untuk menyalurkan kelebihan produksi besi bajanya. Impor kawat bindrant mulai dikenakan BMTP sejak tanggal 23 Maret 2011 hingga 22 Maret 2014. Di tahun 2011, impor kawat bindrant sebesar 9,278 ton, turun 36,3% dibanding tahun sebelumnya. Sampai tahun 2013, impor kawat bindrant berhasil ditekan hingga mencapai 11,528 ton atau turun 20,8% dibanding impornya di tahun sebelum pengenaan BMTP (tahun 2010) yang mencapai 14,560 ton. 34

Namun demikian, sama halnya dengan paku, impor kawat bindrant kembali meningkat tajam pasca periode pengenaan BMTP. Impor kawat bindrant mencapai 43,550 ton di tahun 2014, atau naik 199,1% dari tahun 2010. Kawat Bindrat, Kawat Seng, dan Tali Kawat Baja Ribu Ton 50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0-2009 2010 2011 2012 2013 2014 Volume Impor Kawat Bindrat Volume Impor Tali Kawat Baja periode pengenaan BMTP Volume Impor Kawat Seng Gambar 4.6 Kinerja Impor Kawat Bindrant, Kawat Seng, dan Tali Kawat Baja Sumber: BPS (2015), diolah Sementara itu, impor kawat seng telah turun signifikan sejak masih dalam masa penyelidikan hingga awal pengenaan BMTP di tahun 2011, yakni mencapai 17,688 ton atau turun 35,4% dibanding tahun 2010 yang impornya mencapai 27,369 ton. Meskipun demikian, impor kawat bindrant kembali meningkat di tahun 2012, yang naik 5,2% dibanding tahun 2011. Impor kawat bindrant kembali memperlihatkan penurunannya yang signifikan di tahun 2013, yang turun 38,2% dibanding tahun 2012 atau turun 58,0% dari tahun 2010. 35

Di sisi lain, impor tali kawat baja (termasuk tali kawat baja lainnya) cenderung turun sejak tahun 2009, sebelum dimulainya penyelidikan oleh KPPI. Di tahun 2009, impor tali kawat baja mencapai 27,111 ton, kemudian turun 20,3% di tahun 2010 hingga mencapai 21,608 ton. Sejak pengenaan BMTP atas impor tali kawat baja tahun 2011, impornya terus tertekan hingga hanya mencapai 12,942 ton atau turun 40,1% dari tahun 2010. Penurunan impor ini terus berlangsung hingga tahun berikutnya, yang mencapai titik terendahnya selama lima tahun terakhir yakni sebesar 5,923 ton atau turun 54,2% dari tahun 2011. Namun demikian, di tahun 2013-2014, impor tali kawat baja kembali meningkat meskipun pengenaan BMTP masih berlangsung. Ribu Ton 7.0 6.0 5.0 Kawat Bronjong periode pengenaan BMTP... -2016 4.0 3.0 2.0 1.0 - Volume Impor Kawat Bronjong 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Gambar 4.7. Kinerja Impor Kawat Bronjong Sumber: BPS (2015), diolah Di tahun 2012, Indonesia mengenakan BMTP atas impor kawat bronjong. Impor kawat bronjong sejak tahun 2010 melonjak pesat dari 2,426 ton menjadi 5,696 ton di tahun 2011 dan 6,390 ton di tahun 2012. Sejak berlakunya 36

pengenaan BMTP di akhir 2012, impor kawat bronjong hingga kini terus memperlihatkan penurunan yang sginifkan. Impor kawat bronjong di tahun 2013 turun 13,0% dibanding tahun 2012, begitupun dengan impornya di tahun 2014 yang juga turun 13,8% dibanding tahun sebelumnya. Sementara di tahun 2013 dan 2014, BMTP dikenakan untuk impor BJLAS, casing dan tubing, serta HRC. Impor BJLAS meningkat sejak tahun 2009 dan peningkatannya terus berlangsung hingga tahun 2013 dengan tren sebesar 55,5% setiap tahun. Sementara peningkatan impor tertingginya terjadi di tahun 2010, yang naik signifikan mencapai 145,2% dari tahun sebelumnya. Sejak dikenakannya BMTP atas impor BJLAS di tahun 2013, impor BJLAS memperlihatkan penurunan yang berarti. Selama satu tahun berlakunya BMTP tersebut, impor BJLAS telah berhasil ditekan hingga menjadi 225,570 ton atau turun 30,0% dibanding impornya di tahun lalu yang mencapai 321,896 ton. Demikian halnya dengan kinerja impor casing dan tubing. Dalam masa awal pengenaan BMTP atas impor casing dan tubing, impornya turun drastis hingga hanya mencapai 18,914 ton atau turun 79,7% dibanding tahun 2013 yang mencapai 93,972 ton. Volume impor casing dan tubing di tahun 2014 tersebut merupakan titik terendahnya selama lima tahun terakhir. Di sisi lain, impor HRC masih menunjukkan peningkatan meskipun telah dikenakan BMTP sejak pertengahan tahun 2014. Selama enam tahun terakhir, impor HRC meningkat 105,3% setiap tahun. Volume impor HRC di tahun 2014 mencapai 605,668 ton, meningkat drastis dari impornya di tahun 2009 yang hanya sebesar 18,518 ton. 37