ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish)"

Transkripsi

1 PENYELESAIAN PERKARA ANTIDUMPING DI INDONESIA (Dalam Kasus Impor Terigu Asal Turki Oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish) JURNAL Oleh: HERI SUGIHARTOKO NPK : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2017

2 PENYELESAIAN PERKARA ANTIDUMPING DI INDONESIA (Dalam Kasus Impor Terigu Asal Turki Oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish) Heri Sugihartoko; Anggo Doyoharjo, SH.,MH; Puspaningrum, SH.,MH Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sebenarnya penerapan hukum antidumping di Indonesia atas Terigu Impor Asal Turki dan mengetahui hambatan-hambatan dalam penerapan hukum antidumping di Indonesia dilihat dari tinjauan pustaka Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif atau penelitian doktrinal. Pendekatan penelitian menggunakan jenis pendekatan perundangundangan dengan menggunakan legislasi dan regulasi Hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa berlarutnya-larutnya kasus dumping tepung terigu Turki oleh pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam menerapkan undang-undang maupun peraturan pemerintah mengenai antidumping khususnya dalam Pasal 27 PP No. 34 Tahun Kebijakan dalam menghadapi praktik dumping beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu memahami secara seksama ketentuan anti dumping di negara penuduh; melakukan kerjasama yang baik dengan penyidik negara pengimpor yang mencari fakta dilapangan; melakukan koordinasi dalam asosiasi produk yang bersangkutan dan mendapatkan berbagai informasi dari instansi terkait, serta selalu menggunakan tenaga konsultan hukum (lawyer) yang ahli di bidang antidumping; Penerapan hukum antidumping tersebut belum secara maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena sebenarnya masih terdapat kelemahan dalam pengaturan antidumping di Indonesia yaitu PP No. 34 Tahun 1996, baik mengenai jangka waktu yang dapat diberikan kepada Menteri Keuangan untuk dapat menerbitkan PMK sesuai dengan rekomendasi Menteri Perindustrian dan Perdagangan maupun mengenai kewenangan Menteri Keuangan. A. PENDAHULUAN Tingginya nilai impor terigu menjadikan Indonesia rentan terhadap impor terigu yang dijual dengan cara dumping. Bukti nyata adanya praktek dumping di Indonesia dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung No. 1

3 19/G/2012/PTUN-JKT, yang menunjukkan adanya keterlambatan penanganan pemerintah dalam penanganan praktek dumping sehingga Aptindo (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) harus melayangkan gugatan kepada pemerintah. Gugatan disebabkan rencana Kebijakan BAMD (Bea Masuk Anti Dumping) Terigu Turki sampai dengan tanggal 6 Nopember 2011 (4 bulan) dan juga Tergugat daslam hal ini Menteri Keuangan Republik Indonesia belum juga menerbitkan Keputusan tentang Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor tepung terigu Turki. BMAD yang tidak diterbitkan terhadap produsen-produsen terigu tepung gandum Impor asal Turki, menjadikan Menteri Keuangan telah melanggar asas kepastian hukum, dengan munculnya ketidakpastian khususnya dalam penegakan aturan impor tepung gandum sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 tentang Bea masuk Anti Dumping dan Bea masuk Imbalan. Akhirnya keputusan Mahkamah Agung No. 19/G/2012/PTUN-JKT memenangkan Tergugat dengan dalih Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan dalam menjalankan proses penetapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) telah didasarkan pada ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor: 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan ( PP No. 34/1996 ) yaitu Menteri Keuangan hanya menetapkan keputusan penetapan BMAD yang diusulkan oleh Menteri Perdagangan berdasarkan rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Kasus dalam pemutusan dumping disini sangat berbelit-belit dan butuh bertahun-tahun dalam menetapkan dumping dilihat dari gugatan pada tahun 2012 sedangkan kejadiannya sudah 31 Desember 2009 (putusan Mahkamah Agung No. 19/G/2012/PTUN-JKT), dan tahun hal ini sangat-sangat merugikan bangsa Indonesia, bahkan putusan Mahkamah Agung No. 19/G/2012/PTUN-JKT justru membatalkan gugatan Aptindo (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) 2

4 Penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut terkait antidumping di atas dalam penulisan skripsi yang berjudul PRAKTEK ANTIDUMPING DI INDONESIA (Kasus Impor Terigu Asal Turki Oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan yang menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. 1 Selain penelitian normatif, penelitian ini juga memakai jenis penelitian hukum empiris karena untuk mengidentifikasi praktek antidumping di Indonesia atas terigu impor asal Turki oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) (adanya praktik dumping bersumber dari Putusan MA No. 19/G/2012/PTUN-JKT) Bahan hukum primer dalam penelitian ini diperoleh dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim. Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum dari Direktori Putusan Mahkamah Agung (Penetapan No : 19/G/2012/PTUN-JKT) dan Undang-undang lain yang mendukungnya. Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka untuk mengkaji semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, seperti buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, termasuk eksplorasi atas karya tulis ilmiah yang berkaitan masalah hukum yang penulis teliti. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, dalam hal ini Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Umum Lengkap Inggris -Indonesia, Indonesia- Inggris serta Kamus Hukum. 1 Peter Mahmud Marzuki Penelitian Hukum. Kencana, Jakarta, hal

5 Data yang didapatkan dari penelitian kualitatif adalah data deskriptif yang berwujud rangkaian kata-kata bukan angka-angka, oleh karena itu analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif. Dalam analisis kualitatif tidak semata-mata mengungkap suatu gejala saja tetapi memahami gejala itu, tidak saja semata-mata bertujuan mengungkapkan kebenaran saja, tetapi memahami kebenaran itu. Artinya analisis kualitatif adalah usaha analisis berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk teks yang diperluas dan disusun secara sistematis. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Penerapan Hukum Antidumping di Indonesia terhadap Kasus Dumping Tepung Terigu Turki Penerapan ketentuan anti dumping dalam tata hukum Indonesia sangat esensial, karena Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat strategis sebagai market bagi produk impor, hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya produk impor yang beredar di Indonesia yang penjualannya dengan cara dumping.. a. Prosedur Permohonan Penyelidikan Kasus Tepung Terigu menurut Hukum Anti Dumping Indonesia Sebagaimana dalam kasus ini yang menjadi pemohon adalah industri dalam negeri yaitu PT Sriboga Ratu Raya, PT Eastern Pearl dan PT Panganmas Inti Persada yang memproduksi barang sejenis berupa tepung terigu (gandum) dengan nomor HS Ketiga industri dalam negeri tersebut merasa dirugikan akibat praktik dumping tepung terigu impor asal Turki, Srilanka dan Australia dengan nomor HS Sehingga ketiga industri dalam negeri tersebut mengajukan permohonan penyelidikan antidumping kepada KADI melalui APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia). Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) PP No. 34 Tahun 1996, Pasal 1 angka 1a dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/

6 Pemohon menyampaikan oleh KADI tidak langsung menyatakan permohonannya ditolak ataupun diterima. Pada tahap ini, KADI pertama-tama memeriksa kelengkapan data dan informasi yang tercantum pada formulir permohonan yang telah diisi pemohon berdasarkan Pasal 3, 4 dan 5 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001 sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya. Informasi informasi tersebut harus didukung oleh data yang berasal dari sumber yang dipercaya yang menunjukkan adanya dumping, kerugian dan hubungan kausal. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (3) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001 menyatakan bahwa dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan berdasarkan bukti yang diajukan. Berdasarkan PP No.34 tahun 1996 pasal 1 ayat 8 sesuai Article 5.4 Antidumping Code 1994, permohonan penyelidikan anti dumping yang diajukan oleh produsen industri dalam negeri harus memenuhi syarat sebagai permohonan yang diajukan oleh Industri Dalam Negeri atau mewakili Industri Dalam Negeri dan memenuhi syarat untuk dilakukan penyelidikan dalam hal-hal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001. Sesuai ketentuan tersebut, dalam kasus ini KADI menemukan bahwa total produksi barang sejenis (tepung terigu) dari pemohon (industri dalam negeri) sebesar 27,03% dari total produksi nasional dan pemohon menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan barang yang diduga dumping tersebut. Total produksi pemohon sebesar 27,03% telah memenuhi syarat untuk dapat diterimanya suatu permohonan penyelidikan karena permohonan pengajuan petisi dugaan dumping atas produk impor dapat dilakukan oleh satu perusahaan yang merasa dirugikan meski tidak mewakili hingga 50 persen industri domestik. Selanjutnya, 5

7 setelah permohonan memenuhi persyaratan dan data-data pemohon telah dinyatakan lengkap dan benar oleh KADI, maka pada tanggal 17 November 2008 tepatnya 30 hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar, KADI memberi keputusan menerima permohonan dan mengumumkan untuk dimulainya penyelidikan kasus tersebut. 2 Tindakan yang dilakukan KADI ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 10 PP No. 34 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa keputusan Komite untuk memulai penyelidikan terlebih dahulu diumumkan dan diberitahukan kepada Pihak yang Berkepentingan, ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996. Tanggal inisiasi (pengumuman) tersebut menjadi titik awal dihitungnya lamanya penyelidikan yaitu 12 bulan atau bisa diperpanjang menjadi 18 bulan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 11 PP No. 34 Tahun b. Penyelidikan oleh KADI Dalam penyelidikan KADI, untuk membuktikan ada atau tidak adanya barang dumping yang menyebabkan kerugian maka dapat mengacu pada Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 jo. Pasal 2 PP No. 34 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa Bea masuk antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya dan impor barang tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut. Jadi BMAD hanya dikenakan jika kriteria dalam pasal tersebut berhasil dibuktikan dalam penyelidikan. Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 jo. Pasal 2 PP No. 34 Tahun 1996, KADI dalam hal ini melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang tertuduh yakni 2 3 Ibid., Hlm. 2, Irwan, Mekanisme Penetapan BMAD, Warta Bea Cukai, Edisi 418, September 2009, hlm

8 Australia, Srilanka, dan Turki. Dalam penyelidikannya, KADI berhasil membuktikan bahwa pihak Petisioner mengalami kerugian Selain membuktikan adanya kerugian, KADI juga membuktikan adanya hubungan kausalitas (causal link) yang menunjukkan bahwa kerugian yang dialami Petisioner tersebut di atas disebabkan oleh dumping dari Turki, yang dibuktikan dengan terjadinya volume effect dan price effect. Dari dampak volume impor (volume effect), yang harus dihitung dalam periode tiga tahun (Oktober 2005 hingga Oktober 2008), terbukti hanya terigu Turki yang mengalami lonjakan signifikan, bahkan pada tahun 2008, pangsa pasarnya mencapai 35 persen. Sebaliknya, angka impor dari Australia dan Srilanka mengalami penurunan. Akhirnya KADI menyatakan dalam hasil penyelidikannya bahwa dari ketiga negara yang dituduh melakukan praktik dumping, hanya tepung terigu dengan Nomor HS yang berasal dari negara Turki yang terbukti melakukan praktik dumping yang menyebabkan kerugian secara nyata bagi industri dalam negeri barang sejenis di Indonesia khususnya bagi pihak Petisioner. Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, KADI telah menerapkan ketentuan antidumping dalam PP No. 34 Tahun 1996 untuk melakukan proses penyelidikan dan membuktikan bahwa tepung terigu impor yang berasal dari beberapa eksportir terigu di atas terbukti sebagai barang dumping yang merugikan Petisioner sebagai industri dalam negeri. c. Rekomendasi Penerapan BMAD oleh KADI dan Menteri Perdagangan Hasil penyelidikannya KADI menemukan adanya margin dumping sekitar 19,67% hingga 21,98% pada terigu-terigu yang diimpor dari Turki. Dan untuk menerapkan ketentuan pada Pasal 12 ayat (1) dan (2) PP No. 34 Tahun 1996 pada tanggal 28 Desember 2009 akhirnya KADI menyampaikan hasil akhir penyelidikan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan bahwa Tepung Terigu Impor asal Turki terbukti sebagai barang dumping yang menyebabkan 7

9 kerugian dan dari hasil akhir penyelidikan tersebut KADI juga menyampaikan besarnya Marjin Dumping tersebut serta mengusulkan (memberikan rekomendasi) pengenaan Bea Masuk Antidumping (BMAD) kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan. 4 Setelah mendapatkan hasil akhir penyelidikan dan rekomendasi dari KADI, Menteri Perindustrian dan Perdagangan memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan BMAD yang besarnya bisa sama dengan atau lebih kecil dari marjin dumping. Atas dasar hasil akhir penyelidikan Komite yang membuktikan adanya Barang Dumping dan/atau Barang Mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Menteri Perindustrian dan Perdagangan memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan yang besarnya sama dengan atau lebih kecil dari Marjin Dumping dan/atau Subsidi Neto. Menurut penulis, penerapan hukum antidumping tersebut belum secara maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena sebenarnya masih terdapat kelemahan dalam pengaturan antidumping di Indonesia yaitu PP No. 34 Tahun Dua hal yang menjadi penyebab berlarut-larutnya kasus ini yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut adalah mengenai jangka waktu dan penerimaan atau penolakan rekomendasi. Dalam hal jangka waktu, seharusnya PP tersebut mengatur tentang lamanya jangka waktu yang dapat diberikan kepada Menteri Keuangan untuk dapat menerbitkan PMK sesuai dengan rekomendasi Menteri Perindustrian dan Perdagangan terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar penyelesaian terhadap suatu kasus dumping tidak dilakukan berlarut-larut karena ada batasan waktunya sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan dan kerugian yang diderita dapat segera teratasi. 4 Buyung, Pemerintah Diminta Terapkan BMAD Kepada Terigu Turki, /01/28/pemerintah-diminta-terapkan-bmad-kepada-teriguturki/, diakses 15 Mei

10 Dalam hal penerimaan ataupun penolakan rekomendasi, seharusnya PP tersebut mengatur secara tegas tentang Menkeu menolak suatu rekomendasi dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan atau tidak. Hal ini perlu di atur secara tegas dalam ketentuan antidumping di Indonesia hanya untuk memperjelas mengenai tindakan yang harus dilakukan Menkeu setelah mendapatkan rekomendasi dari Mendag sehingga tidak akan menimbulkan salah penafsiran kewenangan oleh Menkeu, karena dalam kasus ini, tindakan Menteri Keuangan yang belum menerapkan pengenaan BMAD sampai saat ini dapat diartikan sebagai sikap penolakan untuk menetapkan BMAD terhadap importir terigu Turki, padahal secara tersirat Pasal 27 dapat diartikan bahwa Menkeu tidak dapat menolak atau menentukan lain daripada keputusan (rekomendasi) Mendag tersebut, karena Menkeu hanya menetapkan keputusan Menkeu sebagai otoritas fiskal di Indonesia apalagi rekomendasi pengenaan BMAD telah dikeluarkan oleh KADI dan Mendag. Harus disadari bahwa keberadaan perangkat hukum nasional khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 dalam mengantisipasi masalah dumping pada masa itu memang masih lemah. Akibatnya, menimbulkan kesulitan bagi Pemerintah terhadap upaya perlindungan hukum bagi produk domestik dari praktik dumping di dalam negeri sebagai bentuk dari penerapan hukum antidumping di Indonesia terutama dalam kasus praktik dumping terigu Turki ini. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 mempunyai kelemahan dalam mengimplementasikan peraturan, akhirnya Pemerintah menggantikan PP No. 34 Tahun 1996 tersebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun Di dalam PP No. 34 tahun 2011 ini sudah di atur mengenai pertimbangan dalam rangka kepentingan nasional dan lembaga yang mengkajinya dalam Pasal 25 ayat (1). Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat (4) dan (5), menyatakan bahwa dalam jangka waktu 45 hari sejak rekomendasi KADI diterima, 9

11 Menteri berhak memutuskan untuk menolak atau menerima rekomendasi KADI atas dasar pertimbangan kepentingan nasional. Selanjutnya, apabila rekomendasi diterima, maka dalam jangka waktu tersebut Menteri akan menyampaikan surat kepada Menteri Keuangan perihal pengenaan BMAD. Dengan adanya pengaturan national interest ini, diharapkan Menteri dapat mempertimbangkan kepentingan nasional di setiap pengambilan keputusannya tanpa mengesampingkan kepentingan industri dalam negeri yang dirugikan. Kemudian dalam pasal 27 ayat (1), Menteri Keuangan selanjutnya menetapkan besarnya tarif dan jangka waktu pengenaan BMAD sesuai dengan keputusan Menteri dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak diterimanya surat Menteri. 5 Dalam PP yang baru tersebut sebenarnya masih ada sedikit kelemahan, yaitu perihal sanksi, bisa saja Menkeu dalam praktiknya terhadap penyelesaian kasus yang lain mengulangi hal yang sama dengan tidak mau mengeluarkan PMK seperti kasus Terigu Turki ini, sehingga tindakan Menkeu akan dibiarkan begitu saja sementara industri dalam negeri sudah menderita kerugian. Namun, terlepas dari hal tersebut, lahirnya Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2011 ini setidaknya diharapkan mampu memperbaiki kekurangan yang ada pada pelaksanaan peraturan sebelumnya. Mengantisipasi praktik dumping dan lebih memaksimalkan kinerja Pemerintah dalam menerapkan hukum antidumping di Indonesia serta demi melindungi industri dalam negeri, maka sudah seharusnya ketentuan antidumping di Indonesia juga diatur oleh undang-undang tersendiri secara khusus dan substansinya harus diatur secara detail seperti dalam Antidumping Code 1994 namun tetap harus disesuaikan dengan kondisi dan kepentingan bangsa Indonesia tanpa melanggar prinsip-prinsip yang harus berlaku secara universal. Hal ini perlu dilakukan agar tindakan Pemerintah yang terkesan menggantungkan kasus dumping terigu Turki ini tidak akan terulang 5 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, Pasal 25 dan 27 ayat (1). 10

12 kembali dalam menyelesaikan kasus- kasus praktik dumping produk impor lainnya yang merugikan industri dalam negeri barang sejenis di Indonesia. 2. Hambatan Penerapan Hukum Antidumping Di Indonesia a. Dampak Apabila Kebijakan BMAD Terigu Turki Diterapkan atau Tidak Diterapkan Dampak apabila diterapkan kebijakan BMAD terigu Turki adalah sebagai berikut: 6 1) Negara mendapatkan penerimaan negara hasil pungutan bea masuk tersebut. 2) Industri yang mengalami kerugian dapat diobati injurynya akibat praktek dumping tersebut. 3) Berdampak positif pada iklim investasi di Indonesia, dikarenakan adanya kepastian hukum. 4) Pemerintah konsisten dalam memberikan perlindungan kepentingan industri dalam negerinya dari praktek curang pihak asing. 5) Pemerintah menjadi berwibawa di mata dunia Internasional karena menegakkan peraturan dengan sebenarnya. Dampak jika tidak diterapkan kebijakan BMAD terigu turki adalah sebagai berikut: 1) Praktek dumping adalah praktek predatory pricing, dimana bersifat sementara sampai pelaku dumping dapat membunuh pesaingnya dan dapat menguasai pasar, maka dia akan mengembalikan harganya ke harga normal bahkan bisa menentukan harga, apalagi dilakukan oleh pelaku asing. 2) Berdampak negatif kepada iklim investasi di Indonesia karena tidak ada kepastian hukum untuk berusaha. 3) Kolapsnya industri dalam negeri berdampak kepada pengangguran yang saat ini diklaim Bapenas kalau Indonesia 6 Petisi Bea Masuk Antidumping Terigu Turki, 20bmad%20terigu%20turki%20rangkuman.pdf, hlm. 3, diakses 15 Mei

13 tertinggi angka penganggurannya di negara Asean. 4) Menurut data APTINDO, Pemerintah kehilangan potensi pemasukan negara yg diperkirakan telah mencapai 150 Milyar sejak belum diterapkan oleh Menkeu paska rekomendasi Mendag. 5) UKM sebagai penyerap terigu domestik akan menderita karena kolapsnya industri dalam negeri yang selama ini membina mereka. Sampai saat ini kebijakan BMAD terigu impor asal Turki belum juga diterapkan dan dampak yang paling nyata akibat hal tersebut adalah PT Panganmas telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 37 karyawannya pada september Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka akan semakin banyak orang yang kehilangan pekerjaannya dan lama kelamaan akan berdampak pada matinya pasar industri terigu dalam negeri khususnya industri terigu skala kecil. b. Peningkatan Fungsi dan Peranan Pemerintah dalam Kebijakan Antidumping Dalam kasus dumping terigu Turki ini, produk terigu impor Turki sudah terbukti melakukan praktik dumping yang merugikan industri dalam negeri. Namun, pemerintah belum dapat mengeluarkan kebijakannya untuk dapat melindungi industri dalam negeri. Kebijakan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri harus dilakukan secara adil dan bijaksana sesuai dengan ketentuan antidumping yang berlaku di Indonesia. Meskipun Pemerintah dalam memutuskan pengenaan BMAD harus mempertimbangkan kepentingan nasional, pemerintah khususnya Menkeu juga harus memperhatikan bahwa ada banyak industri terigu dalam negeri yang dapat menderita kerugian akibat praktik dumping terigu Turki. Bahkan jika pemerintah tidak mengambil kebijakannya untuk melindungi industri terigu dalam negeri, maka konsekuensinya perlahan-lahan akan mematikan pasar industri terigu dalam negeri karena pasar dalam negeri akhirnya 12

14 dikuasai oleh barang impor. Keputusan yang diambil pemerintah pasti mempunyai konsekuensi masing-masing. Jika pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan pengenaan BMAD Terigu Turki hal ini dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri dan bukan merupakan aksi proteksionisme, karena pada dasarnya ketentuan antidumping dibuat untuk melindungi industri dalam negeri dari adanya praktik dumping dan baik pemerintah maupun industri dalam negeri dapat menyambut baik kehadiran produk impor asalkan perdagangannya di Indonesia dilakukan dengan cara yang sehat. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan : 1. Pelaksanaan hukum antidumping di Indonesia atas Terigu Impor Asal Turki terkait Putusan MA No. 19/G/2012/PTUN-JKT) yang berlarutlarut dikarenakan Apindo kurang cermat baik secara prosedural dan substansi, dimana materi gugatan ditujukan kepada Menteri Keuangan, seharusnya kepada Menteri Perindustrian Dan Perdagangan (Menperindag), karena Menteri Keuangan hanya menetapkan sedang yang menentukan besar nominal adalah Menperindag, sehingga gugatan Apindo ditolak. Pemerintah belum maksimal dalam menerapkan UU maupun PP Mengenai Antidumping, padahal rekomendasi Menperindag melalui mekanisme yang dibenarkan WTO dan PP No. 34 tahun 1994 serta kinerja KADI dalam melakukan penyelidikan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk memperoleh bukti bahwa produk import tersebut berindikasi Dumping yang merugikan industri domestik sehingga BMAD dapat di bebankan kepada Importir. 2. Penerapan hukum antidumping tersebut belum secara maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena sebenarnya masih terdapat kelemahan dalam pengaturan antidumping di Indonesia yaitu PP No. 34 Tahun 1996, baik mengenai jangka waktu yang dapat diberikan kepada Menteri Keuangan untuk dapat menerbitkan PMK sesuai dengan rekomendasi maupun mengenai kewenangan Menteri Keuangan perihal apakah Menkeu dapat menolak atau harus menerima rekomendasi Menperindag. 13

15 DAFTAR PUSTAKA Barutu, Christhophorus. Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007 Buyung, Pemerintah Diminta Terapkan BMAD Kepada Terigu Turki, /01/28/pemerintah-diminta-terapkanbmad-kepada-terigu-turki/, diakses 15 Mei Dewa Gede Pradnya Yustiawan, Perlindungan Industri dalam Negeri dari Praktik Dumping, (Tesis Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar 2011), Irwan, Mekanisme Penetapan BMAD, Warta Bea Cukai, Edisi 418, September 2009 Peter Mahmud Marzuki Penelitian Hukum. Kencana, Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, Pasal 25 dan 27 ayat (1). Petisi Bea Masuk Antidumping Terigu Turki, pdfs/petisi% 20bmad%20terigu%20turki%20rangkuman.pdf, hlm. 3, diakses 15 Mei

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1298, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Penyelidikan. Antidumping. Imbalan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/M-DAG/PER/12/2012

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 2010 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana negara-negara di dunia saat ini

Lebih terperinci

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 DUMPING

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia

Presiden Republik Indonesia PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa P E N E T A P A N NOMOR : 19/G/2012/PTUN-JKT. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA menyelesaikan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang memeriksa, memutus dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.969, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Bea Masuk Anti Dumping. Impor. Canai Lantaian. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150/PMK.011/2012 TENTANG PENGENAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 133, 2002 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan penyelidikan dumping terhadap perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum

Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. www.jamalwiwoho.com 1 RIWAYAT HIDUP IDENTITAS DIRI: Prof Dr. JAMAL WIWOHO,SH,MHum Magelang 8 Nopember 1962 Tempat tinggal: Jl Manunggal 1/43 Solo,

Lebih terperinci

Praktek Dumping. Abstraksi

Praktek Dumping. Abstraksi Praktek Dumping Oleh Drs. Djoko Hanantijo, MM (Dosen PNS dpk Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta) Abstraksi Dumping merupakan suatu bentuk diskriminasi harga. Untuk menangani masalah dumping dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003 TENTANG TATA CARA DAN PERYSARATAN PERMOHONAN PENYELIDIKAN ATAS PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PMK.010/2015 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PMK.010/2015 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR PRODUK PARTIALLY ORIENTED YARN (POY)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR PRODUK H SECTION DAN I SECTION DARI

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) (TINJAUAN TERHADAP GUGATAN INDONESIA KEPADA KOREA SELATAN DALAM PENGENAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhadapan dengan keterbatasan ketersediaan lahan pertanahan.

BAB I PENDAHULUAN. berhadapan dengan keterbatasan ketersediaan lahan pertanahan. 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan dari berbagai dinamika masyarakat, semakin tinggi pula tuntutan terhadap pembangunan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip prinsip hukum, maupun doktrin doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang sedang dihadapi. Penelitian

Lebih terperinci

(Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac

(Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac (Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac Anti dumping yang ada di Indonesia diatur dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dimana sebagai awal dari pada falsafahnya di ilhami dengan landasan perekonomian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka

Lebih terperinci

BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA

BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA A. Ketentuan Anti Dumping dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 Secara struktur General Agreement on

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

2 d. bahwa hasil pembahasan Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional telah memutuskan untuk mengenakan Tindakan Pengamanan Perdagangan berupa kuota terha

2 d. bahwa hasil pembahasan Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional telah memutuskan untuk mengenakan Tindakan Pengamanan Perdagangan berupa kuota terha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.579, 2014 KEMENDAG. Kuota. Pengamanan. Impor Tepung Gandum. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/M-DAG/PER/4/2014 TENTANG KETENTUAN PENGENAAN KUOTA

Lebih terperinci

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh: Ni Wayan Ella Apryani Ayu Putu Laksmi Danyathi Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau memiliki persamaan dengan penelitian doktrinal (doctrinal research).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGANN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN TENTANG. Tindakan. b. bahwaa. Komite. pengenaan. Indonesia (KPPI), Masuk.

MENTERI KEUANGANN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN TENTANG. Tindakan. b. bahwaa. Komite. pengenaan. Indonesia (KPPI), Masuk. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 193/PMK.011/2012 TENTANG PENGENAANN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN SEMENTARA TERHADAP IMPOR TEPUNG GANDUM

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan. 1

BAB III METODE PENELITIAN. membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan. 1 BAB III METODE PENELITIAN Metode adalah cara yang dipakai untuk mencapai tujuan. Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian dan membandingkan dengan standar

Lebih terperinci

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws INDIKASI PRAKTIK DUMPING MENURUT KETENTUAN PERUNDANGAN INDONESIA oleh Putu Edgar Tanaya Ida Ayu Sukihana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Indications Dumping Practices Legislation

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah terjadi perubahan

Lebih terperinci

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global DISUSUN OLEH : Wiji Pramadjati, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 A. Latar Belakang Proses globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tepung terigu dari waktu ke waktu semakin menjadi komoditi pangan penting di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tepung terigu semakin menguasai kebutuhan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Lelang menurut sejarahnya berasal dari bahasa latin yaitu action yang berarti

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. Lelang menurut sejarahnya berasal dari bahasa latin yaitu action yang berarti BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hak milik, atas suatu barang dapat diperoleh melalui berbagai macam cara, salah satu di antaranya membeli di pelelangan. Lelang sebagai suatu lembaga hukum mempunyai

Lebih terperinci

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017

Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Riati Anggriani, SH, MARS., M.Hum Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Pengawas Obat dan Makanan 6 Februari 2017 Agenda Sistem Pengawasan Badan POM Peraturan Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan

Lebih terperinci

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU 1. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa tugas pokok Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.32

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian Indonesia merupakan dampak positif dari era globalisasi dan pasar bebas. Hal ini menyebabkan persaingan ketat dalam dunia bisnis,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 23/PMK.011/2011 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR HOT ROLLED COIL DARI NEGARA REPUBLIK KOREA DAN MALAYSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO WTO (World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum bagi konsumen 1 bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen yang seharusnya dimiliki dan diakui oleh pelaku usaha 2. Oleh karena itu, akhirnya naskah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya dalam bidang perekonomian suatu negara dapat dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha dalam negeri

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 248/PMK.011/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 248/PMK.011/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 248/PMK.011/2014 TENTANG BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK MEMPRODUKSI BARANG

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2 KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2 PENDAHULUAN A. Latar belakang Hubungan dagang antar Negara yang di kenal dengan perdagangan internasional,

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PMK.010/2015 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PMK.010/2015 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR PRODUK SPIN DRAWN YARN (SDY) DARI

Lebih terperinci

KOMITE ANTI-DUMPING INDONESIA

KOMITE ANTI-DUMPING INDONESIA KOMITE ANTI-DUMPING INDONESIA Kuesioner Importir Penyelidikan Interim Review Atas Impor Produk Polyester Staple Fiber Yang Berasal Dari: Republik Rakyat Tiongkok Jawaban Dikirim ke : KETUA KOMITE ANTI

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. membuat masyarakat berlomba lomba untuk mendapatkan kehidupan yang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. membuat masyarakat berlomba lomba untuk mendapatkan kehidupan yang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan infraksturktur dan sumber daya manusia untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, baik materiil maupun spiritual

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan proses kegiatan berfikir dan bertindak logis, metodis, dan sistematis mengenai gejala yuridis, peristiwa hukum, atau fakta empiris yang terjadi, atau yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihan. Demikian juga dengan ancaman terhadap keamanan dunia. Akibatnya,

Lebih terperinci

2014, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Nega

2014, No Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Nega No.925, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Komite. Anti Dumping Indonesia. Organisasi. Tata Kerja. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/6/2014 TENTANG

Lebih terperinci

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H.

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. A. Latar Belakang PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. Proses globalisasi dalam berbagai bidang serta perkembangan teknologi dan informasi menimbulkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. sesuatu yang teratur (sistematis), sedangkan logi artinya ilmu yang berdasarkan

METODOLOGI PENELITIAN. sesuatu yang teratur (sistematis), sedangkan logi artinya ilmu yang berdasarkan III. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata metode dan logi. Metode artinya cara melakukan sesuatu yang teratur (sistematis), sedangkan logi artinya ilmu yang berdasarkan logika berpikir. Metodologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya dalam kegiatan pengangkutan udara niaga terdapat dua pihak, yaitu pengangkut dalam hal ini adalah perusahaan atau maskapai penerbangan dan pihak

Lebih terperinci

FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *)

FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *) FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *) Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, bahwa yang dimaksud

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

195/PMK.011/2010 PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR H SECTION DAN I SECTION DARI NEGARA

195/PMK.011/2010 PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR H SECTION DAN I SECTION DARI NEGARA 195/PMK.011/2010 PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR H SECTION DAN I SECTION DARI NEGARA Contributed by Administrator Tuesday, 23 November 2010 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 9 /BC/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 9 /BC/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 9 /BC/2012 TENTANG TATALAKSANA AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

HARMONISASI REGULASI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN SAFEGUARD DI INDONESIA

HARMONISASI REGULASI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN SAFEGUARD DI INDONESIA Abdurrahman Alfaqiih Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam, Jl. Gajah Mada, Simpang UIB Baloi Sei Ladi, Batam. Telp (0778) 74371111 Email: abdurrahman_alfaqiih@yahoo.com HARMONISASI REGULASI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya sumber daya, baik itu sumber daya manusia atau pun sumber daya alam. Dari aspek sumber daya alam, kekayaan yang dimiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA DI KAWASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan masyarakat, yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. 1 Yayasan

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan masyarakat, yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. 1 Yayasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Yayasan adalah salah satu gerakan civil society yang mucul dan berkembang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. 1 Yayasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD NRI 1945, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Gagasan

Lebih terperinci

2015, No Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Tata Cara Pelaksanaan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan Terte

2015, No Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Tata Cara Pelaksanaan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan Terte No.1430, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Bea Masuk. Ditanggung Pemerintah. Impor Barang. Bahan Tertentu. Tata Cara. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERUNDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI. NOMOR 546/MPP/Kep/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM BEA MASUK ANTI DUMPING

KEPUTUSAN MENTERI PERUNDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI. NOMOR 546/MPP/Kep/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM BEA MASUK ANTI DUMPING KEPUTUSAN MENTERI PERUNDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 546/MPP/Kep/7/2002 TANGGAL 24 JULI 2002 TENTANG PEMBENTUKAN TIM BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR TEPUNG TERIGU Menimbang : a. bahwa komoditi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, undang-undang yang mengatur asuransi sebagai sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, undang-undang yang mengatur asuransi sebagai sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi di Indonesia menunjukan pertumbuhan yang cukup pesat karena kebutuhan setiap orang tidak terlepas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu penelitian hukum dengan mengkaji bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Untuk memperoleh data atau bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian hukum dengan metode yang lazim digunakan dalam metode penelitian hukum dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 243, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang III. METODE PENELITIAN Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 30 A. Pendekatan Masalah

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12 /PUU-VII/2009 Tentang Undang-undang Kepabeanan (Sertifikat Registrasi Pabean) I. PEMOHON Philipus P. Soekirno bertindak untuk dan atas nama diri sendiri, baik selaku

Lebih terperinci

BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 3.1. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Sistem Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 196/PMK.11/21 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR POLYESTER STAPLE FIBER DARI NEGARA INDIA, REPUBLIK RAKYAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan merupakan lembaga keuangan yang sering muncul sengketa yang bersentuhan dengan hukum dalam menjalankan usahanya. Sengketa Perbankan bisa saja terjadi antar

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS

PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS Budi Nugroho Widyaiswara Muda Balai Diklat Keuangan Yogyakarta Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Kata

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Oleh: Daniel Mardika I Gede Putra Ariyana Hukum Perdata Fakultas

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.400, 2015 KEMENKEU. Bea Masuk. Antidumping. Imbalan. Pengamanan Perdagangan. Pengembalian. Pemungutan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

SALINAN MENTERI NOMOR DENGAN. Pembuatan. elektronika. barang. terhadap. impor. c. bahwa. telah memenuhi. Komponen. dan bahan. Bea Masuk.

SALINAN MENTERI NOMOR DENGAN. Pembuatan. elektronika. barang. terhadap. impor. c. bahwa. telah memenuhi. Komponen. dan bahan. Bea Masuk. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58/PMK. 011/2013 TENTANG BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN GUNA PEMBUATAN KOMPONEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2008 TENTANG PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP BARANG EKSPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN HUKUM

III. METODE PENELITIAN HUKUM 37 III. METODE PENELITIAN HUKUM Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,

Lebih terperinci

2015, No Menteri Perdagangan Nomor: 639/M-DAG/ SD/8/2015 tanggal 12 Agustus 2015 dan Surat Menteri Perdagangan Nomor: 799/M-DAG/SD/ 9/2015 tan

2015, No Menteri Perdagangan Nomor: 639/M-DAG/ SD/8/2015 tanggal 12 Agustus 2015 dan Surat Menteri Perdagangan Nomor: 799/M-DAG/SD/ 9/2015 tan No. 1843, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Bea Masuk. Anti Dumping. Impor. Bopet. Pengenaan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 221/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seharusnya dijaga, dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Semenjak berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disingkat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009) Pemerintah Indonesia

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR ls0!pmk.oll/2012 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR PRODUK CANAl LANTAIAN DARI BESI ATAU BAJA BUKAN PADUAN TIDAK DALAM GULUNGAN DARI NEGARA

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN TERTENTU DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWAS OBAT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci