Hasil dan Analisis. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

Data dan Metodologi. III.1 Data III.1.1 Outgoing Longwave Radiation (OLR)

KAJIAN DOUBLE SEA BREEZE MENGGUNAKAN PERMODELAN WRF-ARW TERHADAP KONDISI CUACA DI NABIRE

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SIMULASI ANGIN LAUT TERHADAP PEMBENTUKAN AWAN KONVEKTIF DI PULAU BALI MENGGUNAKAN WRF-ARW (Studi Kasus 20 Februari 2015)

Angin Meridional. Analisis Spektrum

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

POLUSI UDARA DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PROYEKSI MODEL WRF-CHEM TERKAIT KUALITAS UDARA DAN KONDISI ATMOSFER DI SUMATERA BARAT (STUDI KASUS PADANG TANGGAL 7-9 MEI 2013)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

STUDI ANGIN LAUT TERHADAP PENGARUH KONDISI CUACA DI WILAYAH POSO

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

HASIL DAN ANALISIS. Karakteristik Hasil Evolusi

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI POLA KONVEKSI DIURNAL DI PULAU SUMATRA MENGGUNAKAN MODEL WEATHER RESEARCH AND FORECASTING-ADVANCED RESEARCH WRF (WRF-ARW)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA S STASIUN METEOROLOGI MARITIM KENDARI

Hasil dan Pembahasan

ANALISIS KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN EKSTREM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TANGGAL NOVEMBER 2017

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI ALUN-ALUN KOTA BANJARNEGARA (Studi Kasus Tanggal 08 Nopember 2017)

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI SUMATERA BARAT MENGAKIBATKAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KOTA PADANG TANGGAL 16 JUNI 2016

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

I. INFORMASI METEOROLOGI

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Gambar 1. Diagram TS

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II)

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

ANALISIS KEJADIAN HUJAN LEBAT TANGGAL 02 NOVEMBER 2017 DI MEDAN DAN SEKITARNYA

Tinjauan Pustaka. II.1 Konveksi

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA KEJADIAN HUJAN EKSTRIM DI MUSIM KEMARAU DI WILAYAH SIDOARJO DAN SEKITARNYA.

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Musim Hujan. Musim Kemarau

ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN PUTING BELIUNG DI KABUPATEN BANGKALAN TANGGAL 14 MARET Stasiun Meteorologi Nabire

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

Gambar 4 Diagram alir penelitian

ANALISIS CUACA EKSTRIM NTB HUJAN LEBAT TANGGAL 31 JANUARI 2018 LOMBOK BARAT, LOMBOK UTARA, DAN LOMBOK TENGAH Oleh : Joko Raharjo, dkk

LAPORAN KEJADIAN BANJIR DAN CURAH HUJAN EKSTRIM DI KOTA MATARAM DAN KABUPATEN LOMBOK BARAT TANGGAL JUNI 2017

ANALISIS CUACA TERKAIT ANGIN KENCANG DI RANTEPAO TANA TORAJA TANGGAL 16 MARET Stasiun Meteorologi Nabire

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

4 BAB IV HASIL DAN ANALISA

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b)

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KONDISI CUACA EKSTRIM ANGIN PUTING BELIUNG DI PEMALANG TANGGAL 01 JUNI Stasiun Meteorologi Nabire

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DI PULAU BANGKA TANGGAL 07 FEBRUARI 2016

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Iskandar Muda Banda Aceh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DAN GENANGAN AIR DI KECAMATAN TALAMAU, PASAMAN BARAT TANGGAL 26 NOVEMBER 2016

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS CUACA TERKAIT BANJIR DI KELURAHAN WOLOMARANG, KECAMATAN ALOK, WILAYAH KABUPATEN SIKKA, NTT (7 JANUARI 2017)

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KONDISI CUACA SAAT TERJADI BANJIR DI KECAMATAN PALAS LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Tanggal 27 September 2017)

PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun Meteorologi Nabire

Transkripsi:

Bab IV Hasil dan Analisis IV.1 Pola Konveksi Diurnal IV.1.1 Pengamatan Data OLR Pengolahan data OLR untuk periode September 2005 Agustus 2006 menggambarkan perbedaan distribusi tutupan awan. Pada bulan antara Oktober Februari terlihat di atas wilayah 6º LU - 6º LS terdapat tutupan awan yang besar. Tutupan awan yang besar ini dapat diasosiasikan dengan adanya konveksi yang besar. Pengolahan ini secara tidak langsung menunjukkan juga bahwa pada bulan-bulan tersebut Pulau Sumatra mengalami konveksi besar. Pada bulan-bulan konveksi besar dikarakteristikkan dengan terjadinya konveksi skala besar sepanjang bulan (Gambar IV.1). Pada bulan antara Maret Mei konveksi yang terjadi relatif lebih kecil dibanding dengan bulan sebelumnya. Meskipun demikian masih terlihat konveksi skala besar. Karakteristik pada bulan-bulan ini konveksi tidak terjadi sepanjang hari. Skala besar konveksi kadang tidak terlihat pada hari tertentu. Pada bulan ini dikelompokkan sebagai konveksi peralihan. Konveksi pada bulan antara Juni Agustus tidak terlihat dalam skala besar. Pada bulan ini konveksi yang terjadi digolongkan pada skala kecil. Pada bulan-bulan ini dianggap konveksi hanya terjadi pada skala lokal sehingga tidak terlihat dengan data OLR yang mempunyai resolusi rendah. Pengolahan data OLR memberikan gambaran pola konveksi di Pulau Sumatra secara global. Dari gambaran data ini secara intuitif pola diurnal konveksi dapat dikelompokkan berdasarkan bulan yaitu bulan yang dipengaruhi oleh konveksi besar, masa peralihan dan kecil. Untuk mengetahui pola diurnal tiap tahun di Pulau Sumatra dilakukan penentuan bulan yang mewakili keadaan diurnal sepanjang tahun. Berdasarkan analisis data OLR dipilih dua bulan; Juli dan November yang masing-masing mewakili keadaan konveksi lokal dan skala besar. Untuk memperoleh gambaran pola diurnal yang lebih jelas ditambah dua bulan lagi untuk dianalisis. Bulan tersebut adalah Januari dan April dengan asumsi dua bulan tersebut berada diantara keadaan konveksi lokal dan skala besar. IV.1.2 Pengamatan Data IR1 a) Identifikasi Pola Konveksi Diurnal dari Penampang Melintang Indeks Konvektif Identifikasi pola diurnal tiap bulan dilakukan dengan melakukan komposit jam-an setiap bulan selama lima tahun (2002-2006) yang selanjutnya disebut sebagai pola konveksi komposit. Domain perhitungan dapat dilihat pada Gambar III.1. Domain ini sengaja dilakukan miring untuk mengikuti posisi Pulau Sumatra. Dengan demikian distribusi laut dan darat merupakan garis sejajar, sehingga akan memudahkan analisis. Proses komposit dilakukan untuk masing-masing bulan yang telah dipilih sebelumnya. Dari hasil komposit terlihat ada pola background yang selalu muncul setiap bulan. Pola

ini menunjukkan adanya maksimum konveksi di sekitar darat dan tepi pantai pada malam hari sekitar pukul 18.00-21.00 waktu setempat (LT). Konveksi maksimum darat bergerak menuju lepas pantai sampai pagi hari. Pola ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Mori (2004) meskipun dengan parameter uji yang berbeda. Beberapa hal yang tidak didapatkan dari penelitian Mori (2004) adalah penelitian tersebut tidak dapat menunjukkan perbedaan pola tiap bulan. Puncak aktivitas konveksi menunjukkan pergeseran waktu dan tempat pada setiap bulannya. Dari sini diketahui bahwa pola diurnal konveksi maksimum tidak sepenuhnya berasal dari darat, tetapi berada di daerah pantai. Dari hasil ini dicurigai efek pulau-pulau kecil yang berada di dekat Pulau Sumatra berperan penting dalam pembentukan pola diurnal. Dari pola migrasi ke arah timur Pulau Sumatra masih belum jelas apakah migrasi berasal dari darat, atau merupakan sistem konveksi yang berbeda. Selain itu dari gambar terlihat adanya pola double core (inti ganda) konveksi untuk bulan tertentu. Pola ini terlihat jelas pada bulan April dan Juli. Meskipun demikian masing-masing bulan menunjukkan posisi yang berbeda. Pada bulan April kedua inti berada di atas Pulau Sumatra. Sementara itu, pada bulan Juli inti terpisah, yaitu satu inti berada di atas Pulau Sumatra dan inti lainnya berada di sekitar Semenanjung Malaysia. Penampang melintang indeks konveksi dari IR1 menunjukkan bahwa konveksi yang kuat terjadi pada bulan November. Pada bulan November dapat diasosiasikan dengan aktivitas konveksi yang kuat. Hal ini seiring dengan puncak hujan Pulau Sumatra yang terjadi juga pada bulan November. Jika dihubungkan dengan indeks konvektif dari OLR dapat dikatakan bahwa konvektif yang kuat di bulan November terkait dengan adanya aktivitas konvektif skala besar. Pada bulan Juli aktivitas konvektif paling lemah diantara bulanbulan yang lain. Hal ini juga berhubungan positif dengan OLR. Pada data OLR bulan Juli diketahui bahwa aktivitas konvektif cenderung bersifat lokal. Hal ini yang memungkinkan aktivitas konveksi bulan Juli relatif lebih lemah dibandingkan dengan bulan yang lain. Pada gambar pola melintang data IR1 untuk setiap bulan terlihat adanya pergerakan ke arah barat aktivitas konveksi di darat menuju laut. Pergerakan ini mampu menempuh jarak sampai ratusan km (~300 km) pada setiap bulannya. Pola ini terlihat kuat, berbeda dengan pergerakan ke arah timur aktivitas konveksi darat. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut apakah pola pergerakan ke barat dan ke timur sistem konveksi masih merupakan satu sistem atau sistem yang berbeda. Begitu juga dengan pola pergeseran puncak aktivitas konveksi diurnal, memerlukan penyelidikan lebih lanjut faktor apa saja yang menyebabkan pergeseran ini terjadi. serupa dengan penelitian Mori (2004). Namun demikian pergerakan konveksi ke arah timur tidak terlihat jelas. Hal ini menandakan bahwa migrasi sistem konveksi ke arah timur tidak terjadi dan merupakan sistem yang berbeda. Pada bulan November pola diurnal di Pulau Sumatra terjadi merata diseluruh pulau. Hal ini terlihat dari pola konveksi yang terjadi di sepanjang Pulau Sumatra khususnya di daerah bagian barat

Pulau Sumatra. Pada gambar komposit bulan November 2006 dianggap mewakili pola konveksi pada periode lima tahun 2002-2006. Pola konveksi bulan November 2006 dapat dilihat pada Gambar IV.4. Selanjutnya pola ini disebut sebagai pola konveksi Nov06. Pola konveksi Nov06 menunjukkan puncak konveksi yang sama untuk masing-masing tempat, yaitu puncak konveksi di laut pada pagi hari pukul 07 LT, dan puncak konveksi di darat pada malam hari pukul 19 LT. Hasil ini sesuai dengan pola komposit konveksi lima tahun bulan November. Perbedaan yang signifikan terlihat antara pola konveksi komposit lima tahun dan pola konveksi Nov06 adalah pada puncak konveksi darat. Pola komposit konveksi menunjukkan puncak konveksi darat merata sepanjang Pulau Sumatra sedangkan pada pola konveksi Nov06 puncak konveksi tidak terjadi pada tempat yang sama. Puncak konveksi darat antara bagian utara Pulau Sumatra berbeda dengan bagian selatan. Bagian utara (sekitar 6º LU - 0º) Pulau Sumatra puncak konveksi cenderung berada di sepanjang garis pantai. Sementara itu, pada bagian selatan (sekitar 0º - 6º LS) puncak konveksi lebih jauh masuk ke dalam daratan. Perbedaan ini dapat dipahami karena pola komposit konveksi merupakan hasil peratarataan selama lima tahun. Pola rata-rata menunjukkan kecenderungan puncak konveksi darat berada di sepanjang pantai terjadi pada pukul 19 LT. Pola ini dapat berbeda pada kasus bulan pada tahun tertentu. Sebagai contoh adalah pola konveksi Nov06 menunjukkan adanya perbedaan dengan pola kompositnya, meskipun masih menunjukkan pola-pola yang bersesuaian. Perbedaan yang kontras kedua pola baik komposit maupun bulanan dapat terjadi jika dibandingkan dengan pola hariannya. Pola harian konveksi pada tanggal 7 November 2006 dapat digunakan untuk memperkuat argumen di atas. Pada tanggal 7 November 2006 terlihat adanya konveksi kuat di darat yang dimulai pada pukul 16 LT dan semakin meluas pada pukul 19 LT. Tetapi pola kuat tersebut hanya terjadi disekitar 0º - 4º LS. Pada pukul 22 LT konveksi kuat terjadi lagi di atas darat tetapi pada daerah yang berbeda yaitu sekitar 2º LU - 0º. Puncak konveksi di laut juga bergeser lebih awal yaitu pada pukul 4 pagi hari. Pergeseran puncak konveksi ini mengindikasikan adanya proses-proses dalam dinamika atmosfer yang berbeda-beda dan mempengaruhi sistem konveksi. Proses dominan yang mempengaruhi sistem konveksi ini dapat berubah dari waktu ke waktu. Mekanisme yang telah diajukan oleh beberapa peneliti antara; Houze et.al (1981), Satomura (2000) dan Mapes et.al (2003) masih sulit untuk menjelaskan variasi konveksi diurnal yang terjadi di Pulau Sumatra. Masih perlu dicari faktor apa yang dominan berpengaruh pada pola diurnal yang terjadi. IV.2 Analisis Pola Konveksi Diurnal dari Luaran Model Pada bagian Bab IV.2 ini dibahas hasil analisis luaran model yang dilakukan dengan cara melakukan korelasi silang antara data IR1 dengan parameter CTT yang diturunkan dari

variabel-variabel luaran model. Sebelum simulasi model dilakukan langkah pertama yang diambil adalah melakukan uji konsistensi data syarat awal dan batas model. Langkah ini dilakukan untuk mengecek apakah data masukan sesuai dengan data pengamatan permukaan pada stasiun yang berada di sekitar Pulau Sumatra. Langkah selanjutnya adalah pengujian kombinasi parameterisasi. Hal ini mengingat adanya banyak pilihan parameterisasi yang didukung oleh model WRF-ARW. Penjelasan lebih rinci langkah ini dapat dilihat pada Bab III.2.2.5. Setelah kombinasi parameterisasi yang terbaik terpilih, langkah selanjutnya adalah melakukan simulasi beberapa studi kasus. Penentuan periode studi kasus berdasarkan data ORG yang ada di Kototabang. Periode yang dipilih mewakili empat keadaan yang berbeda, yaitu; hujan lebat, sedang, kecil dan tidak ada hujan. Hasil luaran model dari masing-masing studi kasus diolah untuk memperoleh parameter CTT dengan menggunakan metode yang telah dikemukakan pada Bab III.2.2.4. IV.2.1 Uji Konsistensi Data Syarat Awal Data masukan awal yang berfungsi sebagai syarat awal dan batas yang digunakan untuk model WRF adalah data FNL seperti yang telah dikemukakan pada Bab III.1.3. Pengecekan data ini dilakukan dengan cara membanding dengan data pengukuran udara atas (radiosonde) pada stasiun yang telah dipilih. Variabel yang dibandingkan adalah komponen angin u dan v, dan temperatur.. Perbandingan kedua profil vertikal pada Gambar IV.6 menunjukkan adanya proses penghalusan data FNL dari data radiosonde. Hal ini menunjukkan bahwa asimilasi data berhasil dilakukan sehingga data radiosonde kedua stasiun masuk kedalam data FNL. Untuk mendapatkan data radiosonde yang halus dapat dilakukan proses filtering. Dalam penelitian ini data radiosonde dihaluskan dengan menggunakan filter Lanczos dengan pembobotan 9 titik. Hasil dari penghalusan tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.7. Pola yang mirip antara profil data radiosonde dan FNL dapat terlihat jelas. Oleh karena itu data FNL valid untuk digunakan sebagai data syarat awal dan batas. IV.2.2 Uji Kombinasi Parameterisasi Simulasi uji parameterisasi dilakukan selama tiga hari dengan satu hari digunakan sebagai spin-up. Tanggal simulasi dipilih dari 6 8 November 2006. Pemilihan ini berdasarkan analisis pola konveksi diurnal tanggal 7 November 2006 yang menyerupai dengan pola komposit dan konveksi Nov06. Kombinasi parameterisasi yang digunakan dalam pengujian dapat dilihat pada Tabel IV.1.

Tabel IV.1 Kombinasi Parameterisasi Mikrofisika dan Lapisan Batas Planeter No. Nama Skema Parameterisasi Kombinasi Mikrofisika Lapisan Batas Planeter 1. C1 WSM3 YSU 2. C2 Lin et al. YSU 3. C3 Thompson et al. YSU 4. C4 WSM6 YSU 5. C5 WSM6 MRF Hasil uji parameterisasi dianalisis dengan metode statistik korelasi silang. Parameter yang diuji dikorelasikan dengan data radiosonde yang tersedia. Dari hasil korelasi yang ada kemudian dirata-ratakan untuk keseluruhan simulasi. Hasil uji kelima kombinasi parameterisasi menghasilkan nilai korelasi masing-masing kombinasi yang mirip antara satu dengan lainnya. Koefisien korelasi yang tinggi diperoleh parameter temperatur (T), temperatur potensial (θ) dan mixing ratio. Koefisien korelasi untuk parameter-parameter tersebut rata-rata diatas 0,9. Koefisien korelasi kelembaban relatif (RH) tinggi untuk stasiun Singapura, untuk masing-masing kombinasi rata-rata diatas 0,9 kecuali untuk kombinasi C3 hanya 0,89. Sementara itu, untuk stasiun Padang, koefisien korelasi RH, hanya mencapai sekitar 0,6., kecuali kombinasi C1 yang hanya 0,56. Koefisien korelasi dibawah 0,5 diperoleh parameter U dan V, terutama stasiun Padang. Koefisien korelasi U diatas 0,7 pada stasiun Singapura, namun demikian tidak untuk parameter V. Koefisien korelasi V untuk stasiun Singapura relatif kecil yaitu sekitar 0,3. Dari hasil korelasi silang diperoleh kombinasi C5 mempunyai korelasi relatif lebih tinggi dan konsisten untuk kedua stasiun uji dibandingkan dengan kombinasi yang lainnya. Hasil uji parameterisasi diringkas dalam Tabel IV.2 dan juga digambarkan dalam diagram Taylor pada Gambar IV.8. Dengan menggunakan diagram Taylor dapat dilihat perbandingan variansi luaran model dengan data radiosonde. Cara pembacaan diagram Taylor dapat diterangkan secara singkat sebagai berikut; nilai korelasi antara pengamatan dan variabel luaran model dibaca dari sumbu jari-jari terluar yang berlabel correlation dengan menarik garis lurus dari pusat radian (titik 0.00). Standard deviasi luaran model tegak lurus jarak radial dari titik awal. Perbandingan variansi antara pengamatan dan variabel luaran model mempunyai cara pembacaan yang sama dengan standard deviasi. Keterangan lebih detail dapat dilihat pada Taylor (2001). Dari diagram Taylor ditunjukkan secara jelas nilai parameter T dan θ selain mempunyai koefisien korelasi yang tinggi (mencapai 0,99) juga mempunyai variansi yang kecil,

kurang dari 0,5. Variansi T lebih kecil dari pada data radiosonde sedangkan variansi θ lebih besar dari data radiosonde. Parameter mixing ratio dekat dengan data pengamatan untuk stasiun Singapura sedangkan stasiun Padang meskipun mempunyai koefisien korelasi yang tinggi (lebih dari 0,9) tetapi mempunyai variansi lebih besar dari data pengamatan yaitu sebesar 1,3. Parameter RH mempunyai koefisien korelasi yang besar diatas 0,7 tapi mempunyai variansi yang lebih kecil dari data pengamatan yaitu sekitar 0,75. Hanya variansi kombinasi C5 yang mempunyai nilai positif terlihat pada stasiun Padang. Parameter U dan V menunjukkan koefisien korelasi yang kecil. Hanya parameter U pada stasiun Singapura yang mempunyai korelasi yang tinggi melebihi 0,7. Koefisien korelasi yang tinggi dari parameter temperatur dapat dipahami mengingat fluktuasi temperatur di daerah equator yang relatif kecil. Parameter RH dan mixing ratio disinyalir mempunyai korelasi yang baik karena kedua parameter ini diturunkan dari parameter temperatur. Komponen U dan V sulit untuk diikuti dimungkinkan karena parameter ini dihitung dari model global yang mempunyai grid 1. Selain itu dimungkinkan angin yang berhembus di kedua stasiun bersifat lokal sehingga tidak tertangkap oleh model. Dari hasil uji statistik ini diputuskan untuk menggunakan kombinasi C5, karena dianggap kombinasi ini lebih baik dibandingkan dengan kombinasi yang lainnya. IV.2.3 Simulasi dengan Kombinasi Parameterisasi Terpilih Kombinasi parameterisasi yang terpilih selanjutnya digunakan untuk simulasi empat kasus. Pemilihan kasus berdasarkan data ORG yang terdapat di Kototabang dengan mencari empat keadaan yang berbeda. Empat keadaan tersebut adalah hujan lebat, sedang, kecil dan tidak ada hujan. Masing-masing keadaan tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.9. Lebih jelas lagi tanggal kasus simulasi yang mewakili keadaan ini dapat dilihat pada Tabel IV.3. Pada rentang antara tanggal 11 14 November 2006 tercatat adanya hujan dengan laju curah hujan rata-rata lebih dari 10 mm/jam. Puncaknya pada tanggal 12 pukul 01 LT terjadi hujan yang tertinggi selama bulan November tahun tersebut dengan nilai mendekati 25 mm/jam. Pada rentang tanggal 15 18 hujan yang tercatat sangat kecil, dengan rata-rata dibawah 1 mm/jam. Bahkan pada rentang tanggal 16-17 tidak tercatat adanya hujan. Rentang tanggal 22 25 menunjukkan adanya aktivitas hujan meskipun dengan laju yang tidak tinggi. Pada rentang ini terjadi hujan dengan laju sedang yaitu sekitar 10 mm/jam. Demikian juga pada rentang tanggal 26-29, cukup sering terjadi hujan. Meskipun pada rentang tanggal ini terdapat hujan dengan laju yang tinggi melebihi 20 mm/jam, namun pada waktu-waktu yang lain hujan terjadi dengan laju yang kecil. Laju hujan rata-rata tidak melebihi 5 mm/jam, hanya mencapai diatas 3 mm/jam. Oleh karena itu pada rentang ini dimasukkan dalam kategori hujan kecil. Parameter yang dikaji untuk analisis hasil simulasi adalah temperatur puncak awan.

Parameter ini dipilih agar dapat dibandingkan secara langsung dengan data IR1. Dan parameter ini dianggap dapat digunakan sebagai indikasi adanya proses konveksi. Meskipun parameter ini bukan merupakan luaran langsung dari model tetapi diturunkan dari parameter yang lain. Analisis parameter CTT dilakukan pada wilayah melintang pada Gambar IV.10. Pada gambar tersebut ditunjukkan bagaimana model dapat mengikuti pola konveksi yang terjadi pada malam hari dilihat dari parameter CTT. Terlihat bahwa model dapat mensimulasikan konveksi yang terjadi di darat dan sepanjang pantai. Namum model tidak dapat mensimulasikan konveksi yang terjadi dilepas pantai. Konveksi yang terjadi pada model seakan-akan hanya berhenti di sepanjang garis pantai dan tidak dapat terus bergerak ke lepas pantai. Efek keberadaan pulau-pulau kecil di sebelah barat Pulau Sumatra seolah-olah memblok penjalaran awan. Sehingga konveksi yang terjadi hanya sampai di atas pulau kecil tetapi tidak bisa melewati pulau-pulau ini. Hasil ini menunjukkan bahwa proses dinamika atmosfer di darat dapat terwakili dalam perhitungan model. Proses interaksi dengan permukaan seperti interaksi dengan topografi dapat disimulasikan dengan baik. Dari hasil model dapat disimpulkan juga bahwa sistem angin gunung dapat terwakili dalam model, dikarakteristikan dengan adanya penjalaran CTT ke arah laut sedangkan efek termal pada pagi sampai siang hari yang menggerakkan sistem angin laut, terlihat kurang dapat diwakili dalam model. Efek resolusi model yang diharapkan dapat memperbaiki hasil ternyata kurang memuaskan. Perubahan resolusi model dari 10 km menjadi 5 km tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Terlihat bahwa hanya dengan meninggikan resolusi tidak dapat meningkatkan kualitas luaran model secara drastis. Namun demikian, efek resolusi dapat berpengaruh pada peningkatan koefisien korelasi di daerah laut. Hasil simulasi keempat kasus menunjukkan kemiripan hasil uji korelasi statistik parameter CTT untuk fase darat. Sementara itu, pada saat fase laut, koefisien korelasi yang diperoleh sangat kecil (dibawah 0,2) bahkan menunjukkan adanya korelasi negatif (lihat Gambar IV.11). Hal ini ditunjukkan bahwa model dapat mensimulasikan konveksi pada malam hari di darat, tetapi gagal menunjukkan adanya pembentukan sistem konveksi di laut pada pagi hari. Pada Gambar IV.12 ditunjukkan lebih jelas lagi bahwa pada jarak sekitar 400 km yang bertepatan dengan daerah pegunungan, mempunyai korelasi diatas 0,6 yang ditunjukkan dengan kontur yang diarsir terutama pada malam hari. Pada siang hari korelasi turun sampai mencapai nilai negatif. Fase konveksi darat yang lebih baik dari laut terlihat jelas pada Gambar IV.13. Pada gambar ini ditunjukkan pada malam hari korelasi yaitu pada jam 19 01 LT diatas 0,2. Sementara itu, pada pagi hari, dari jam 04 07 LT korelasi dibawah 0,2. Bahkan korelasi pada resolusi 10 km mencapai nilai minus. Korelasi ini terus naik seiring pergantian hari menuju malam hari. IV.3 Uji Sensitifitas Pembentukan Pola Konveksi Diurnal Pada bab ini dilakukan percobaan untuk mengetahui faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pembentukan pola konveksi diurnal pada luaran model. Faktor yang diuji adalah parameterisasi lapisan batas planeter dan ketersediaan data pengamatan.

IV.3.1 Pengaruh Parameterisasi Lapisan Batas Planeter Simulasi yang dilakukan pada bab IV.2.3 ditekankan pada pemakaian konfigurasi parameter hasil seleksi uji parameterisasi. Penetuan kombinasi parameterisasi sematamata hanya didasarkan pada analisis statistik dengan memperhatikan nilai koefisien korelasi yang terbaik. Penerapan metode korelasi silang ini hanya dilakukan pada titik. Dari hasil analisis pada bab IV.2.3 menunjukkan bahwa hasil korelasi titik yang baik tidak menjamin korelasi wilayahnya juga baik. Oleh karena itu perlu dilakukan analasis lanjut parameter yang berpengaruh pada pembentukan pola konveksi diurnal. Pada bagian ini, parameter yang dianggap berpengaruh terhadap pembentuk pola konveksi diurnal adalah parameterisasi lapisan batas planeter. Parameterisasi lapisan batas planeter yang digunakan pada eksperimen sebelumnya adalah parameterisasi MRF. Pada bagian selanjutnya parameterisasi lapisan batas planeter yang dipakai adalah parameterisasi YSU. Hasil perbandingan koefisien korelasi antara parameter PBL MRF dan YSU dapat dilihat pada Gambar IV.14. Gambar ini menunjukkan waktu lag maksimum koefisien korelasi pada area sama dengan yang ditunjukkan oleh garis putus-putus pada Gambar IV.10. Gambar IV.14 a) dan b) menggunakan parameterisasi PBL MRF sedangkan c) dan d) menggunakan parameterisasi PBL YSU. Gambar IV.14 a) dan c) untuk resolusi 10 km sedangkan b) dan d) resolusi 5 km. Kontur topografi untuk Gambar IV.14 ditunjukkan pada Gambar IV.16. Dari gambar a) dan c) ditunjukkan di daerah sebelah kiri Pulau Sumatra (0-400 km) koefisien korelasi maksimum terjadi pada lag negatif (-4 sampai -6) jam. Artinya bawah di daerah laut puncak fase dalam model mengalami keterlambatan antara 4-6 jam dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya. Sementara itu, untuk daerah dengan jarak sekitar 400 800 km, waktu lag cenderung positif. Pada jarak sekitar 600 800 km lag korelasi rata-rata adalah nol, khususnya untuk parameterisasi YSU. Hal ini menunjukkan bahwa parameterisasi YSU mensimulasikan fase diurnal konveksi lebih baik daripada MRF. Pada jarak ini nilai koefiensi korelasi masing-masing parameterisasi mencapai 0,6. Nilai koefisien korelasi pada Gambar IV.14 dapat dilihat pada Gambar IV.15. Pada resolusi 5 km, seperti analisis sebelumnya efek resolusi dapat meningkatkan korelasi di daerah laut. Hal ini terlihat dari pergeseran lag maksimum koefisien korelasi di sekitar pantai. Pada PBL MRF di daerah berjarak 60 100 km pada sumbu y, dan jarak 0 300 km sumbu x menunjukkan waktu lag adalah positif dan lebih dekat dengan lag 0 dibandingkan dengan pada resolusi 10 km yang mempunyai waktu lag -4. Sementara itu, pada PBL YSU perubahan ini terjadi di sekitar jarak 300 400 km sumbu x. Pada jarak ini terlihat adanya perubahan waktu lag yang cukup signifikan, dari lag negatif menjadi positif dan lebih mendekati lag 0. Hasil analisis diatas menunjukkan bahwa perbedaan penggunaan parameterisasi lapisan batas planeter berpengaruh kecil terhadap pembentukan pola konveksi diurnal dan pengaruhnya tidak signifikan. Pada penelitian sebelumnya (mis. Anzhar, 2006) ditunjukkan bahwa MRF cocok untuk daerah tropis karena mampu menghasilkan ketinggian PBL yang sesuai dengan pengamatan, penelitian lebih lanjut skema YSU perlu

juga dilakukan. Hal ini mengingat hasil yang ditunjukkan skema YSU pada analisis diatas mampu memperbaiki waktu lag, meskipun mempunyai koefisien korelasi yang lebih kecil dari skema MRF. IV.3.2 Peranan Data dalam Peningkatan Hasil Luaran Model Pada pembahasan sub-sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa daerah yang mempunyai koefisien korelasi yang besar berada di darat. Hal ini menimbulkan kecurigaan baru, apakah ada kaitannya dengan keberadaan data. Perlu diingat kembali bahwa data yang digunakan sebagai syarat awal dan syarat batas adalah data FNL yang merupakan data asimilasi. Data ini memasukkan data pengamatan permukaan yang sebagian besar tersedia di atas darat. Untuk wilayah Sumatra sendiri data pengamatan yang masuk kedalam asimilasi data FNL sangat minim. Penelitian peranan data dalam peningkatan hasil luaran model dilakukan dengan mengambil sampel tiga wilayah di Pulau Sumatra yang mewakili daerah bagian atas, tengah dan bawah dari Pulau Sumatra. Daerah yang menjadi kajian dapat dilihat pada Gambar IV.17. Daerah A mewakili bagian utara Pulau Sumatra, B mewakili bagian tengah dan C mewakili bagian selatan. Hasil kontur penampang melintang ketiga daerah dapat dilihat pada Gambar IV.18. Bagian a), b) dan c) gambar tersebut menunjukkan daerah A, B dan C berturutan. Bagian a) menunjukkan pada jarak sekitar 600 km koefisien korelasi mempunyai nilai positif. Pada daerah ini koefisien korelasi melebihi 0,6. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah ini hasil luaran model signifikan. Penjelasan yang rasional kenapa di daerah ini koefisien korelasinya tinggi adalah karena di sekitar jarak ini terdapat stasiun pengamatan, yaitu stasiun Penang/Bayan Lepas. Dapat dilihat untuk daerah lain yang tidak terdapat stasiun pengamatan, misalnya pada jarak 0 200 km pada sumbu x koefisien korelasinya kecil, bahkan nilainya negatif. Pada bagian b) ditunjukkan untuk jarak 600 700 km pada sumbu x dan 0 100 km sumbu y koefisien korelasi mempunyai nilai positif. Hal ini menunjukkan pada daerah ini dapat disimulasikan dengan model cukup baik. Begitu juga untuk daerah pada jarak sekitar 500 km pada sumbu x dan 0 100 km pada sumbu y menunjukkan nilai koefisien korelasi positif. Hal ini disinyalir karena adanya peran stasiun Sepang dan Padang/Tabing yang mampu memperbaiki kualitas data asimilasi. Sementara itu, pada bagian lain yang tidak terdapat stasiun pengamatan rata-rata memiliki koefisien korelasi negatif. Pada bagian c) untuk jarak 500 700 km pada sumbu x menunjukkan adanya nilai koefisien korelasi positif. Di daerah tertentu korelasinya bahkan melebihi 0,6. Pada jarak 200 300 km sumbu x juga terdapat daerah yang mempunyai koefisien korelasi lebih dari 0,6. Jika diperhatikan, pada daerah 500-700 km korelasi yang tinggi lebih dipengaruhi oleh ketersediaan data yaitu dengan adanya stasiun Pangkal Pinang. Sementara itu, pada daerah 200 300 km lebih dipengaruhi oleh model yang dengan baik mensimulasikan efek topografi, karena pada daerah ini tidak terdapat stasiun pengamatan. Ketiga hasil tersebut menunjukkan adanya peran penting data pengamatan dalam hal ini

karena data tersebut menjadi masukan model sebagai syarat awal dan batas. Ditunjukkan bahwa peran data dalam model dapat meningkatkan kualitas luaran model hingga lebih dari 60%. Dengan berpegang pada hasil ini untuk meningkatkan kualitas luaran model yang lebih baik lagi maka diperlukan lebih banyak stasiun pengamatan permukaan. Diharapkan pula dengan adanya penambahan data, model dapat lebih meresolve proses yang berkaitan dengan interaksi darat dan laut. Sehingga fase pola konveksi diurnal dari model mampu mengikuti pola dari data pengamatan. Gambar IV.10 Perbandingan data IR1 dengan luaran model. Plot pada tanggal 12 November 2006 pukul 22 LT. Gambar atas: data IR1, bawah: luaran model. Gambar kiri: resolusi 10 km, kanan: resolusi 5 km. Gambar IV.11 Kontur korelasi antara data IR1 dan luaran model terhadap waktu selama 24 jam untuk wilayah kajian. Atas: resolusi 10 km, bawah: resolusi 5 km. Daerah arsiran menunjukkan korelasi lebih dari 0,6. Garis putus-

putus: korelasi negatif, garis tebal: korelasi 0, garis padat: korelasi positif. Gambar IV.12 Kontur korelasi antara jarak dan waktu. Atas: resolusi 10 km, tengah: resolusi 5 km, bawah: plot ketinggian dan jarak untuk wilayah kajian.blok hitam menunjukkan tidak ada data IR1. Keterangan lain sama seperti Gambar IV.11.