BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV KEBUTUHAN SOSIOLOGIS SEBAGAI PEMBENTUK MODAL SOSIAL. diidentifikasi bahwa karakter sosio-teologis mewarnai dasar dan proses Pembentukan

LAMPIRAN. Pedoman Wawancara Penelitian

BAB IV KOMUNITAS DIBO-DIBO: Menelusuri Aktivitas Sosio-Ekonomi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II PERSPEKTIF TENTANG KOMUNITAS

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB V EKSISTENSI KOMUNITAS DIBO-DIBO DALAM MASYARAKAT SUKU SAHU

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM

BAB I PENDAHULUAN. mahluk biologis merupakan individu yang mempunyai potensi-potensi diri yang

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang

STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

Komunitas Dibo-dibo. (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) Oleh : Anthon Alberth Ngarbingan

PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi

BAB IV STANDAR KOMPETENSI GURU. Setelah membaca materi ini mahasiswa diharapkan memahami standar

STUDI MASYARAKAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran yang menanamkan. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah dapat

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU. Dr. Ali Mustadi, M. Pd NIP

BAB II LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS

CIRI-CIRI LEMBAGA SOSIAL A. Ciri utama lembaga sosial (J.B. Chitambar) Merupakan seperangkat pola perilaku yg diterima termasuk peranan-peranan dan

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis,

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

WALIKOTA PALANGKA RAYA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

Negosiasi Bisnis. Minggu-11: Hubungan Dalam Negosiasi. By: Dra. Ai Lili Yuliati, MM, Mobail: ,

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB I PENDAHULUAN. demikian merupakan salah satu bentuk dari solidaritas sosial. 1

BAB V PENUTUP. tinggi tingkatan usaha pedagang barang bekas maka memiliki relasi kerja yang semakin

MODUL PERKULIAHAN Kapita Selekta Ilmu Sosial Sistem Sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ini merupakan sifat dasar masyarakat. Perubahan masyarakat tiada hentinya, jika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB V SIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB XI P E N U T U P. Hasil penelitian memperlihatkan kelembagaan-kelembagaan lokal yang terlibat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB VIII ANALISIS KOMUNITAS PEMULUNG

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor industri sebagai bagian dari proses pembangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENERAPAN TEKNIK TPS (THINK, PAIR, AND SHARE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENENTUKAN KALIMAT UTAMA PARAGRAF DESKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu

BAB VII SEJARAH PEMEKARAN DAN PENGGABUNGAN WILAYAH Kronologi Pemekaran Wilayah Tiga Kecamatan Sejarah Terbentuknya Tiga Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika berasal dari bahasa Yunani adalah studi besaran, struktur,

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

BAB II KERANGKA TEORI. pengalaman serta lingkungan sekitar dari manusia tersebut tinggal.

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dihasilkan dari analisis data dapat digeneralisasikan pada populasi penelitian.

I. PENDAHULUHAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan satuan sosialnya yaitu keluarga. Menurut Khairudin (1997 : 43) keluarga

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. disekelilingnya. Ini merupakan salah satu pertanda bahwa manusia itu

KONSEP INTERAKSI KOMUNIKASI PENDAHULUAN

BAB V PENUTUP. masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang

BAB II KERANGKA TEORI DAN KERANGKA PIKIR. tingkat bunga kredit secara komparatif tinggi yaitu 20% per angsuran

BAB I PENDAHULUAN. istiadat. Wujud kedua, adalah sistem sosial atau social sistem yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan gotong royong sangat

PANDANGAN HIDUP SISTEM

BAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang

BAB 5 PENUTUP. Utopia.com..., Raditya Margi Saputro, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan

Standard Guru Penjas Nasional (Rumusan BSNP)

sosial kaitannya dengan individu lain dalam masyarakat. Manusia sebagai masyarakat tersebut. Layaknya peribahasa di mana bumi dipijak, di situ

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

KELOMPOK SOSIAL. Oleh Firdaus

BAB I PENDAHULUAN. Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks

PEDOMAN KEBIJAKAN CODE OF CONDUCT PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijabarkan pada dua bab sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa komunitas karakter sosial dan juga karakter ekonomi memiliki hubungan yang erat. Keterhubungan antara karakter sosial dan ekonomi sangat ditandai oleh aktivitas ekonomis yang dilakukan dibo-dibo setiap hari. Dan aktivitas ini yang menjadi ciri khas mereka. Dengan ciri khas di atas, jika dikaitkan dengan motivasi mereka, baik motivasi sosial maupun motivasi ekonomis, dapat dijelaskan bahwa motivasi tersebut keluar sebagai akibat dari persamaan tujuan yang hendak dicapai oleh sesama anggota, baik dalam lingkup jaringan maupun antar sesama jaringan dalam komunitas yang lebih luas. Persamaan tujuan seperti itu dapat dikategorikan sebagai persamaan kepentingan, yang kemudian tipe mereka ini adalah community of interest. Mereka ini disebut sebagai community of interest karena tidak hidup dalam tempat yang sama, tetapi memiliki kepentingan yang sama. Dengan dasar kepentingan yang sama inilah yang mendasari seluruh aktivitas mereka seharihari. Dalam konteks kepentingan ini, Tonnies (1957) mendefinisikan sebagai zweckwille, yang mana zweckwille merupakan kemauan rasional yang bermuara pada pilihan rasional. Motivasi para dibo-dibo dalam komunitas ini, yang digerakkan oleh persamaan tujuan semua anggota, akan menggiring setiap orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang rasional untuk mencapai tujuan bersama itu. Kemauan yang melandasi tindakan individu adalah dasar utama dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Demikian juga 61

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) dengan komunitas dibo-dibo, persamaan tujuan merupakan kemauan bersama yang melandasi keberadaan komunitas dibo-dibo. Ciri khas mereka yang berlandaskan pada kepentingan, telah membuat mereka bisa melampaui identitas dan kebiasaan kultural yang membungkus masyarakat. Pola hidup sebagai orang Sahu dan orang Ternate, akan menjadi kabur sebagai akibat dari pertemuan- pertemuan dan komunikasi yang intensif di antara mereka. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan terjadi kesulitan dalam mengidentifikasi dibo-dibo yang berasal dari Sahu, atau dibo-dibo yang berasal dari Jailolo (mengingat kedua suku ini memiliki pola yang berbeda. Selain itu, persamaan kepentingan tersebut juga mengkondisikan solidaritas yang kuat di antara sesama jaringan. Sebagaimana dalam bahasa Durkheim (1964) bahwa solidaritas, khususnya solidaritas sosial yang dimaknai sebagai kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Yang mana kesetiakawanan tersebut muncul sebagai bagian dari kesadaran kolektif. Bentuk dari kesetiakawanan tersebut merupakan kesetiakawanan yang didasarkan pada pembagian porsi peran dalam menopang sebuah sistem. Dari titik ini, kesetiakawanan organik yang melandasi aktivitas dibo-dibo dalam jaringan mereka merupakan bentuk ideal, dalam pandangan Durkheim (1964), sebagai solidaritas organik. Fungsi masing-masing dibo-dibo dalam jaringan mereka menggambarkan fungsi masing-masing unsur dalam menopang sebuah sistem, yakni alur distribusi hasil kebun dari Sahu ke Ternate. Masyarakat suku Sahu sebagai penghasil yang berfungsi sebagai penyuplai, tidak akan bermakna jika fungsi tersebut tidak didukung oleh dibo-dibo kampong dan juga dibo-dibo yang memiliki jaringan di Ternate. kemudian dua kelompok dibo-dibo tersebut pun tidak bermakna fungsinya jika tidak ditopang oleh dibo-dibo yang berada di Ternate, yang kemudian berhadapan langsung dengan konsumen 62

Komunitas Dibo-dibo sebagai Jaringan yang Hidup di Ternate. kesatuan dari fungsi tersebut berdasarkan kedudukan, merupakan kesatuan fungsi dalam sistem yang utuh. Dalam konteks semacam ini, dapat diasumsikan bahwa yang utuh berarti harus fungsional. Kaitannya dengan aras fungsional semacam di atas, terlihat bahwa ada linking di antar sesama anggota. Dalam lingking tersebut ada norma timbal balik dalam setiap anggota. Norma timbal balik ini kemudian menjadi dasar dalam konstruksi pola jaringan yang tercipta pada komunitas dibo-dibo. yang bisa dilihat sebagai trust dalam komunitas dibo-dibo. Trust sebagai penyokong modal sosial, menjadi signifikan dalam kaitannya dengan negosiasi harapan dengan tindakan setiap individu (Möllering, 2001). Kata negosiasi yang dipakai pada pengertian di atas memberikan penekanan bahwa ada posis tawarmenawar pada setiap individu antara tindakan dengan harapan diri sendiri maupun orang lain terhadap hasil dari tindakan tersebut. Terjadi tawar-menawar tersebut sebagai akibat dari pengaruh variabel-variabel lain yang bisa saja mengganggu tindakan seseorang. Berangkat dari pemahaman di atas, jika dikaitkan dengan pola trust pada komunitas dibo-dibo, dapat dilihat kesesuaian. Kesesuaian tersebut tergambar pada proses negosiasi tindakan yang sering terjadi pada anggota dalam sebuah jaringan pada komunitas dibo-dibo. negosiasi tindakan akan muncul dengan sendirinya ketika seorang anggota tidak bisa memenuhi kebutuhan stok hasil kebun. Negosiasi dilakukan dalam upaya untuk menjaga kesepakatan relasi dalam jaringan. Di samping itu juga, hal ini dilakukan dalam kerangka menjaga keharmonisan dan kestabilan hubungan sosial yang terjalin selama ini. Atau dengan kata lain, keharmonisan tersebut diupayakan dalam menjaga keutuhan jaringan sosial dalam komunitas. Pola bangunan trust dalam komunitas dibo-dibo, sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4.1. menegaskan bahwa kesesuaian tindakan dengan harapan serta kejujuran adalah nilai dasar dalam hubungan timbal balik di antar sesama anggota jaringan dalam 63

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) komunitas. Kesesuaian tindakan dan kejujuran merupakan dua indikator utama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Seok-Eon Kim (2005). Walaupun dirinya lebih mengaplikasikan unsur-unsur tersebut dalam manajemen organisasi publik, akan tetapi bahwa unsur-unsur yang diidentifikasi oleh Seok-Eon Kim (2005), dengan jelas juga berlaku bagi komunitas dibo-dibo. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa unsur-unsur trust merupakan nilai-nilai yang berlaku secara universal. Pola trust semacam di atas dijalin dalam komunikasi tatap muka yang sering dilakukan oleh dibo-dibo merupakan salah satu kondisi yang sering dilakukan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Dewey (1927) bahwa peran interaksi tatap muka dalam pembentukan komunitas tidak bisa digantikan. Terlihat bahwa Dewey (1927) menganggap bahwa kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada hubungan interpersonal. Dari titik berangkat komunikasi antar pribadi yang intens, yang sering dilakukan dalam bentuk tatap muka merupakan jaminan atas terjadinya trust pada sesama dibo-dibo. Jalinan trust yang didorong oleh komunikasi tatap muka yang sering dilakukan oleh dibo-dibo memiliki nilai lebih. Nilai lebih dilihat pada signifikansi komunikasi dalam membentuk rasa kepemilikan bersama dalam sebuah komunitas. Kondisi semacam inilah yang menjadi eksistensi komunitas. Karena tatap muka yang sering dilakukan oleh dibo-dibo, baik antara dibo-dibo dengan masyarakat suku Sahu dan antara sesama dibo-dibo dalam jaringan distribusi mereka, mengkondisikan keterhubungan yang mutualis sifatnya. Dan hakikat inilah yang menjadi daya penggerak sebuah komunitas. Disebut sebagai daya penggerak karena dengan komunikasi antar pribadi dalam bentuk tatap muka akan mendorong terjadinya sharing sumber daya dan pengetahuan. Menurut Dewey (1927) bahwa tatap muka akan menjamin kepercayaan antara orang yang sering berkomunikasi. Dengan jaminan tersebut, akan menjadi prasyarat dalam share pengetahuan, terutama sumber daya di antara sesama anggota dalam jaringan mereka. 64

Komunitas Dibo-dibo sebagai Jaringan yang Hidup Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa modal sosial akan berkaitan dengan aliran norma timbal balik. Keberadaan norma timbal balik tersebut kemudian dikonstruksikan menjadi sanksi-sanksi sosial yang berlaku antar setiap pribadi dalam sebuah komunitas. Dalam kaitannya dengan sanksi-sanksi yang berada dalam komunitas dibo-dibo, diketahui bahwa bentuk sanksi yang berlaku di antara sesama anggota jaringan dalam komunitas dibodibo merupakan abstraksi dari norma timbal balik antar sesama anggota jaringan dalam komunitas. Untuk melihat sanksi-sanksi sosial tersebut di atas, harus diketengahkan dalam kedudukan dan fungsinya dalam jaringan sosial. Dalam komunitas dibo-dibo, jaringan merupakan salah satu modal utama dalam mendistribusikan hasil kebun masyarakat atau hasil kebun sendiri ke Ternate. khusus untuk hubungan dibo-dibo dengan masyarakat suku Sahu, dalam hal ini penyuplai mereka, terlihat bahwa kebanyakan dibo-dibo menjadikan keluarga mereka sebagai penyuplai. Pertimbangan utama dari pilihan tersebut adalah ketergantungan yang aktif antara sesama mereka. Artinya bahwa hubungan kekerabatan menjamin dibo-dibo untuk memperoleh hubungan dan komunikasi yang lebih intens serta trust. Selain itu pula, konsistensi tanggung jawab pun akan lebih bisa dijamin. Dengan memerhatikan pola tanggung jawab pada Gambar 4.2. diketahui bahwa alur tanggung jawab dalam anggota jaringan dibodibo memiliki konsekuensi sanksi. Dari sinilah dibangun pola jaringan, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam 4 (empat) pola. Yang mana pola jaringan tersebut memiliki dimensi tanggung jawab, yang kemudian bermuara pada kesepakatan sanksi yang mengikat mereka. Dengan demikian, sanksi yang diberlakukan secara lisan tersebut akan dimaknai dalam dimensi tanggung jawab berdasarkan kedudukan dan fungsinya dalam jaringan. Berangkat dari pola tanggung jawab dalam jaringan tersebut di atas, menurut Maturana dan Varella (1996) bahwa dalam komunitas, selalu ada dimensi kesadaran dalam diri setiap anggotanya. Kesadaran individu ini akan terus memberikan jaminan alur tanggung jawab 65

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh sesama anggota komunitas. Kesadaran tersebut menurut Maturana dan Varella (1996) muncul karena setiap individu terlibat dalam jaringan makna (mereka meminjam istilah Geertz), yang mana masing-masing merasa bermakna ketika dirinya ditemukan berelasi dengan orang lain. Dan relasi tersebut juga dibangun sebagai bagian dari tanggung jawab individu dalam jaringan sosial. Agak berbeda dengan pandangan di atas, bagi Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) bahwa individu tidak menjadi bagian yang satu dengan sistem seperti masyarakat atau komunitas. Individu dalam dirinya merupakan bagian dari lingkungan itu sendiri, akan tetapi tidak menjadi bagian yang utuh dengan sistem. Berangkat dari penekanan Parson tentang sistem yang fungsional, Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) menegaskan bahwa Parson dengan teorinya tidak dapat menjawab persoalan kemampuan sistem untuk merujuk pada dirinya sendiri. Pada titik berangkat ini, Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) walaupun menggunakan autopoetic, tetapi kemampuan merujuk pada dirinya sendiri telah mengkondisikan sistem atau jaringan tersebut akan tertutup. Dalam arti bahwa sistem tersebut tidak bersangkut paut dengan liangkungan. Katerhubungan antara lingkungan dengan sistem hanyalah relasi pengganggu untuk membentuk sistem yang lebih mapan. Jika mengacu pada pemikiran Luhman (dalam Ritzer dan Goodman, 2007) di atas, nampaknya tidak terjadi pada komunitas dibo-dibo dengan jaringan mereka. Keterbukaan mereka merupakan salah satu posisi yang menguntungkan mereka. Terutama dibo-dibo yang hidup dan berhadapan langsung dengan masyarakat suku Sahu. Pada titik berangkat relasi sub sistem, penulis bersetuju dengan pandangan Luhman bahwa subsistem tersebut akan dengan sendirinya merupakan bagian dari subsistem yang lain. Karena dari hasil penelitian bahwa dibo-dibo dengan jaringan mereka adalah salah satu subsistem yang berada pada masyarakat suku Sahu. Di samping itu pula, keberadaan jaringan dalam komunitas dibo-dibo merupakan manifestasi dari upaya untuk mempertahankan sistem dari komunitas 66

Komunitas Dibo-dibo sebagai Jaringan yang Hidup dibo-dibo. Dalam pengertian bahwa jaringan-jaringan yang terbentuk dalam komunitas ini adalah bagian dari ekspresi sistem komunitas ini dalam mempertahankan eksistensi mereka. Namun begitu, hasil penelitian ini lebih memilih untuk menolak ketertutupan sistem sebagai autopoetic versi Luhman dan menerima penegasan: Capra (1996) yang mengatakan bahwa jaringan sosial akan lebih terbuka terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya. Keterbukaan komunitas dibo-dibo juga sangat dikondisikan oleh kerterbukaan masyarakat suku Sahu. Adapun simbol keterbukaan tersebut adalah bahwa rumah adat (sasadu) dibangun dengan tidak dikelilingi oleh pagar. Di samping itu pula, rumah penduduk pun tidak dibatasi oleh pagar-pagar masing-masing keluarga. 17 Simbolisasi tersebut sangat mendukung karakter dibodibo yang terbuka. Karena bagaimana pun juga, walaupun dibo-dibo (bisa saja berasal dari daerah lain), akan tetapi mereka terus berkomunikasi dan berinteraksi secara intens dengan masyarakat suku Sahu. Tatap muka semacam inilah yang kemudian berpengaruh secara signifikan terhadap keterbukaan jaringan dibo-dibo. 18 Adapun gambaran mengenai pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 6.1 di bawah ini: 17 Karakter yang terbuka sebagaimana diapresiasikan dengan tidak adanya pembatas pagar pada rumah kampung merupakan fenomena umum yang dapat juga dijumpai di daerah lain. Symbol tersebut masih melekat pada masyarakat yang hidup di pedesaan. Kenyataan semacam ini akan terbalik jika dibandingkan dengan konteks kehidupan masyarakat kota. 18 Diakui bahwa jaringan dibo-dibo tidak selamanya berasal dari suku Sahu. Kebanyakan dari mereka adalah pendatang yang kawin-mawin dengan masyarakat setempat. Namun begitu, ada juga yang asli dari suku Sahu. 67

Komunitas Dibo-dibo (Studi tentang Aktivitas Sosio-Ekonomi Komunitas Dibo-dibo di Sahu Kabupaten Halmahera Barat) Gambar 6.1. Autopoetic Komunitas Dibo-dibo Dengan Gambar 6.1., dapat dilihat bahwa komunitas dibodibo dengan sistemnya (tergambarkan dalam pola tanggung jawab antar individu dalam jaringan), tidak hanya melibatkan individu sebagai dibo-dibo, melainkan juga kesadaran, pengalaman, strategi, bahasa pengetahuan dan budaya. Keterlibatan unsur-unsur tersebut di atas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kognitif individu. Dalam kaitannya dengan kognitif individu semacam itu, tidak akan dapat dimaknai pada diri individu sendiri, melainkan harus dibentuk dan dibangun ketika bergayut dengan individu lain dan juga lingkungannya. Dalam pemahaman ini, autopoetic komunitas dibo-dibo adalah jaringan yang hidup. Sebab dengan istilah jaringan yang hidup, dapat menjelaskan bahwa komunitas dibo-dibo merupakan jaringan entrepreneur lokal di Halmahera Barat. 68