I. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni :

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda

METODE PENELITIAN. Penelitian yang mengkaji atau menganalisis fenomena di masyarakat mengenai

BAB I PENDAHULUAN. suatu arena atau wilayah tertentu. Aktivitas sabung ayam sejatinya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Tinjauan tentang Ritual-ritual Keagamaan yang Menggunakan Tabuh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara

PENERAPAN PASAL 303 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TENTANG PERJUDIAN TERKAIT SABUNG AYAM DI PROVINSI BALI

I. PENDAHULUAN. Fenomena perjudian bukanlah hal yang baru dalam kehidupan masyarakat, sejak dulu sampai

PENYELENGGARAAN TAJEN: JUDI VERSUS SARANA PEMASUKAN BAGI DESA ADAT DAN MASYARAKAT

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

1. PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi:

BAB I PENDAHULUAN. multikultural yang tidak akan sama dengan kelompok sosial lainnya yang dimana Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemajuan komunikasi dan pola pikir pada zaman sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup. Rohim (2009:21) mengatakan bahwa komunikasi adalah proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. beli dan dilanjutkan dengan menggunakan alat tukar seperti uang.

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Hari Raya Nyepi tahun Baru Saka 1935, Jakarta, 7 April 2013 Minggu, 07 April 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak akan lepas dari norma yang

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

PEMBAHASAN. A. Studi Masyarakat Indonesia

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar yang terdapat di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

TARI KREASI NANGGOK DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Jawa Barat. Indramayu disebut dengan kota mangga karena Indramayu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang. terdiri dari ribuan pulau-pulau dimana masing-masing penduduk dan suku

BAB I PENDAHULUAN. dengan daerah lain menunjukan ciri khas dari daerah masing-masing.

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

Bab I PENDAHULUAN. sesamanya. Hubungan sosial di antara manusia membentuk suatu pola kehidupan tertentu yang

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati yang terdapat di bumi ini pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Budaya lokal menjadi media komunikasi di suatu daerah yang dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya adalah suatu konsep yang secara formal didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara memiliki kebudayaan yang beragam. Kebudayaan juga

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, dan dari kebiasaan itu yang nantinya akan menjadi kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sebagai objek daya tarik wisata meliputi; pesta panen hasil kebun, makan adat Horum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki akal dan pikiran yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Peringatan Maulid Nabi Muhammad, merupakan peristiwa bersejarah bagi

Kebudayaan (2) Pengantar Antropologi. Dian Kurnia Anggreta, S.Sos, M.Si 1

BAB I PENDAHULUAN. keberadaan masyarakat Jawa yang bermigrasi ke Sumatera Utara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan di masyarakat sering sekali pelanggaran terhadap

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

5.1. KESIMPULAN FAKTUAL

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia bertindak dan bertingkah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai Upacara Tingkapan karena

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG KEAMANAN DAN KETERTIBAN

BAB I PENDAHULUAN. Dekke naniarsik (ikan mas arsik) atau dekke naniura. Dekke dalam bahasa

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB V KESIMPULAN. Penelitian lapangan ini mengkaji tiga permasalahan pokok. tentang bunyi-bunyian pancagita yang disajikan dalam upacara

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki culture yang

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Kajian Perhiasan Tradisional

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB I PENDAHULUAN. menyebut dirinya dengan istilah Hokkian, Tiochiu, dan Hakka. Kedatangan

BAB I PENDAHULUAN. menarik. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan keindahan, manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang dimiliki etnis Bali bermacam-macam, seperti kebudayaan yang sifatnya tradisional maupun bersifat modern. Etnis bali mampu masuk ke dalam wilayah etnis lain namun tidak pernah menghilangkan kebudayaan dan kebiasaan yang mereka miliki, karena kebudayaan dan kebiasaan tersebut telah mendarah daging dalam kehidupan mereka. Di Pulau Sumatra tepatnya di wilayah Lampung banyak masyarakat etnis Bali yang tinggal menetap di sana, meskipun masyarakat etnis Bali telah berbaur dengan masyarakat etnis Lampung namun kebudayaan dan kebiasaan mereka tidak pernah hilang. Di Lampung, sebagian besar dari masyarakat etnis Bali tinggal di lingkungan komunitas mereka sendiri dan tidak tinggal berdampingan dengan suku asli Lampung. Di Desa Restu Rahayu Kecamatan Raman Utara, Lampung Timur merupakan salah satu contohnya, masyarakat yang tinggal di desa tersebut sebagian besar merupakan etnis Bali. Masyarakat etnis Bali sebagian besar beragama Hindu. Agama Hindu merupakan agama yang memiliki nilai-nilai yang universal, seperti religius, estetika, solidaritas, dan keseimbangan. Nilai-nilai tersebut yang selalu

2 dijalankan dan dijadikan sebagai pedoman oleh masyarakat etnis Bali dalam kehidupan sehari-hari. Selain nilai-nilai, agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar yang harus dipahami dan ditaati oleh umat Hindu, yaitu tatwa, susila, dan upacara/ritual. Dari tiga unsur kerangka dasar di atas yang menjadi ciri khas umat Hindu etnis Bali adalah upacara atau ritual. Masyarakat Bali yang beragama Hindu memiliki berbagai macam bentuk upacara atau ritual keagamaan, seperti upacara masakapan atau pewiwahan atau yang lebih kita kenal dengan upacara perkawinan adat Bali, panggur (potong gigi), ngaben (pembakaran mayat), dan bahkan upacara persembahan suci seperti ritual tabuh rah. Umat Hindu di Bali dalam kehidupannya menjadi harmonis dengan menjalankan ajaran Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kebahagiaan, atau dengan kata lain menjadikan kehidupan masyarakat menjadi seimbang yang pada akhirnya memberikan kebahagiaan. Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yang artinya tiga, Hita yang artinya hubungan, dan Karana artinya harmonis, dengan kata lain Tri Hita Karana berarti tiga bentuk hubungan yang menjadikan manusia hidup harmonis yang menyebabkan timbulnya kebahagiaan (Astiti, 2011: 28). Tiga bentuk Tri Hita Karana adalah (1) hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, dimana manusia harus patuh dan taat pada Tuhan karena manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, (2) hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, karena manusia tidak dapat hidup sendiri (manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain), dan (3) hubungan yang harmonis antara manusia dan alam semesta, dimana manusia selalu

3 bergantung pada alam, mulai dari sandang, pangan, dan papan. Masyarakat etnis Bali juga menganggap alam merupakan bagian dari mereka yang tidak dapat dipisahkan (Sudira, 2011: 2). Masyarakat Hindu meyakini bahwa tidak hanya makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan) saja yang tinggal di alam semesta, melainkan juga terdapat makhluk yang tidak bisa terlihat oleh panca indra (makhluk gaib). Makhluk gaib ada yang baik dan jahat, karena itu agar tidak diganggu oleh makhluk hidup yang jahat maka mereka harus memberikan persembahan. Pada setiap upacara yajna, umat Hindu selalu melakukan upacara persembahan suci kepada bhuta dan kala karena bhuta dan kala merupakan salah satu dari unsur alam. Upacara persembahan suci dilakukan dengan cara mengorbankan hewan ternak, seperti kerbau, bebek, ayam, dan lainnya. Persembahan juga dapat dilakukan dengan cara perang satha, yaitu pertarungan dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pralina (pemusnahan). Perang satha dalam etnis Bali lebih dikenal dengan sebutan tabuh rah. Mayarakat Bali memaknai perang satha sebagai simbol dari perjuangan hidup manusia. Pelaksanaan tabuh rah dilakukan tiga babak atau tiga putaran karena mengandung arti magis bilangan tiga, yakni sebagai lambang dari permulaan, tengah, dan akhir. Hewan yang digunakan dalam pelaksanaan tabuh rah biasanya menggunakan enam ekor ayam jantan. Selain ayam jantan, ritual tabuh rah juga dapat menggunakan telur sebagai penggantinya. Apabila orang melihat tabuh rah, sepintas mirip seperti sabung ayam, namun sebenarnya kedua hal tersebut berbeda. Menurut kepercayaan masyarakat Bali, tabuh rah merupakan sebuah

4 ritual religius yang harus dijaga, karena kepercayaan merupakan adrikodati di atas manusia (Putra, 2013: 18). Mereka percaya bahwa kekuatan yang berkaitan dengan religi atau keagamaan merupakan perintah dari Yang Maha Kuasa yang harus dilaksanakan. Ritual religius dalam tabuh rah bermakna sebagai persembahan suci yang ditujukan untuk bhuta dan kala, yaitu makhluk halus jahat yang sifatnya merusak, sehingga tabuh rah diadakan sebagai persembahan atau pengorbanan suci kepada bhuta dan kala (Hidayat, 2011: 12). Tabuh rah merupakan ajang tontonan yang mengasikkan, namun dalam pelaksanaannya tidak dilakukan setiap saat. Pelaksanaan dari ritual ini dilakukan saat upacara bhuta yajna, yaitu sebuah ritual yang dilakukan sebelum hari nyepi dan acara-acara lainnya seperti piodalan atau pujawali (Hidayat, 2011: 4). Tempat pelaksanaan ritual tabuh rah adalah di tempat yang dianggap suci bagi umat Hindu, seperti pura, merajan, atau sanggah. Tabuh rah merupakan ritual keagamaan yang harus tetap dijaga karena ritual tabuh rah sendiri merupakan salah satu bagian yang penting dari upacara suci dalam agama Hindu. Di kalangan masyarakat Jawa yang beragama Hindu, tabuh rah dikenal dengan sebutan menetak gulu, namun masyarakat Bali lebih mengenal dengan sebutan tabuh rah. Jadi, dapat dipastikan bahwa tabuh rah merupakan ritual yang bersumber dari ajaran agama dan harus dilaksanakan oleh masyarakat yang beragama Hindu (Hidayat, 2011: 4). Masyarakat Indonesia bersifat tidak statis atau selalu dinamis, artinya selalu berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Begitu pula yang terjadi pada

5 masyarakat Hindu Bali dan ritual tabuh rah yang hakekatnya merupakan ritual suci dan sakral, kini telah bergeser menjadi sebuah ajang perjudian yang dikenal dengan sebutan tajen. Sebagian orang memahami bahwa tajen merupakan aktivitas yang maknanya sama seperti tabuh rah, namun pada hakekatnya sebenarnya berbeda (Morgan, dalam Putra, 2013: 22). Tajen merupakan sebuah ajang perjudian sabung ayam yang telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Bali. Awalnya dari seni permainan sabung ayam yang memiliki nilai hiburan, namun lambat laun berubah menjadi ajang taruhan uang (agar menambah kegairahan bermain dengan harapan agar mendapatkan kemenangan). Akibatnya, nilai sakral keagamaan yang terkandung dalam ritual tabuh rah dan nilai hiburan dari sabung ayam menjadi kabur, sedangkan unsur judi semakin menguat. Tajen merupakan aktivitas sabung ayam yang di dalamnya mengandung unsur perjudian tanpa adanya unsur ritual religius, selain itu tajen juga tidak memiliki makna tertentu dalam ajaran Hindu, bahkan tajen harus diberantas dan tidak boleh dilestarikan. Namun di Bali sendiri (meskipun dilarang) tajen seringkali dijadikan sebagai sebuah ajang yang dapat menarik para wisatawan dari luar daerah, bahkan manca negara. Penikmat tajen yang datang dari daerah-daerah lain bahkan manca negara, tidak hanya menonton, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam perjudian. Pelaksanaan judi tajen dilakukan di luar pura (dapat dilakukan di mana saja) dan tidak harus dalam waktu tertentu seperti upacara tabuh rah di pura atau merajan. Pelaksanaan tabuh rah menggunakan tiga sistem putaran atau tiga babak, sedangkan tajen tidak menggunakan sistem putaran. Permainan tajen disesuaikan

6 dengan ketersediaan jumlah ayam jantan yang ingin diadu, bahkan tajen dapat dilakukan tiga hari tiga malam sesuai dengan keinginan para pemain. Pemain atau pecandu judi dari tajen sendiri sebagian besar adalah kaum laki-laki, dan mereka rela menghabiskan waktu dalam rangkaian kegiatan tersebut. Merawat ayam bagaikan merawat anak sendiri, seperti rajin memberi makan, minum, bahkan sampai mengajak berbicara ayam peliharaannya, sampai-sampai mereka melupakan kewajibannya (Geertz, 1973: 417). Bagi sebagian masyarakat, kebiasaan tajen ini sulit dihilangkan karena telah mendarah daging. Pemerintah juga telah melarang kegiatan judi tajen tersebut karena perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara (UU No 7 Tahun 1974). Menurut KUHP Pasal 303 ayat 1, bagi orang yang terbukti melaksanakan judi akan dijatuhi hukuman (seberat-beratnya sepuluh tahun penjara dan denda sebesar-besarnya dua puluh lima juta rupiah). Selain itu kitab Manawa Dharmasastra IX.221 juga menjelaskan, perjudian dan pertaruhan supaya dihilangkan karena dapat merusak moral masyarakat dan diri kita sendiri. Kerusakan moral dapat meningkatkan angka kriminalitas sehingga menjadikan hidup masyarakat menjadi tidak tentram dan sejahtera. Selain meningkatkan angka kriminalitas, keharmonisan hubungan antara penduduk etnis Bali dengan penduduk etnis-etnis yang lain juga dapat terganggu. Kegiatan judi tajen juga dilakukan masyarakat yang tinggal di Desa Restu Rahayu yang berada di wilayah Kecamatan Raman Utara, Lampung Timur. Kebanyakan

7 kaum pria di desa tersebut sering melakukan judi tajen, yang terkadang dilakukan setiap minggu sekali. Mereka biasa melakukan judi tajen tersebut di tempattempat yang tertutup, seperti di tengah-tengah kebun karet. Seharusnya ritual tabuh rah yang suci tetap dipertahankan sebagaimana mestinya, bukan disalahgunakan menjadi ajang perjudian yang dinamakan tajen. Namun pada kenyataannya ritual suci tersebut telah disalahgunakan, dan itulah yang terjadi di Desa Restu Rahayu Kecamatan Raman Utara, Lampung Timur. Oleh karena itu, penelitian ini akan dilaksanakan dengan kajian sabung ayam, baik dalam kaitannya dengan ritual keagamaan tabuh rah maupun kaitannya dengan kegiatan perjudian (tajen), serta makna dari ritual tabuh rah sendiri. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang menjadi pokok penelitian ini adalah: 1. Apa makna dari ritual tabuh rah dan judi tajen? 2. Bagaimana proses pelaksanaan upacara tabuh rah dan judi tajen yang dilaksanakan di Desa Restu Rahayu, Kecamatan Raman Utara Lampung Timur? C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan makna dari ritual tabuh rah dan judi tajen 2. Menganalisis proses pelaksanaan kegiatan tabuh rah dan judi tajen yang ada di Desa Restu Rahayu, Kecamatan Raman Utara Lampung Timur

8 D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan sosial atau sosiologi, khususnya sosiologi kebudayaan. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan dalam mengkaji permasalahan sosial dalam masyarakat yang erat kaitannya dengan perjudian sabung ayam. 2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan serta pengetahuan bagi masyarakat umum, mengenai makna tabuh rah dan tajen sehingga masyarakat tidak lagi salah persepsi tentang makna tabuh rah dan tajen.