ANALISA BIAYA TERAPI PENYAKIT BRONKOPNEUMONIA PADA SUATU RUMAH SAKIT PEMERINTAH DI KOTA PADANG SUMATERA BARAT (Cost analysis on bronchopneumonia therapy in a public hospital at Padang city, West Sumatera) Dedy Almasdy 1, Harisman 2, Nina Kurniasih 3, Hanky Febriandi 1 1 Fakultas Farmasi Universitas Andalas Kampus Unand Limau Manis Padang 2 RSUP Dr. M Djamil Padang 3 RSUD Dr. Rasidin Padang email: dedyalmasdy@gmail.com ABSTRACT Cost analysis on bronchopneumonia therapy in pediatric inpatient at a public hospital in Padang City, West Sumatera had studied. The Aim of study is to compare the differences of total cost average on difference pattern of antibiotic usage. The result shown that there were seven patterns of antibiotic usage, such as; cefotaxim, ampicillyn cloramphenicol, ampicillyn - gentamicyn, amoxicilyn cloramphenicol, amoxicilyn gentamicyn, amoxicillyn cloramphenicol cefotaxim, dan amoxicillyn gentamicyn cefotaxim. Daily total cost average of each antibiotic usage pattern were difference, while cefotaxim is found as a lowest daily cost average. Keywords: bronchopneumonia, cost analysis, public hospital PENDAHULUAN Faktor ekonomi sangat berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan. Kemajuan industri pelayanan kesehatan pada beberapa dekade terakhir telah mengurangi angka kesakitan dan angka kematian, tapi pada saat yang sama biaya kesehatan meningkat lebih cepat hingga mempengaruhi pendapatan nasional. Biaya kesehatan terhitung sebagai bagian terbesar dalam pengeluaran biaya pelayanan kesehatan (1). Atas dasar tersebut untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu dan ekonomis, para memangku kebijakan dalam pelayanan kesehatatan dihadapkan kepada keharusan melakukan analisa ekonomi, termasuk dalam penggunaan obat-obatan (2). Dalam konteks ini penggunaan prinsipprinsip farmakoekonomi merupakan keharusan bagi seorang apoteker dalam memberikan asuhan kefarmasian. Analisis farmakoekonomi akan memberikan keuntungan yang maksimal dalam penggunaan obat-obatan pada pasien (3,4). Analisis farmakoekonomi ini telah digunakan sebagai instrumen pengambilan keputusan dalam penggunaan obat-obatan di Indonesia. Sebagai contoh, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar, telah melakukan analisis terhadap penggunaan kloramfenikol dan tiamfenikol pada pasien demam typoid (5). Penyakit bronkopneumonia merupakan salah satu 10 penyakit terbanyak di Instalasi Rawat Inap (IRNA) Ilmu Kesehatan Anak (6). Pada pengobatan bronkopneumonia diketahui ada beberapa pola penggunaan antibiotik, sehingga tentunya akan mempunyai dampak secara ekonomi. Berdasarkan masalah tersebut perlu dilakukan analisis ekonomi terhadap berbagai pola penggunaan antibiotik pada pengobatan bronkopneumonia sehingga didapatkan penggunaan antibiotik yang costeffective. Penelitian ini merupakan penelitian 181
pendahuluan untuk melihat berbagai pola terapi antibiotik pada penyakit bronkopneumonia pada IRNA Ilmu Kesehata Anak salah satu rumah sakit pemerintah di kota Padang, Sumatera Barat dan dampaknya terhadap biaya. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan data retrospektif. Penelitian dilakukan terhadap pasien bronkopneumonia pada IRNA Ilmu Kesehatan Anak pada suatu rumah sakit pemerintah di Kota Padang, Sumatera Barat. Sedangkan perspektif penelitian yang digunakan adalah perspektif rumah sakit. Data yang dikumpulkan terdiri dari 2 jenis, yaitu; data klinik dan data biaya. Data klinik antara lain berupa; diagnosa utama, penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan, lama perawatan dan penggunaan alat-alat kesehatan yang menyertainya. Sedangan data biaya adalah biaya langsung dalam penangan bronkopneumonia, meliputi; biaya kunjungan dokter, biaya obat, biaya alat kesehatan, biaya rawat inap, biaya laboratorium dan biaya pemeriksaan penunjang. Sumber data yang digunakan adalah catatan medis pasien bronkopneumonia satu tahun terakhir, data penggunaan obat dari instalasi farmasi, daftar tarif rumah sakit dan data keuangan (billing syatem). Data-data ini dikumpulkan pada suatu lembaran pengumpul data, untuk selanjutnya dilakukan analisa. HASIL DAN DISKUSI Infeksi salauran pernafasan atas (ISPA) merupakan penyakit yang banyak diderita oleh anak, salah satu di antaranya adalah penyakit bronkopneumonia (6). Hal ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa penyakit bronkopneumonia menempati urutan ke 6 dari 10 penyakit terbanyak di IRNA Ilmu Kesehatan Anak di rumah sakit tersebut. Gambaran lebih lengkap distribusi pasien sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi penyakit pada IRNA Ilmu Kesehatan Anak berdasarkan diagnosa utama No. Diagnosa Utama Jumlah % 1 Bayi prematur 248 10,75 2 Diare dan penyakit gastroenteritis lain 242 10,49 3 Kejang 185 8,02 4 Respiratori distress 177 7,67 5 Infeksi salur pernafasan atas akut 136 5,89 6 Bronkopneumonia 110 4,77 7 Malnutrisi 110 4,77 8 Demam berdarah 85 3,68 9 Asthma 83 3,59 10 Penyakit lainnya 932 40,37 Jumlah Total 2308 100 Pada 110 pasien bronkopneumonia ini, hanya 71 rekam medik yang ditemukan memenuhi kriteria untuk dilakukan analisa lebih lanjut. Ada berbagai kemungkinan yang menyebabkan rekam medik pasien tidak dijumpai di Instalasi Rekam Medik, 182
diantaranya adalah digunakan oleh dokter untuk penelitian, laporan kasus, dan sebagainya. Karena itu analisa selanjutnya meliputi; penyakit penyerta, kedaan pasien ketika keluar rumah sakit dan pola terapi antibiotik pada pasien bronkopneumonia dilakukan hnya terhadap 71 rekam medis yang ditemui dan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan tersebut. Sedangkan analisa biaya dilakukan hanya pada pasien bronkopneumonia yang mendapat rawatan di Kelas III. Tabel 2. Penyakit penyerta pada pasien bronkopneumonia di IRNA Ilmu Kesehatan Anak (n = 71) No. Penyakit Penyerta Jumlah % 1 Gizi buruk 19 26,76 2 Asma 8 11,27 3 Anemia 6 8,45 4 Tansilofangitis 4 5,63 5 Diare 3 4,23 Table 2 memperlihatkan penyakit penyerta pada pasien bronkopneumonia. Penyakit penyerta yang cukup dominan adalah gizi buruk (26.76%). Sedangkan penyakit penyerta lainnya adalah yang cukup dominan adalah asma, anemia, tansilofangitis dan diare. Hal ini menunjukan bahwa ada keterkaitan antara bronkopneumonia dengan gizi buruk karena gizi buruk dapat mempengaruhi imunitas. Jika tubuh mempunyai imunitas yang kuat, maka mikroorganisme yang menginfeksi tubuh secara spontan akan dihancurkan, sebaliknya bila imunitas tubuh lemah maka akan mudah mengalami infeksi (8,9). Analisa terhadap kondisi saat keluar rumah sakit, memperlihatkan hanya sebagian kecil (45%) saja pasien bronkopneumonia di IRNA Ilmu Kesehatan Anak tersebut yang dinyatakan sembuh. Sedangkan sisanya adalah pulang paksa, meninggal dan tanpa keterangan (Tabel 3). Keputusan dalam menentukan akhir perawatan di rumah sakit tergantung kepada keaadaan pasien dan kemampuan finansial keluarga. Pada penelitian ini pasien yang keluar rumah sakit karena pulang paksa cukup banyak (41%), dengan alasan ketidak mampuan untuk membayar biaya rumah sakit, sehingga mereka lebih memilih untuk mendapatkan pelayanan rawat jalan. Sedangkan yang meninggal, pasien mempunyai komplikasi gizi buruk dan tymus penestra. Pada bayi dan neonatus, respon imun belum berkembang dengan baik, sehingga kondisi kondisi gizi buruk ini akan menyebabkan kegagalan mekanisme pertahanan (8). Table 3. Kondisi pasien bronkopneumonia di IRNA Ilmu Kesehatan Anak ketika keluar rumah sakit (n = 71) No. Kondisi Keluar RS Jumlah Persentase 1 Sembuh 32 45 2 Pulang Paksa 29 41 3 Meninggal 2 3 4 Tanpa Keterangan 8 11 Jumlah 71 100 183
Terapi utama bagi pasien bronkopneumonia adalah antibiotik, baik secara tunggal maupun kombinasi. Analisa terhadap pola terapi antibiotik, ditemukan 7 pola penggunaan yang berbeda sebagaimana telihat pada Tabel 3. Penggunaan antibiotik ini berupa terapi tunggal maupun terapi kombinasi. Sebagian besar di antaranya adalah penggunaan kombinasi, sedangkan penggunaan tunggal hanya sefotaksim. Penggunan kombinasi antibiotik ini sangat bermanfaat sekali pada terapi terapi empiris yang belum diketahui jenis mikroorganisme penyebabnya. Selain itu juga berperan dalam mengatasi infeksi campuran, serta mencegah timbulnya resistensi mikroorganisme (7, 10, 11). Kombinasi penggunaan antibiotik diperlukan untuk mendapatkan efek yang optimal sebagai akibat dari efek yang sinergis. Efek ini terjadi karena penghancuran mikroorganisme terjadi melalui mekanisme kerja obat yang berbeda (9). Selanjutnya dilakukan analisa biaya pada 28 pasien bronkopneumonia yang mendapat perawatan di Kelas III. Pemilihan Kelas III ini bertujuan untuk meminimalkan pengaruh dari biaya rawat inap yang berbeda pada setip kelas perawatan. Analisa biaya dilakukan hanya terhadap biaya langsung yang dikeluarkan oleh pasien selama mendapatkan perawatan di rumah sakit. Sedangkan analisa biaya tidak langsung tidak dilakukan karena untuk melakukannya data yang diambil harus menggunakan data prospektif, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metoda retrospektif. Selain itu juga disebabkan karena perspektif yang digunakan adalah dari sudat pandang rumah sakit (2, 3). Tabel 3. Pola penggunaan antibiotik pada terapi bronkopneumonia pada IRNA Ilmu Kesehatan Anak suatu rumah sakit pemerintah di Kota Padang No. Jenis Antibiotik Kelas Jumlah % III II I VIP 1 Sefotaksim 2 5 1-8 11,26 2 Ampisilin Kloramfenikol 6 - - - 6 8,45 3 Ampisilin Gentamisin 2 5 - - 7 9,85 4 Amoksisilin Kloramfnikol 12 9 5 2 28 39,43 5 Amoksisilin Gentamisin 5 9 - - 14 19,71 6 Amoksisilin Kloramfenikol - Sefotaksim 1 1 1-3 4,22 7 Amoksisilin Gentamisin - Sefotaksim 1 4 - - 5 7,04 Jumlah Total 29 33 7 2 71 100 Pada setiap jenis terapi dilakukan penjumlahan biaya yang dikeluarkan pasien selama mendapat perawatan di rumah sakit, baik berupa biaya obat maupun biaya non obat. Biaya obat-obatan berupa biaya antibiotik dan non antibiotik. Sedangkan biaya non obat-obatan antara lain berupa; biaya rawat inap, biaya diagnostik, biaya laboratorium, biaya kunjungan dokter, biaya adminstrasi dan biaya lainnya. Penegakan diagnosa pada penyakit bronkopneumonia diperlukan pemeriksaan radio diagnostik, dengan jenis dan biaya yang berbeda pada masing-masing pasien. Pengujian laboratorium juga diperlukan setelah pengobatan diberikan, hal ini berguna untuk memastikan keberhasilan terapi. Pengujian dilakukan ketika obat yang diberikan pertama kali tidak memberikan efek yang diinginkan. Biaya visite dokter didasari oleh banyaknya kunjungan dokter, sedangkan biaya adminstrasi yang dikeluarkan pasien adalah sama. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pasien brokopneumonia sebagaimana terlihat pada Tabel 4. 184
Tabel 4. Jumlah biaya rata pada setiap kelompok penggunaan antibiotika Penggunaan Antibiotika n LR Jenis Biaya (Rp) Obat Non Obat Jumlah Sefotaksim 2 10 157.378 685.250 842.628 Ampisilin Kloramfenikol 6 4.8 218.256 673.208 891.464 Ampisilin Gentamisin 2 11.5 273.147 2.082.375 2.355.522 Amoksisilin Kloramfnikol 12 5.76 242.441 821.046 1.073.160 Amoksisilin Gentamisin 5 5.2 167.316 713.360 880.676 Amoksisilin Kloramfenikol - 1 8 705.875 196.168 902.043 Sefotaksim Amoksisilin Gentamisin - Sefotaksim 1 8 231.450 582.150 813.600 Keterangan: n = jumlah pasien; LR = rata-rata lama rawat Analisa biaya obat memperlihatkan biaya yang lebih dominan adalah biaya untuk antibiotik. Pada setiap kelompok terapi, biaya penggunaan antibiotik lebih dari 90% dari biaya total obat yang dikeluarkan, atau berada diantara 3 15% dari biaya total. Juga terlihat bahwa terapi bronkopneumonia menggunakan antibiotik sefotaksim memiliki biaya per hari terendah. Sedangkan penggunaan obat non antibiotik ditujukan untuk mengatasi komplikasi yang mengiringi penyakit bronkopneumonia. Hal ini terlihat pada peningkatan biaya non antibiotik sebanding dengan komplikasi yang mengikuti pasien bronkopneumonia tersebut. Analisa terhadap biaya non obat yang dikeluarkan terlihat bahwa biaya tersebut lebih besar dari biaya obat-obatan. Dari beberapa biaya yang termasuk dalam biaya di luar obat-obatan, biaya rawat inap memiliki kontribusi yang paling besar, kemudian diikuti oleh pemeriksaan laboratorium, radio diagnostik dan tindakan penunjang lainnya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada terapi bronkopneumonia di IRNA Ilmu Kesehatan Anak suatu rumah sakit pemerintah di Kota Padang, Sumatera Barat terdapat 7 pola yang berbeda dalam penggunaan antibiotik, baik tunggal maupun kombinasi. Analisa terhadap biaya terapi memeperlihatkan terapi dengan sefotaksim mempunyai biaya rata-rata per hari yang paling rendah. DAFTAR PUSTAKA 1. Alfonso R. Gennaro, Remingtons Pharmaceutical Sciences, Ed. 18, Mack 2. Randy F. Vogenberg, Introduction to Applied Pharmacoeconomics, McGraw- Hill Medical Publishing Division, USA, 2001. 3. Tom Walley and Alan Haycox, Pharmacoeconomics, Churchill Livingstone, Spain, 2004. 4. Raymon R. Tjandrawinata, Pharmacoeconomics: A Primer to Its Publishing Company, Easton, Pennsylvania, 1990. Basic Principles, Dexa Media, Jakarta, 2000. 5. Zainal Arifin, Perbandingan Biaya Penggunaan Kloramfenikol Dengan Tiamffenikol Pada Pengobatan Demam Typoid di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Tahun 2003, Skripsi Sarjana Farmasi, Universitas Hasanudin, Makasar, 2003. 185
6. Dedy Almasdy, Deswinar Darwin dan Helen Widaya, Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Suatu Rumah Sakit Pemerintah di Kota Padang, Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III, Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang, 2013. 7. Fredy Cherry, Textbook of Pediatric Infection Diseases, 1 st Ed., WB Saudes Company, Phyladepia, 1987. 8. E. Richard and V. Vaughan, Ilmu Kesehatan Anak, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995. 9. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penggunaan Antibiotika Nasional, Departemen Kesehatan RI, 1992. 10. H. F. Chamber, Antimicrobial Agent, in Goodman and Gilmans, The Pharmacological Basic of Therapeutic, 10 th ed., Mc-Grow Hill Co. Inc., New York, 2001. 11. C. Neu, Antimicroba Chemotherapy, available at. http://gsbs.utmb.edu/ microbook/ch011.hrml, acess on 26 th of Juni 2003. 186