I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia dalam konteks kehidupannya memiliki dua peran yang berbeda yaitu sebagai makhluk sosial dan makhluk pribadi.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah

HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DAN SUBJECTIVE WELL- BEING PADA GURU SEKOLAH DASAR

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini termasuk dalam penelitian komparatif. Menurut Sudjud

HUBUNGAN ANTARA RASA BERSYUKUR DAN SUBJECTIVE WELL BEING PADA PENDUDUK MISKIN DI DAERAH JAKARTA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. yaitu dukungan sosial teman sebaya sebagai variabel bebas (X) dan kebahagiaan

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Penelitian ini terdiri atas tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB III METODE PENELITIAN. dan validitas dan reliabilitas dan analisis data. 2. Variabel Bebas : Dukungan Sosial

KONTRIBUSI KONTROL DIRI TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL. Dwi Rezka Kemala. Ira Puspitawati, SPsi, Msi

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. berkaitan dengan variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2013)

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. variabel-variabel yang diambil dalam penelitian ini.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. 1. Variabel tergantung : Perilaku Seksual Pranikah. 2. Variabel bebas : a.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Bebas : Terapi Kebermaknaan Hidup

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. penelitian antara dua kelompok penelitian.adapun yang dibandingkan adalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini beberapa variabel yang akan dikaji adalah :

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. maka penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Hijabers Community Bandung.

BAB III METODE PENELITIAN

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental p-issn e-issn

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. interpretasi data dan kesimpulan berdasarkan angka-angka yang

BAB III METODE PENELITIAN. Obyek Penelitian ini adalah sense of humor dan penyesuaian diri pada remaja

4. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Jurusan Psikologi

BAB III METODE PENELITIAN. numerik dan diolah dengan metode statistika serta dilakukan pada

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Subjective Well-being ditinjau dari faktor demografi pada petani sawit di Desa Rawa Bangun

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method yang merupakan suatu

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu syukur sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data angka (numerikal) yang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. data bersifat kuantitatif statistik, dan bertujuan untuk menguji hipotesis yang telah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional. Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu variabel gaya

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. penelitian kuantitatif menurut Sugiyono (2009), adalah metode berlandaskan pada

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. melakukan kajian expost factor yang bertujuan untuk melihat hubungan antara

BAB III METODE PENELITIAN. Dilaksanakan pada 30 November sampai 15 Desember 2016.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tipe Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. yakni angkanya dapat berbeda-beda dari satu objek ke objek yang lain.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SMK Wira Maritim Surabaya adalah sekolah swasta di Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB IV PEMBAHASAN. penelitian. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa baru tahun

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada populasi atau sampel yang diambil adalah

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA MASYARAKAT MISKIN DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO JEBRES SURAKARTA.

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian. efikasi diri akademik pada remaja yang tinggal di panti asuhan, untuk

BAB III METODE PENELITIAN. korelasioanal berganda ( Multiple Corelation) yang menunjukkan arah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS, DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KONFLIK PERAN GANDA PADA WANITA BEKERJA. Naskah Publikasi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. b. Regulasi emosi. B. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB III METODE PENELITIAN. Arikunto (2006:12), mengatakan bahwa penelitian kuantitatif adalah pendekatan

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB I PENDAHULUAN. untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga

Hubungan kematangan Emosi dan Kebahagiaan Pada Remaja yang Mengalami Putus Cinta. Dini Amalia Ulfah Dr. Intaglia Harsanti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

Transkripsi:

KONTRIBUSI DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KEPUASAN HIDUP, AFEK MENYENANGKAN DAN AFEK TIDAK MENYENANGKAN PADA DEWASA MUDA YANG BELUM MENIKAH NURUL HUDA Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji seberapa besar kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan hidup, afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah. Sampel dalam penelitian ini yaitu 30 orang dewasa muda yang belum menikah baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan dan berusia 28 sampai 40 tahun Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dimana pengambilan data berdasarkan karakteristik tertentu. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode kuesioner dari skala dukungan sosial, skala kepuasan hidup dan skala afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis regresi sederhana. Hasil penelitian pada dukungan sosial terhadap kepuasan hidup diperoleh F sebesar 11,723 dengan sign ifikansi 0,002 (P< 0,01) dan R Square sebesar 0,295,hal ini berarti ada kontribusi dukungan sosial yang sangat signifikan terhadap kepuasan hidup pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 29,5% dan sisanya sebesar 70,5% dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil penelitian pada dukungan sosial terhadap afek menyenangkan diperoleh F sebesar 22,073 dengan signifikansi 0,000 (P< 0,01) dan R Square sebesar 0,441,hal ini berarti ada kontribusi dukungan sosial yang sangat signifikan terhadap afek menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 44,1% dan sisanya sebesar 55,9% dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil penelitian pada dukungan sosial terhadap afek tidak menyenangkan diperoleh F sebesar 5,889 dengan sign ifikansi 0,022 (P< 0,05) dan R Square sebesar 0,174,hal ini berarti ada kontribusi dukungan sosial yang sign ifikan terhadap afek tidak menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 17,4% dan sisanya sebesar 82,6% dipengaruhi oleh faktor lain. Kata Kunci : Dukungan Sosial, Subjective Well Being, Dewasa Muda yang Belum Menikah.

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia dalam konteks kehidupannya memiliki dua peran yang berbeda yaitu sebagai makhluk sosial dan makhluk pribadi. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kebutuhannya. Status manusia sebagai makhluk sosial itu kemudian mendorong manusia melakukan berbagai bentuk interaksi sosial dan menjalin hubungan-hubungan dengan manusia lainnya. Peran kedua yaitu sebagai makhluk individual atau pribadi. Dalam peran ini manusia berkembang melalui berbagai tahapan perkembangan (Papalia & Olds, 1998). Kedua peran ini menjadi terkait karena dalam tiap tahap perkembangannya manusia memiliki tugas perkembangan yang di dalamnya selalu terkait dengan perannya sebagai makhluk sosial, salah satunya ialah pada tahap perkembangan dewasa muda yang terjadi dalam rentang usia 20 sampai 40 tahun (Papalia & Olds, 1998). Masa dewasa muda adalah salah satu tahapan perkembangan manusia yang memiliki masa terpanjang sepanjang rentang kehidupan seseorang. Pada masa ini juga terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh individu. Menurut Havinghurst (dalam Dariyo, 2003), tugas perkembangan masa dewasa muda meliputi mencari dan menemukan pasangan hidup, membina kehidupan rumah tangga, mengasuh anak dan meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga dan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab. Erikson (dalam Papalia & Olds, 1998), juga mengatakan bahwa dalam tahap perkembangan dewasa muda ini, manusia memiliki beberapa tugas perkembangan, salah satunya ialah mengembangkan intimate relationship atau hubungan yang intim dengan orang lain. Membangun intimate relationship ini merupakan tugas perkembangan yang krusial dan penting bagi individu dalam tahap perkembangan dewasa muda. Bila individu dewasa muda belum menjalani tugas perkembangannya sebagaimana mestinya dan sesuai dengan usia, maka ia cenderung akan mengalami masalah pribadi dan sosial. Hal ini mungkin disebabkan karena individu tersebut merasa terlambat dibandingkan dengan individu dewasa lainnya dan juga merasa belum memenuhi harapan masyarakat. Kegagalan dalam menguasai tugas perkembangan masa dewasa muda akan mengakibatkan tidak terpenuhinya harapan sosial yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial seseorang (Hurlock, 1980). Intimate relationship dapat dibangun dengan berbagai bentuk

hubungan, salah satu bentuknya adalah pernikahan (marriage) (Erikson dalam Papalia & Olds, 1998). Perkawinan itu adalah sebuah peristiwa dimana sepasang mempelai a tau s e pasang c a l o n s uami-is teri dipertemukan secara formil dihadapan penghulu atau kepala agama tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin, untuk kemudian disyahkan secara resmi sebagai suami-isteri dengan upacara dan ritual-ritual tertentu (Kartini, 1977). Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah atau kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang Penelitian yang dilakukan pada sebuah survey di Amerika Serikat atas 127.545 orang dewasa muda, bahwa individu dewasa muda yang menikah secara umum lebih sehat dari segi fisik maupun psikologisnya, dibandingkan dengan mereka yang belum menikah, hidup bersama ( cohabitating ), ditingga l ma ti ole h pasangannya, hidup berpisah maupun yang bercerai (Wu dan Hart dalam Winarni, 2009). Hal ini membuktikan bahwa pernikahan adalah salah satu bentuk hubungan yang dapat mendukung kesehatan seseorang. Oleh karena itu, di Indonesia, pernikahan merupakan suatu hal yang dianggap penting. Individu dewasa yang telah memasuki usia untuk menikah, secara sosial diharapkan untuk menikah. Individu dewasa muda yang belum menikah dan sudah memasuki usia usia 30-an, memasuki yang disebut dengan usia kritis (critical age), terutama pada wanita yang belum menikah (Hurlock, 1980). Seperti yang dikemukakan oleh Campbell (dalam Hurlock, 1980), bagi wanita, usia tiga puluh mer upakan pilihan yang mempunyai persimpangan, karena hidup wanita sering diwarnai oleh stres ketika dia mencapai ulang tahunnya yang ketiga puluh tetapi belum juga menikah. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini bisa menjadi penyebab guncangan jiwa bagi individu yang bersangkutan. Ditambah lagi budaya dan paradigma yang berkembang di masyarakat yang memojokkan mereka yang belum menikah. Belum lagi tuntutan dan pertanyaan dari keluarga dan tetangga yang mengatakan kapan menikah?. Tuntutan-tuntutan dari keluarga dan tetangga tersebut, seringkali menimbulkan dampak negatif seperti stress, depresi, kecanduan rokok dan alkohol bahkan sampai bunuh diri, selain itu juga berpengaruh pada kesehatan individu (Russel dalam Rakhmiatie, 2006).

Dampak-dampak negatif di atas dapat menyebabkan individu dewasa mengalami isolasi sosial dan kehilangan interaksi dengan orang lain. Hal-hal ini juga dapat berefek buruk pada kesehatan fisik, psikologis, dan kesejahteraan diri. Padahal kesejahteraan diri dapat membantu seseorang sukses di berbagai area kehidupan termasuk kesehatan, sehingga penurunan kesejahteraan diri tersebut perlu dicegah (Gatari, 2008). Kesejahteraan diri diistilahkan oleh aliran eudaimonic sebagai psychological well-being (PWB), sedangkan aliran hedonic mengistilahkan kesejahteraan diri sebagai subjective w ell - being ( SWB). SWB menekankan bahwa seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila secara subjektif ia m e r a s a b a ha g i a, s e d a n g k a n P W B menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila ia menggunakan potensi yang ada di dalam dirinya. Dalam menjelaskan konsep kesejahteraan diri seorang individu, Diener, dkk (dalam Ryan & Deci, 2001) mengatakan bahwa SWB lebih unggul dalam menjelaskan hal apa yang membuat hidup seseorang lebih baik berdasarkan perspektif orang tersebut. Definisi dari subjective well-being (SWB) menurut Diener dan Lucas (1999), adalah evaluasi seseorang tentang hidup mereka, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidupnya serta evaluasi afektif dari mood dan emosi-emosi. Komponenkomponen dari SWB dibagi menjadi komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif dibagi lagi menjadi kepuasan hidup secara global dan kepuasan hidup terhadap domain tertentu, sedangkan komponen afektif dibagi lagi menjadi evaluasi keberadaan afek positif dan afek negatif. Hasil penelitian Glenn (dalam Winarni, 2009) mengenai kontribusi pernikahan terhadap well being menunjukkan bahwa orang-orang yang menikah lebih bahagia secara keseluruhan (global happiness ) daripada orang-orang yang belum menikah. Dan beberapa penelitian kebahagiaan (well being) yang telah dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kebahagiaan (well being) dan status pernikahan. Hasil penelitian tersebut ialah individu yang menikah merasakan tingkat kebahagiaan (well being) yang lebih tinggi daripada individu yang belum menikah (Veenhoven dalam Winarni, 1994). Selain itu, pernikahan memberikan keuntungan bagi individu yang menjalaninya karena pada dasarnya untuk sebagian besar orang, pernikahan merupakan sumber dukungan sosial terbesar bagi seseorang, termasuk di dalam dukungan sosial ini ialah dukungan emosional dan material (Argyle & Furnham, dalam Winarni, 2009). Keberadaan dukungan

emosional dan material ini juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang, ketika dukungan emosional dan material yang dibutuhkan oleh seseorang dapat ter penuhi dalam jumla h ya ng mencukupi maka kualitas hidup dari orang tersebut dapat meningkat. Meskipun pria atau wanita dewasa m u d a y a n g b e l u m m e n i k a h t i d a k mendapatkan sumber dukungan dari pasangan, mereka masih mendapatkan dukungan dari sumber lain, seperti keluarga, sahabat dan rekan kerja. Bantuan dan dukungan ini dapat bersifat instrumental yang berupa tindakan atau bantuan materi yang memungkinkan seseorang untuk memenuhi tanggung jawab sehari-harinya. Dukungan sosioemosional berupa ungkapan rasa cinta, perhatian, simpati dan kebersamaan yang diberikan oleh keluarga, rekan kerja dan sahabat. Dukungan informasional, yang berupa pemberian pendapat dan saran yang berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi oleh dewasa yang belum menikah yang memungkinkan kehidupan seseorang menjadi lebih menyenangkan (House dalam Thoits, 1986). Dukungan sosial didefinisikan sebagai persepsi atau pengalaman bahwa seseorang dicintai dan disayangi, dihargai dan dinilai, dan merupakan bagian dari suatu jaringan sosial yang memberikan bantuan dan kewajiban secara timbal balik (Wilis dalam Taylor, 2003). Dukungan sosial dapat berfungsi antara lain untuk memenuhi kebutuhan adanya bimbingan, memberikan adanya perasaan ada teman yang dapat diandalkan, meyakinkan keberhargaan diri, kesempatan untuk memberikan perhatian kepada orang lain, kasih sayang dan integrasi sosial (Weiss dalam Cutrona & Russel, 1994). Dukungan sosial merupakan suatu fenomena yang menarik dalam ilmu psikologi karena secara potensial dapat membantu memahami hubungan antara individu dengan lingkungan sosialnya. Hubungan ini melibatkan berbagai aspek dukungan yang diterima individu atau komunitas sosial dari orang lain dan lingkungan sosial yang lebih luas. Dengan demikian, secara umum dukungan sosial telah dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan baik langsung atau tidak langsung terhadap kualitas hubungan sosial (Veiel dan Baumann, 1992). Penelitian-penelitian dan literatur dalam dekade terakhir menunjukkan manfaat positif dari dukungan sosial bagi seseorang. Cohen dan Wills (dalam Elliot & Gramling, 1990), menemukan bahwa orang yang kurang mendapatkan dukungan sosial lebih banyak merasakan depresi dan kecemasan dalam mengalami stress. Cutrona (dalam Elliot & Gramling,

1990), mengemukakan bahwa orang yang memperoleh dukungan sosial memperlihatkan kesejahteraan (well being) yang lebih baik dalam berbagai tingkat stress dibandingkan dengan orang yang kurang memperoleh dukungan sosial. Wolchik, Sandler dan Braver (1987), mengemukakan sejumlah besar penelitian memperlihatkan dukungan s osial m e m punyai pengaruh yang menguntungkan terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Hasil penelitian Taylor (2003) mengemukakan, bahwa dukungan sosial dapat membantu seseorang berpikir bahwa ada seseorang yang dapat membantu dalam menghadapi kejadian yang membuat stres. Penelitian lain yang dilakukan oleh Walen dan Lachman (dalam Gatari, 2008) menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat menjelaskan sebagian besar varians pada kepuasan hidup dan afek positif, serta memprediksi afek negatif yang rendah pada orang dewasa. Lyons (2002), juga menemukan bahwa dukungan sosial mempunyai efek langsung dalam mengurangi afek negatif pada orang dewasa Afrika yang tinggal di Amerika. Yi Pei Kuo (2008), menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara dukungan sosial dengan kesejahteraan pada karyawan berteknologi tinggi. Penelitian yang dilakukan ole h Gatari ( 2008), menunjukkan bahwa dukungan sosial mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan hidup dan afek menyenangkan, sedangkan berhubungan negatif dengan afek tidak menyenangkan pada ibu bekerja. Berdasarkan hasil penelitin Ishii-Kuntz, Masako (1987), hasilnya me nunjukka n ba hwa dukunga n keluarga dan teman-teman mempunyai pengaruh kuat pada kesejahteraan lakilaki dan perempuan di awal dewasa. Dilihat dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri-ciri individu yang lebih mungkin untuk merasakan kepuasan hidup, afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan yang tinggi adalah individu yang mendapatkan atau tidak mendapatkan dukungan sosial. Jadi, seperti yang sudah diuraikan di atas, maka tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan hidup, afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial Dukungan sosial (social support) didefinisikan oleh Gottlieb (1983) sebagai informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang

akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason (dalam Kuntjoro, 2002) yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. Menurutnya, dukungan sosial selalu mencakup dua hal penting, yaitu persepsi bahwa ada sejumlah orang yang dapat diandalkan oleh individu pada saat ia membutuhkan bantuan dan derajat kepuasan akan dukungan yang diterima berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya terpenuhi. 2. Dimensi Dukungan Sosial Secara garis besar, Sarafino (1990) membagi dukungan sosial ke dalam lima bentuk, yaitu : a. Dukungan instrumental (tangible assisstance) Bentuk dukungan ini merupaka n penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah. b.dukungan informasional Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah. c. Dukungan emosional Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial s e h i n g g a i n d i v i d u d a p a t menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol. d.dukungan pada harga diri Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan p a d a p e n d a p a t i n d i v i d u, perbandingan yang positif dengan

individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi. e. Dukungan dari kelompok sosial Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib. Orfard (dalam Smet, 1994), membedakan lima dimensi dukungan sosial yaitu: a. Dukungan emosional (emotional support) Mencakup ungkapan empati, kepedulian, perasaan nyaman, dicintai oleh orang lain dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan, misalnya umpan balik, penegasan. b. Dukungan penghargaan (esteem support) Terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang-orang lain, seperti misalnya orangorang yang kurang mampu atau lebih b u r u k k e a d a a n n y a ( m e na m ba h penghargaan diri). c. Dukungan instrumental (tangible or instrumental support) Mencakup bantuan langsung, seperti kalau orang-orang memberi pinjaman uang kepada orang itu atau menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stres. d. Dukungan informasi (informational support) Mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran atau umpan balik. e. Dukungan integritas sosial Dapat diartikan dengan perasaan individu sebagai bagian dari sekelompok yang memiliki minat pemikiran yang sama. Integritas sosial disebut sebagai dukungan jaringan (network support), dimana dukungan ini mencakup perasaan terdukung karena keanggotaan pada sebuah kelompok yang saling berbagi ketertarikan dan kegiatan sosial. Dukungan ini juga berupa persahabatan yang terjadi kebetulan, dimana individu mengisi waktu luang dengan orang lain dalam berbagai aktivitas sosial dan hiburan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dimensi-dimensi dukungan sosial terdiri dari dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi dan dukungan dari kelompok sosial (integritas sosial). 3. Sumber Sumber Dukungan

Sosial Menurut Ger ungan (1999), keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia, tempat individu belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Di dalam keluarga individu belajar memperhatikan keinginan orang lain dan bekerja sama. Pengalaman - pengalaman berinteraksi dalam keluarga turut menentukan tingkah lakunya terhadap orang-orang lain di luar keluarga, termasuk tetangga di lingkungan tempat tinggalnya maupun temannya. Keluarga dapat menjadi pemberi dukungan yang utama bagi seseorang dalam menemukan kualitas serta kuantitas bantuan yang didapatnya (Caplan dalam Maldonado, 2005). Penelitian yang ada menemukan bahwa dukungan sosial dari keluarga merupakan hal yang paling efektif dalam mengurangi beban pada perempuan sedangkan dukungan sosial dari tempat kerja lebih efektif untuk lakilaki (House dalam Maldonado, 2005). Pentingnya dukungan sosial pada keluarga juga diungkapkan oleh Holahan dam Moos (dalam Pakalns,1990) yang menemukan bahwa dukungan sosial dari keluarga lebih berpengaruh kepada mood dibandingkan dengan dukungan sosial dari lingkungan kerja pada perempuan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disim pulkan bahwa sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari keluarga, sahabat dan rekan kerja. 4. Fungsi Dukungan Sosial D a l a m a p l i k a s i n y a, dukungan sosial mempunyai fungsi sebagai berikut: a. Sumber daya atau mekanisme coping yang penting untuk mengurangi efek negatif dari stres dan konflik. Carlson dan Perrewe (1999), menemukan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi kemungkinan seseorang untuk mempersepsikan bahwa perannya menimbulkan tekanan bagi dirinya. Apabila seseorang menghadapi konflik di kantornya tapi ia mendapatkan dukungan sosial yang baik dari teman-teman di kantornya, efek buruk yang didapatkan dari adanya konflik tersebut dapat berkurang atau hilang sama sekali. b. Meningkatkan kepuasan terhadap lingkungan yang memberikan dukungan sosial. Suchet dan Barling (dalam Treitsman, 2004) mengatakan

bahwa dukungan dari pasangan memprediksi kepuasan pernikahan yang lebih tinggi dan menurunkan afek negatif atau afek tidak menyenangkan dari konflik antar peran pada kepuasan pernikahan serta komunikasi verbal. Selain itu, dukungan sosial yang dipersepsikan di rumah dan di tempat kerja dapat meningkatkan kepuasan kerjanya. Namun, ada perbedaan dari efek dukungan sosial pada kepuasan kerja terhadap laki-laki dan perempuan. Kepuasan kerja pada perempuan akan lebih dipengaruhi oleh dukungan pasangannya dibandingkan kepuasan kerja pada laki-laki (Roxbourgh, 1999). c. Menguntungkan bagi kesehatan mental dan fisik seseorang Salah satu contoh fungsi dukungan sosial dalam memba ntu kesehatan fisik seseorang adalah penelitian dari Uchino, Uno dan Holt-Lunstad (dalam Ryan & Deci, 2001) yang menyebutkan bahwa dukungan sosial mempengaruhi tingkat kematian dengan mengubah sistem kardiovaskular, endokrin dan imunisasi diri (autoimmune). Roxbourgh (1999) juga mengatakan bahwa dukungan sosial yang dipersepsikan di lingkungan kerja serta keluarga berhubungan dengan kesejahteraan diri. B. Subjective Well Being 1. Pengertian Subjective Well Being Istilah subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang dialami yang sejalan dengan penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup (Diener, Lucas, & Oishi, 2005). Diener (dalam Synder dan Lopez, 2007) menyatakan definisi subjective well-being (SWB) adalah kombinasi dari afek positif (ketiadaan dari afek negatif) dan kepuasan hidup secara umum (seperti misalnya apresiasi subjektif pada penghargaan dalam hidup). 2. Komponen Subjective Well Being Komponen SWB dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi kognitif (penilaian atau judgement) dan afektif (emosional) (Diener, 2006). Penjelasan komponen tersebut adalah sebagai berikut: a. Komponen Kognitif Subjective Well Being Komponen kognitif dari SWB adalah evaluasi terhadap kepuasan hidup, yang

didefinisikan sebagai penilaian dari hidup seseorang. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dapat dibagi menjadi: refleksi dari persepsi seseorang terhadap 1) Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global yaitu evaluasi responden terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Kepuasan hidup secara global dimaksudkan untuk merepresentasikan penilaian responden secara umum dan reflektif terhadap kehidupannya (Diener, 2006). Menurut Shin dan Johnson (dalam Treitsman, 2004), kepuasan hidup secara global didasarkan pada proses penilaian dimana seorang individu mengukur kualitas hidupnya dengan didasarkan pada satu set kriteria yang unik dan mereka tentukan sendiri. Secara lebih spesifik, kepuasan hidup secara global melibatkan persepsi seseorang terhadap perbandingan keadaaan hidupnya dengan standar unik yang mereka punyai. 2) Evaluasi terhadap kepuasan pada domain tertentu adalah penilaian yang dibuat seseorang dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya, seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga (Diener, 2006). Kedua komponen tersebut tidak sepenuhnya terpisah. Evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global merupakan

hal-hal yang ada di dalam hidupnya ditambah dengan bagaimana kultur mempengaruhi pandangan hidup yang positif dari seseorang (Diener, Scollon, Oishi, Dzokoto & Suh, 2000). Diener, Scollon dan Lucas (2003), mengatakan bahwa seseorang akan menggunakan informasi mengenai kepuasan domain yang paling penting bagi hidupnya untuk menilai kepuasan hidupnya secara global. b. Komponen Afektif Subjective Well Being Secara umum, komponen afektif SWB merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang. Dengan meneliti tipe-tipe dari reaksi afektif yang ada, seorang peneliti dapat memahami cara seseorang mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya (Diener, Scollon & Lucas, 2003). Komponen afektif SWB dapat dibagi menjadi: 1) Evaluasi terhadap keberadaan a f e k p o s i t i f a ta u a fek menyenangkan Afek positif atau afek menyenangkan merepresentasikan mood dan

emosi yang menyenangkan, seperti kasih sayang. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari SWB, karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan (Diener, 2006), Watson dan Tellegen (dalam Diener, Scollon & Lucas, 2003), mengatakan bahwa afek positif adalah kombinasi dari hal yang sifatnya membangkitkan (arousal) dan hal yang bersifat menyenangkan (pleasantness). Watson, Clark dan Tellegen (1988), menyebutkan bahwa afek positif yang tinggi adalah keadaan dimana seseorang merasakan energi yang tinggi, konsentrasi penuh dan keterlibatan yang menyenangkan; sedangkan afek positif yang rendah dikarakterisasi oleh kesedihan dan kelelahan. 2) Evaluasi terhadap keberadaan afek n e g a t i f a t a u a f e k t i d a k menyenangkan Afek negatif atau afek tidak menyenangkan merepresentasikan m o o d d a n e m o s i y a n g t i d a k menyenangkan dan merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap kehidupan, kesehatan, keadaan dan peristiwa yang mereka alami (Diener, 2006). Watson dan Tellegen (dalam Diener, Scollon & Lucas, 2003), mengatakan bahwa afek negatif adalah kombinasi dari hal yang sifatnya membangkitkan (arousal) dan hal yang bersifat t i d a k m e n y e n a n g k a n (unpleasantness). Keadaan afek negatif yang tinggi adalah keadaan dimana seseorang m e r a s a k a n k e m a r a h a n, kebencian, jijik, rasa bersalah, ketakutan dan kegelisahan; sedangkan afek negatif yang rendah adalah keadaan dimana s e s e o r a n g m e r a s a k a n ketenangan dan kedamaian (Watson, Clark & Tellegen, 1988). Walaupun beberapa emosi negatif memang diharapkan terjadi dalam hidup dan dibutuhkan agar seseorang dapat hidup secara efektif. Emosi negatif yang sering terjadi dan berkepanjangan mengindikasikan bahwa seseorang percaya bahwa hidupnya berjalan dengan buruk ( D i e n e r, 2 0 0 6 ). D i e n e r menjelaskan lebih lanjut bahwa pengalaman merasakan emosi negatif yang berkepanjangan dapat mengganggu seseorang

dalam bertingkah laku secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut dapat membuat hidupnya tidak menyenangkan. Diener, Scollon & Lucas (2003), mengatakan bahwa sebaiknya afek positif dan afek negatif diukur secara terpisah karena kedua afek tersebut terkadang mempunyai hubungan yang dan merasakan afek positif lebih sering dibandingkan afek negatif (Diener & Lucas dalam Ryan & Deci, 2001). Andrews d a n R o b i n s o n ( 1 9 9 1 ), mengatakan bahwa dalam pengukurannya, seorang peneliti d a p a t m e m i l i h u n t u k menggunakan kepuasan hidup berbeda dengan berbagai faktor. secara global atau kepuasan Dalam pengukurannya, Diener, Sandvik dan Pavot (dalam Diener, Scollon & Lucas, 2003), mengatakan bahwa frekuensi dari emosi yang dialami lebih penting dibandingkan intensitas dari emosi tersebut dalam penelitian SWB. Diener, dkk (2003), terhadap domain tertentu untuk mengukur komponen kognitif SWB. Di dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada komponen evaluasi terhadap kepuasan hidup secara global, afek positif dan afek negatif. memberikan beberapa penjelasan C. Dewasa Muda mengenai hal tersebut. Pertama, 1. Pengertian Dewasa Muda tampaknya proses yang mengarahkan pada emosi positif yang intens terkadang akan mengarahkan seseorang pada emosi negatif yang Hurlock (1980), menyatakan bahwa masa dewasa muda adalah masa dimana pada tahap ini merupakan tahap penyesuaian diri intens. Selanjutnya, kedua emosi terhadap pola-pola kehidupan dan intens tersebut akan meniadakan satu harapan-harapan sosial yang baru. sama lainnya. Kedua, pengalaman emosi yang sangat intens merupakan Papalia dan Olds (1998), menyebutkan bahwa dewasa muda sesuatu yang jarang terjadi. Ketiga, adalah mereka yang berada dalam pengukuran emosi melalui frekuensi usia 20-40 tahun. lebih akurat dibandingkan pengukuran Menurut seorang ahli emosi melalui intensitas. Seseorang dideskripsikan psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda mempunyai SWB yang tinggi apabila termasuk masa transisi, baik transisi ia menilai kepuasan hidupnya tinggi secara fisik (physically trantition), transisi secara intelektual (cognitive

trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition). Menurut Traupmann dan Hatfield (dalam Atkinson, Atkinson & Hilgard, 1994) selama masa awal kedewasaan, seseorang mengikat diri pada suatu pekerjaan dan banyak yang menikah atau membentuk jenis hubungan intim lain. Dewasa muda merupakan suatu masa penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapanharapan sosial yang beru. Manusia dewasa muda diharapkan memainkan peranan-peranan baru dalam hal-hal sebagai suami atau istri, orang tua dan sebagai pemimpin rumah tangga, serta mengembangkan sikap-sikap, minatminat dan nilai-nilai dalam memelihara peranan yang baru tersebut (Mappiare, 1983). Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dewasa muda adalah mereka yang berada pada usia 20-40 tahun, dimana mereka melakukan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan dan harapan-harapan sosial yang baru, berkomitmen untuk suatu pekerjaan dan membentuk hubungan intim melalui suatu pernikahan. D. Belum Menikah 1. Pengertian Belum Menikah Belum menikah adalah belum adanya hubungan antara pria dan wanita yang diakui dan diatur dalam seperangkat pranata sosial dan disyahkan dalam norma hukum dan agama. 2. Alasan Belum Menikah Menurut Hurlock (1980), alasan-alasan orang dewasa muda belum menikah antara lain: a. Penampilan seks yang tidak tepat dan tidak menarik, b.cacat fisik atau penyakit lama, c. Sering gagal dalam mencari pasangan, d. Tidak mau memikul tanggung jawab perkawinan dan orang tua, e. Keinginan untuk meniti karier yang menuntut kerja lama dan jam kerja tanpa batas dan banyak bepergian, f. Tidak seimbangnya jumlah anggota masyarakat pria dan wanita di masyarakat dimana ia tinggal, g. Jarang mempunyai kesempatan untuk berjumpa dan berkumpul dengan lawan jenis yang dianggap cocok dan sepadan, h. Karena mempunyai tanggung jawab keuangan dan waktu untuk

orang tua dan saudara-saudaranya, i. Kekecewaan yang pernah dialami karena kehidupan keluarga yang tidak bahagia pada masa lalu atau pengalaman pernikahan yang tidak membahagiakan yang dialami oleh temannya, j. Mudahnya fasilitas untuk melakukan hubungan seksual tanpa nikah, k. Gaya hidup yang menggairahkan, l. Besarnya kesempatan untuk meningkatkan jenjang karier, m. Kebebasan untuk mengubah dan melakukan percobaan dalam pekerjaan dan gaya hidup, n. Mempunyai kepercayaan bahwa mobilitas sosial akan lebih mudah diperoleh apabila dalam keadaan lajang daripada setelah menikah. III. METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah dewasa muda yang belum menikah baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan dan berusia antara 28 sampai 40 tahun. Sampel pada penelitian ini diambil sebanyak 30 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, dimana pengambilan sampel harus berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri pokok populasi (Arikunto, 1993). B. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Skala Dukungan Sosial yang disusun berdasarkan dimensidimensi dukungan sosial yang dikemukakan oleh Orfard (dalam Smet, 1994) yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi dan dukungan integritas sosial atau dukungan jaringan. Untuk mengukur Kepuasan Hidup, digunakan Satisfaction With Life Scale (SWLS) yang dikembangkan oleh Diener, dkk (dalam Pavot & Diener, 1993). Sedangkan untuk mengukur Afek Menyenangkan da n A fek Tidak Menyenangkan adalah alat ukur yang disebut dengan Positive Affect Negative A ffect Schedule (PANAS) ya ng dikembangkan oleh Diener, Smith dan Fujita (1995). C. Sistem Penilaian Sistem penilaian pada skala dukungan sosial dan subjective well being berbentuk skala Likert. Item-item atau pernyataan dukungan sosial dibagi menjadi item-item yang favorable dan unfavorable bergerak dari Sangat Setuju (SS) sampai dengan Sangat Tidak Setuju (STS). Konsep subjective well-being (SWB) tersebut terdiri dari komponen-

komponen subjective well-being (SWB) yang dikemukakan oleh Diener, Scollon dan Lucas (2003) yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), afek menyenangkan (pleasant affect) dan afek tidak menyenangkan (unpleasant affect). Untuk mengukur kepuasan hidup menggunakan alat ukur yang disebut dengan Satisfaction With Life Scale (SWLS) yang dikembangkan oleh Diener, dkk (dalam Pavot & Diener, 1993). Alat ukur ini menggunakan skala Likert 1-7 dan terdiri dari lima pernyataan. Tujuh alternatif pilihan jawaban tersebut bergerak dari sangat tidak setuju, tidak setuju, agak tidak setuju, netral, agak setuju, setuju, dan sangat setuju. Skor kepuasan hidup (life satisfaction) diperoleh dengan menjumlahkan keseluruhan angka, dimana semakin besar angka menunjukkan semakin besar kepuasan hidup individu yang bersangkutan. Sedangkan untuk mengukur afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan menggunakan alat ukur yang disebut dengan Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) yang dikembangkan oleh Diener, Smith dan Fujita (1995). Alat ukur ini menggunakan skala Likert 1-5 dan terdiri dari 20 afek yang terbagi atas 10 afek menyenangkan dan 10 afek tidak menyenangkan. Lima pilihan alternatif jawaban brgerak dari sangat lemah, lemah, sedang, kuat dan sangat kuat. Skor afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan diperoleh dengan menjumlahkan angka afek, dimana semakin besar angka menunjukkan semakin kuat afek tersebut dirasakan oleh individu yang bersangkutan. IV. HASIL DAN ANALISIS A. Uji Validitas dan Reliabiitas Perhitungan uji validitas dan uji reliabilitas skala dukungan sosial dan skala kepuasan hidup, afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah didasarkan pada tabel nilai-nilaikritiskoefisien korelasi prouct moment dari Azwar (1996). Berdasarkan analisis data dengan menggunakan teknik Korelasi Product Moment Pearson (1-tailed), maka diperoleh untuk skala dukungan sosial dari 23 item, 6 item dinyatakan gugur sehingga jumlah item yang valid adalah 17 item yang mempunyai nilai korelasi > 0,3 (dari tabel product moment) yang berada pada rentang korelasi antara 0,305 sampai dengan 0,643. Uji reliabilitas pada skala dukungan sosial didapatkan nilai alpha sebesar 0,86 1,maka item-item dukungan sosial dianggap reliabel. Pada Satisfaction With Life Scale (SWLS), yang dipakai untuk mengukur kepuasan hidup (life satisfaction), berdasarkan teknik Korelasi Product Moment Pearson (1-tailed), dari 5 item yang diujikan, 5 item dinyatakan valid dengan nilai korelasi > 0,3 yang berada antara 0,389 sampai dengan 0,671. Sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach dan diperoleh nilai alpha sebesar 0,760,maka dapat dikatakan

item-item skala kepuasan hidup (life satisfaction) adalah reliabel. Pada Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) yang dipakai untuk mengukur komponen afek menyenangkan (pleasant affect) dan afek tidak menyenangkan (unpleas ant affect ), juga diuji de nga n menggunakan teknik Korelasi Product Moment Pearson (1-tailed), dari 10 item komponen afek menyenangkan (pleasant affect), 10 item dinyatakan valid dengan nilai korelasi yang berada antara 0,308 sampai dengan 0,550. Sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach dan diperoleh nilai alpha sebesar 0,75 5,maka dapat dikatakan item-item skala afek menyenangkan (pleasant affect) adalah reliabel. Sedangkan dari 10 item afek tidak menyenangkan (unpleasant affect), 2 item dinyatakan gugur dan 8 item dinyatakan valid dengan nilai korelasi yang berada antara 0,358 sampai dengan 0,648. Sedangkan uji reliabilitas dilakukan dengan teknik Alpha Cronbach dan diperoleh nilai alpha sebesar 0,757,maka dapat dikatakan item-item skala afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) adalah reliabel. B. Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Berdasarkan uji normalitas terhadap skala dukungan sosial dan kepuasan hidup (life satisfaction) dapat diketahui nilai signifikansi variabel dukungan sosial sebesar 0,200 dan kepuasan hidup (life satisfaction) sebesar 0,200. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebaran data memiliki distribusi sangat normal karena p>0,05. Berdasarkan uji normalitas terhadap s kala dukungan s osial dan a fek menyenangkan (pleasant affect) dapat diketahui nilai signifikansi variabel dukungan sosial sebesar 0,200 dan afek menyenangkan (pleasant affect) sebesar 0,200. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebaran data memiliki data distribusi sangat normal karena p> 0,05. Berdasarkan uji normalitas terhadap skala dukungan sosial dan afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) dapat diketahui nilai signifikansi variabel dukungan sosial sebesar 0,200 dan afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) sebesar 0,200. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebaran data memiliki data distribusi sangat normal karena p>0,05. 2. Uji Linearitas Analisis regresi dalam penelitian ini digunakan untuk uji linearitas. Dari hasil pengujian pada skala skala dukungan sosial dan skala kepuasan hidup (life satisfaction), diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,002 yang berarti bahwa distribusi data skala dukungan sosial dan skala kepuasan hidup (life satisfaction) dalam penelitian ini terdapat hubungan yang linear karena p<0,05.

Berdasarkan hasil pengujian analisis regresi pada skala dukungan sosial dan skala afek menyenangkan (pleasant affect), diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 yang berarti bahwa distribusi data skala dukungan sosial dan skala afek menyenangkan (pleasant affect) dalam penelitian ini terdapat hubungan yang linear karena p<0,05. Berdasarkan hasil pengujian analisis regresi pada skala dukungan sosial dan skala afek tidak menyenangkan (unpleasant affect), diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,022 yang berarti bahwa distribusi data skala dukungan sosial dan skala afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) dalam penelitian ini terdapat hubungan yang linear karena p<0,05. C. Uji Hipotesis 1. Uji Korelasional Pengujian hipotesa untuk mengetahui kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan hidup (life satisfaction), afek menyenangkan (pleasant affect) dan afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) menggunakan teknik korelasi Product Moment. Berdasarkan analisis data dukungan sosial terhadap kepuasan hidup (life satisfaction), diperoleh hasil yang sangat signifikan yaitu taraf signifikansi 0,00 1 (p<0,01), dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,543. Hasil analisis data tersebut menunjukkan bahwa skor dukungan sosial mempunyai korelasi positif dengan kepuasan hidup (life satisfaction), dengan signifikansi (p<0,01) yang berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh maka kepuasan hidup (life satisfaction) yang dirasakan semakin tinggi, semakin rendah dukungan sosial yang diperoleh maka semakin rendah pula kepuasan hidup (life satisfaction) yang dirasakannya. Berdasarkan analisis data d u k u n g a n s o s i a l t e r h a d a p a f e k menyenangkan (pleasant affect), diperoleh hasil yang sangat signifikan yaitu taraf signifikansi 0,000 (p<0,0 1), dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,664. Hasil analisis data tersebut menunjukkan bahwa skor dukungan sosial mempunyai korelasi positif dengan afek menyenangkan (pleasant affect), dengan signifikansi (p<0,01) yang berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh maka afek menyenangkan (pleasant affect) yang dirasakan semakin tinggi, semakin rendah dukungan sosial yang diperoleh maka semakin rendah pula afek menyenangkan (pleasant affect) yang dirasakannya. Berdasarkan hasil analisis dukungan sosial terhadap afek tidak menyenangkan (unpleasant affect), data diperoleh hasil yang sangat signifikan yaitu taraf signifikansi 0,011 (p<0,05), dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0,417. Hasil analisis data tersebut menunjukkan bahwa skor dukungan sosial mempunyai korelasi negatif dengan afek tidak menyenangkan (unpleasant affect), dengan signifikansi (p<0,05) yang berarti semakin tinggi

dukungan sosial yang diperoleh maka afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) yang dirasakan semakin rendah, semakin rendah dukungan sosial yang diperoleh maka semakin tinggi pula afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) yang dirasakannya. 2. Uji Regresi Sederhana Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik regresi sederhana pada dukungan sosial dan kepuasan hidup (life satisfaction) diperoleh F sebesar 11,723 dengan signifikansi sebesar 0,002 (P<0,01), dan diperoleh R Square sebesar 0,295. Hal ini berarti terdapat kontribusi dukungan sosial yang sangat signifikan terhadap kepuasan hidup (life satisfaction) pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 29,5% dan sisanya sebesar 70,5% dipengaruhi oleh faktor lain. Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi ada kontribusi yang positif antara dukungan sosial terhadap kepuasan hidup (life satisfaction) pada dewasa muda yang belum menikah, dimana semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh dewasa muda yang belum menikah, maka semakin tinggi pula kepuasan hidup (life satisfaction) yang dirasakannya dan sebaliknya, diterima. Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik regresi sederhana pada dukungan sosial dan afek menyenangkan (pleasant affect) diperoleh F sebesar 22,073 dengan signifikansi sebesar 0,000 (P<0,01), dan diperoleh R Square sebesar 0,441. Hal ini berarti terdapat kontribusi dukungan sosial yang sangat signifikan terhadap afek menyenangkan (pleasant affect) pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 44,1% da n sisanya sebesar 55,9% dipengaruhi oleh faktor lain. Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi ada kontribusi yang positif antara dukungan sosial terhadap afek menyenangkan (pleasant affect) pada dewasa muda yang belum menikah, dimana semakin tinggi dukungan sosial yang diperoleh dewasa muda yang belum menikah, maka semakin tinggi pula afek menyenangkan (pleasant affect) yang dirasakannya dan sebaliknya, diterima. Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik regresi sederhana pada dukungan sosial dan afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) diperoleh F sebesar 5,889 dengan signifikansi sebesar 0,022 (P<0,05), dan diperoleh R Square sebesar 0,174. Hal ini berarti terdapat kontribusi dukungan sosial yang signifikan terhadap afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) pada dewasa muda yang belum menikah sebesar 17,4% da n sisanya sebesar 82,6% dipengaruhi oleh faktor lain. Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi ada kontribusi yang positif antara dukungan sosial terhadap afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) pada dewasa muda yang belum menikah, dimana semakin tinggi

dukungan sosial yang diperoleh dewasa muda yang belum menikah, maka semakin rendah pula afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) yang dirasakannya dan sebaliknya, diterima. D. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan hidup, afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan pada dewasa muda yang belum menikah. Sebelumnya dilakukan dahulu uji korelasi yang bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara dukungan sosial dengan kepuasan hidup, afek menyenangkan serta afek tidak menyenangkan. Setelah uji korelasi dilakukan, didapatkan hasil bahwa terdapat arah hubungan yang positif antara dukungan sosial dengan kepuasan hidup (life satisfaction). Hal ini berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diperolehnya semakin tinggi pula kepuasan hidup yang dirasakannya dan semakin rendah dukungan sosial yang diperolehnya semakin rendah pula kepuasan hidup yang dirasakannya. Berdasarkan hasil uji regresi sederhana yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa adanya kesesuaian hipotesis yang diajukan yaitu ada kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan hidup. Oleh karena itu, hipotesis diterima. Dari hasil pengujian, hipotesis pertama menunjukkan bahwa hipotesis diterima yang artinya ada kontribusi yang sangat signifikan antara dukungan sosial terhadap kepuasan hidup (life satisfaction) sebesar 29,5%, sedangkan sisanya sebesar 70,5% kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, seperti pengaruh keadaan lingkungan fisik, sosial, personal, pendapatan, kekuatan untuk bertahan, kesehatan dan sebagainya. Adanya kontribusi dukungan sosial terhadap kepuasan hidup (life satisfaction) disebabkan karena dukungan sosial dapat meningkatkan kepuasan terhadap lingkungan yang memberikannya (Carlson & Perrewe, 1999). Kepuasan terhadap lingkungan sekitarnya tersebut kemudian dapat mempengaruhi jawaban subjek mengenai kepuasan hidupnya (life satisfaction) secara global. Pengaruh tersebut dapat terjadi karena penilaian mengenai kepuasan hidup (life satisfaction) secara global akan dipengaruhi oleh refleksi dari persepsi terhadap hal-hal yang ada di dalam hidupnya (Diener, dkk.,2000). Hal tersebut tidak berarti bahwa dukungan sosial hanya dapat dikaitkan dengan kepuasan hidup (life satisfaction) secara global melalui kepuasan terhadap domain tertentu saja. Keterkaitan antara dukungan sosial dengan kepuasan hidup (life satisfaction) secara global juga dapat berarti bahwa dukungan sosial merupakan suatu hal yang dianggap seorang dewasa muda yang belum menikah untuk mengevaluasi kehidupannya sebagai sesuatu yang baik. Uji korelasi yang dilakukan pada dukungan sosial dan afek menyenangkan

(pleasant affect), didapatkan hasil bahwa terdapat arah hubungan yang positif antara dukungan sosial dengan afek menyenangkan (pleasant affect). Hal ini berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diperolehnya semakin tinggi pula afek menyenangkan (pleasant affect) yang dirasakannya dan semakin rendah dukungan sosial yang diperolehnya semakin rendah pula afek menyenangkan yang dirasakannya. Berdasarkan hasil uji regresi sederhana yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa adanya kesesuaian hipotesis yang diajukan yaitu ada kontribusi dukungan sosial terhadap afek menyenangkan. Oleh karena itu, hipotesis diterima. Dari hasil pengujian, hipotesis kedua menunjukkan bahwa hipotesis diterima yang artinya ada kontribusi yang sangat signifikan antara dukungan sosial terhadap afek menyenangkan sebesar 44,1%, sedangkan sisanya sebesar 5 5,9% kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, seperti pengaruh kasih sayang dari orang-orang di lingkungannya, dan sebagainya. Hasil berikutnya, yaitu adanya kontribusi yang positif dukungan sosial terhadap afek menyenangkan (pleasant affect), sesuai dengan penelitian Walen dan Lachman (dalam Gatari, 2008) yaitu dukungan sosial dapat menjelaskan sebagian besar varians pada kepuasan hidup dan afek positif. Penjelasan lain mengenai kontribusi afek positif dengan dukungan sosial antara lain karena dukungan sosial dapat berperan sebagai sumber daya atau mekanisme coping yang dapat mengurangi efek negatif dari stres dan konflik (Carlson & Perrewe, 1999). Fungsi dukungan sosial tersebut dapat mengurangi ciri-ciri afek menyenangkan (pleasant affect) yaitu kesedihan dan keletihan. Uji korelasi yang dilakukan pada d ukunga n s os ial d a n a fek t i dak menyenangkan (unpleasant affect), didapatkan hasil bahwa terdapat arah hubungan yang positif antara dukungan sosial dengan afek tidak menyenangkan (unpleasant affect). Hal ini berarti semakin tinggi dukungan sosial yang diperolehnya s e makin rendah p ula a fek tidak menyenangkan (unpleasant affect) yang dirasaka nnya dan s emakin re nda h dukungan sosial yang diperolehnya s e m a k i n t i n g g i p u l a a f e k t i d a k menyenangkan yang dirasakannya. Berdasarkan hasil uji regresi sederhana yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa adanya kesesuaian hipotesis yang diajukan yaitu ada kontribusi dukungan sosial terhadap afek tidak menyenangkan. Oleh karena itu, hipotesis diterima. Dari hasil pengujian, hipotesis ketiga menunjukkan bahwa hipotesis diterima yang artinya ada kontribusi yang signifikan antara dukungan sosial terhadap afek tidak menyenangkan sebesar 17,4%, sedangka n sisa nya sebesar 82,6% kemungkinan dipengaruhi oleh faktorfaktor lainnya, seperti.pengaruh rasa bersalah, ketakutan, kegelisahan dan sebagainya.

Hasil berikutnya, adanya kontribusi yang negatif dukungan sosial terhadap afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) sesuai dengan penelitian Walen dan Lachman (dalam Gatari, 2008) yaitu dukungan sosial dapat memprediksi afek negatif yang rendah pada orang dewasa. Penjelasan mengenai kontribusi afek negatif atau afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) terhadap dukungan sosial dapat dijelaskan kembali dengan fungsi dari dukungan sosial sebagai sumber daya coping yang penting untuk mengurangi afek negatif atau afek tidak menyenangkan (unpleasant affect) dari tekanan konflik dewasa muda yang belum menikah. Afek negatif ata u afe k tidak menyena ngka n (unpleasant affect) dari tekanan konflik dewasa muda yang belum menikah dapat dikurangi oleh adanya orang lain yang mendukung dewasa muda yang belum menikah, misalnya apabila seseorang menghadapi konflik di kantornya tapi ia mendapatkan dukungan sosial yang baik dari teman-teman di kantornya, efek buruk yang didapatkan dari adanya konflik tersebut dapat berkurang atau hilang sama sekali (Carlson & Perrewe, 1999). Berdasarkan hasil mean empirik dan kurva normal diperoleh hasil mean empirik dukungan sosial sebesar 55,40. Mean empirik berada pada posisi tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial subjek penelitian tergolong tinggi. Dukungan sosial yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang berada di lingkungan sekitar memegang peranan dan pengaruh yang besar dalam diri dewasa muda yang belum menikah. Meskipun pria atau wanita dewasa muda yang belum menikah tidak mendapatkan sumber dukungan dari pasangan, mereka masih mendapatkan dukungan dari sumber lain, seperti keluarga, sahabat dan rekan kerja. Bantuan dan dukunga n ini dapa t be rsifat instrumental yang berupa tindakan atau bantuan materi yang memungkinkan seseorang untuk memenuhi tanggung jawab sehari-harinya. Dukungan sosioemosional berupa ungkapan rasa cinta, perhatian, simpati dan kebersamaan yang diberikan oleh keluarga, rekan kerja dan sahabat. Dan dukungan informasional, yang berupa pemberian pendapat dan saran yang berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi oleh dewasa yang belum menikah yang memungkinkan kehidupan seseorang menjadi lebih menyenangkan (House dalam Thoits, 1986). Keluarga dapat menjadi pemberi dukungan yang utama bagi seseorang dalam menemukan kualitas serta kuantitas bantuan yang didapatnya (Caplan dalam Maldonado, 2005). Penelitian yang ada menemukan bahwa dukungan sosial dari keluarga merupakan hal yang paling efektif dalam mengurangi beban pada perempuan sedangkan dukungan sosial dari tempat kerja lebih efektif untuk laki-laki (House dalam Maldonado, 2005). Pentingnya dukungan sosial pada keluarga juga diungkapkan oleh Holahan dam Moos (dalam Pakalns, 1990) yang menemukan