BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO WTO (World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk menciptakan persaingan sehat dibidang perdagangan internasional bagi para anggotanya, dan juga untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan. 14 Pada sistem perdagangan bebas WTO terdapat 5 prinsip dasar yaitu perlakuan yang sama untuk semua anggota, pengikatan tarif, perlakuan nasional, perlindungan hanya melalui tarif, dan perlakuan khusus dan berbeda dari negara-negara berkembang. Pada perlindungan terhadap industri dalam negeri, ada pengecualian dari prinsip dasar yang diterapkan oleh WTO, yaitu antara lain tindakan anti dumping, subsidi dan tindakan safeguard. A. Antidumping Istilah Dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan internasional. Dumping adalah praktik dagang yang dilakukan oleh pengekspor dengan menjual komiditi di pasar internasional dengan harga 14 Bimo Wicaksono, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, diakses tanggal 27 Agustus 2014, wib

2 yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri,atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan prudusen pesaing di negara pengimpor. 15 Menurut Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), dumping adalah suatu bentuk diskriminasi harga, dimana misalnya seorang produsen menjual pada dua pasar yang berbeda atau dengan harga-harga yang berbeda, karena adanya penghalang tertentu antara pasar-pasar tersebut dan terdapat elastisitas permintaan yang berbeda antara kedua pasar tersebut. 16 Menurut beberapa sarjana, pengertian dumping adalah sebagai berikut 17 : a. Agus Brotosusilo : Dumping adalah bentuk diksriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengeskpor yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut. b. Muhammad Ashari : Dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diksriminasi harga, yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih 15 A F. Erawati dan J.S Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia (Jakarta: Proyek ELIPS,1996) hlm Binchoutan, Dumping dan Penetapan Antidumping, diakses 26 Agustus 2014, 10.46wib 17 Sukarmi, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-bayang Pasar Bebas, Cet.I (Jakarta : Sinar Grafika, 2002) hlm.25

3 rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga. 1. Dasar Hukum Antidumping Article VI General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1947 mengatur tentang ketentuan antidumping. Selanjutnya, sebagai upaya untuk mencegah praktik dumping, maka tanggal 30 Juni 1967 telah ditandatangani Antidumping Code oleh sekitar 25 peserta GATT termasuk Amerika Serikat. Code ini merupakan peraturan pelaksanaan antidumping dalam ketentuan GATT Selanjutnya dalam rangka mengimplementasikan penafsiran Article VI tersebut, maka dalam Putaran Tokyo disepakati Antidumping Code (1979) oleh 22 negara tanggal 12 April 1979, dan berlaku secara efektif sejak 1 Januari Code ini secara umum memuat prosedur atau tata cara pelaksanaan Article VI GATT melalui Agreement on Implemantion of Article VI GATT. Antidumping Code (1994) sebenarnya merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement yang ditandatangani bersama dengan Agreement Esthablishing The World Trade Organization (WTO) yang merupakan institusi yang bertujuan memajukan perdagangan dunia antarnegara-negara anggota WTO. Dengan demikian, kedudukan

4 Antidumping Code (1979) merupakan bagian integral dari Agreement Esthablishing WTO itu sendiri. 18 Sebagai salah satu negara yang merupakan bagian dari organisasi perdagangan dunia, Indonesia telah meratifikasi ketentuan GATT-WTO dengan keluarnya UU No. 7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang Pengesahan Agreement on Esthablishing the World Trade Organization (WTO), maka hasil keputusan yang berisi 28 persetujuan tersebut telah sah menjadi bagian dari peraturan per-uu-an nasional bagi negara peserta, termasuk persetujuan tentang antidumping. Salah satu yang menjadi perhatian Indonesia terhadap hasil persetujuan Putaran Uruguay adalah masalah antidumping yang diatur dalam Article VI GATT 1994, yang menyatakan bahwa setiap negara anggota GATT diperbolehkan untuk mengenakan tindakan antidumping. Tindakan itu dapat dikenakan terhadap barang impor yang dijual dengan harga ekspor di bawah nilai normal dari harga barang yang sama di pasar domestik negara pengimpor sehingga menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negara pengimpor. Untuk dapat melaksanakan tindakan antidumping, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum antidumping, baik berupa peraturan per-uu-an maupun komite antidumping. Beberapa peraturan yang mengatur tentang antidumping adalah sebagai berikut 1) UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan 18 Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia, Cet. I (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia 2004) hlm Muhammad Sood, Op. Cit., hlm :

5 2) UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang dalam Pasal diatur tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan. 3) UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 4) Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan 5) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 136.MPP/Kep/6/1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping Indonesia 6) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 172/MPP/Kep/6/1996 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping 7) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia 8) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 428/MPP/Kep/10/2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia. 9) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 261/MPP/Kep/9/1996 tentang Cara Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi.

6 2. Kriteria dan jenis dumping a. Kriteria Dumping Article VI GATT pada prinsipnya telah memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. Mengacu pada pengertian di atas, maka dumping dapat dikategorikan menjadi tiga unsur atau kriteria sebagai berikut 20 : 1. Produk dari suatu negara yang diperdagangkan oleh negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga normal 2. Akibat dari diskriminasi harga tersebut yang menimbulkan kerugian materil terhadap industri telah berdiri atau menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri 3. Adanya hubungan kausal antara penjual barang impor yang harganya lebih rendah dari harga normal sehingga terjadi kerugian yang diderita oleh negara pengimpor. b. Jenis dumping Dalam praktik perdagangan internasional, dumping ada beberapa jenis dan oleh para ahli ekonomi pada umumnya dapat diklasifikasikan atas 3(tiga) jenis, yaitu 21 : 1. Persistent dumping (diskriminasi harga internasional), yaitu kecenderungan monopoli yang berkelanjutan dari suatu pasar dalam 20Ibid., hlm Sukarmi, Op.Cit., hlm.40.

7 negeri untuk memperoleh keuntungan maksimum dengan menetapkan harga yang lebih tinggi di dalam negeri daripada diluar negeri 2. Predatory dumping, yaitu menjual barang di luar negeri lebih murah untuk sementara, sehingga dapat mematikan pesaing. Setelah memonopoli pasar maka harga kembali dinaikkan. 3. Sporadic dumping, yaitu menjual produk di luar negeri lebih murah secara sporadic karena kelebihan produksi di dalam negeri. Menurut Kindleberger dalam H.A.S. Natabaya, apabila dilihat dari segi dampak bagi konsumen dan industri dalam negeri pengimpor ada dua jenis dumping, yaitu 22 : 1. Dumping yang bersifat perampasan, bentuk seperti ini terjadi apabila perusahaan melakukan diskriminasi dan menguntungkan pembeli untuk sementara waktu dengan tujuan untuk menghilangkan saingan, setelah saingan tersingkir maka harga dinaikkan kembali. Bentuk dumping ini sangat merugikan produk industri dalam negeri negara pengimpor 2. Dumping yang terjadi secara terus menerus, bentuk dumping ini seperti pada dasarnya hanya akan menguntungkan konsumen negara pengimpor, karena hanya bersaing dengan produk impor lain. c. Implikasi dumping bagi negara pengimpor Pada dasarnya para pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan perdagangan internasional bertujuan untuk memperoleh keuntungan.untuk itu mereka harus mempunyai kemampuan dan ketrampilan manajerial yang 22H.A.S. Natabaya, Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Antidumping dan Implikasinya bagi Indonesia, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996), hlm.9.

8 prima serta memiliki konsep atau prinsip yang berlaku umum dalam perdagangan internasional yakni konsep keunggulan komparatif. Konsep keunggulan komparatif 23 adalah bahwa setiap negara akan memperoleh keuntungan jika ia menspesialisasikan pada produksi dan ekspor yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih murah, dan mengimpor apa yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih mahal. Selain itu harus juga memerhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dunia bisnis internasional dengan mengutamakan prinsip fairness. Prinsip fairness diutamakan dalam perdagangan internasional karena untuk menghilangkan praktek dumping dan subsidi. Prinsip fairness dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain kebijaksanaan tersebut justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. 24 Dalam ketentuan GATT-WTO prinsip fairness sangat diutamakan, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya praktik persaingan curang dalam perdagangan internasional. Namun pada kenyataannya hakikat yang dimaksud sering tidak diindahkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengutamakan prinsip keadilan. Tindakan persaingan antarpelaku ekonomi merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya persaingan curang baik dalam bentuk harga maupun bukan harga yang dikenal baik dengan istilah dumping. Dengan demikian, dumping 23 Hanif, Keunggulan Komparatif, diakses tanggal 27 Agustus 2014, 7.40 wib 24 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 120.

9 merupakan salah satu bentuk hambatan perdagangan non-tarif, yang berupa diskriminasi harga 25. Oleh karena itu, dalam perdagangan internasional, pada dasarnya dumping dilarang karena dianggap dapat merugikan perekonomian negara lain. Berdasarkan ketentuan yang dinyatakan dalam Article VI section (1) GATT 1947, ada dua unsur yang dapat disimpulkan, yaitu : a. Produk dari suatu negara yang diperdagangkan oleh negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga normal atau disebut dengan less than fair value (LTFV) b. Akibat dari diksriminasi harga tersebut menimbulkan kerugian material terhadap industri yang telah bediri atau menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri. Berdasarkan Article VI GATT 1947 diuraikan pengertian mengenai less than fair value atau di bawah harga normal, yaitu : 26 1) Jika harga ekspor produk yang diekspor dari satu negara ke negara lain kurang dari harga saing yang berlaku dalam pasar yang wajar, bagi produk sejenis itu ketika diperuntukkan bagi konsumsi di negara yang mengimpor, atau 2) Jika dalam hal tidak terdapat harga domestik, maka harga tersebut harus lebih rendah dari harga saing tertinggi dari barang sejenis yang diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau 25Ibid., hlm Christhophoborus Barutu, Ketentuan AntiDumping Subsidi dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO (Bandung : Citra Aditya Bakti,2007), hlm.40-41

10 dengan biaya produksi di negara asal ditambah jumlah yang sepantasnya untuk biaya penjualan dan keuntungan Berdasarkan Article VI GATT 1947 ada dua sebab akibat untuk melarang kegiatan dumping, yaitu dumping yang dilakukan oleh suatu negara yang menjual barang di negara lain dengan harga yang less than fair value (LTFV), dan perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian materil bagi negara pengimpor. Kerugian materil, artinya industri dalam negeri memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian seperti faktor penurunan penjualan, penurunan keuntungan, penurunan pangsa pasar, apabila salah satu saja faktor sudah dipenuhi, maka bisa dikatakan sebagai kerugian materil. Barang sejenis yang dimaksud yang dapat menimbulkan keugian materil adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang impor atau barang yang memiliki karakteristik menyerupai barang yang diimpor. Kedua sebab akibat tersebut dinyatakan dalam pasal tersebut memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. 3. Bea Masuk Antidumping Pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD) untuk menutup kerugian industri dalam negeri yang dianggap merupakan tindakan yang sudah seharusnya dilakukan. Apabila telah diputuskan pengenaan bea masuk

11 anti-dumping, pemungutannya tidak boleh diksriminatif. Pemungutannya harus dilakukan terhadap semua yang melakukan impor dumping yang menyebabkan kerugian. Jumlah bea masuk anti-dumping tidak akan melebihi selisih harga dumping dengan harga normal. Nilai normal ialah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. Ekspor barang perusahaan yang bersangkutan dapat dikenakan bea masuk anti-dumping (BMAD) oleh negara pengimpor maksimum sebesar margin dumping, yaitu selisih antara harga normal di pasar dalam negeri dan harga ekspor selama lima tahun dan dapat diperpanjang selama lima tahun lagi. 27 Pasal 9 WTO Agreement mengatur mengenai pengenaan bea masuk antidumping (BMAD). Dalam pasal ini dijelaskan tentang cara penentuan besaran BMAD, di antaranya, badan yang berwenang menentukan besaran BMAD. B. Tindakan Imbalan untuk Tindakan Subsidi (Countervailing Duties) Subsidi dalam perekonomian diartikan sebagai bantuan atau insentif yang diberikan pemerintah suatu negara kepada para pelaku ekonomi di negaranya. Bantuan tersebut dapat berupa keringanan dalam perpajakan dalam bentuk penangguhan pembebasan pembayaran pajak, bantuan berupa pembatasan bea masuk, atau tarif impor, bantuan berupa keringanan bunga kredit 27Ibid., hlm. 49.

12 perbankan, pemberian bonus uang kepada produsen ekspor untuk setiap volume produksi yang berhasil di ekspor yang dikenal dengan sebutan subsidi ekspor, bantuan biaya riset dan pengembangan teknologi, dan sebagainya. 28 Menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dinyatakan bahwa Subsidi adalah : 29 1) Setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan pemerintah baik langsung atau tidak langsung kepada perusahaan, industri, kelompok industri atau eksportir, dan 2) Setiap bentuk dukungan terhadap pendapat atau harga yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan impor dari atau ke negara yang bersangkutan yang dapat memberikan manfaat bagi penerimanya. Menurut Article 1 Agreement on Subsidies and Countervailing Measures GATT/WTO1994 dapat disimpulkan bahwa subsidi merupakan kontribusi finansial yang diberikan oleh pemerintah suatu negara kepada pelaku ekonomi berupa: a. Pemberian dana secara langsung oleh pemerintah seperti: hibah, pinjaman, penyertaan modal atau jaminan utang b. Penghapusan pendapatan atau tagihan pemerintah misalnya insentif fiscal, seperti memberikan keringanan atau penghapusan pajak c. Penyediaan barang atau jasa oleh pemerintah selain infrastruktur umum atau pembelian barang 28 Muhammad Sood, Op.Cit., hlm PP No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, Pasal 1 butir 5.

13 d. Melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan, atau memberikan kepercayaan pada badan swasta untuk melaksanakan fungsi sehubungan yang terkait, yang pelaksanannya berbeda dengan biasanya yang dilakukan oleh pemerintah 1. Dasar Hukum Tindakan Imbalan (Countervailing Duties 30 ) Subsidi pada dasarnya diberikan untuk mendukung pertumbuhan suatu industri, namun tindakan subsidi ternyata secara tidak langsung dapat merugikan negara tujuan ekspor. Dengan adanya subsidi harga barang semakin murah sehingga dapat menimbulkan persaingan yang tidak baik apabila barang tersebut masuk ke negara lain, untuk mencegah hal tersebut maka digunakanlah tindakan imbalan. Tindakan imbalan (countervailing duties) adalah tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor untuk perusahaan eksportir. Menurut UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdangangan pada Pasal 67 ayat (3) bagian d, tindakan imbalan bertujuan untuk mengatasi praktik perdagangan yang tidak sehat. Dalam Pasal 71 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, diatur juga mengenai kewajiban pemerintah untuk mengambil tindakan imbalan dalam rangka menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian industri dalam negeri. Subsidi diatur dalam Article XVI GATT Kemudian disatukan dalam Persetujuan tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan (Agreement on Subsidies 30Countervailing Duties adalah tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor untuk perusahaan eksportir.

14 and Countervailing Measures) tahun 1994 GATT-WTO (Article XVI), merupakan bagian dari hasil persetujuan dalam Perundingan Multilateral Putaran Uruguay pada Dalam tata hukum nasional, subsidi telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang kemudian diubah lagi dengan UU No. 17 Tahun Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Adapun norma sebagai peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) No. 261/MPP/Kep/6/1996 tentang Bea Masuk Imbalan. 2. Tujuan Pemberian Subsidi Menurut A. F. Elly Erawati, pemberian subsidi pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu : 31 a. Untuk mendorong pertumbuhan ekspor. Maksudnya ialah agar pengusaha yang memperoleh subsidi dapat memproduksi produknya dengan biaya yang lebih rendah atau murah, sehingga produk tersebut dapat di ekspor dengan harga yang dapat bersaing dengan produk serupa dari negara pengimpor dari negara pengimpor dari negara ketiga lainnya. b. Untuk mengurangi impor, artinya bahwa pemberian subsidi terhadap komponen produk tertentu yang diproduksi di dalam negeri mendorong 31 Muhammad Sood, Op.Cit., hlm. 190.

15 produsennya untuk tidak lagi membeli komponen produk serupa dari luar negeri. Meskipun demikian, subsidi seperti ini tidak menjamin bahwa produk lokal tersebut akan benar-benar baik kualitasnya dan rendah harganya dibandingkan dengan produk impor. 3. Penggolongan Subsidi Menurut Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (Article 3 Article 8) bahwa jenis subsidi meliputi : 32 a. Subsidi yang terlarang dalam Article 3 yaitu : 1) Kelompok subsidi yang diberikan kepada pelaksana ekspor misalnya subsidi ekspor (yang berhubungan dengan kinerja ekspor). Larangan subsidi ekspor ini tidak berlaku untuk negara yang tergolong sangat terbelakang, dan untuk negara berkembang dalam jangka waktu 8 tahun terhitung sejak berlakunya persetujuan WTO mengenai subsidi tersebut. 2) Kelompok subsidi yang diberikan untuk pemakaian produk lokal (penggunaan barang dalam negeri) sebagai pengganti produk impor. Larangan subsidi ini tidak berlaku bagi negara berkembang dalam jangka waktu 5 tahun, dan negara terbelakang selama jangka waktu 8 tahun sejak berlakunya persetujuan WTO b. Subsidi yang dapat terkena tindakan, Article 5 : Kelompok subsidi jenis ini adanya kemungkinan terkena sanksi apabila : 32 Ibid., hlm.196.

16 1) Mengakibatkan kerugian industri dalam negeri dari negeri yang mengimpor produk yang disubsidi tersebut 2) Menghilangkan atau merusak keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung yang seharusnya dinikmatinya oleh negara lain c. Subsidi yang tidak terkena tindakan,article 8 : Kelompok subsidi jenis ini meliputi : 1) Subsidi yang tidak spesifik 33. Subsidi yang tidak spesifik adalah subsidi yang khusus diberikan untuk riset dan pengembangan, subsidi untuk daerah miskin yang terbelakang dan bantuan yang ditujukan untuk proses adaptasi. 2) Subsidi berupa bantuan penelitian yang dilakukan oleh perusahaan, universitas, lembaga penelitian, sepanjang besarnya bantuan itu tidak melebihi 75% dari biaya penelitian industri. 3) Subsidi untuk wilayah yang terbelakang, sepanjang kriteria daerah terbelakang itu disusun secara objektif, transparan, dan eksplisit melalui peraturan per-uu-an dengan menggunakkan tolok ukur pembangunan ekonomi yang minimal terdiri dari faktor pendapatan per kapita, angka pengangguran 4) Subsidi untuk membantu penyesuaian fasilitas persyaratan lingkungan hidup sesuai dengan UU, sepanjang bantuan itu hanya untuk satu kali saja dan besarnya 20% dari biaya yang dibutuhkan. 33 Article 2 Agreement on Subsidies and Countervailing Measures

17 4. Kebijakan Pemberian Subsidi 34 Sesuai dengan tujuan pemberian subsidi, yaitu untuk merangsang kegiatan ekspor, maka pemerintah masih diperbolehkan memberikan subsidi kepada pelaku ekonomi sebatas subsidi tersebut untuk produk primer, misalnya untuk mendukung pengembangan produk pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sementara subsidi untuk produk non-primer, yaitu produk lain diluar pertanian, perikanan, dan kehutanan tidak diperbolehkan karena berindikasi menimbulkan dampak kerugian terhadap negara lain. Dalam usaha pemberian subsidi untuk mendorong pertumbuhan ekspor, pemerintah suatu negara wajib memberitahukan terlebih dahulu secara tertulis kepada para eksportirnya. Pemberitahuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi industri domestik negara pengimpor bagi subsidi produksi. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh pelapor adalah sebagai berikut : a. Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara tertulis b. Pemberitahuan harus berisi : 1) Jumlah produk yang diberikan subsidi 2) Nilai subsidi 3) Keadaan-keadaan yang dijadikan alasan diberikannya subsidi Kewajiban untuk memberitahukan dalam rangka melindungi industri domestik sebagaimana diatur dalam Article XVI, selain kurang mempunyai kekuatan hukum dan cenderung untuk tidak ditaati, ketentuan ini pun tidak 34 Christhophoborus Barutu, Op.Cit., hlm.200.

18 mempunyai kepastian hukum dan seolah-olah hanya merupakan anjuran saja. Ketentuan ini hanya menggambarkan bahwa subsidi yang diberikan kepada produsennya harus benar-benar beritikad baik. Apabila suatu negara enggan memberitahukan perlakuan subsidi yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara lain karena tidak ada sanksi hukum jika dilanggar, maka sanksi satusatunya adalah kemungkinan untuk dikenakan tindakan balasan oleh negara yang dirugikan. Begitu pula jika negara yang bersangkutan memberitahukan tentang adanya subsidi juga akan diancam dengan sanksi yang sama. Dengan tidak adanya kekuatan hukum mengenai kewajiban pemberitahuan tersebut, sehingga suatu negara cenderung tidak mempergunakan prosedur. C. Safeguard Tindakan pengamanan (safeguard) merupakan salah satu instrument kebijakan perdagangan yang hampir mirip dengan kebijakan antidumping dan anti subsidi. Ketiga-tiganya sama-sama diatur dalam WTO, dan sama-sama dapat dikenakan tarif bea masuk tambahan apabila menimbulkan kerugian terhadap negara pengimpor. 35 Berdasarkan persetujuan tentang Tindakan Pengamanan (Agreement on Safeguard) Article XIX of GATT 1994 bahwa tindakan pengamanan adalah tindakan yang diambil oleh pemerintah negara pengimpor untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri 35Ibid., hlm.213.

19 dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-Dag/Per/9/2008 bahwa Tindakan pengamanan (safeguard) adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural Dasar Hukum Tindakan Pengamanan Sebuah tindakan pengamanan (safeguard) memiliki beberapa ketentuan khusus yang dapat menentukan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebuah tindakan pengamanan ataukah tidak, adapun kreteria yang menjadi syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu: 37 a. Tindakan tersebut dilakukan pemerintah, sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk bertindak melakukan 36 Peraturan Menteri Perdagangan No.: 37/M-Dag/Per/9/2008 tentang Surat Keterangan Asal (Certificate Of Origin) terhadap Barang Impor yang dikenakan tindakan pengamanan, Pasal 1 ayat (2). 37 Pasal 1 Kepres No. 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor

20 pengaman industri dalam negerinya, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut. b. Terdapat kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar c. Tindakan tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri. d. Terdapat barang sejenis. Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud e. Terdapat barang yang secara langsung bersaing. Barang yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik. Pengaturan safeguard mengacu pada Article XIX GATT (Emergency Action on Imports of Particular Products) sebagaimana disempurnakan dengan Agreement on Safeguard Tindakan pengamanan (safeguard) juga diatur dalam sistem hukum Indonesia yaitu dalam Kepres No. 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor serta Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia

21 No. 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang Dikenakan Tindakan pengamanan (Safeguards). 2. Pengaturan Safeguard a. Sebelum Perundingan Uruguay Round : Berdasarkan Article XIX GATT 1947 bahwa salah satu syarat untuk melakukan tindakan pengamanan (safeguard) oleh negara-negara anggota WTO adalah untuk melindungi industri dalam negeri dan bersifat non diskrimnatif. Hal ini berarti bahwa tindakan safeguard melalui pembatasan impor diterapkan karena telah terjadi peningkatan produk impor, sehingga menimbulkan kerugian yang serius di dalam negeri (negara pengimpor). Dengan demikian, negara-negara pengekspor harus dibatasi aksesnya di pasar negara pengimpor. Selain itu, syarat lain adalah bahwa negara yang menghadapi negara pengimpor harus diberi kompensasi. b. Pasca Perundingan Uruguay Round 1) Pertemuan Punta del Este (Uruguay) Dengan dilaksanakan perundingan safeguard di Punta del Este (Uruguay) yang menyempurnakan ketentuan Article XIX GATT bertujuan untuk mencapai suatu perjanjian yang komprehensif yang pada gilirannya akan menyempurnakan aturan utama sistem perdagangan multilateral. Selanjutnya dapat dicatat bahwa deklarasi

22 Punta del Este juga menetapkan agar perjanjian dapat dicapai dalam negosiasi mengenai safeguard harus berdasarkan pada prinsip dasar dari GATT yang dalam hal ini menyangkut prinsip non diskriminasi. Prinsip non diskriminasi adalah prinsip utama yang menjadi dasar GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilaksanakan secara non diskriminatif. Yaitu untuk memperlakukan produk impor dan produk lokal secara sama dan most-favoured nation 38 untuk menerapkan tarif yang sama untuk setiap barang impor. GATT juga mengurus hambatan-hambatan non tarif yang diterapkan sebagai proteksi, contohnya adalah standar ramah lingkungan. Namun beberapa prinsip dalam GATT tidak mudah untuk diikuti karena dalam banyak hal perlu adanya perubahan pada kebijakan nasional untuk menerapkannya. Selain itu tidak mudah untuk menerapkan prinsip dan perlakuan yang sama kepada negara yang tidak sejajar. Kesulitan untuk mengikuti prinsip dan aturan GATT terutama dialami oleh negara berkembang. 2) Sidang Mid-Term review Montreal (Canada) 1988 Pada sidang Mid-Term Review di Montreal 1988 di Montreal, para menteri hanya memberikan petunjuk mengenai langka-langka perundingan safeguard yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar dari persetujuan umum yang bertujuan untuk mengembangkan 38 Most Favoured Nation adalah negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu

23 pengawasan safeguard dengan melakukan tindakan pembatasan serta selalu melakukan kontrol. Para menteri juga mengakui bahwa melalui persetujuan tersebut sebagai suatu hal yang sangat penting untuk memperkuatkan sistem GATT dalam rangka mengembangkan negosiasi perdagangan secara multilateral. 3) Sidang Tingkat Menteri di Brussels (Swedia) Desember Selanjutnya pada sidang tingkat Menteri di Brussels 1990, bidang safeguard masih memerlukan keputusan politis karena hal tersebut belum dapat diselesaikan dalam perundingan sebelumnya baik di Punta del Este maupun di Montreal. Beberapa masalah utama yang menjadi kontroversial adalah masalah penerapan safeguard secara selektif. Selain itu, masalah aturan permainan di bidang safeguard juga semakin jarang dilaksanakan karena syaratnya dianggap terlampau berat untuk dipenuhi. Oleh karena itu maka ada pemikiran untuk memberikan insentif dalam penggunaan safeguard dengan menambah syarat agar tidak melakukan tindakan pembalasan. Tindakan pengamanan (safeguard) dilakukan apabila suatu industri dalam negeri mengahdapi kesulitan karena membanjir produk impor. Namun bagi negara berkembang diberikan perlakuan khusus yang meringankan.

24 4) Hasil Akhir Perundingan Safeguard di Marrakech (Marroco) 1994 Dengan diselenggarakannya putaran akhir perundingan Uruguay Round di Marrakech (Marocco) 15 April 1994 akhirnya berhasil disepakati hasil persetujuan di bidang safeguard. Adapun ringkasan hasil perundingan di bidang safeguard adalah sebagai berikut : a) Safeguard adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang menimbulkan kerugian serius terhadap industri domestik. b) Negara berkembang khawatir akan adanya langkah yang semakin efektif. c) Ketentuan tentang safeguard dapat diterapkan secara provisional selama penyidikan apabila: 1. Ada bukti yang jelas bahwa peningkatan impor telah atau akan menimbulkan kerugian serius. 2. Apabila keterlambatan penerapan safeguard akan menimbulkan kerugian yang sulit diperbaiki. d) Ketentuan seperti pembatasan ekspor sukarela tidak boleh diterapkan. e) Safeguard tidak boleh diterapkan lebih dari 4 (empat) tahun kecuali bila masih perlu untuk mencegah kerugian dan industri yang terkena sedang dalam restrukturisasi.

25 f) Safeguard yang melebihi satu tahun harus dihapus bertahap dan jika melebihi 3 (tiga) tahun harus ditinjau dalam satu setengah tahun. g) Safeguard tidak dikenakan untuk negara berkembang apabila pangsa negara tersebut 3% (tiga persen) atau kurang dari total impor negara penerap safeguard dan apabila pangsa kolektif negara-negara berkembang 9% (sembilan persen) atau kurang dari total impor negara tersebut. Persetujuan di bidang Safeguard yang berakhir di Marrakech (Marocco) 15 April 1994 bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat sistem perdagangan internasional berdasarkan ketentuan GATT 1994 dengan pertimbangan yaitu: 1. Memperjelas dan memperkuat tata tertib GATT 1994, dan khususnya Article XIX GATT (Tindakan Darurat atas Impor Produk tertentu), untuk menegakkan kembali pengendalian multilateral tentang tindakan pengamanan, dan menghilangkan yang lolos dari pengendalian tersebut. 2. Pentingnya penyesuaian struktural dan kebutuhan untuk meningkatkan dan bukan membatasi persaingan dalam pasar internasional. 3. Pertimbangan lebih lanjut bahwa untuk tujuan ini, persetujuan menyeluruh yang dapat diterapkan oleh semua anggota berdasarkan prinsip-prinsip GATT Dengan dilaksanakan persetujuan di bidang safeguard maka setiap negera dapat

26 menerapkan tindakan pengamanan terhadap produk domestiknya apabila industri dalam negeri tidak mampu bersaing sehingga mengalami kerugian serius sebagai akibat membanjirnya produk impor. 3. Pelaksanaan Safeguard dalam Perdagangan Internasional Dalam ketentuan umum persetujuan tindak pengamanan (Agrement on Safeguard) dinyatakan bahwa perjanjian safeguard menerapkan peraturan untuk pelaksanaan tindakan pengamanan yang harus diartikan sebagai tindakan yang akan diatur dalam Article XIX GATT Penerapan tindakan pengamanan (safeguard) dimaksudkan untuk melindungi produk industri dalam negeri dari lonjakan atau membanjirnya produk impor yang merugikan atau mengancam kerugian industri dalam negeri.adapun syarat-syarat penerapan safeguard sebagaimana dijelaskan dalam Article 2 Agreement on Safeguard adalah sebagai berikut: a. Anggota dapat memohon tindakan pengamanan atas suatu produk jika produk yang diimpor ke dalam wilayah dalam jumlah demikian rupa, mengancam produk sejenis dalam negeri, sehingga menyebabkan kerugian serius bagi industri dalam negeri yang memproduksi produk sejenis atau produk yang langsung. b. Tindakan safeguard akan diterapkan pada produk yang diimpor tanpa dilihat dari sumbernya. Kebijakan penerapan tindakan pengamanan (safeguard) oleh negara pengimpor dilaksanakan melalui beberapa tahapan

27 antara lain melakukan penyidikan dan pembuktian, menentuan adanya kerugian atau ancaman kerugian, dan penerapan tindakan pengamanan:

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana negara-negara di dunia saat ini

Lebih terperinci

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 34/1996, BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN *34762 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 34 TAHUN 1996 (34/1996) Tanggal: 4 JUNI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION Oleh : A.A. Istri Indraswari I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Protection

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2011 2010 TENTANG TINDAKAN ANTIDUMPING, TINDAKAN IMBALAN, DAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang berkembang sangat pesat. perhatian dunia usaha terhadap

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR TUNGGAL ASEAN BERDASARKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

BAB II KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR TUNGGAL ASEAN BERDASARKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) BAB II KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR TUNGGAL ASEAN BERDASARKAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) A. Sejarah Perdagangan Bebas Perdagangan adalah kegiatan transaksi barang

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2

KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2 KAJIAN YURIDIS KEBIJAKAN ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 2 PENDAHULUAN A. Latar belakang Hubungan dagang antar Negara yang di kenal dengan perdagangan internasional,

Lebih terperinci

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Dumping dan Anti Dumping Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 DUMPING

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 133, 2002 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO

BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO BAB II KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT WTO A. Sejarah Terbentuknya GATT WTO Pada akhir Perang Dunia II, negara-negara pemenang Perang Dunia II berupaya menciptakan berbagai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum

Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum Disampaikan Oleh : Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. www.jamalwiwoho.com 1 RIWAYAT HIDUP IDENTITAS DIRI: Prof Dr. JAMAL WIWOHO,SH,MHum Magelang 8 Nopember 1962 Tempat tinggal: Jl Manunggal 1/43 Solo,

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini

Bab I. Pendahuluan. adalah akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya (optimum profit). Tujuan ini Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional merupakan salah satu kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Kebijakan ekonomi internasional dalam arti luas semua kegiatan ekonomi pemerintah suatu negara yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi,

Lebih terperinci

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws

Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws INDIKASI PRAKTIK DUMPING MENURUT KETENTUAN PERUNDANGAN INDONESIA oleh Putu Edgar Tanaya Ida Ayu Sukihana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Indications Dumping Practices Legislation

Lebih terperinci

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) BAHAN KULIAH PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 PRINSIP-PRINSIP

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1298, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Penyelidikan. Antidumping. Imbalan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/M-DAG/PER/12/2012

Lebih terperinci

Praktek Dumping. Abstraksi

Praktek Dumping. Abstraksi Praktek Dumping Oleh Drs. Djoko Hanantijo, MM (Dosen PNS dpk Fakultas Ekonomi Universitas Surakarta) Abstraksi Dumping merupakan suatu bentuk diskriminasi harga. Untuk menangani masalah dumping dibentuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 84 TAHUN 2002 TENTANG TINDAKAN PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN IMPOR PRESIDEN Menimbang : a. bahwa pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka

Lebih terperinci

ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish)

ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form Turkish) PENYELESAIAN PERKARA ANTIDUMPING DI INDONESIA (Dalam Kasus Impor Terigu Asal Turki Oleh Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) ANTIDUMPING CASE SETTLEMENT IN INDONESIA (In Case wheat flour import form

Lebih terperinci

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947 BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 6 GENERAL AGREEMENT on TARIFF and TRADE (GATT) A. Sejarah GATT Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS

PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS PERLINDUNGAN INDUSTRI DOMESTIK DALAM PERDAGANGAN BEBAS Budi Nugroho Widyaiswara Muda Balai Diklat Keuangan Yogyakarta Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Kata

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia

Presiden Republik Indonesia PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1996 TENTANG BEA MASUK ANTIDUMPING DAN BEA MASUK IMBALAN Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa berdasarkan Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-undang

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR PRODUK H SECTION DAN I SECTION DARI

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2/PMK.010/2018 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK I DAN H SECTION DARI BAJA PADUAN LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan yang sangat tajam. Para pelaku pasar di satu negara berlomba-lomba

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan yang sangat tajam. Para pelaku pasar di satu negara berlomba-lomba BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan internasional dalam era global dewasa ini telah mengalami peningkatan yang sangat tajam. Para pelaku pasar di satu negara berlomba-lomba untuk mendapatkan

Lebih terperinci

PRINSIP WTO IKANINGTYAS

PRINSIP WTO IKANINGTYAS PRINSIP WTO IKANINGTYAS PERLAKUAN YANG SAMA UNTUK SEMUA ANGGOTA (MOST FAVOURED NATIONS TREATMENT-MFN). Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang dibuat atau ditandatangani

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KOMODITI EKSPOR INDONESIA ATAS TUDUHAN DUMPING

JURNAL ILMIAH PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KOMODITI EKSPOR INDONESIA ATAS TUDUHAN DUMPING i JURNAL ILMIAH PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KOMODITI EKSPOR INDONESIA ATAS TUDUHAN DUMPING BERDASARKAN KETENTUAN AGREEMENT ON THE IMPLEMENTATION OF ARTICLE VI GATT 1994 Oleh : AHMAD URVAFI D1A0121025 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan

BAB V PENUTUP. 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula. pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sengketa dagang antara Indonesia dan Korea Selatan bermula pada saat KTC mengajukan petisi anti dumping dan melakukan penyelidikan dumping terhadap perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003 KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85/MPP/Kep/2/2003 TENTANG TATA CARA DAN PERYSARATAN PERMOHONAN PENYELIDIKAN ATAS PENGAMANAN INDUSTRI DALAM NEGERI DARI AKIBAT LONJAKAN

Lebih terperinci

(Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac

(Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac (Suci Hartati, SH, M.Hum) Abstrac Anti dumping yang ada di Indonesia diatur dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dimana sebagai awal dari pada falsafahnya di ilhami dengan landasan perekonomian

Lebih terperinci

Membantu Indonesia Menyediakan Perlindungan terhadap Praktik Perdagangan yang Tidak Adil dan Lonjakan Impor

Membantu Indonesia Menyediakan Perlindungan terhadap Praktik Perdagangan yang Tidak Adil dan Lonjakan Impor RI N G K ASA N KEG IATA N MARET 20 22, 2017, JAKARTA TPSA CANADA INDONESIA TRADE AND PRIVATE SECTOR ASSISTANCE PROJECT Membantu Indonesia Menyediakan Perlindungan terhadap Praktik Perdagangan yang Tidak

Lebih terperinci

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI

Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional. By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI Kebijakan Ekonomi & Perdagangan Internasional By: Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI Tindakan/ kebijakan ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Sejarah WTO World Trade Organization (WTO) adalah suatu organisasi perdagangan antarbangsabangsa dengan

Lebih terperinci

BAB III TINDAKAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH NEGARA UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DARI TINDAKAN SUBSIDI NEGARA ASAL BARANG

BAB III TINDAKAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH NEGARA UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DARI TINDAKAN SUBSIDI NEGARA ASAL BARANG BAB III TINDAKAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH NEGARA UNTUK MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DARI TINDAKAN SUBSIDI NEGARA ASAL BARANG D. Pengertian Industri Dalam Negeri Istilah industri sering diidentikkan

Lebih terperinci

Kata Kunci: Dumping, price undertaking, KADI, UMKM, BMAD.

Kata Kunci: Dumping, price undertaking, KADI, UMKM, BMAD. DAMPAK DUMPING TERHADAP USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM): Suatu Kajian Dalam Perspektif Hukum Dagang Internasional Oleh. IKARINI DANI WIDIYANTI 1 Abstrak Praktek Dumping termasuk Unfair Bussiness Practices.

Lebih terperinci

2 Perdagangan, yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap impor produk steel wire rod; d. bahwa dalam rangka menindaklanjuti hasil penyeli

2 Perdagangan, yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap impor produk steel wire rod; d. bahwa dalam rangka menindaklanjuti hasil penyeli BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1184, 2015 KEMENKEU. Steel Wire Rod. Impor Produk. Pengamanan. Bea Masuk. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 155/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA

Lebih terperinci

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KEBIJAKAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Rikky Herdiyansyah SP., MSc Pengertian Kebijakan Ek. Internasional Tindakan/ kebijakan ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PMK.010/2015 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PMK.010/2015 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK I DAN H SECTION DARI

Lebih terperinci

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh: Ni Wayan Ella Apryani Ayu Putu Laksmi Danyathi Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global DISUSUN OLEH : Wiji Pramadjati, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 A. Latar Belakang Proses globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lazim disebut globalisasi ekonomi. Proses globalisasi ekonomi adalah

BAB I PENDAHULUAN. yang lazim disebut globalisasi ekonomi. Proses globalisasi ekonomi adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia sekarang sedang mengalami perubahan yang disebut globalisasi. Globalisasi tersebut terjadi diberbagai aspek, salah satunya pada aspek ekonomi yang lazim disebut

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 427 /MPP/Kep/10/2000 T E N T A N G KOMITE ANTI DUMPING INDONESIA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan perdagangan internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World

BAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization ditandatangani para

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN SAFEGUARD MEASURES PADA PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL

LAPORAN AKHIR ANALISIS KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN SAFEGUARD MEASURES PADA PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL LAPORAN AKHIR ANALISIS KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN SAFEGUARD MEASURES PADA PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL PUSAT KEBIJAKAN KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *)

FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *) FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *) Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, bahwa yang dimaksud

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI DISPUTE SETTLEMENT BODY (DSB) WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) (TINJAUAN TERHADAP GUGATAN INDONESIA KEPADA KOREA SELATAN DALAM PENGENAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.969, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Bea Masuk Anti Dumping. Impor. Canai Lantaian. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150/PMK.011/2012 TENTANG PENGENAAN

Lebih terperinci

DAMPAK DUMPING TERHADAP UMKM (USAHA MIKRO,KECIL DAN MENENGAH):Suatu kajian dalam perspektif Hukum Dagang Internasional. Oleh Ikarini Dani Widiyanti*

DAMPAK DUMPING TERHADAP UMKM (USAHA MIKRO,KECIL DAN MENENGAH):Suatu kajian dalam perspektif Hukum Dagang Internasional. Oleh Ikarini Dani Widiyanti* 1 DAMPAK DUMPING TERHADAP UMKM (USAHA MIKRO,KECIL DAN MENENGAH):Suatu kajian dalam perspektif Hukum Dagang Internasional Oleh Ikarini Dani Widiyanti* 2 Abstrak Dampak Dumping Terhadap UMKM (Usaha Mikro,Kecil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGANN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN TENTANG. Tindakan. b. bahwaa. Komite. pengenaan. Indonesia (KPPI), Masuk.

MENTERI KEUANGANN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN TENTANG. Tindakan. b. bahwaa. Komite. pengenaan. Indonesia (KPPI), Masuk. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 193/PMK.011/2012 TENTANG PENGENAANN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN SEMENTARA TERHADAP IMPOR TEPUNG GANDUM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN MATA UANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN MATA UANG BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN MATA UANG 2.1. Perjanjian Peningkatan dan perkembangan interaksi antarmanusia di dalam masyarakat baik dari segi kuantitas maupun

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108/PMK.011/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108/PMK.011/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108/PMK.011/2013 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK CASING DAN TUBING

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRODUK BERAS DALAM NEGERI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. Oleh: Angelliyen

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRODUK BERAS DALAM NEGERI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. Oleh: Angelliyen PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRODUK BERAS DALAM NEGERI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL Abstact Oleh: Angelliyen Pembimbing: Maria Maya Lestari, SH., MSC., MH Ledy Diana, SH., MH Alamat: Jl.

Lebih terperinci

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H.

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. A. Latar Belakang PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. Proses globalisasi dalam berbagai bidang serta perkembangan teknologi dan informasi menimbulkan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 BAHAN KULIAH WORLD TRADE ORGANIZATION Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 SEJARAH TERBENTUKNYA GATT (1) Kondisi perekonomian

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN PERDAGANGAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BELARUS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96/PMK.011/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96/PMK.011/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96/PMK.011/2014 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK BENANG KAPAS SELAIN

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH:

SKRIPSI. Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum OLEH: PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN (SAFEGUARD) DITINJAU DARI UU NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Lebih terperinci

BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA

BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA BAB III KETENTUAN ANTI DUMPING DALAM GATT DAN KETENTUAN ANTI DUMPING DI INDONESIA A. Ketentuan Anti Dumping dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 Secara struktur General Agreement on

Lebih terperinci

UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA)

UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA) Copyright 2002 BPHN UU 7/1994, PENGESAHAN AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PERSETUJUAN PEMBENTUKAN ORGANISASI PERDAGANGAN DUNIA) *8581 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa

BAB III PENUTUP. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa 64 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan penyelesaian sengketa DSB WTO dalam

Lebih terperinci

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU

UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU UPAYA MENGURANGI POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI PENYIMPANGAN IMPOR CBU 1. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa tugas pokok Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.32

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari RESUME Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari penandatanganan Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) oleh pemerintahan Indonesia yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL (CERTIFICATE OF ORIGIN) UNTUK BARANG EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.64, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Bea Masuk Anti Dumping. Impor. Canai Lantaian. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PMK.011/2014 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 978, 2013 KEMENKEU. Bea Masuk. Impor. Canai Lantaian. Pengenaan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 137.1/PMK.011/2014 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan dunia perdagangan tidak dapat dilepaskan dari pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang lainnya yang pelaksanaannya dititikberatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. Dumping merupakan suatu kebijakan negara atau perusahaan dari suatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING. Dumping merupakan suatu kebijakan negara atau perusahaan dari suatu BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUMPING A. Pengertian Dumping Dumping merupakan suatu kebijakan negara atau perusahaan dari suatu negara untuk menjual produk di luar negeri dengan harga yang lebih rendah

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi 329 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam periode September 1994 - Oktober 2009 terbukti telah terjadi banjir impor bagi komoditas beras, jagung dan kedele di Indonesia, dengan tingkat tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 1. perubahan perilaku konsumsi dan transaksi dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 1. perubahan perilaku konsumsi dan transaksi dan sebagainya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat saat ini, secara sadar memahami bahwa dalam pola hidup bermasyarakat, penegakan hukum sangat berperan penting, tidak hanya mengatur bagaimana manusia berperilaku,

Lebih terperinci

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA

SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA SISTEM PENETAPAN NILAI PABEAN (CUSTOMS VALUATION) YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Sunarno *) Pendahuluan Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung Bea Masuk. Pasal 12 UU

Lebih terperinci

195/PMK.011/2010 PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR H SECTION DAN I SECTION DARI NEGARA

195/PMK.011/2010 PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR H SECTION DAN I SECTION DARI NEGARA 195/PMK.011/2010 PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR H SECTION DAN I SECTION DARI NEGARA Contributed by Administrator Tuesday, 23 November 2010 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ISLAM PAKISTAN TENTANG KEMITRAAN EKONOMI

Lebih terperinci

2 Perdagangan, yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap impor produk coated paper dan paper board; d. bahwa dalam rangka menindaklanjuti

2 Perdagangan, yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap impor produk coated paper dan paper board; d. bahwa dalam rangka menindaklanjuti BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1308, 2015 KEMENKEU. Pengamanan. Impor. Coated Paper. Paper Board. Bea Masuk. Pengenaan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 165/PMK.010/2015 TENTANG

Lebih terperinci

57/PMK.011/2011 PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK KAWAT BINDRAT

57/PMK.011/2011 PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK KAWAT BINDRAT 57/PMK.011/2011 PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK KAWAT BINDRAT Contributed by Administrator Wednesday, 23 March 2011 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS ATAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI PERATURAN NASIONAL DIKAITKAN DENGAN UPAYA SAFEGUARDS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION T E S I S SYLVIANA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PMK.010/2015 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PMK.010/2015 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK ANTI DUMPING TERHADAP IMPOR PRODUK SPIN DRAWN YARN (SDY) DARI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.666, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Bea Masuk. Impor. Anti Dumping. Polyester Staple Fiber. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73/PMK.010/2016 TENTANG PENGENAAN BEA

Lebih terperinci

2 d. bahwa hasil pembahasan Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional telah memutuskan untuk mengenakan Tindakan Pengamanan Perdagangan berupa kuota terha

2 d. bahwa hasil pembahasan Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional telah memutuskan untuk mengenakan Tindakan Pengamanan Perdagangan berupa kuota terha BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.579, 2014 KEMENDAG. Kuota. Pengamanan. Impor Tepung Gandum. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/M-DAG/PER/4/2014 TENTANG KETENTUAN PENGENAAN KUOTA

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 1 PENGERTIAN GLOBALISASI Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan

Lebih terperinci

2015, No Menteri Perdagangan Nomor: 639/M-DAG/ SD/8/2015 tanggal 12 Agustus 2015 dan Surat Menteri Perdagangan Nomor: 799/M-DAG/SD/ 9/2015 tan

2015, No Menteri Perdagangan Nomor: 639/M-DAG/ SD/8/2015 tanggal 12 Agustus 2015 dan Surat Menteri Perdagangan Nomor: 799/M-DAG/SD/ 9/2015 tan No. 1843, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Bea Masuk. Anti Dumping. Impor. Bopet. Pengenaan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 221/PMK.010/2015 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan. No.528, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Surat Keterangan Asal. Barang. Indonesia. Tata Cara Ketentuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/M-DAG/PER/3/2015

Lebih terperinci