Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

ANALISIS KEBIJAKAN KETAHANAN EKONOMI INDONESIA Rabu, 19 Oktober 2011

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. minyak dunia yang turun, dollar yang menguat dan revolusi shale gas oleh Amerika

I. PENDAHULUAN. dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi bukanlah merupakan hal yang baru bagi kita. Globalisasi

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

Sembuh Dari Penyakit Subsidi BBM: Beberapa Alternatif Kebijakan

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

VIII. EFISIENSI DAN STRATEGI ENERGI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

Versi 27 Februari 2017

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

1. BAB I PENDAHULUAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. keberlangsungan suatu negara dan diyakini merupakan lokomotif penggerak dalam

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, hal ini

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

2015, No Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhi

Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

Analisis Perkembangan Industri

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

IV. GAMBARAN UMUM. diperbaharui, atau perbahuruannya membutuhkan waktu yang sangat lama.

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN AGUSTUS 2016

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

BAB I PENDAHULUAN. tren yang fluktiasi dengan indikator-indikator yang mempengaruhinya.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi.

Energi di Indonesia. Asclepias Rachmi Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi. 3 Mei 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

Konsolidasi Fiskal dan Komitmen Indonesia pada G20 1

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS

I. PENDAHULUAN. Namun demikian cadangan BBM tersebut dari waktu ke waktu menurun. semakin hari cadangan semakin menipis (Yunizurwan, 2007).

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. energi fosil. Jumlah konsumsi energi fosil tidak sebanding dengan penemuan

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

Analisis Perkembangan Industri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi sejalan dengan

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014

ANALISA PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLLAR AMERIKA DALAM RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan kelebihan produksi barang dan jasa tersebut demikian juga negara lain. Jika

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan dan pariwisata atau dalam istilah tertentu pariwisata memimpin

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

Uka Wikarya. Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat,

Neraca Perdagangan Januari-Oktober 2015 Surplus USD 8,2 M, Lebih Baik dari Tahun Lalu yang Defisit USD 1,7 M. Kementerian Perdagangan

PERDAGANGAN LUAR NEGERI EKSPOR IMPOR SUMATERA SELATAN JUNI 2016

Pertumbuhan PDB Stabil dengan Basis yang Lebih Luas

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

Konsumsi Energi Indonesia: Seberapa Boros?

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan program Konversi minyak tanah ke LPG yang ditetapkan oleh

BAB I PENDAH ULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2016

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

Nilai ekspor Jawa Barat Desember 2015 mencapai US$2,15 milyar naik 5,54 persen dibanding November 2015.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

Kondisi Perekonomian Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU

Harga Minyak Mentah Dunia 1. PENDAHULUAN

Mengapa Harga BBM Harus Naik?

Otonomi Energi. Tantangan Indonesia

BPS PROVINSI JAWA BARAT

Pidato Presiden RI tentang Pelaksanaan Penghematan Energi Nasional, Jakarta, 29 Mei 2012 Selasa, 29 Mei 2012

Transkripsi:

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014 Akhir-akhir ini di berbagai media ramai dibicarakan bahwa â œindonesia sedang mengalami krisis energiâ atau â œindonesia sedang mengalami kelangkaan energiâ. Fakta di lapangan memang menunjukkan terjadinyaâ kelangkaan BBM bersubsidi maupun LPG bersubsidi bahkandi beberapa SPBU di luar Jawa sering ditemukan SPBU tutup dengan alasan BBM habis, namun dipinggir jalan banyak yang berjualan BBM dengan harga jauh diatas harga subsidi. Teori penawaran dan permintaan menjelaskan bahwa jika suatu komoditi dijual dengan harga subsidi (dibawah harga pasar atau dibawah harga keseimbangan antara penawaran dan permintaan atau dibawah harga keekonomian), maka akan mengakibatkan terjadinya peningkatan permintaan dan kelangkaan pasokan. Intensitas kelangkaan pasokan dan peningkatan permintaan akan semakin tinggi jika komoditi tersebut dijual jauh dibawah harga pasar. Atas dasar itu maka perbedaan harga yang cukup tinggi antara harga BBM bersubsidi maupun LPG bersubsidi dengan harga pasar merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan dan kelangkaan pasokan BBM dan LPG bersubsidi. Sebagai ilustrasi, pada nilai tukar Rp 12.000/USD dan harga minyak mentah Indonesia 105 USD/barrel maka harga pasar BBM sekitar Rp 11.000/liter dan harga pasar LPG sekitar Rp 13.000/kg. Harga pasar ini jauh diatas harga BBM bersubsidi sebesar Rp 6.500/liter dan harga LPG bersubsidi sebesar Rp 5.850/kg. Dengan perbedaan antara harga pasar dan harga bersubsidi BBM dan LPG yang cukup besar,â maka kelangkaan pasokan dan peningkatan permintaan BBM dan LPG bersubsidi pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan yang pasti terjadi. Disamping faktor alamiah yang tercermin pada dinamika keseimbangan penawaran dan permintaan, kelangkaan BBM bersubsidi juga terjadi akibat meningkatnya permintaan BBM sejalan dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor sedangkan kuota BBM yang ditetapkan didalam APBN terbatas. Lebih lanjut kelangkaan juga semakin intens karena terjadinya transaksi ilegal atau penyalahgunaan BBM bersubsidi serta adanya pemindahan ilegal gas LPG dari tabung 3 Kg ke tabung 12 kg akibat perbedaan harga yang cukup tinggi. Sementara di sisi lain fakta juga menunjukkan bahwa Indonesia mengekspor energi dalam bentuk gas alam cair dalam jumlah yang cukup besar ke Jepang dan Korea Selatan serta ke Republik Rakyat Tiongkok dan juga mengekspor batubara yang cukup besar ke beberapa negara Industri di Asia Timur dan India. Ekspor/impor energi sebetulnya merupakan suatu hal yang lumrah didalam perdagangan internasional. Devisa yang diperoleh dari ekspor energi tentunya bisa digunakan untuk membiayai impor energi. Permasalahannya Indonesia mengekspor gas alam cair dan batubara dengan harga setara per unit energinya relatif lebih murah dibandingkan harga minyak/bbm. Kemudian devisa yang diperoleh dari mengekspor gas alam cair dan

batubara tersebut digunakan untuk mengimpor minyak dan BBM yang harga setara per unit energinya jauh lebih mahal. Selanjutnya minyak/bbm yang sebagian diimpor dengan harga yang mahal tersebut dijual dengan harga bersubsidi terutama untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor transportasi dan pembangkit listrik serta rumah tangga. Di sisi lain pembangkit listrik masih banyak menggunakan BBM sebagai energi primer dan bahkan pembangkit listrik yang dirancang menggunakan gas kadangkala ketika pasokan gas terkendala masih menggunakan BBM sebagai energi primer serta ada pembangkit listrik tenaga gas yang sama sekali belum pernah atau jarang menggunakan gas sebagai energi primernya. Memang terdapat beberapa alasan mengapa gas alam cair sebagian besar diekspor. Alasan tersebut antara lain ketika lapangan gas dikembangkan belum ada pembeli domestik yang mampu mengikat kontrak pembelian gas dengan harga komersial dalam jangka panjang dan belum tersedianya infrastruktur berupa terminal penerima gas dan jaringan perpipaan. Alasan ini tidaklah sepenuhnya sahih karena fakta menunjukkan tidak semua gas alam cair diekspor dengan harga komersial dan bahkan ada gas alam cair yang diekspor dengan harga sangat murah yang tentunya kalau dijual ke pasar dalam negeri banyak yang mampu membeli gas tersebut. Pembangunan pembangkit listrik menggunakan batubara yang cukup murah biaya pembangkitannya yang diharapkan dapat menurunkan biaya energi dalam kenyataannya tersendat-sendat sehingga untuk memenuhi permintaan tenaga listrik yang terus meningkat dilakukan dengan menyediakan mesin pembangkit berbahan bakar BBM. Dampak terhadap perekonomian Penjualan BBM bersubsidi dengan harga yang sangat murah telah mengakibatkan terjadinya pertumbuhan permintaan konsumsi energi yang tinggi yang melampaui tingkat pertumbuhan produktivitas ekonomi. Rasio antara tingkat petumbuhan permintaan energi terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi disebut sebagai elastisitas energi. Semakin rendah elastisitas energi berarti semakin efisien pemakaian energi. Berdasarkan keterangan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagaimana dimuat di Majalah Geo Energi edisi 36, Tahun III, Oktober 2013, elastisitas energi di Indonesia saat ini masih 1,63 lebih tinggi bila

dibandingkan Thailand dan Singapura yang masing-masing mencapai 1,4 dan 1,1. Bahkan indeks elastisitas energi di Negara maju antara 0,1 hingga 0,6. Artinya untuk pertumbuhan ekonomi 1% di Indonesia diperlukan pertumbuhan penyediaan energi sebesar 1,63%. Tingkat efisiensi pemakaian energi juga bisa dihitung menggunakan intensitas energi yaituâ perbandingan antara jumlah konsumsi energi yang diperlukan untuk menghasilkan satu satuan pendapatan domestik bruto (PDB). Tabel berikut menyajikan intensitas energi berbagai negara dalam 5 tahun terakhir sebagai bahan perbandingan. NEGARA Intensitas energi (kilo oil equivalent/usd 1 GDP (nilai konstan 2005)) 2009 2010 2011 2012 2013

Rata-Rata Amerika Serikat 0,166 0,168 0,164 0,155 0,156 0,162 Jepang

0,107 0,109 0,104 0,102 0,099 0,104 Jerman 0,108 0,109

0,101 0,103 0,105 0,105 Korea Selatan 0,230 0,232 0,235 0,232

0,226 0,231 Indonesia 0,379 0,397 0,397 0,377 0,373 0,385

Malaysia 0,430 0,434 0,408 0,404 0,390 0,413 Filipina 0,228

0,214 0,215 0,210 0,204 0,214 Â Â Â Â Sumber: Diolah dari BP Statistical Review of World Energy 2014 &The World Bank GDP (constant 2005 US$) Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata dalam 5 tahun terakhir untuk menghasilkan PDB senilai US$ 1 (nilai konstan

2005) di Indonesia diperlukan energi 0,385 kilo oil equivalent (koe), di Amerika Serikat 0,162 koe, di Jepang 0,104 koe, di Jerman 0,105 koe, di Korea Selatan 0,231 koe, di Malaysia 0,413 koe dan di Filipina 0,214 koe. Artinya untuk menghasilkan unit PDB yang sama di Indonesia memerlukan energi 2,38 kali Amerika Serikat, 3,70 kali Jepang, 3,67 kali Jerman, 1,67 kali Korea Selatan, 0,93 kali Malaysia dan 1,80 kali Filipina. Efisiensi pemakaian energi di Filipina kurang lebih menyamai Korea Selatan. Hal ini terjadi karena di kedua negara tersebut BBM, listrik dan LPG tidak disubsidi. Sedangkan efisiensi pemakaian energi di Indonesia dan Malaysia relatif boros karena dikedua negara ini harga BBM dan LPG mendapatkan subsidi yang cukup besar. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa energi yang antara lain sebagian diimpor oleh Jepang dari Indonesia selain harganya lebih murah dibandingkan harga setara minyak/bbmternyata sangat produktif sekali pemakaiannya yaitu mampu menghasilkan PDB 3,70 kali lebih besar dari Indonesia. Korea Selatan yang juga sebagian energinya diimpor dari Indonesia dengan jumlah energi yang sama mampu menghasilkan PDB 1,67 kali lebih besar dari Indonesia. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa penggunaan energi di Indonesia selain boros juga tidak produktif karena banyak energi dihamburkan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif terutama di sektor transportasi. Akibat ketidakefisienan pemakaian energi tersebut maka permintaan energi terus meningkat lebih tinggi dari peningkatan produktivitas. Peningkatan permintaan minyak/bbm selanjutnya mengakibatkan peningkatan impor minyak/bbm yang cukup tinggi karena Indonesia sudah lama menjadi net importer minyak/bbm sehingga berkontribusi terhadap defisit neraca perdagangan maupun terhadap defisit neraca pembayaran. Karena BBM dijual dengan harga subsidi yang semakin lama semakin besar jumlahnya maka beban anggaran subsidi juga semakin meningkat yang akhirnya bermuara pada defisit anggaran yang semakin tinggi. Kedua defisit ini yaitu defisit neraca pembayaran dan defisit fiskal sering disebut sebagai double deficit atau twin deficit. Defisit anggaran yang semakin tinggi ditutupi dengan utang dalam bentuk obligasi yang juga terus meningkat jumlahnya. Peningkatan utang untuk menutup defisit anggaran dalam kondisi double dificitpada akhirnyaberujung pada tingginya sukubunga. Selanjutnya peningkatan impor minyak/bbm yang tinggiâ dalam kondisi double deficit mengakibatkan terus tertekannya nilai tukar rupiah yang saat ini sudah berada pada kisaran Rp 12.000/USD. Dampak lain dari subsidi BBM atau murahnya harga BBM adalah munculnya disinsentif terhadap pengembangan atau pemakaian energi alternatif seperti LPG dan gas alam untuk transportasi. Kebijakan subsidi BBM/LPG juga merupakan barrier to entry bagi peritel BBM/LPG sehingga hanya ada satu peritel yang mendominasi pasar BBM/LPG. Bandingkan dengan kondisi di Korea Selatan dan Filipina yang memiliki belasan peritel BBM/LPG sehingga menimbulkan kompetisi yang sehat dengan harga BBM/LPG yang bersaing.lahirnya pasar BBM/LPG yang sehat atau

kompetitif akan meningkatkan bauran energi sehingga meningkatkan ketahanan energi nasional. Subsidi energi terutama subsidi BBM dalam kenyataannya ikut berkontribusi terhadap semakin melebarnya kesenjangan karena sekitar 70% pengguna BBM adalah golongan mampu. Masyarakat miskin bahkan sama sekali tidak menggunakan BBM karena tidak memiliki kendaraan bermotor dan masyarakat miskin di perdesaan masih menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak. Jalan keluar dari kompleksitas dan ketidakefisienan serta ketidakadilan ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan subsidi energi terutama subsidi BBM tiada lain adalah menghapuskan subsidi energi. Penghapusan subsidi energi tentunya dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan dampak inflasi yang memberatkan serta pelaksanaannya diiringi dengan penyediaan bahan bakar alternatif yang harganya lebih murah seperti LPG dan gas alam termasuk penyediaan infrastruktur pendistribusiannya. Selanjutnya subsidi energi dialihkan menjadi subsidi langsung dalam bentuk cash transfer atau bentuk bantuan lainnya bagi masyarakat miskin. Subsidi langsung ini dalam kenyataannya mampu mengatasi kesenjangan sebagaimana telah dibuktikan di Brazil yang mampu menurunkan gini ratio sebesar 0,1.  oleh: Chairil Abdini Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Kementerian Sekretariat Negara