BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN. bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

PENGARUH PEMBERIAN SENAM ASMA TERHADAP FREKWENSI KEKAMBUHAN ASMA BRONKIAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut,

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan manusia, kesehatan merupakan hal yang sangat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya pendapatan masyarakat. Di sisi lain menimbulkan dampak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. satunya sehat secara fisik. Tujuan tersebut memicu seseorang untuk menjaga

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

INSUFISIENSI PERNAFASAN. Ikbal Gentar Alam ( )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang banyak ditemui dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Cronic Obstruktive

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

Definisi Bell s palsy

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 5. SISTEM PERNAPASAN PADA MANUSIALatihan Soal 5.1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten,

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB I PENDAHULUAN. A.Mekanisma ini terbahagi kepada tarikan nafas dan hembusan nafas. B.Ia melibatkan perubahan kepada :

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008).

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN RHINITIS ALERGI 2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya. Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh tulang-tulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan jaringan mukosa. Hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid. Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena vasodilatasi,edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rhinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obstruksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkusnya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat bernapas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh sekitar 50% pada resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari

jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masa- lah, terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut, produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala penyakit paru. Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang menonjol adalah hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obstruksi hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma. Disamping itu sekret hidung mudah dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat. Perbedaan lainnya adalah otototot polos dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung. Rhinitis dan asma memiliki struktur yang sama tapi berbeda dalam hal anatomi. Gejalanya adalah blockade atau sumbatan hidug, gejala bersin dan gejala gatal. Pada saluran nafas bawah, bronkhus dapat memunculkan reaksi kembang kempis sehingga di hidung tidak bisa terjadi kontriksi, hanya blocking karena kontraksi pada saluran nafas bawah. Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan ciliated columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet. Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bias terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas. Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada hubungannya dengan fungsi homostatik di saluran nafas bawah. Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan pemeriksaan pada pasien rinitis alergi ternyata menunjukkan adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus. Ada beberapa penelitian pada pasien rinitis alergi di luar musim pollen. Penelitian ini membuktikan dengan pemaparan metapolin, terjadi penurunan fungsi atau gangguan nafas bawah walaupun di luar musim polen. Jadi asma sering mengalami persistensi di musim bunga pada pasien-pasien yang mengalami alergi intermitten yang disebabkan oleh polen. Penggunaan provokasi ekstrak rumput timoti yang dimasukkan atau diserakkan ke hidung

ternyata menginduksi respon alergi pada hidung. Dan didapatkan bukti adanya reaktifitas bronkus, yang akhirnya membuktikan bahwa walaupun gejala-gejala pada hidung tidak menyebabkan gangguan fungsi paru bawah tetapi menyebabkan reaktifitas bronkus pada asma. Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan menyebabkan udara yang kita hirup akan lanagsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang. Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahan-bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati hidung menjadi salah satu mekanisme terjadinya asma. Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk menjadi hilang. Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma. Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa disertai asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya berbeda-beda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai. Diperkirakan 11% sampai 32% penderita rhinitis menunjukkan hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih ringan dibanding penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau karbakol. Di antara penderita rhinitis alergi musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas bronkus selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk melaporkan kenaikan insiden hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis alergi musiman sebelum dan selama musim tepung sari dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rhinitis alergi perennial mempunyai derajat reaktivitas yang lebih tinggi dibanding rhinitis alergi musiman. Meskipun ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bronkus dalam derajat asma pada penderita rhinitis merupakan faktor resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml), penelitian lain menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus pada penderita rhinitis tidak bermanfaat dalam meramalkan penderita rhinitis untuk berkembang menjadi asma (Judarwanto, 2009).

2.1.2. Hubungan Imunopatologis Proses imunopatologi pada rhinitis dan asma juga hampir serupa. Hal ini melibatkan tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi alergi yang menetap. Perangsangan saluran nafas atas, pada hidung akan diteruskan melalui refleks vagus yang diteruskan melalui serabutsi. Refleks vagus ini akan mempengaruhi pembuluh darah atas dan bawah, dan mempengaruhi kembali sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan eosinofil ini kemudian merangsang asetikolin untuk mempengaruhi serabut-serabut pembuluh atas dan bawah yang menimbulkan gejala-gejala. Masuknya alergen yang menghasilkan dominasi sel mast oleh glandula-glandula mengakibatkan terjadinya perangsangan serabut saraf-saraf sensoris. Hal ini akan menyebabkan gejala-gejala dengan pengeluaran mediator-mediator seperti histamin, kinin, kemudian mediator yang terbentuk akan menyebabkan sumbatan pada hidung. Selanjutnya histamin ini akan merangsang serabut saraf sensoris, yang menyebabkan gejala gatal di hidung dan kulit sekitarnya. Histamin juga merangsang refleks bersin. Mediatormediator ini juga merangsang ekskresi kelenjar. Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu bronkusnya normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari 8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama.. Asma sering disebabkan oleh alergen dalam ruang atau dalam rumah. Berbeda dengan rhinitis disebabkan oleh alergen dari luar. Beberapa peneliti mengobservasi pasien yang mengalami sensitisasi dengan binatang dalam rumah. Ditemukan adanya peningkatan reaktivitas bronkus dan didapatkan sputum yang mengandung banyak eusinofila dibandingkan pasien alergi yang dicetuskan oleh polen atau alergen dalam rumah. Banyak pasien tidak secara jelas menderita asma pada waktu yang sama, ini juga merupakan bukti bahwa ada hubungan antara rinitis dan asma. Dan ini terjadi bisa sebelum dan setelah adanya rhinitis alergi. Banyaknya pasien asma yang juga alergi sekitar sepertiga

dari pasien asma. Asma yang hebat perlu dikatakan sebagi asma hebat untuk menentukan pemilihan pengobatan. Untuk asma biasa diberikan obat-obat biasa, Untuk asma hebat diberikan obat yang lebih kuat. Mengenai tata laksana, hal pertama yang harus dilakukan secara umum untuk pasien penyakit alergi adalah menghindari pencetus dan membersihkan lingkungan. Asma bronkial dan rhinitis alergi, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya kejadian rinitis lebih sering dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan gejala rinitisnya. Hal ini sebenarnya kurang menguntungkan, karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki asmanya (Judarwanto, 2009). 2.1.3. Hubungan Vertikal dan Horizontal dalam Rhinitis Alergi dan Asma Teori yang diajukan oleh dokter Alkis Togias menyebutkan adanya hubungan vertikal dan horizontal antara rhinitis alergi dan asma. Hubungan horizontal yang terjadi adalah semakin berat gejala rhinitis yang muncul, semakin besar kemungkinan menderita asma. Sedangkan hubungan vertikal yang dimaksud adalah hal-hal yang terjadi di saluran pernafasan atas akan berpengaruh negatif terhadap saluran pernafasan bawah. Hubungan vertikal tersebut ditegaskan dengan adanya beberapa studi yang menyebutkan bahwa peran mukosa nasalis dalam memfilter, menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk ke saluran pernafasan bawah menjadi terganggu akibat rhinitis alergi. Selain itu, kongesti nasal yang terjadi pada rhinitis alergi sering membuat penderitanya terpaksa bernafas melalui mulut. Bahkan, sekret nasal yang mengandung mediator-mediator inflamatorik dapat secara langsung memasuki saluran pernafasan bawah dan menimbulkan reaksi inflamasi. Inhalasi allergen juga dapat menimbulkan perubahan-perubahan inflamatorik pada saluran pernafasan atas dan bawah secara bersamaan (Braunstahl G-J,2003); (O Hollaren MT, 2005). 2.1.4. Refleks-Refleks Neural Diperkirakan bahwa ada keterlibatan sistem saraf dalam hubungan antara rhinitis alergi dan asma. Refleks-refleks yang berperan dalam keterlibatan itu adalah refleks nasobronchial dan bronchial. Kedua refleks tersebut terjadi akibat stimulasi saraf sensoris

nasal. Bronkokonstriksi yang kemudian timbul melalui jalur saraf parasimpatis disebut refleks nasobronchial, sedangkan peningkatan respon bronkus melalui sistem saraf pusat disebut refleks bronchial (O Hollaren MT, 2005). 2.2. IMPLIKASI RHINITIS ALERGI TERHADAP ASMA 2.2.1. Rhinitis Alergi Sebagai Komorbid Asma Rhinitis alergi merupakan kondisi komorbid yang umum ditemukan pada pasien dengan asma. Prevalensi rhinitis alergi pada pasien asma mencapai 80%. Bahkan, ada pula studi yang menyatakan bahwa 50-100% pasien asma juga menderita rhinitis alergi. Hubungan yang demikian juga berlaku sebaliknya. Pada pasien rhinitis alergi, prevalensi asma dapat mencapai 40%, bahkan 58% pada studi lain (Slavin RG, 2008); (Pawankar R, 2004). 2.2.2. Rhinitis Alergika Sebagai Faktor Risiko dan Faktor Pemberat Asma Telah dinyatakan pula bahwa penyakit pada saluran pernafasan atas merupakan faktor risiko untuk asma. Hal tersebut berdasarkan pada fakta bahwa orang yang menderita rhinitis alergi memiliki risiko tiga kali lipat untuk menderita asma dari pada mereka yang tidak menderita rhinitis alergi. Bahkan bagi anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergika dalam tahun pertama kehidupannya, kemungkinan menderita asma dua kali lebih besar daripada anak yang didiagnosa menderita rhinitis alergi dalam tahun-tahun belakangan. Hal lain yang mendukung pernyataan diatas adalah diagnosa rhinitis alergika yang sering mendahului asma, rhinitis alergi dapat memperberat derajat eksaserbasi asma akut dan memperburuk prognosis untuk penderita asma. (Slavin RG, 2008) (Jeffrey PK,2006) (Thomas M, 2006) (Pawankar R, 2004) 2.2.3 Pengaruh Rhinitis Alergi Terhadap Penatalaksanaan Asma Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa penanganan terhadap rhinitis alergi komorbid memberi pengaruh positif terhadap asma. Inflamasi merupakan mekanisme kunci dalam pathogenesis rhinitis alergika dan asma, karena itu penggunaan anti-inflamasi dan obat-obat sistemik lain dalam penatalaksanaan rhinitis alergi dan asma mulai ramai diperbincangkan dan diteliti. Selain anti-inflamasi, imunoterapi pun mulai banyak diteliti dalam penatalaksanaan rhinitis dan asma. Beberapa obat yang mulai banyak diteliti adalah kortikosteroid intranasal, LTRA (Leukotriene Receptor Antagonist), PDE-4 (Phosphodiesteras e-4) inhibitor, dan anti Ig-E. Obat-obat tersebut dikatakan memiliki efek sistemik yang berperan dalam menurunkan bronchial hyperresponsiveness dan gejala asma. Beberapa obat yang digunakan untuk menanggulangi rhinitis alergi seperti anti histamin dan

cromoglycates agaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap saluran pernafasan bagian bawah. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan gejala asma dan rhinitis, respon terhadap allergen seperti metakolin dan memperbaiki toleransi terhadap latihan. Kortikosteroid intranasal dapat menurunkan kadar sitokin seperti IL-4 dan IL-5, juga memiliki efek sistemik dan telah dinyatakan aman. Namun, kortikosteroid inhalasi atau intrabronkial dapat memicu efek samping. Antileukotrin dapat menurunkan kadar eosinophil pada darah dan sputum, menurunkan perekrutan eosinophil dari tulang sumsum, dan meningkatkan produksi nitric oxide pada daerah-daerah yang mengalami inflamasi. Montelukast merupakan salah satu contoh antileukotrin yang terbukti bermanfaat dalam penanganan rhinitis alergi dan asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru-paru pada penderita rhinitis, juga menurunkan gejala rhinitis harian pada penderita rhinitis alergi dan asma. (Jeffrey PK,2006) 2.3. PENATALAKSANAAN ASMA DENGAN RHINITIS ALERGI DI INDONESIA Menurut (ARIA, 2001) disebutkan bahwa dalam membuat diagnosa asma atau rhinitis alergi, baik saluran pernafasan bagian atas maupun bawah harus dievaluasi. Terapi kombinasi diperlukan apabila terdapat kondisi komorbid. Terapi tersebut berupa penghindaran allergen, penanganan farmakologis, imunoterapi spesifik, edukasi terhadap pasien dan terapi pembedahan untuk pasien tertentu. Beberapa farmakoterapi seperti glukokortikoid dan antileukotrin (terutama yang diadministrasikan per oral) efektif untuk menangani rhinitis maupun asma. Farmakoterapi seperti antihistamin H1 lebih efektif untuk rhinitis dibandingkan dengan asma. Ada pula farmakoterapi yang hanya bermanfaat untuk mengatasi gejala asma saja atau rhinitis saja, namun yang dicantumkan dalam ARIA hanya untuk rhinitis alergi. Untuk imunoterapi spesifik, disarankan agar diberikan pada pasien dengan usia di atas 5 tahun. Imunoterapi atau vaksinasi ini diberikan apabila farmakoterapi tidak memberikan respon terapi yang baik atau apabila pasien menolak minum obat. Vaksinasi dapat dilakukan melalui rute subkutan oleh tenaga medis berpengalaman, maupun oral apabila pasien menolak atau mengalami efek samping yang buruk dengan rute subkutan. Dosis allergen mayor pada vaksinasi subkutan berkisar antara 5-2 0 µg, sedangkan preparat oral memiliki dosis 50-100 kali lebih besar daripada preparat subkutan. Dari studi literatur yang dilakukan penulis, diketahui bahwa dalam pedoman penatalaksanaan asma yang berlaku di Indonesia belum mempertimbangkan pengaruh rhinitis alergi terhadap asma. Asma dan rhinitis alergi di Indonesia masih diperlakukan secara berbeda. Padahal banyak hal yang telah diketahui mengenai hubungan rhinitis dan asma, dan akan sangat menguntungkan apabila pengetahuan

tersebut dapat dimasukkan dalam penatalaksanaan asma di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan dalam latar belakang, standar penatalaksanaan asma di Indonesia berpatokan pada GINA. Untuk penatalaksanaan asma jangka panjang, yang terpenting adalah edukasi kepada pasien, termasuk kapan harus mencari pertolongan, bagaimana mengenali gejala serangan asma secara dini, obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya, mengenali dan menghindari faktor pencetus, serta follow up yang teratur dan tak lupa menjaga kebugaran. Obat pelega digunakan pada saat terjadi serangan, sedangkan, obat pengontrol digunakan secara rutin dalam jangka panjang untuk pencegahan serangan asma. Standar penatalaksanaan asma menurut KEPMENKES RI Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 ARIA (Allergic Rhinitis Impact on Asthma). Menekankan pada pengendalian penyakit asma, dan penjelasan lengkap mengenai asma. Menekankan pada rhinitis alergika dengan komorbiditasnya dan tatalaksana kombinasi untuk keadaan komorbid. Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk asma. Dalam tatalaksana farmakoterapi hanya dicantumkan farmakoterapi untuk rhinitis alergika, sedangkan farmakoterapi asma disesuaikan dengan GINA. Bersifat lokal, hanya sebagai panduan bagi tenaga medis dan pusat-pusat kesehatan di Indonesia. Bersifat global, dilengkapi dengan panduan adaptif untuk negara berkembang dengan biaya minimum. Sangat spesifik, lengkap dengan algoritma penatalaksanaan dan pokok-pokok kegiatan penanggulangan asma di pusat-pusat pelayanan kesehatan hingga di rumah. Lebih umum, hanya mengenai rhinitis alergika serta komorbiditas dan tata laksana yang dikombinasikan.