CATATAN ATAS PRIORITAS PENDIDIKAN DALAM RKP 2013 1. Perkembangan Pendidikan di Indonesia 1 Indonesia menargetkan 100 persen angka partisipasi kasar (gross enrollment rates) di tingkat sekolah dasar dan 96 persen di sekolah menengah pertama pada tahun 2009. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap anak yang berumur 7 sampai 15 tahun harus mengenyam pendidikan dasar. UU ini memberikan implikasi bahwa pemerintah harus menyediakan layanan pendidikan gratis bagi seluruh siswa usia pendidikan dasar. Pencapaian target angka partisipasi ini dalam pendidikan Indonesia, ditambah dengan investasi untuk meningkatkan mutu pendidikan, merupakan faktor penting untuk mempertahankan pertumbuhan Indonesia agar mampu bersaing di kawasan regional di tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu, pengeluaran pendidikan yang efisien dan efektif merupakan unsur penting dalam strategi penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Sejak tahun 1970-an, angka partisipasi sekolah telah meningkat cukup besar sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk terus membangun gedung sekolah di seluruh Indonesia. Hasilnya sangat mengesankan: angka partisipasi murni sekolah dasar meningkat dari 72 persen pada 1975 menjadi hampir seluruhnya pada 1995 dan tetap berada pada tingkat yang tinggi selama masa krisis ekonomi pada akhir 1990-an. Pada tahun 2005, angka partisipasi murni sekolah dasar mencapai 93.2 persen (dan angka partisipasi kasar bahkan di atas 100 persen).28 Angka partisipasi murni pada tingkat sekolah menengah pertama bahkan menunjukkan peningkatan yang mengejutkan, yaitu naik dari 17 persen pada 1970-an menjadi sekitar 65.2 persen pada 2005 (dengan angka partisipasi kasar sebesar 81.7 persen). Angka partisipasi sekolah pada tingkat sekolah menengah atas juga mengalami peningkatan walaupun.pada tingkat yang lebih rendah 1 http://web.worldbank.org/wbsite/external/countries/eastasiapacificext/indonesiainbahasaextn/0,,co ntentmdk:21879716~pagepk:1497618~pipk:217854~thesitepk:447244,00.html Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI 1
2. Permasalahan Indikator Pendidikan Walaupun Indonesia telah pulih dari krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an, negara ini masih tertinggal dari negara-negara tetangga sehubungan dengan akses terhadap layanan pendidikan yang bermutu. Fokus upaya tersebut saat ini adalah pada kualitas lembaga dan pengeluaran publik. Tantangan utama mencakup: Pendaftaran sekolah menengah. Indonesia memiliki pendaftaran sekolah dasar yang hampir universal, tapi di tingkat menengah pertama, peningkatan berjalan lambat. Hanya 55 persen anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah terdaftar di sekolah menengah pertama. Prestasi pembelajaran siswa. Indonesia terus mendapat prestasi yang rendah dalam uji berstandar internasional atas prestasi siswa, bahkan setelah memperhitungkan kondisi sosial ekonomi. Di tahun 2003, Indonesia mendapat posisi ke-33 dari 45 negara dalam Third International Mathematics Science Study (TIMSS). Di tahun 2006, Program for International Student Assessment (PISA), yang menilai seberapa baik kesiapan siswa berumur 15 tahun dalam menghadapi kehidupan, Indonesia mendapat peringkat 50 dari 57 negara dalam bidang ilmu pengetahuan, membaca dan matematika. Alokasi belanja. Walaupun belakangan ini terjadi peningkatan dalam belanja pendidikan secara keseluruhan, investasi Indonesia untuk pendidikan menengah, terutama menengah pertama, masih kurang. Pada saat yang sama, anggaran operasional telah ditekan karena peningkatan substansial dalam pengeluaran untuk gaji. Walaupun terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah yang mengesankan di tingkat nasional, perbedaan angka partisipasi sekolah antar daerah masih cukup besar. Untuk negara dengan keanekaragaman seperti Indonesia, perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain memang dapat diprediksi dengan mudah. Walaupun lebih dari 90 persen anak-anak Indonesia telah memiliki akses terhadap pendidikan sekolah dasar, namun beberapa daerah masih tertinggal jauh di belakang dan memerlukan perhatian dan bantuan lebih. Pada tahun 2004, angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI 2
berkisar antara 80 persen di Provinsi Papua sampai 95 persen di Kalimantan Tengah. Pada tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni bervariasi antara sekitar 41 persen di Papua sampai 77 persen di Yogyakarta, dan untuk pendidikan sekolah menengah atas angka partisipasi murni berkisar sekitar 20 persen di Sulawesi sampai 62 persen di Yogyakarta. Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat rendah sementara kondisi infrastruktur pendidikan pun telah rusak berat. Beberapa indikator penentu dalam mutu pendidikan yang perlu diperhatikan meliputi kualifikasi para guru, struktur gaji guru, mutu ruang kelas, tingkat kehadiran guru, dan jumlah siswa dalam satu kelas. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan prestasi guru di Indonesia. Untuk tingkat pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama, masing-masing hanya 55 persen dan 73 persen dari guru yang memenuhi kualifikasi minimal yang dipersyaratkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2005a). Pemerintah sedang berusaha menangani masalah tersebut dengan memberlakukan UU tentang Sertifikasi guru sejak Desember 2005 melalui penyediaan dana tunjangan kepada para guru agar mendapatkan sertifikat. Tunjangan tambahan ini akan dapat meningkatkan pendapatan guru dalam jumlah yang cukup besar. Peningkatan ini dapat berdampak terhadap hasil pembelajaran yang lebih tinggi jika kontrol terhadap mekanisme dan kinerja kelembagaan (yaitu, tingkat kehadiran guru danmutu pengajaran) benar-benar dapat dilaksanakan. Selanjutnya, akuntabilitas yang kuat merupakan prasyarat untuk melakukan kontrol efektif terhadap kinerja para guru. Mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap akuntabilitas di negara-negara lain adalah dengan menggabungkan akuntabilitas top-down (dari sekolah sampai ke tingkat kabupaten/kota/provinsi) dengan pendekatan akuntabilitas bottom-up (dari sekolah sampai ke konstituen dan Komite orang tua siswa).31 Mutu ruang kelas yang semakin rusak merupakan masalah serius dalam sistem pendidikan Indonesia, terutama di tingkat sekolah dasar, dimana hanya 44 persen dari ruang kelas yang ada yang memenuhi standar minimum yang ditentukan oleh Depdiknas (Depdiknas, 2005b). Sehingga, walaupun perbandinga muridguru yang masih rendah, fakta dengan masih banyaknya guru paruh waktu dan tidak hadirnya guru mengakibatkan rasio murid-kelas yang tinggi. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI 3
Sistem pendidikan Indonesia tidak cukup menghasilkan jumlah lulusan yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja di sektor ekonomi yang memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi. Berbagai koran Indonesia sering melaporkan adanya kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat sipil untuk dapat berpartisipasi dalam sistem elektorat, serta kebutuhan sektor industry terhadap karyawan dan wirausahawan dengan daya nalar dan keahlian memecahkan masalah. Hasil ujian nasional 2002 menunjukkan bahwa dari nilai tertinggi 10 untuk setiap mata pelajaran, lebih dari 2.2 juta siswa dari hamper 20.000 sekolah yang mengikuti ujian tersebut hanya mampu mencapai nilai rata-rata sebesar 5.79 untuk matematika, 5.11 untuk Bahasa Indonesia dan 5.29 untuk Bahasa Inggris. Data untuk tahun akademis 2005/2006 menunjukkan terjadinya peningkatan nilai ujian yang cukup besar, dengan nilai rata-rata sebesar 7.13 untuk matematika, 7.46 untuk Bahasa Indonesia dan 6.62 untuk Bahasa Inggris.32 Namun, tingkat reliabilitas hasil ujian tersebut memang masih dapat dipertanyakan, dan validitas atas perbandingan nilai tes dari satu tahun ke tahun sebelumnya baru dapat dikatakan valid jika semua tes yang digunakan tidak mengalami perubahan secara substantial 3. Kebijakan Pendidikan dalam RKP 2013 Dalam RKP 2013 disebutkan beberapa isu/kebijakan nasional berkenaan dengan bidang pendidikan antara lain adalah peningkatan penjaminan kepastian layanan pendidikan SD dan SMP, penyediaan dan Peningkatan Pendidikan SMA, peningkatan akses dan mutu pendidikan serta, Peningkatan akses, kualitas, kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan dan tersalurkannya subsidi RA/BA dan madrasah. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak berbeda dengan kebijakan-kebijakan pendidikan dengan pagu anggaran yang juga tidak jauh berbeda dengan RKP tahun sebelumnya yaitu sekitar Rp 52 Triliun. Tahun 2013 merupakan tahun ketiga dari periode kedua (2010-2014) tahapan pembangunan pendidikan nasional 2 dimana tema pembangunan pendidikan nasional pada 2 Tahapan pembangunan pendidikan nasional dibagi menjadi empat periode dimana setiap periode memiliki tema tersendiri. Adapun keempat tahapan pembangunan pendidikan nasional adalah sebagai berikut : Periode 2009-2014 dengan tema peningkatan kapasitas dan modernisasi, Periode 2010-2014 dengan tema penguatan layanan, Periode 2015-2019 dengan tema daya saing regional dan periode kempat yaitu 2020-2025 dengan tema daya saing internasional. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI 4
periode kedua ini adalah penguatan pelayanan untuk mencapai visi 2014 yaitu terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk insan Indonesia cerdas komprehensif. Sebagai gambaran, 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah standar pelayanan minimal, 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal, dan hanya 10,15 persen yang memenuhi standar nasional pendidikan. Dengan keadaan itu, pemerintah justru gencar menggelontorkan dana menciptakan rintisan sekolah bertaraf internasional: 0,65 persen 3. Tanpa bermaksud mengecilkan arti dan keberadaan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang gencar dikembangkan itu, yang terpenting adalah bagaimana kebijakan pengelolaan pendidikan dilakukan dengan langsung menyentuh inti peningkatan kualitas proses belajarmengajar yang berlangsung di ruang kelas. Yang perlu dipikirkan, bagaimana sampai pada titik temu, prioritas penggunaan anggaran untuk peningkatan kesejahteraan guru yang secara nyata berdampak pada peningkatan mutu proses belajar-mengajar, dan selanjutnya mutu lulusan dan mutu pendidikan secara keseluruhan. Guru diberi insentif mengembangkan media belajar, misalnya, demi meningkatkan kualitas belajar-mengajarnya. Walaupun terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah yang mengesankan di tingkat nasional, perbedaan angka partisipasi sekolah antardaerah masih cukup besar. Untuk negara dengan keanekaragaman seperti Indonesia, perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain memang dapat diprediksi dengan mudah. Walaupun lebih dari 90 persen anak-anak Indonesia telah memiliki akses terhadap pendidikan sekolah dasar, namun beberapa daerah masih tertinggal jauh di belakang dan memerlukan perhatian dan bantuan lebih. Pada tahun 2004, angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar berkisar antara 80 persen di Provinsi Papua sampai 95 persen di Kalimantan Tengah. Pada tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni bervariasi antara sekitar 41 persen di Papua sampai 77 persen di 3 Kompas, 23 Maret 2011. Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI 5
Yogyakarta, dan untuk pendidikan sekolah menengah atas angka partisipasi murni berkisar sekitar 20 persen di Sulawesi sampai 62 persen di Yogyakarta. Dengan tingginya angka partisipasi pada tingkat Sekolah Dasar, diperlukan pengeluaran dana yang lebih banyak untuk peningkatan angka partisipasi sekolah pada jenjang SMP, dan pada saat yang sama meningkatkan mutu pengajaran, dan memperbaiki infrastruktur pendidikan yang ada. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan dalam RKP 2013 hendaknya mampu mengakomodir kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dengan demikian, jika permasalahanpermasalahan pendidikan yang saat ini ada segera ditangani oleh Pemerintah maka diharapkan tujuan pencapaian pendidikan berupa peningkatan pelayanan (periode 2010-2014) dapat tercapai. Penyusun: Martiasih Nursanti *** Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI 6