1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sepatu sebagai alas kaki memiliki tujuan tersendiri dari para penggunanya, berbagai jenis sepatu dengan model desain yang berbeda telah banyak di kembangkan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan performa saat berktivitas, sebagai alat keselamatan, maupun menunjang penampilan penggunanya, yang tetap memasukan unsur ergonomis bagi kaki penggunanya, ada beberapa macam sepatu menurut fungsinya seperti tergambar dalam Gambar 1.1. Sepatu olahraga Sepatu Formal Sepatu Kerja Sepatu santai Meningkatkan kinerja saat berolahraga Penunjang penampilan Menghindari cedera Penunjang penampilan Menghidari cedera Menghidari paparan Faktor Ergonomis Pengguna Gambar 1.1. Jenis Sepatu Berdasarakan Fungsinya (Basuki, 2003) Sekarang ini, bagaimanapun setiap konsumen tidak hanya menggunakan jenis sepatu tertentu berdasarkan tujuan penggunaannya. seperti sepatu olahraga tidak selalu hanya dipakai pada saat olahraga, ataupun safety shoe tidak hanya dipakai pada saat seseorang sedang dalam pekerjaan. Menurut Jhonson dan Jhon (2001) dalam Shieh dan Yeh (2013), sebaliknya konsumen mencoba untuk memproyeksikan kepribadian individu saat menggunaan produk sehingg terjadi perbedaan kesan pada saat membeli produk dengan tampilan estetika atau eksternal yang unik bukan pada tujuan desain. Perbedaan ini akan sangat bergantung pada penawaran yang diberikan, saat ekspresi dan kesan produk juga mencakup layanan, pengembangan metode untuk mengukur kebutuhan konsumen bukan hanya pada bentuk fisik tetapi, dengan adanya layanan membuktikan bahwa penerapan metode pengukuran suatu 1
2 produk ternyata lebih luas. Menurut Röstlinger dan Goldkhul (1999) suatu desain bentuk dapat dihubungkan dengan layanan tertentu dengan tujuan tertentu misalnya pengiriman dan pemasangan mesin, jasa penyewaan mobil ataupun layanan telepon seluler. Karena itu suatu produk yang berasal dari penggabungan produk dan jasa akan sangat meningkat di masa depan (Schutte, 2002),dan menjadi metode yang cocok untuk menetukan kebutuhan pelanggan untuk memeriksa kedua bagian baik yang nyata dan yang tidak nyata dari suatu produk yang ditawarkan. Produk Benda Benda + Layanan Layanan Gambar 1.2. Definisi Penggunaan Produk (Schutte, 2002) Gambar 1.2 menggambarkan tiga macam produk, yang merupakan metode yang sangat potensial mendapatkan informasi akan kebutuhan yang ideal dan seharusnya mampu dievaluasi di masa depan. Setiap produk memiliki sejumlah properti yang memungkinkan menjadikannya dasar atau awal rancangan baik dalam suatu produk baik bentuk benda ataupun layanan, yang kemudian menjadi acuan pada evaluasi. Menurut Schutte (2002), produk memiliki sifat-sifat yang dibagi menjadi dua yaitu : 1. Memiliki fungsi tambahan berupa parameter desain properti yang dengan sengaja dirancang untuk produk tertentu. 2. Sifat dasar produk merupakan properti produk yang tidak dimaksudkan oleh desainer tetapi tetap dimiliki oleh suatu produk. Contohnya : ketika merancang sebuah ponsel, casing dari ponsel biasanya terbuat dari plastik, karena cukup murah, ringan, tidak mudah retak akibat goncagan dan memiliki permukaan yang halus. Di sisi lain material plastik memiliki sejumlah ciri-ciri yang tidak diinginkan, seperti penyerap getaran, konduksi termal dan lain-lain, ciri-ciri negatif ini tidak termasuk
3 dalam perencanaan produk dan kemudian menjadi salah satu sifat dari posel sekarang ini. Gambar 1.3. Definisi Properti Produk (Nagamachi, 1992) Semua properties yang dievaluasi memiliki dampak potensial pada pengguna produk, akan tetapi properties dari produk tidaklah secara keseluran bisa digunakan pada metode evaluasian untuk kebutuhan pelanggan. Untuk membuat hal ini, sifat eksplisit yang dipilih desebut sebagai item (Nishino dan Nagamachi, 2001). Sebuah item dapat mencakup beberapa kategori yang melengkapi informasi item tersebut, seperti Warna yang pada penyelesaiannya berupa Hijau, Biru, dll dapat dilihat pada Gambar 1.3. Perkembangan dalam bidang desain produk telah menyebabkan banyak penemuan yang mengacu pada item sebagai dasar evaluasi, sehingga memunculkan berbagai jenis produk yang baru dipasar. Berbagai kemajuan produk pun muncul, ada beberapa produk yang kemudian menjadi lebih unggul dari produk lainnya sehingga terjadi persaingan yang ketat antara produsenprodusen terkait. Industri sepatu indonesia merupakan industri yang mempunyai peluang dan prospek yang baik sebagai sumber devisa negara non migas yang tidak hanya bertujuan untuk permintaan dalam negeri, tetapi juga dikembangkan untuk pasar ekspor. Hal ini disebabkan oleh daya beli masyarakat berbeda terhadap produk nasional dan produk luar negeri. Sebagai contoh dari segi kegiatan pasar,
4 masuknya produk Cina kepasaran sepatu dunia,sangat mempengaruhi persaingan harga produk di Indonesia baik secara legal maupun ilegal yang disebabkan oleh bahan baku yang masi bergantung pada impor dan juga dari segi teknologi yang di kembangkan Indonesia masih tertinggal baik dalam desain produk dan juga kegiatan produksi masal. Gambar 1.4. Industri Kerajinan Kulit Manding, Yogyakarta, Indonesia Gambar 1.4 menunjukan salah satu industri kerajinan kulit di indonesia adalah kerajinan kulit Manding yang bertempat di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbagai kerajinan kulit di produksi dengan skala industri menengah seperti sepatu kulit, tas kulit, jaket kulit, ikat pinggang dan lain lain. Bahan baku yang digunakan dalam kerajinan ini berupa kulit sapi yang bahannya sudah di produksi di Yogyakarta dan ada pun kulit sintetis yang masih diimpor dari luar negeri. Dalam perkembangannya kerajinan yang dihasilkan, bukan saja berbahan baku kulit tetapi kerajinan berbahan baku katun dan jins telah mulai diproduksi.
5 Tabel 1.1 Perkembangan Industri Kerajinan Kulit di Indonesia (Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, 2013) Indikator 2006 2007 2008 2009 2010 Tren Jumlah Unit Usaha (Unit) Nilai Produksi (Ribuan Rp.) Jumlah Tenaga Kerja (Orang) 164 150 129 128 128-6,33% 694.797.392 714.706.316 768.013.107 702.524.517 659.325.694-1,21% 15.895 15.11 13.716 12.903 12.184-6,66% Data perkembangan kerajinan kulit industri kerajinan kulit di Indonesia pada Tabel 1.1 terlihat mengalami penurunan trend dari tahun 2006 sampai tahun 2010 meskipun beberapa aspek pada tahun 2007 mengalami peningkatan tetapi pada tahun selanjutnya mengalami trend penurunan. Kegiatan perusahaan memiliki hubungan erat baik antara kegiatan produksi dan juga kegiatan pemasarannya, aktivitas pemasaran di Manding mempunyai dua model yang dapat dilihat pada Gambar 1.5 yaitu model direct purchase atau pembelian langsung merupakan aktivitas yang biasa di lakukan di berbagai toko-toko dimana konsumen membeli produk sesuai dengan desain display di toko oleh para pengrajin dengan harga yang sudah tertera pada produk, sedangkan untuk kegiatan pemasaran dengan model own desain purchase aktivitasnya berkaitan langsung dengan bagian produksi dimana harga suatu produk tersebut disesuaikan dengan desain produknya yang dilihat dari bahan, dan tingkat kesulitan model. Direct Purchase Model Design Purchase by own design Upper Design Sole Model Material Purchase Made Gambar 1.5. Model Aktivitas Pemasaran Sepatu di Manding
6 Sepatutnya sebagai konsumen berhak mendapatkan suatu produk yang sesuai dengan apa yang diharapkan, akan tetapi disisi lain sebagai desainer ini merupakan suatu tantangan agar supaya desain yang bersumber dari konsumen bisa ditanggapi oleh konsumen sendiri. Hal ini menuntut para produsen berusaha untuk mengembangkan dan merancang produk yang menonjol dan juga menarik konsumen. Ada dua aspek yang harus di perhatikan dalam pengembangan produk (1) aspek teoritis, yang diperhatikan adalah kepuasan pelanggan dan (2) aspek teknis produk (misalnya, fungsi, ergonomis dan kenyamanan). Keduanya sama peting dalam menetukan keberhasilan suatu produk desain yang ditawarkan (Akao, 1990 dan Nagamachi, 1992). Oleh karena itu, produsen berusaha untuk memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kepuasan pelanggan dalam produk mereka. Beberapa metode telah banyak dikembangkan untuk mendukung penilaian kepuasan pelanggan seperti Quality Function Deployment (QFD) (Akao, 1990), Analisis Conjoint (Green dan Srinivasan, 1990) Voice of Customer (VoC) (Griffin dan Hauser, 1993) dan Kansei Engineering (Nagamachi, 1992). Dimana kesemua metode ini memiliki tujuan yang sama, yaitu mengembangkan produk yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Tetapi disatu sisi Kansei Engineering memiliki perbedaan yang signifikan. VoC, QFD dan Conjoint Analysis berfokus pada kebutuhan eksplisit dari konsmen dan mengembangkan syarat desain yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Sedangkan Kansei engineering memiliki metode khusus yang digunakan untuk menganalisis kebutuhan implisit konsumen dan mengasosiasi kebutuhan tersebut dengan karakteristik desain produk, sehingga panduan untuk merancang sebuah konsep baru ataupun perbaikan konsep produk (Lokman, 2010). Kansei Engineering merupakan suatu teknologi yang menyatukan Kansei ke ranah rekayasa dalam rangka mewujudkan suatu produk yang cocok dengan konsumen sesuai kebutuhan dan keinginan mereka. Ini adalah disiplin ilmu dimana pengembangan produk yang menyenangkan dan memuaskan konsumen dilakukan dalam teknologi ini (Nagamachi, 1999). Kansei adalah kata dari bahasa Jepang yang menyatakan tetang perasaan atau kesan dari konsumen suatu produk,
7 dimana Kansei Enginering sebagai alat pendukung untuk menghubungkan para desainer dengan perasaan dan desain yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Hal ini bertujuan untuk menganalisa perilaku konsumen dan kemudian menerjemahkan kedalam bentuk desain produk dari Kansei juga menargetkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dengan melihat aspek fisiologis dan psikologis yang memberikan kontribusi besar terhadap kepuasan pelanggan. 1.2. Perumusan Masalah. Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang berkembang saat ini, bagaimana mengembangkan model perancangan untuk menunjang kreatifitas desainer atau pengrajin sepatu di Manding, dalam menerjemahkan persepsi konsumen yang abstrak ke dalam desain produk yang diinginkan berdasarkan makna kata. 1.3. Batasan permasalahan Untuk lebih menfokuskan penelitian ini maka diambil batasan-batasan permasalahan terhadap penelitian yang dilakukan yaitu sebagai berikut, 1. Obyek yang diteliti adalah produk sepatu formal pria yang difokuskan pada eksteriornya 2. Model pengembangan perancangan berdasarkan struktur makna kata menggunakan database WordNet. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukan penelitian ini adalah memperoleh rancangan produk sepatu formal pria denga perincian sebagai berikut: 1. Mengembangkan makna kata/ kesan konsumen terhadap produk sepatu yang diterjemahkan kedalam suatu desain eksterior sepatu 2. Mendapatkan model perancangan sepatu formal pria berdasarkan struktur makna yang sesuai dengan persepsi konsumen.
8 1.5.Manfaat penelitian Pada hakekatnya penelitian ini bermanfaat sebagai alat menerjemahkan kesan konsumen dalam bentuk kata atau kalimat kedalam sebuah bentuk desain untuk membantu para desainer dan produsen membangun sebuah desain sesuai dengan keinginan dari pelanggan yang dianggap selama ini bersifat abstrak. 1.6. Keaslian Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka, maka tesis serta penelitian yang didalamnya adalah asli dan bukan jiplakan dari hasil karya orang lain, kecuali sumber-sumber yang tertera pada daftar pustaka.