Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

dokumen-dokumen yang mirip
PROPOSAL PENELITIAN PENINGKATAN 20 PERSEN AKSES PETANI TERHADAP BERBAGAI SUMBER PEMBIAYAAN USAHATANI

LAPORAN KEGIATAN KINERJA PENYALURAN DAN PEMANFAATAN KREDIT PROGRAM PERTANIAN KKPE DI PROVINSI BALI

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

Seminar Hasil Penelitian ANALISIS KEBIJAKAN PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA)

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I P E N D A H U L U A N. 1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang

Matrik Keterkaitan Dukungan Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 41/Permentan/OT.140/5/2007 TENTANG

KEYNOTE SPEECH. Pada Seminar Nasional MENUJU PENDIRIAN BANK PERTANIAN (IPB International Convention Center, Bogor, 11 Mei 2009)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PENDAHULUAN Latar Belakang

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KONSOLIDASI USAHATANI SEBAGAI BASIS PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Dari sembilan program pembangunan yang ditetapkan pemerintah

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

Potensi daerah yang berpeluang pengembangan tanaman hortikultura; tanaman perkebunan; usaha perikanan; usaha peternakan; usaha pertambangan; sektor in

Deskripsikan Maksud dan Tujuan Kegiatan Litbangyasa :

KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN: EVALUASI DAN IMPLIKASINYA

RINGKASAN EKSEKUTIF Muhammad Syahroni, E. Gumbira Sa id dan Kirbrandoko.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

BUPATI LOMBOK TENGAH RANCANGAN PERATURAN BUPATI LOMBOK TENGAH NOMOR... TENTANG

I. PENDAHULUAN. Jumlah (Unit) Perkembangan Skala Usaha. Tahun 2009*) 5 Usaha Besar (UB) ,43

I. PENDAHULUAN. produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam hayati yang

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PERLUASAN KREDIT USAHA RAKYAT DENPASAR, 20 APRIL 2011

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN DAYA SAING KOMODITAS PERTANIAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR BAGI USAHA MIKRO DAN KECIL

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Latar Belakang Pembangunan bidang ekonomi, keseimbangan bidang pertanian dengan industri Pembangunan ekonomi berbasiskan kerakyatan; Pembangunan ekono

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

I. PENDAHULUAN. melalui Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 16 Agustus

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

FAKTOR FAKTOR KELEMBAGAAN DALAM EKONOMI PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN RI DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PETERNAK

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL)

-1- GUBERNUR BALI, Jdih.baliprov.go.id

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. dan sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

Strategi dan Arah Kebijakan

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

Peran Bank Jateng Dalam Implementasi Program. Kredit Ketahanan Pangan Dan Energi (KKP-E)

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN. 1. Baik pada daerah dataran rendah maupun dataran tinggi, rendahnya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007

RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan (1) Modal adalah salah satu komponen yang tidak dapat diabaikan dalam proses produksi. Dalam bidang pertanian, modal identik dengan pembiayaan yang sangat sulit untuk ditanggulangi, khususnya dalam mengembangkan usahatani di pedesaan. Akses petani terhadap sumbersumber permodalan resmi masih sangat terbatas, kecuali dari para pelepas uang yang mahal karena dikenai bunga tinggi. Umumnya, hanya petani yang menguasai lahan luas yang dapat lebih mudah mendapatkan modal, pada hal, sebagian besar petani di pedesaan hanya menguasai lahan sempit. Jika lahan usahatani yang dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit modal dari perbankan, maka hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar petani tidak layak mendapatkan modal yang bersumber dari lembaga keuangan resmi. Oleh karena itu, modal menjadi faktor penghambat dalam mengelola usahatani. (2) Posisi petani yang umumnya lemah mendorong pemerintah untuk turut membantu pembiayaan pertanian. Dalam hal ini berbagai instansi pemerintah terlibat dalam pembiayaan pertanian. Keterlibatan berbagai instansi tersebut perlu dikoordinasikan agar bisa bersinergi dalam mengatasi berbagai masalah. Mengingat resiko bisnis sektor pertanian relatif tinggi dibanding sektor-sektor lainnya, pembiayaan pertanian yang dilakukan sekarang tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi pembiayaan di sektor pertanian perlu dibantu agar dapat memajukan para pelaku bisnis di sektor ini. (3) Keterlibatan lembaga/instansi pemerintah di luar Departemen Pertanian untuk membangun pertanian secara nasional patut dibanggakan. Berbagai program yang berkaitan dengan pembangunan pertanian dilaksanakan dengan fokus perhatian pada bidang tertentu, namun tetap menyangkut bidang pertanian. Besarnya pembiayaan yang dialokasikan untuk mendukung program pertanian pada lembaga/instansi di luar Departemen Pertanian layak diketahui untuk memahami keterlibatan lembaga/instansi tersebut dalam pembangunan pertanian. Hal ini diperlukan untuk membantu koordinasi terhadap simpul-simpul sinergi pembangunan yang direncanakan. (4) Masalahnya adalah bahwa pembiayaan pembangunan pertanian yang dilaksanakan lembaga/instansi pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, hingga kini terus berjalan, namun tidak diketahui seberapa besar sumbangan masing-masing lembaga/instansi tersebut dalam pembangunan pertanian nasional. Pembiayaan untuk produksi tanaman (pangan, hortikultura dan perkebunan) dan produksi peternakan, masing-masing termasuk produk olahannya perlu diketahui dalam satu satuan waktu tertentu. Di sini, daftar semua program dan biaya yang dialokasikan, terserap atau tidak, oleh semua lembaga/instansi yang terlibat belum dimiliki. Oleh karena itu, analisis pada tingkat makro yang lebih terfokus pada analisis pengeluaran pemerintah untuk pembangunan ix

pertanian -- menurut sektor, sub sektor, program dan wilayah -- perlu dilakukan. (5) Masalah lain dalam konteks pembiayaan pertanian adalah tingkat pengembalian kredit yang umumnya rendah atau menimbulkan kredit bermasalah. Penghasilan dari usahatani jauh lebih kecil dibanding kebutuhan rumah tangga sehingga hanya sebagian kecil hasil panen yang dialokasikan untuk membayar kredit. Bisnis di bidang pertanian berisiko tinggi, baik dari gangguan alam seperti banjir dan kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman serta fluktuasi harga yang signifikan. Persyaratan pengajuan kredit yang tidak sederhana membuat banyak petani tidak bisa memanfaatkan plafon kredit yang disediakan pemerintah. Sektor swasta ternyata juga tidak tertarik untuk terlibat secara langsung dalam pembiayaan pertanian. (6) Suatu kajian yang lebih lengkap dan mendalam tentang masalah yang diuraikan diatas diharapkan dapat dideskripsikan melalui kegiatan penelitian ini. Perlu dikemukakan bahwa masalah pertama menyangkut alokasi anggaran pemerintah pada sejumlah lembaga/instansi dan menuntut jawaban dalam bentuk informasi lengkap tentang program yang dilaksanakan selama paling tidak 5 (lima) tahun terakhir. Sementara masalah kedua menyangkut alokasi anggaran yang dikeluarkan Departemen Pertanian dan menuntut jawaban yang lebih komprehensif tentang penggunaan dan pencapaian skim pembiayaan yang telah dan sedang berlangsung saat ini. Tujuan (7) Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengeluaran pemerintah untuk membiayai pembangunan sektor pertanian oleh berbagai lembaga/instansi pemerintah baik serta mengetahui perkembangan program pembiayaan di sektor pertanian pada 3 (tiga) skim pembiayaan yang dikelola Departemen Pertanian. Tersedianya data, informasi dan pengetahuan tentang hal tersebut diatas dinilai sangat penting untuk merumuskan kebijakan dalam rangka memperbaiki alokasi anggaran pembangunan pertanian dan meningkatkan kinerja skim pembiayaan di sektor pertanian. Secara rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengumpulkan data, informasi dan pengetahuan tentang pengeluaran pemerintah untuk mendukung program pembangunan pertanian oleh berbagai lembaga/instansi pemerintahan di pusat maupun di daerah. 2. Mempelajari skim pembiayaan SP3, LM3 dan KKP secara komprehensif dan menganalisis keuntungan komparatif pembiayaan sektor pertanian menurut pencapaiannya. 3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan skim pembiayaan sektor pertanian. 4. Merumuskan saran kebijakan untuk meningkatkan koordinasi pengalokasian anggaran pembangunan pertanian dan meningkatkan kinerja skim pembiayaan sektor pertanian. x

Keluaran yang Diharapkan (8) Dengan sasaran tersedianya deskripsi program pembiayaan sektor pertanian atas dasar pengalokasian anggaran pembangunan nasional serta dipetakannya skim pembiayaan di sektor pertanian oleh sebagian program pembiayaan yang dikelola Departemen Pertanian, maka penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan: 1. Data, informasi dan pengetahuan tentang besarnya alokasi anggaran pembangunan sebagai pengeluaran pemerintah serta laju perkembangannya menurut program dan lembaga/instansi terkait. 2. Kinerja skim pembiayaan sektor pertanian, SP3, LM3 dan KKP dan perkiraan arah pengembangannya menurut sasaran program di lokasi yang bersangkutan. 3. Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja skim pembiayaan pertanian. 4. Saran kebijakan untuk meningkatkan koordinasi pembangunan sektor pertanian dan perbaikan sasaran program skim pembiayaan di sektor pertanian. Metodologi (9) Penelitian ini diarahkan untuk menjawab dua bagian kegiatan tentang pembiayaan sektor pertanian. Kedua bagian tersebut mencakup: (a) analisis alokasi pengeluaran pemerintah oleh semua lembaga/instansi untuk sektor pertanian dan (b) analisis skim pembiayaan lingkup Departemen Pertanian. Memperhatikan dua bagian kegiatan tersebut diatas, fokus analisis akan dibatasi pada beberapa aspek sebagai berikut: 1. Pengeluaran pemerintah yang sifatnya membiayai kegiatan yang terkait langsung atau tidak langsung pada pembangunan pertanian secara nasional maupun regional. 2. Periode program diharapkan tidak lebih dari 5 (lima) tahun terakhir dan masih berlangsung hingga saat ini. 3. Program atau kegiatan pembiayaan sektor pertanian yang mendukung peningkatan produksi dan kualitas komoditas pada sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. 4. Program atau kegiatan skim pembiayaan sektor pertanian yang ditujukan kepada petani, kelompok tani, lembaga kemasyarakatan atau kelompok masyarakat lainnya. 5. Analisis yang mencakup kinerja program pembiayaan sektor pertanian dan skim pembiayaan sektor pertanian. 6. Implikasi kebijakan sebagai hasil analisis penelitian terhadap pembiayaan sektor pertanian. (10) Mengingat luasnya kegiatan pembiayaan sektor pertanian ini, maka pembiayaan di luar pengeluaran pemerintah (government spending) tidak termasuk di dalam cakupan penelitian ini. Disamping itu, karena banyaknya skim pembiayaan di Departemen Pertanian, maka akan dipilih xi

3 (tiga) program skim pembiayaan yang hingga kini masih berjalan untuk dianalisis secara lebih mendalam (in-depth study). Ketiga skim pembiayaan pertanian tersebut adalah: Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), Lembaga Mandiri dan Mengakar pada Masyarakat (LM3), dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP). (11) Untuk mengetahui besaran investasi pemerintah dalam pembangunan pertanian, maka dibutuhkan data sekunder yang akan diperoleh dari berbagai instansi di Jakarta. Sementara itu, lokasi penelitian untuk menganalisis skim pembiayaan program KKP, SP3, dan LM3 dilakukan di dua provinsi, yakni Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Kediri dan Kabupaten Tulungagung) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Tengah). Di tingkat regional data sekunder KKP diambil dari Provinsi Jawa Timur, data sekunder SP3 dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan data sekunder LM3 dari Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil dan Pembahasan (12) Pada tahun 2007, total anggaran pembangunan pertanian adalah sebesar Rp 23,2 trilyun. Anggaran paling besar (Rp 8,8 trilyun) dikelola oleh Departemen Pertanian. Sementara itu, anggaran kedua terbesar (Rp 7,6 trilyun) dialokasikan untuk Departemen Perhubungan, PU, dan ESDM. Pengelola anggaran pembangunan di sektor pertanian lainnya adalah Departemen Dalam Negeri (Rp 1,2 trilyun), Departemen Kesehatan (Rp 0,99 trilyun), dan Depnakertrans (Rp 0,93 trilyun). Selebihnya masih terdapat anggaran pembangunan pertanian yang dikelola oleh departemen/non departemen maupun instansi pemerintah lainnya. (13) Rata-rata nilai anggaran pembangunan pertanian selama periode tahun 2002-2007 adalah Rp 17,6 trilyun dengan rata-rata anggaran terbesar (Rp 6,8 trilyun) dikelola oleh Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM. Selama periode tersebut rata-rata Departemen Pertanian mengelola jumlah anggaran terbesar kedua (Rp 4,96 trilyun). Sejak tahun 2002 hingga 2006 nilai anggaran Departemen Pertanian selalu di bawah akumulasi anggaran yang dikelola oleh Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM. (14) Departemen Kesehatan, BKKBN dan Badan POM selama periode 2002-2007 mengalami pertumbuhan anggaran pertanian tertinggi, yakni 29,26% per tahun. Pertumbuhan tertinggi berikutnya adalah Departemen Pertanian (27,77%/tahun), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (12,39%/tahun) dan Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil dan ESDM (11,58%/tahun). Pertumbuhan anggaran terendah dialami oleh BKPM, BSN, dan BPN (-1,09%/tahun), Departemen Dalam Negeri (0,01%/tahun), dan Kementerian Negara Koperasi dan UKM (3,00%/tahun). (15) Secara relatif, rata-rata tertinggi pengelola anggaran pembangunan pertanian selama periode 2002-2007 adalah Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM (38,9%) dan diikuti oleh Departemen Pertanian (27,1%). Departemen Dalam Negeri, Departemen Tenaga xii

Kerja dan Transmigrasi, dan BPPT beserta kelompoknya, bertutut-turut mengelola 7,3%, 4,4%, dan 3,2%. (16) Pada tahun 2007 secara relatif anggaran Departemen Pertanian menduduki posisi paling tinggi (37.89%) dibandingkan dengan departemen/instansi lainnya. Sedangkan Departemen Perhubungan, PU, dan ESDM menempati urutan kedua (32,61). Masih adanya alokasi anggaran pembangunan pertanian di berbagai departemen/instansi diluar Departemen Pertanian (termasuk Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan) menunjukkan adanya tumpang tindih kegiatan pembangunan sektor pertanian. Dalam kaitan ini, penganggaran untuk program pertanian yang dikelola oleh lembaga non Departemen Pertanian perlu ditinjau kembali. Juga perlu dipertanyakan sejauh mana mandat instansi lain dalam mengelola anggaran untuk sektor pertanian. Hal ini dibutuhkan agar pengaturan program pertanian yang dikelola berbagai instansi bisa dilaksanakan secara terpadu dan sekaligus menghindari adanya tumpang tindih program. (17) Pada tahun 2007 anggaran pembangunan pertanian terbesar dialokasikan untuk sarana dan prasarana (infrastruktur) sebesar Rp 2,57 trilyun. Urutan kedua adalah untuk permodalan dan bantuan pemberdayaan (Rp 1,99 trilyun). Berikutnya adalah untuk penyuluhan (Rp 0,57 trilyun), penelitian dan pengembangan (Rp 0,36 trilyun), dan pendidikan dan latihan (Rp 0,30 trilyun). Alokasi anggaran untuk kegiatan lainnya tercatat sebesar Rp 13,10 trilyun. (18) Selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar juga tercatat untuk sarana dan prasarana (infrastruktur), yaitu 10,5 % dan yang kedua adalah untuk bantuan permodalan (8,5%). Urutan berikutnya adalah untuk penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%), serta untuk pendidikan dan latihan (1,3%). Selama ini pembangunan infrastruktrur pertanian selalu menempati urutan tertinggi dalam alokasi anggaran, tetapi belakangan ini banyak diantara infrastruktur pertanian yang tidak bisa beroperasi secara optimal, terutama saluran irigasi sekunder maupun tersier yang tidak berfungsi dengan baik. Hal ini menunjukkan adanya indikasi anggaran yang diduga tidak dikelola secara efisien. (19) Pembiayaan di sektor pertanian menempati urutan nilai anggaran kedua secara nasional, tetapi dikelola oleh berbagai departemen/instansi yang kegiatannya dilapangan bisa tumpang tindih sehingga hasilnya tidak tercapai secara efektif. Sedangkan alokasi anggaran penelitian dan pengembangan yang relatif kecil (kurang dari 2%) tampaknya akan sulit diharapkan untuk menghasilkan temuan/inovasi yang relatif unggul dan dinamis. Lebih jauh lagi, anggaran per program bukan hanya dialokasikan untuk membiayai kegiatan teknis, tetapi juga termasuk biaya administrasi. (20) Secara aggregat, anggaran untuk pembiayaan pertanian yang dikelola Departemen Pertanian relatif kecil dan tersebar di berbagai instansi. Sedangkan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur pertanian mendapat porsi terbesar dan dikelola instansi lain. Dalam kaitan ini, alokasi anggaran pembangunan pertanian sebaiknya dipusatkan atau dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian. Jika modal petani dianggap xiii

penting, maka jumlah alokasi anggaran pembiayaan pertanian seharusnya dapat ditingkatkan. (21) Program pembiayaan KKP sangat membantu petani pangan maupun peternak. Walaupun demikian, jangka waktu pengajuan terlalu lama dan jangka waktu pengembalian dianggap terlalu pendek, kemudian besarnya agunan, biaya notaris, serta NPWP masih merupakan hambatan bagi petani untuk mendapatkan modal kerja. Petani yang berkelompok dan ada penjaminanya, misalnya petani tebu, bisa memanfaatkan KKP secara optimal. (22) SP3 umumnya hanya diminati kalangan usaha skala mikro, sementara usaha kecil I dan II yang memanfaatkan kredit tersebut relatif lebih sedikit. Proses pengajuan dan pencairan kredit dianggap terlalu lama serta persyaratan agunan dinilai memberatkan petani kecil. Demikian pula jangka waktu pengembalian kredit dirasakan relatif pendek. Masyarakat pertanian di sektor hulu hanya sedikit yang memanfaatkan SP3 dibanding penerima kredit yang bergerak di sektor hilir. (23) Bantuan dana LM3 berpotensi menggerakkan perekonomian pedesaan. Penilaian proposal kegiatan ini hendaknya dilakukan lebih cermat agar tidak ada kesan bahwa dana ini sangat mudah diperoleh serta sangat mudah dipertanggungjawabkan. Komunikasi antar lembaga calon penerima bantuan LM3 dengan dinas/instansi terkait setempat perlu dibina untuk menyiapkan proposal yang layak dan sesuai dengan program pembinaan yang sedang berjalan di daerah. Pemberian dana LM3 yang berasal dari dua atau tiga sumber untuk satu lembaga model perlu ditinjau kembali. Tidak semua lembaga model bisa mengelola dana LM3 dengan baik. Disamping itu, hal tersebut juga menimbulkan rasa cemburu bagi lembaga lain di lokasi yang bersangkutan yang tidak pernah menerima bantuan sejenis. (24) Strategi yang ditempuh pemerintah dalam kebijakan perkreditan untuk sektor pertanian dengan mengarahkan pada keterlibatan perbankan formal sebagai pelaksana (executing agency) merupakan langkah tepat. Namun, kebijakan pemerintah tersebut perlu diimbangi dengan upaya yang lebih sungguh-sungguh dalam membantu petani untuk meningkatkan skala usaha, kemampuan manajerial maupun aksesibilitas petani terhadap perbankan formal. (25) Bantuan dan fasilitasi pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk: (i) sertifikasi lahan secara murah dan mudah untuk memenuhi agunan yang selama ini menjadi kendala untuk bankable; (ii) pembinaan kelembagaan petani yang lebih intensif terutama dalam aspek manajerial usaha; (iii) inovasi teknologi pertanian dari hulu sampai hilir untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usahatani, (iv) pembangunan infrastruktur pertanian yang memadai; (v) penyediaan sarana produksi secara tepat waktu dengan biaya terjangkau; (vi) adanya pengawasan dan pendampingan, misalnya dengan memfungsikan penyuluh pertanian dalam penyaluran kredit sehingga tepat sasaran; (vi) jaminan pemasaran produk pertanian, (vii) pemerintah hendaknya mendirikan lembaga keuangan khusus seperti bank pertanian yang berfungsi untuk menangani seluruh program pembiayaan pembangunan pertanian; keuntungannya xiv

adalah agar penyalurannya dapat lebih terarah dan tepat sasaran, termasuk untuk menghindari adanya penerima/petani yang memperoleh modal dari dua sumber program pembiayaan yang berbeda untuk membiayai satu kegiatan yang sama. Kesimpulan Dan Saran Kebijakan (26) Anggaran pembangunan pertanian tidak hanya dialokasikan di Departemen Pertanian, tetapi juga terdapat di berbagai departemen dan instansi pemerintah lainnya. Secara relatif, rata-rata tertinggi pengelola anggaran pembangunan pertanian selama periode 2002-2007 adalah Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM dan diikuti oleh Departemen Pertanian, Depdagri, Depnakertrans dan BPPT. Selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran terbesar adalah untuk sarana dan prasarana (infrastruktur), dan yang kedua adalah bantuan permodalan. Urutan berikutnya adalah penyuluhan, litbang, dan diklat. (27) Penyaluran KKP tidak dapat sepenuhnya di akses oleh petani. Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi dan pengetahuan petani mengenai program KKP. Penerima SP-3 terbatas hanya pada petani perorangan yang pada umumnya memiliki skala usaha menengah dan luas. Penyaluran LM3 mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan menjadi agen pembangunan agribisnis khususnya agroindustri di pedesaan, yang menyampaikan pesan pembangunan melalui kegiatan pendidikan moral dan sosial di dalam masyarakat. (28) Alokasi anggaran pembangunan pertanian sebaiknya dipusatkan atau dikoordinasikan oleh Departemen Pertanian agar lebih efisien dan efektif. Jika modal petani dianggap penting, maka jumlah alokasi anggaran pembiayaan pertanian seharusnya ditingkatkan. (29) Jangka waktu pengajuan KKP perlu dipersingkat dan jangka waktu pengembalian agar diperpanjang. Besarnya agunan dan biaya notaris perlu ditekan, serta NPWP sebaiknya tidak menjadi syarat pengajuan kredit. (30) Proses pengajuan dan pencairan kredit SP3 agar dipercepat, persyaratan agunan dikurangi nilainya, dan waktu pengembalian kredit diperpanjang. Masyarakat pertanian di sektor hulu diupayakan supaya makin banyak yang memanfaatkan SP3 dibanding penerima kredit yang bergerak di sektor hilir. (31) Proposal pengajuan LM3 supaya dinilai lebih cermat. Lembaga penerima dana supaya berkoordinasi dengan Dinas Pertanian/Peternakan setempat dalam pelaksanaan kegiatan. xv