VI. DESAIN PROSES PENGOLAHAN KOPI ROBUSTA DENGAN MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH

dokumen-dokumen yang mirip
OLEH HARI SUBAGYO BP3K DOKO PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI

Teknologi Pengolahan Kopi Cara Basah Untuk Meningkatkan Mutu Kopi Ditingkat Petani

Ir. Khalid. ToT Budidaya Kopi Arabika Gayo Secara Berkelanjutan, Pondok Gajah, 06 s/d 08 Maret Page 1 PENDAHULUAN

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao

PEDOMAN PENANGANAN PASCAPANEN KOPI

IMPLEMENTASI SANITASI PANGAN PADA PRODUKSI KOPI DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IX, JAMBU-SEMARANG. Roswita Sela 14.I1.0174

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 52/Permentan/OT.140/9/2012 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PASCAPANEN KOPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dairi merupakan salah satu daerah

II. TINJAUAN PUSTAKA. rasanya dibanding jenis kopi yang lain, tanda-tandanya adalah biji picak dan daun

PENINGKATAN MUTU BIJI KOPI RAKYAT DENGAN PENGOLAHAN SEMI BASAH BERBASIS PRODUKSI BERSIH

PROSES PENGOLAHAN BIJI KOPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cokelat berasal dari hutan di Amerika Serikat. Jenis tanaman kakao ada berbagai

DIREKTORAT PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 i

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

I. PENDAHULUAN. untuk peningkatan devisa Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara dari Asia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Kopi

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbungan tercepat terjadi di emerging market seperti Eropa Timur dan

PENINGKATAN KUALITAS HASIL PANEN KOPI KELOMPOK TANI, DESA BANYUKUNING, KABUPATEN SEMARANG

PENERAPAN GMP PADA PENANGANAN PASCA PANEN KOPI RAKYAT UNTUK MENURUNKAN OKRATOKSIN PRODUK KOPI (STUDI KASUS DI SIDOMULYO, JEMBER)

II. TINJAUAN PUSTAKA Terminologi Pasca Panen Padi. A. Kualitas Fisik Gabah

HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRIMER DAN SEKUNDER BIJI KAKAO

ALAT PEMISAH BIJI KAKAO SEDERHANA DITINJAU DARI SEGI KUALITAS DAN KAPASITAS HASIL

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertanian (2010),

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan komoditas sektor perkebunan yang cukup strategis di. Indonesia. Komoditas kopi memberikan kontribusi untuk menopang

BAB I PENDAHULUAN. kumpulan dari kebun-kebun sempit milik petani yang menjadi salah satu pilar

TEKNOLOGI PENGOLAHAN KOPI

PROSES PENGOLAHAN KOPI INSTAN, KOPI BLENDING, DAN KOPI TUBRUK DI PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA JENGGAWAH-JEMBER

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

Surabaya, Mei 2013 KATA PENGANTAR

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai jenis tanaman yang dapat tumbuh subur di

PENDAHULUAN PENGOLAHAN METE 1

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1

PENANGANAN PASCA PANEN YANG BAIK (GOOD HANDLING PRACTICES/GHP) RIMPANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

BAB I PENDAHULUAN. penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja serta mendorong pengembangan

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi

PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS. Nafi Ananda Utama. Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017

BAHAN PENYEGAR. Definisi KAKAO COCOA & CHOCOLATE COKLAT 10/27/2011

SNI Standar Nasional Indonesia. Biji kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam masalah budidaya kopi di berbagai Negara hanya beberapa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. disertai dengan proses penggilingan dan penjemuran terasi. Pada umumnya

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEH HITAM

SEMINAR DAN EKSPOSE TEKNOLOGI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN JAWA TIMUR BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

PENGOLAHAN BUAH LADA

ABSTRAK II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN

TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEH HIJAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu hasil dari berbagai tanaman perkebunan yang dapat

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan

METODOLOGI. Waktu dan Tempat. Alat dan Bahan. Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kakao (Theobroma cacao. l) merupakan salah satu komoditas

PETUNJUK TEKNIS PENGKAJIAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO (PBK) DI PROVINSI BENGKULU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IMPLEMENTASI GMP (Good Manufacturing Practice) PADA PRODUKSI BIJI KAKAO KERING DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA XII KEDIRI

PASCA PANEN BAWANG MERAH

KOPI LUWAK DAN PENGUJIAN KEASLIANNYA

24/05/2013. Produksi Bersih (sebuah pengantar) PENDAHULUAN. Produksi Bersih (PB) PB Merupakan pendekatan yang cost-effective

KUALITAS KOPI ARABIKA HASIL PENYIMPANAN DENGAN METODE PERENDAMAN UNTUK PENGATURAN WAKTU PENGUPASAN KULIT BUAH BASAH

III. METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

PENGOLAHAN BUAH-BUAHAN

Gambar di bawah ini memperlihatkan bentuk rumput laut segar yang baru dipanen (a. Gracillaria, b. Kappaphycus, c. Sargassum) Rumput laut segar

PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN

KAJIAN RUMAH PLASTIK PENGERING KOPRA KASUS DESA SIAW TANJUNG JABUNG TIMUR. Kiki Suheiti, Nur Asni, Endrizal

PEMBUATAN SAOS CABE MERAH Nurbaiti A. Pendahuluan Cabe merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

Pengeringan Untuk Pengawetan

I. PENDAHULUAN. pemasok utama kakao dunia dengan persentase 13,6% (BPS, 2011). Menurut


1. Teh Hijau (Green Tea)

METODOLOGI PENELITIAN

TEKNIK SELEKSI BIJI PEPAYA

I. PENDAHULUAN. dunia yang melibatkan beberapa negara konsumen dan banyak negara produsen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Magelang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menghasilkan kopi.

UJI JARAK ROTOR DAN VARIASI BENTUK MATA PISAU PADA ALAT PENGUPAS KULIT KOPI MEKANIS SILINDER TUNGGAL

Didalam pembuatan minyak goreng dapat dikelompokkan menjadi

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

BAB IV METODE PENELITIAN

BEDAH SNI PRODUK UNGGULAN DAERAH

I. PENDAHULUAN. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan bagi. perekonomian Indonesia, karena menghasilkan devisa negara, menyediakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea. sistimatika tanaman jagung yaitu sebagai berikut :

METODE PENGUJIAN UJI BASAH DAN KERING CAMPURAN TANAH SEMEN DIPADATKAN

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH PASCA

BAB III METODE PENELITIAN

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

VI. DESAIN PROSES PENGOLAHAN KOPI ROBUSTA DENGAN MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH 6.1. Pendahuluan Peningkatan kualitas produksi merupakan salah satu atribut kunci keberlanjutan agroindustri kopi rakyat. Menurut Herman dan Susila (2003), perbaikan kualitas dibutuhkan tidak hanya untuk memperbaiki citra kopi Indonesia, tetapi diharapkan dapat membantu perbaikan harga kopi tingkat petani sekaligus membangkitkan peran kopi bagi perekonomian Indonesia. Musebe et al. (2007), mutu kopi ditentukan terutama oleh perlakuan di kebun (40%), perlakuan pasca panen (40%), dan pengolahan sekunder (20%). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pasca panen (pengolahan primer) yang baik dapat membantu meningkatkan kualitas atau mutu biji kopi. Metode pengolahan menentukan mutu produk akhir serta memiliki potensi pencemaran yang berbeda. Penerapan metode olah basah pada proses pengolahan kopi merupakan salah satu upaya meningkatkan mutu produk akhir, meskipun memiliki potensi pencemaran cukup besar. Pendekatan produksi bersih pada proses pengolahan kopi mencakup 3 hal yang saling berhubungan yaitu; (1) lebih sedikit menggunakan sumber daya alam, (2) lebih sedikit limbah yang ditimbulkan, dan (3) lebih sedikit pencemar yang dibuang ke lingkungan alamiah. Upaya untuk mengurangi volume limbah cair atau minimisasi input air proses pada titik-titik dimana limbah dihasilkan merupakan salah satu tahapan pencegahan polusi (Theodore dan Mc.Guinn 1992). Pendekatan produksi bersih juga dilakukan dengan upaya mengurangi emisi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan volume air optimum pada proses pengolahan basah kopi Robusta dengan tetap mempertahankan mutu kopi. Untuk meminimalkan emisi yang terbuang ke lingkungan, dievaluasi alternatif penggunaan bahan bakar nabati terhadap tingkat emisi yang dihasilkan ke lingkungan. 123

124 6.2. Metode Penelitian 6.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer berasal dari hasil pengamatan dan perhitungan di lokasi penelitian. Data sekunder berasal dari literatur dan hasil-hasil penelitian terkait pengolahan kopi. 6.2.2. Variabel yang diamati Variabel yang diamati meliputi; volume input dan output per perlakuan dalam tahapan proses pengolahan kopi (neraca massa), mutu fisik, dan cita rasa (cup test) biji kopi yang dihasilkan per perlakuan dan emisi proses pengolahan kopi dan kebutuhan peralatan pendukung. 6.2.3. Metode Analisis Data Modifikasi teknologi pada proses pengolahan kopi basah dilakukan berdasarkan proses pengolahan basah yang telah dilakukan oleh Mulato et al. (2006). Adapun tahapan analisis data adalah sebagai berikut; 1. Melakukan identifikasi tahapan proses pengolahan kopi modifikasi olah basah yang berpotensi menyumbangkan limbah/emisi. 2. Menentukan desain perlakuan minimisasi air (volume air) pada proses pengolahan kopi berdasarkan hirarki pencegahan pencemaran (Theodore dan Mc Guinn 1992). Volume air ditentukan berdasarkan Mulato et al. (2006) yaitu volume air pengupasan dan pencucian tidak lebih dari 3 m 3 dan 6 m 3 per ton buah kopi. Ulangan perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali (triplicate). 3. Melakukan analisis nerasa massa pengolahan kopi dengan minimisasi air (Himmelblau 1982). 4. Mengukur emisi yang dihasilkan dari mesin pengupasan (pulper) dan pencucian (washer) yang menggunakan bahan bakar solar dan biodiesel. 5. Melakukan analisis mutu fisik biji kopi dan cita rasa seduhan (cup test). Mutu fisik biji kopi berdasarkan persyaratan mutu dalam SNI 01-2907-2008. Uji cita rasa seduhan (cup test) dilakukan oleh panelis ahli dan terlatih dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Secara umum rangkaian rancangan penelitian desain proses pengolahan kopi dengan modifikasi teknologi disajikan pada Gambar 35.

125 Buah kopi petik merah Penggunaan air ulang Input air pengupasan dengan perlakuan volume Alternatif bahan bakar Sortasi rambang Pengupasan buah Fermentasi kering Buah merah terpilih Emisi Biji kopi berkulit tanduk Pulp+Limbah cair Analisis emisi Penanganan limbah cair (anaerobik, koagulasi dan filtrasi) Air pencucian dengan perlakuan volume Pencucian Pengeringan Biji kopi berkulit tanduk Kopi HS Kopi HS Pengupasan kulit tanduk Kopi beras (green coffee) Pulp+Limbah cair Emisi Analisis: 1. Mutu fisik 2. Cita rasa seduhan Analisis limbah cair Analisis emisi Deskripsi: Rancangan volume air pengupasan (m 3.ton -1 buah kopi): K1 : 1,44 1,48 (50%) K2 : 0,73 0,78 (74%) K3 : 0,23 0,28 (90%) Rancangan volume air pencucian (m 3.ton -1 buah kopi): 1. C1 : 2,25 2,27 (57%) C2: 1,54 1,81 (70%) C3: 1,09 1,13 (81%) 2. C4 : 4,81 5,93 (0%) C5: 3,67 3,85 (35%) C1 (57%) C2 (70%) Kulit tanduk+kulit ari Alternatif bahan bakar : 1. Solar, 2. Biodiesel Gambar 35 Rancangan penelitian modifikasi teknologi olah basah pada proses pengolahan kopi Robusta 6.3. Hasil dan Pembahasan 6.3.1. Minimisasi Air Pada Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah Pengolahan basah merupakan perbaikan proses pengolahan kering. Penggunaan air pada proses pengolahan dengan modifikasi olah basah adalah; (1) sebagai media untuk mengklasifikasi kualitas buah kopi melalui sortasi rambang, (2) media pengaliran buah kopi untuk memudahkan proses pengupasan buah (pulping), dan (3) untuk membersihkan biji kopi dari lendir yang terdegradasi (washing) setelah proses fermentasi sekaligus mencegah proses fementasi berlebih (over fermentation). Upaya minimisasi input air merupakan bagian dari upaya penerapan produksi bersih pada proses kopi olah basah. Upaya meminimalkan air proses diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah cair sekaligus meningkatkan mutu kopi rakyat. Penerapan teknologi bersih mengacu pada konsep 3R (reduce, reuse, and recycle) pada keseluruhan aliran proses pengolahan. Untuk memperkirakan titik-titik dimana limbah dihasilkan serta besaran polutan pada perlakuan minimisasi air proses pengolahan kopi digunakan

126 diagram alir neraca massa. Neraca massa juga dapat digunakan untuk mengevaluasi konsumsi sumberdaya dan pembangkitan limbah produk ataupun proses. Tahapan proses pengolahan kopi olah basah dengan modifikasi meliputi proses sortasi rambang untuk buah kopi merah, proses pengupasan kulit buah (pulping), fermentasi kering, pencucian biji kopi (washing), pengeringan biji kopi secara mekanis, dan pengupasan kulit tanduk dan kulit ari pada kopi HS. Potensi limbah cair terutama dihasilkan dari tahapan proses sortasi rambang, pengupasan buah (pulping) dan pencucian biji kopi (washing). Potensi limbah padat dihasilkan dari tahapan proses pengupasan buah, pencucian biji kopi, dan pengupasan kulit kopi HS (hulling). a. Sortasi Proses sortasi pada pengolahan kopi dapat dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu (1) sortasi sejak di kebun yang dikenal dengan pemetikan selektif untuk memilih buah kopi yang telah masak, (2) sortasi ukuran menggunakan grader apabila diinginkan buah kopi dengan ukuran tertentu yang seragam, (3) sortasi rambang untuk memisahkan buah kopi merah kualitas baik dari buah kopi kualitas rendah dan kotoran yang terikut. Sortasi warna sangat ditentukan oleh cara pemanenan (Gambar 36). Sortasi kelas membantu pengaturan ukuran celah mesin pada proses pengupasan. Sortasi rambang bertujuan untuk memisahkan buah kopi superior (baik) dengan kopi rambang yang inferior (jelek). Bercampurnya kopi inferior dengan buah kopi superior akan menurunkan mutu fisik dan cita rasa. Pemilihan kopi merah merupakan syarat awal untuk mendapatkan kopi superior pada pengolahan basah. Buah kopi superior adalah buah kopi yang masak, bernas dengan ukuran cenderung seragam. Buah kopi inferior adalah buah kopi yang cacat, hitam, pecah, berlubang, atau tercampur daun, ranting, atau tanah. Pada tahap sortasi, limbah yang dihasilkan berupa kotoran dan buah campuran kuning-hijau yang masih memiliki nilai produk melalui pengolahan kering. Buah kopi setelah dipanen sebaiknya langsung dibawa ke sentra pengolahan dan diproses agar tidak terjadi kerusakan buah yang dapat

127 mempengaruhi mutu biji. Air yang digunakan untuk sortasi rambang dapat digunakan kembali pada proses pulping sehingga limbah cair dapat dihindari. Kuning Hijau Merah Merah Kehitaman Gambar 36 Buah kopi petik Minimisasi air pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah dilakukan berdasarkan volume air per ton buah kopi yang dapat diolah. Adapun volume air dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pengaturan kran air pengaliran. Penelitian perlakuan minimisasi air dibatasi pada tahap proses pengupasan buah (pulping) dan pencucian biji kopi (washing). b. Minimisasi Air Proses Pengupasan (Pulping) Pulping meliputi pengupasan bagian kulit luar berwarna merah (exocarp) dan lapisan pulp putih (mesocarp) serta pemisahan antara pulp dan biji. Buah kopi yang belum matang berwarna hijau dan keras akan sangat sulit dikupas. Prinsip pengupasan daging buah secara mekanik menggunakan mesin (pulper) adalah dengan cara menekan buah di antara permukaan yang diam dan bergerak. Daging dan kulit buah akan terpisah ke satu sisi, sedangkan biji yang masih terselubung lapisan berlendir dan kulit tanduk (parchment) menuju ke sisi lain. Pengaturan jarak diperlukan untuk mencegah biji pecah dan hasil kupasan lebih bersih. Penyemprotan air ke dalam silinder bersama buah kopi merah diusahakan tidak lebih dari 3 m 3 per ton buah kopi. Penggunaan air dibutuhkan untuk membantu pengaliran buah kopi ke dalam silinder pulper sekaligus membersihkan lapisan lendir (Mulato et al. 2006). Rancangan perlakuan minimisasi air input pada proses pengupasan buah kopi (K) dilakukan antara 0,237 1,480 m 3 /ton buah kopi atau 50-90% penurunan dari volume standar dengan pengaliran berikut: a. 0,237 m 3 0,287 m 3 /ton buah kopi (90%) perlakuan K3 (debit 0,0618 l/det), b. 0,731 m 3 0,784 m 3 /ton buah kopi (74%) perlakuan K2 (debit 0,2232 l/det), c. 1,441 m 3 1,480 m 3 /ton buah kopi (50%) perlakuan K1 (debit 0,2843 l/det).

128 Perlakuan K1 menjadi kontrol sebagai pengaliran air yang umum diterapkan di Puslitkoka dalam upaya meminimalkan air proses pengupasan. 1 drum berputar 2 piringan pemeras 3 piringan pemisah 4 bak penampung 5 buah kopi 6 biji kopi 7 pulp kopi Gambar 37 Mesin pengupas buah kopi (Pulper) Sumber: Schumacher Centre for Technology & Development, UK, Tanpa Tahun Proses pengupasan buah dengan perlakuan meminimalkan air menghasilkan biji kopi berkulit tanduk dengan kadar air 65-72%. Limbah yang dihasilkan berupa limbah cair dan daging buah (pulp). Pulp kopi yang dihasilkan pada tahapan ini cukup besar hingga 50% dari total berat buah kopi yang dikupas. Biji kopi yang dihasilkan dari proses pengupasan ini memiliki kadar air rata-rata 77,4%. Volume limbah cair yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan volume air yang masuk ke dalam proses karena terdapat air yang terikut bersama pulp dan biji kopi. Untuk mengetahui pengaruh minimisasi air terhadap proses pengupasan dilakukan analisis varian dan uji lanjut Duncan. Buah merah terpilih (1 ton) Kadar air 59 70% Air 0,23 1,48 m 3 /ton Pengupasan buah (pulping) Limbah cair (0,04 1,14) m 3 /ton Pulp (0,33 0,57 ton) Biji kopi HS basah (0,70 0,81) ton Kadar air 65 72% Gambar 38 Neraca massa proses pengupasan Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan, perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan memiliki pengaruh signifikan terhadap volume limbah cair yang dihasilkan. Perlakuan minimisasi air tidak berpengaruh secara nyata terhadap pulp dan biji HS yang dihasilkan. Akan tetapi, volume air minimum (90%) menghambat pemisahan antara biji dan pulp, sehingga masih

129 terdapat buah kopi yang tidak terkupas setelah proses. Selain itu dalam pelaksanaan penelitian, volume air minimum ternyata mempengaruhi kinerja mesin pengupasan (pulper) yang membutuhkan kajian lebih lanjut. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, penggunaan air input minimal dapat dilakukan pada debit 0,223 l/det atau setara dengan rata-rata volume air 0,784 m 3 /ton buah (minimisasi air 74%). Tabel 13 Hasil uji lanjut Duncan pada proses pengupasan Perlakuan Pengupasan (per 50 kg buah kopi) (% penurunan) Limbah cair (kg) Pulp (kg) Biji HS (kg) K1 (50%) 57,00 b 28 ab 39 ab K2 (74%) 20,70 a 28,25 ab 38,75 ab K3 (90%) 10,84 a 16,5 a 37,00 a K1 (50%) 56,15 b 27,00 ab 40,75 ab K2 (74%) 20,35 a 27,00 ab 39,75 ab K3 (90%) 6,59 a 20,25 a 35,00 a K1 (50%) 53,8 b 27,75 ab 40,5 ab K2 (74%) 20,06 a 26,5 ab 40,0 ab K3 (90%) 2,05 a 23,75 a 37,50 a Pengupasan mekanik masih meninggalkan residu di permukaan kulit tanduk. Residu ini harus dibuang seluruhnya untuk mencegah kontaminasi biji kopi oleh bahan yang akan dihasilkan dari proses degradasi lendir. dilakukan untuk menghilangkan lapisan lendir tersebut. c. Fermentasi Proses fermentasi Menurut Ciptadi dan Nasution (1985); Siswoputranto (1992), fermentasi bertujuan untuk menghilangkan lapisan lendir yang tersisa di permukaan kulit tanduk biji kopi melalui penguraian senyawa-senyawa dalam lendir oleh bakteri. Proses fermentasi juga dimaksudkan untuk membentuk unsur-unsur citarasa khas dari kopi. Fermentasi dapat dilakukan selama 12 hingga 24 jam. Menurut Mulato et al. (2006), fermentasi kering dilakukan pada modifikasi proses olah basah untuk menghemat air dengan cara menumpuk biji kopi HS basah dalam suatu bak yang kemudian ditutup karung goni. Suhu awal fermentasi adalah 29 o C dan akan meningkat di akhir fermentasi mencapai 31 o C. Fermentasi berakhir saat lendir sudah tidak menempel pada biji yaitu setelah 13-15 jam. Pada proses fermentasi ini, tidak ada perubahan aliran massa yang signifikan. Perubahan yang terjadi adalah pada karakteristik biji kopi HS.

130 Menurut Clarke dan Macrae (1985), perubahan yang terjadi selama proses fermentasi biji kopi adalah sebagai berikut; 1. Pemecahan komponen mucilage (lendir). Bagian yang terpenting dari lapisan berlendir ini adalah komponen protopektin yang merupakan kompleks tak larut. Material inilah yang pecah pada saat proses fermentasi akibat bekerjanya suatu enzim sejenis katalase yang akan memecah protopektin dalam buah kopi. 2. Pemecahan gula. Kadar gula akan meningkat dengan cepat selama proses pematangan buah dengan meningkatnya rasa manis. Oleh karena itu kadar gula dalam daging biji akan mempengaruhi konsentrasi gula dalam lendir beberapa jam setelah fermentasi. Hasil dari proses pemecahan gula adalah asam laktat dan asam asetat, dengan kadar asam laktat yang lebih besar. Asam-asam lain yang dihasilkan dari proses fermentasi adalah etanol, asam butirat dan propionat. 3. Perubahan warna kulit. Biji kopi yang telah terpisahkan dari pulp akan menyebabkan kulit ari berwarna coklat. Jaringan daging biji akan berwarna sedikit kecoklatan, yang semula berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan. Proses pencoklatan ini terjadi akibat oksidasi polifenol yang dapat dicegah dengan menggunakan pemakaian air pencucian yang bersifat alkalis. Biji kopi HS basah (0,70 0,81 ton) Kadar air 65 72% Fermentasi kering Kadar air 64 72% Biji kopi HS basah (0,70 0,81 ton) Gambar 39 Neraca massa proses fermentasi Akhir dari proses fermentasi ditetapkan secara visual, dimana biji kopi kehilangan tekstur halusnya dan terasa lebih kasar. Menurut Chanakya dan de Alwis (2004), lapisan lendir (mucilage) yang licin pada biji kopi memiliki ketebalan lebih kurang 1,5 mm, dan tembus pandang. Metode fermentasi dan pencucian dengan pengausan (washing) merupakan kombinasi metode yang

131 paling populer untuk menghilangkan lapisan lendir. dihasilkan disebut kopi kulit (HS). Adapun biji kopi yang d. Minimisasi Air Proses Pencucian (Washing) Perlakuan minimisasi air pada proses pencucian dilakukan melalui 2 tahapan pada masa panen yang berbeda yaitu di tahun 2009 (tahap 1) dan tahun 2010 (tahap 2). Minimisasi air pada tahap 1 terutama ditujukan untuk mengetahui kebutuhan air minimum, pengaruhnya terhadap neraca massa proses dan mutu hasil pengolahan. Uji mutu yang dilakukan pada tahap ini hanyalah uji mutu fisik. Signifikansi pengaruh diukur berdasarkan uji statistik (analisis varian dan uji lanjut Duncan). Berdasarkan perlakuan tahap 1 dapat dilakukan minimisasi air tahap 2. Minimisasi air tahap 2 terutama dilakukan untuk mengetahui perbedaan mutu biji dari hasil perlakuan minimum dan perlakuan air pencucian yang biasa diterapkan pada proses pengolahan kopi. Pada perlakuan minimisasi air tahap 2 juga dilakukan perbandingan dengan biji kopi hasil olah kering yang berasal dari tempat berbeda. Signifikansi pengaruh minimisasi tahap 2 diukur berdasarkan uji mutu fisik dan cita rasa biji kopi. 2 1 1 aliran air 2 biji kopi HS 3 sirip pencuci berputar 4 silinder berlubang horisontal 5 lendir + kotoran bersama air 6 biji kopi HS yang sudah bersih 3 4 5 6 Gambar 40 Mesin pencuci biji kopi (washer) Pencucian (washing) dilakukan setelah fermentasi untuk menghilangkan sisa lendir yang masih menempel di kulit tanduk dengan bantuan mesin pencuci (washer). Biji kopi HS dimasukkan ke dalam corong silinder secara kontinyu yang disertai semprotan aliran air ke dalam silinder. Sirip pencuci yang berputar mengangkat massa biji kopi ke permukaan silinder. Sisa-sisa lendir pada permukaan kulit tanduk akan terlepas dan tercuci oleh aliran air. Kotoran akan

132 menerobos lewat lubang-lubang pada dinding silinder dan massa biji yang sudah bersih terdorong oleh sirip pencuci ke arah ujung pengeluaran silinder (Gambar 40). d.1. Minimisasi Air Pencucian Tahap 1. Proses pengaliran air pada mesin pencuci tipe kontinyu menggunakan 2 aliran air dari atas bersamaan dengan pemasukan biji kopi HS dan aliran dari lubang bawah yang membantu sirip pencuci. Sebagaimana proses pengupasan, minimisasi air proses juga dilakukan pada tahap pencucian dengan kisaran air pencucian tahap 1 antara 1,093 2,561 m 3 /ton buah kopi. Volume air rata-rata perlakuan minimisasi proses pencucian (C) adalah sebagai berikut; a. 1,093 m 3 1,131 m 3 / ton buah kopi (81%) perlakuan C3 (debit air 0,1491 l/det) b. 1,542 m 3 1,806 m 3 /ton buah kopi (70%) perlakuan C2 (debit air 0,2344 l/det ) c. 2,256 m 3 2,561 m 3 /ton buah kopi (57%) perlakuan C1 (debit air 0,3042 l/det). Berdasarkan minimisasi air pencucian tahap 1 ini dilakukan analisis neraca massa dan analisis varian untuk mengetahui volume dan pengaruh perlakuan terhadap limbah dan biji kopi HS yang dihasilkan. Biji kopi HS Kadar air 64 72% Air 1,09 2,56 m 3 /ton Pencucian Limbah cair + lendir (1,34 2,57) m 3 /ton Pulp (0,01 0,03) ton Kadar air 50 60% Biji Kopi HS (0,47 0,51) ton Gambar 41 Neraca massa proses pencucian Kadar air biji kopi HS setelah proses pencucian sebesar 50 60%. Hal ini diperkirakan karena biji kopi telah bersih dari lendir yang terdegradasi selama fermentasi. Lendir yang semula menempel pada permukaan biji kopi HS dialirkan bersama-sama limbah cair dan pulp yang masih terikut sejak proses pengupasan. Pulp yang dihasilkan pada tahap ini sangat sedikit (1,92%). Limbah cair yang dihasilkan dari proses pencucian cenderung lebih kental dibandingkan limbah cair proses pengupasan karena kandungan lendir dalam jumlah dominan.

133 Biji kopi HS pada tahap pencucian telah berkurang hingga rata-rata 50% dari total buah kopi yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan, perlakuan minimisasi air proses pencucian menunjukkan perbedaan signifikan pada volume limbah cair yang dihasilkan. Volume limbah cair yang dihasilkan akan menurun seiring minimisasi air proses. Tahap pencucian merupakan salah satu titik terjadinya pencemaran karena adanya limbah cair bercampur lendir (mucilage) dan pulp (sisa kulit kopi) yang dihasilkan. Meskipun volume limbah cair menurun seiring perlakuan minimisasi air, tetapi diperkirakan terjadi peningkatan konsentrasi polutan. Perlakuan minimisasi air menunjukkan bahwa volume limbah cair tidak berbeda secara signifikan antara perlakuan C2 dan C3. Meskipun demikian penentuan kelayakan minimisasi air akan ditentukan oleh mutu biji kopi. Interaksi perlakuan pengupasan dan pencucian akan menentukan mutu biji kopi akhir. Tabel 14. Hasil uji lanjut Duncan proses pencucian Perlakuan Pencucian (% penurunan) Limbah cair (kg) Pulp (kg) Biji HS (kg) K1C1(57%) 134,05 b 0,6 a 23,50 a K2C1(57%) 132,78 b 1,23 a 24,25 a K3C1(57%) 133,125 b 0,925 a 24,00 a K1C2(70%) 107,70 a 1,05 a 25,50 a K2C2(70%) 104,125 a 0,875 a 25,50 a K3C2(70%) 114,975 ab 1,225 a 23,50 a K1C3(81%) 80,5 a 1 a 26,25 a K2C3(81%) 91,725 a 0,975 a 25,50 a K3C3(81%) 87,775 a 0,775 a 25,50 a d.2. Minimisasi Air Pencucian Tahap 2 Perlakuan minimisasi air tahap 2 dilakukan setelah diketahui hasil mutu fisik biji kopi dari perlakuan tahap 1. Tujuan minimisasi air pencucian tahap 2 adalah untuk mengetahui pengaruh minimisasi air lanjutan terhadap mutu fisik dan cita rasa biji kopi. Pada perlakuan pencucian, volume air proses pengupasan buah kopi diupayakan konstan antara 0,731 0,784 m 3 /ton (K2=74%) dengan volume air pencucian rata-rata sebagai berikut; a. 4,809 5,933 m 3 /ton buah kopi untuk perlakuan C4 (0%). b. 3,678 3,853 m 3 /ton buah kopi untuk perlakuan C5 (35%).

134 c. 2,256 2,561 m 3 /ton buah kopi yang sama dengan perlakuan C1 (57%). d. 1,542 1,806 m 3 /ton buah kopi yang sama dengan perlakuan C2 (70%) Pada tahap perlakuan ini juga dilakukan análisis terhadap buah kopi yang berasal dari periode panen rampasan dan biji kopi hasil pengolahan kering. Biji kopi hasil perlakuan olah basah dan olah kering dari Kebun Kaliwining milik Puslitkoka juga dibandingkan dengan biji kopi hasil olah basah dan olah kering yang berasal dari perkebunan kopi rakyat KUPK Desa Sidomulyo. Menurut Ciptadi dan Nasution (1985); Mulato et al.(2006), perlakuan saat panen dapat mempengaruhi mutu kopi, dimana buah kopi yang dipanen saat panen rampasan diperkirakan memiliki karakteristik mutu berbeda dengan buah kopi yang dipanen saat panen raya. Adapun kopi olah basah Sidomulyo dicuci dengan volume air ± 7 m 3 /ton dan proses fermentasi yang tidak sepenuhnya fermentasi kering, terkadang direndam dalam bak semen dengan volume air tertentu. Kopi olah basah Sidomulyo mengalami pengeringan alami dengan sinar matahari, sebaliknya kopi olah basah Kaliwining menggunakan pengering mekanis. Biji kopi HS yang dihasilkan dari proses pencucian merupakan biji kopi olah basah yang masih berkadar air rata-rata 60%. Hal ini sesuai pernyataan Chanakya dan De Alwis (2004), bahwa setelah proses pencucian biji kopi harus mendapat perlakuan pengeringan karena berkadar air antara 55-60%. e. Pengeringan Pengeringan dapat dilakukan melalui penjemuran dengan sinar matahari ataupun menggunakan pengering mekanis hingga kadar air mencapai maksimal 12% (SNI 01-2907-2008). Apabila menggunakan pengering mekanis berbahan bakar kayu pada suhu 50 o - 60 o C, lama pengeringan rata-rata sekitar 3-4 hari (50 jam secara teoritis dengan suhu di awal proses suhu 60 70 o ). Pengeringan cenderung lebih lama berlangsung pada biji kopi yang berasal dari perlakuan air proses minimum. Biji kopi HS yang dihasilkan dari proses pengeringan telah menurun hingga 24% dari total buah kopi gelondong yang diproses. Penguapan air dihitung berdasarkan neraca massa mencapai 31% dari volume biji kopi HS sebelum pengeringan.

135 Biji kopi HS (0,47 0,51) ton Kadar air 50 60% Pengeringan Uap air (0,25 0,31) ton Kadar air 12 12,5% Biji kopi HS (0,21 0,24) ton Gambar 42 Neraca massa proses pengeringan Penjemuran sinar matahari umumnya dilakukan selama 8 hingga 10 hari, tergantung temperatur udara dan kelembaban. Pengeringan dengan sinar matahari dapat dilakukan di atas semen datar. Biji dihamparkan setebal 2 sampai 10 cm, dan dibalik secara berkala untuk menjamin biji menjadi kering sempurna. Pada saat puncak periode pemanenan, penggunaan pengering mekanis sangat membantu. Meskipun demikian, proses ini harus dikontrol dengan hati-hati untuk mendapatkan kekeringan yang memuaskan dan murah secara ekonomis tanpa merusak kualitas. Secara visual, biji kopi kering hasil olah basah memiliki penampilan lebih baik daripada biji kopi kering hasil olah kering. Biji kopi olah basah cenderung berwarna lebih terang dan bersih. Biji kopi hasil olah basah setelah disangrai juga akan memiliki warna agak putih pada alur di tengah keping bijinya. Biji WP Kebun Kaliwining Biji DP Kebun Kaliwining Gambar 43 Perbandingan visual biji kopi HS hasil olah basah dan olah kering Keterangan: WP : wet process (olah basah) DP ; dry process (olah kering) f. Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling) Setelah pengeringan, proses pengupasan kulit tanduk (hulling) dapat dilanjutkan atau kopi HS disimpan hingga saatnya diekspor. Output proses hulling berupa biji kopi beras (green bean), kulit tanduk, dan kulit ari. Untuk mencapai keseragaman dan meningkatkan efisiensi pengupasan, sebaiknya dilakukan sortasi ukuran terlebih dahulu sebelum proses hulling. Pada tahap

136 pengupasan dimungkinkan terjadinya kehilangan massa karena kulit ari biji kopi yang keluar dari sistem dalam jumlah minimum. Persentase kulit tanduk dan kulit ari yang dihasilkan dari proses pengupasan ini dapat mencapai 5% dari total buah kopi gelondong yang diproses. Kulit tanduk dan kulit ari masih memiliki nilai tambah ekonomis jika dimanfaatkan. Rata-rata persentase biji kopi beras yang dihasilkan pada proses pengolahan modifikasi olah basah ini adalah 18-19%. Biji Kopi HS (0,21 0,24) ton Kadar air 12 12,5% Pengupasan kering kulit kopi HS Kulit tanduk & kulit ari (0,03 0,05) ton Kopi beras (0,18 0,19) ton Gambar 44 Neraca massa proses hulling Berdasarkan perhitungan neraca massa rata-rata dapat diketahui rata-rata volume air, limbah cair, dan limbah padat yang dihasilkan melalui perlakuan minimisasi air proses pengolahan kopi (Tabel 15). Perlakuan minimisasi air terbukti mampu mengurangi volume limbah cair yang dihasilkan pada proses pengolahan kopi. Secara umum, neraca massa total hasil perlakuan minimisasi air tahap pengupasan (pulping) dan pencucian (washing) pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi teknologi disajikan pada Gambar 45. Tabel 15 Volume air, limbah cair dan limbah padat rata-rata pengolahan kopi No Perlakuan (% Pengupasan (satuan/ton buah) Pencucian (satuan/ton buah) Total air (m 3 /ton) Total pulp (kg/ton) minimisasi) Air (m 3 ) Pulp (kg) Air (m 3 ) Pulp (kg) In Out Out 1 K1C1(58%) 1,480 560,0 2,271 12,0 3,751 3,709 572,0 2 K2C1(67%) 0,754 565,0 2,258 24,6 3,012 2,937 589,6 3 K3C1(72%) 0,287 330,0 2,256 18,5 2,543 2,514 348,5 4 K1C2(67%) 1,478 540,0 1,542 21,0 3,020 2,949 561,0 5 K2C2(73%) 0,742 540,0 1,710 17,5 2,452 2,383 557,5 6 K3C2(77%) 0,237 405,0 1,806 24,5 2,043 2,043 429,5 7 K1C3(72%) 1,441 555,0 1,093 20,0 2,534 2,434 575,0 8 K2C3(79%) 0,731 530,0 1,131 19,5 1,862 1,803 549,5 9 K3C3(85%) 0,266 475,0 1,110 15,5 1,376 1,376 490,5 Sumber limbah padat terbesar dihasilkan pada tahap pengupasan buah kopi berupa pulp buah kopi yang dapat mencapai 50-60% dari total produksi. Limbah padat ini juga berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan, sehingga

Volume air (m 3 /ton) Pulp (kg) 137 memerlukan penanganan khusus. Potensi limbah cair terbesar terutama dihasilkan dari proses pencucian biji kopi setelah fermentasi. Melalui pengurangan air input pada proses pengolahan kopi diharapkan dapat mengurangi beban pencemaran dari agroindustri kopi. Beberapa perbandingan penggunaan air untuk proses pengolahan kopi di berbagai negara disajikan pada Tabel 16. Buah merah terpilih (1 ton) Kadar air 59 70% Air 0,23 1,48 m 3 /ton Pengupasan buah Limbah cair (0,04 1,14) m 3 /ton Pulp (0,33 0,57 ton) Biji kopi HS basah (0,70 0,81) ton Kadar air 65 72% Fermentasi kering Biji kopi HS basah Kadar air 64 72% Air 1,09 2,56 m 3 /ton Pencucian Limbah cair + lendir (1,34 2,57) m 3 /ton Pulp (0,01 0,03) ton Biji kopi HS basah (0,47 0,51) ton Kadar air 50 60% Pengeringan Biji kopi HS (0,21 0,24) ton Pengupasan kering kulit kopi HS Uap air (0,25 0,31) ton Kadar air 12 12,5% Kulit tanduk & kulit ari (0,03 0,05) ton Biji kopi beras (0,18 0,19) ton Gambar 45 Neraca massa proses pengolahan kopi perlakuan minimisasi air 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 58 66 67 72 72 73 77 79 85 Persentase minimisasi Pengupasan Pencucian Pulp Kupas Pulp Cuci 600 500 400 300 200 100 0 Gambar 46 Volume air dan pulp yang dihasilkan pada perlakuan minimisasi

138 Tabel 16 Perbandingan penggunaan air pengolahan kopi di berbagai negara Pengolahan Kopi Negara Penggunaan air Sumber (m 3 /ton buah) Semi basah, olah basah India 3 Murthy et al.,(2004) Olah basah, reuse air proses Kenya 4 6 Von Enden & Calvert, (2002) Olah basah dan pengolahan lingkungan (Becolsub) Colombia 1 6 Von Enden & Calvert, (2002) Olah basah, reuse dan recycling air Papua New Guinea 4 8 Von Enden & Calvert, (2002) Semi basah dan olah basah Vietnam 4 15 Von Enden & Calvert, (2002) Olah basah tradisional Vietnam 20 Von Enden & Calvert (2002) Olah basah tradisional Vietnam 14-17 Deepa et al. (2000) Semi basah, pengupasan mekanis (demucilager) Brazil 4 De Matos et al (2001) Semi basah, pengupasan mekanis (demucilager) Mexico 3-4 Mendoza & Rivera (1998) Olah basah tradisional Nicaragua 16 Biomat (1992) Olah basah, reuse air Nicaragua 11 Grendelman (2006) Olah basah tradisional Indonesia 16-18 Yahmadi (1972) Limbah padat (pulp) yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan menunjukkan tren sama dengan volume air proses (Gambar 46). Semakin sedikit air yang digunakan, semakin sedikit pulp yang keluar ke penampungan. Pulp tidak terkupas sempurna dan terbawa ke penampungan biji kopi. Sebaliknya perlakuan minimisasi air proses pencucian tidak mempengaruhi volume limbah padat, karena pulp yang dihasilkan adalah sisa proses pengupasan yang terbawa oleh air dan lendir. Hasil ini mendukung analisis varian dan uji lanjut Duncan pada masing-masing proses. Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan volume air minimum yang dapat diterapkan pada proses pengolahan kopi adalah perlakuan K2 untuk proses pengupasan dan C2 untuk proses pencucian. Kombinasi perlakuan K2C2 membutuhkan total volume air proses rata-rata adalah 2,452 m 3 /ton buah kopi atau persentase minimisasi air total sebesar 73%. Dengan demikian nilai ini masih lebih rendah dibandingkan total volume air yang dibutuhkan pada proses pengolahan basah di Vietnam, India, Kenya, Papua New Guinea, dan Nicaragua. Meskipun demikian analisis mutu fisik biji kopi hasil perlakuan dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh lebih lanjut perlakuan minimisasi air.

139 6.3.2. Analisis Mutu Biji Kopi Karakteristik bahan baku biji kopi yang diamati pada penelitian ini meliputi kadar air, ukuran biji, mutu fisik dan cita rasa. Analisis mutu fisik biji kopi dilakukan pada 2 tahapan perlakuan penelitian, yaitu: (a) analisis mutu fisik hasil perlakuan tahap pertama yaitu minimisasi air proses pengupasan dan pencucian, (b) analisis mutu fisik dan cita rasa (cup test) hasil perlakuan tahap kedua yaitu minimisasi air proses pencucian dibandingkan dengan biji kopi olah kering dan biji kopi hasil pengolahan rakyat. Pengujian mutu fisik biji kopi mengacu pada SNI No.01-2907-2008 yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional untuk menetapkan penggolongan dan persyaratan mutu fisik biji kopi Robusta. Uji cita rasa kopi (cup test) dilakukan oleh panelis ahli dan terlatih yang telah berpengalaman dan bersertifikasi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Biji kopi olah kering dan biji kopi olah basah dari Kebun Sidomulyo dianalisis sebagai kontrol perlakuan pengolahan yang dilakukan rakyat. Masingmasing sampel biji kopi HS dan gelondong kering diambil sebanyak ± 1,5-2 kg untuk pengujian mutu fisik dan uji cita rasa (cup test). Biji kopi HS dan gelondong kering yang telah melalui proses penjemuran dikupas menggunakan huller, kemudian masing-masing perlakuan diambil sampel sebanyak 300 kg untuk pengujian mutu fisik. Setelah dilakukan pemisahan biji cacat pada uji mutu fisik, biji kopi disangrai untuk seterusnya dilakukan uji cita rasa (cup test). Berdasarkan hasil pengukuran, biji kopi yang berasal dari Kebun Kaliwining dan Kebun Rakyat Sidomulyo termasuk kategori kecil. Kadar air biji kopi hasil perlakuan minimisasi dan biji kopi olah basah yang berasal dari Kebun Sidomulyo diusahakan berada pada kisaran 12%. Kadar air merupakan salah satu sifat fisik yang akan mempengaruhi mutu kopi, berkaitan dengan daya simpan untuk mencegah perubahan warna, tumbuhnya jamur, dan mikroorganisme lainnya. Perlakuan minimisasi air tidak menunjukkan perbedaan kadar air secara signifikan. Menurut Wibowo (1985), kadar air 12% dengan toleransi 1% merupakan batasan yang dapat menjamin keamanan selama penyimpanan karena pada kondisi tersebut pertumbuhan jamur minimal. Kadar air aman untuk penyimpanan adalah 11,62% pada suhu 30 o C atau 11,24% pada suhu 35 o C (Atmawinata 1995).

140 Sebaliknya biji dengan kadar air lebih rendah daripada 9% (terlalu kering) akan menyebabkan kerusakan cita rasa dan warna (Sivetz dan Desrosier 1979). Dengan demikian, untuk menjamin kemantapan penyimpanan biji kopi, akan lebih baik apabila pengeringan dilakukan hingga kadar air biji kopi maksimum sebesar 11%. Berdasarkan SNI 01-2907-2008 (BSN 2008), cacat kopi adalah; (a) adanya benda asing yang bukan berasal dari kopi, (b) adanya benda asing yang bukan biji kopi, seperti potongan kulit kopi, (c) bentuk biji yang tidak normal dari segi kesatuannya (integritasnya), (d) biji yang tidak normal dari visualisasinya seperti biji hitam, dan (e) biji yang tidak normal yang menyebabkan cacat rasa setelah disangrai dan diseduh. Wibowo (1985) membagi jenis cacat atau kerusakan biji kopi menjadi (1) kerusakan sejak dari kebun, (2) kerusakan selama pengolahan, dan (3) adanya benda asing yang bukan biji kopi. Adapun hasil penelitian ini disajikan pada uraian berikut. a. Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Tahap 1. Minimisasi air proses pengupasan dan pencucian berpengaruh signifikan terhadap volume limbah cair yang dihasilkan. Volume air proses pengupasan sebaiknya dilakukan antara 0,731 0,784 m 3 /ton buah kopi (74%) karena berpengaruh terhadap jumlah biji dan proses pengupasan. Perlakuan minimisasi pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah biji dan limbah padat yang dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap mutu biji kopi. Minimnya air pada proses pengupasan diperkirakan mempengaruhi kinerja pulper untuk memisahkan pulp dan biji kopi sehingga jumlah biji cacat meningkat. Demikian pula pada proses pencucian dimana air sangat dibutuhkan untuk menghilangkan lendir yang menempel pada biji kopi. Apabila air yang digunakan sangat sedikit, lendir tidak sepenuhnya tercuci sehingga mempengaruhi kebersihan biji kopi. Dengan demikian apabila total air pengupasan dan pencucian semakin sedikit, akan memperbesar nilai cacat. Mutu fisik biji kopi hasil perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan dan pencucian berada pada kelas mutu 4 dan 5 (SNI 01-2907-2008). Kelas mutu 4A memiliki jumlah nilai cacat maksimum 45 60. Kelas mutu 4B memiliki jumlah nilai cacat maksimum 61 80. Kelas mutu 5 memiliki jumlah nilai cacat

141 maksimum 81 150. Perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan dan pencucian menunjukkan terjadinya penurunan mutu pada persentase minimisasi air sebesar 77, 79, dan 85% (Gambar 47). Tabel 17 Mutu fisik biji kopi perlakuan proses pengupasan dan pencucian No Jenis Cacat Jumlah Nilai Cacat Persentase Minimisasi Air 58% 67% 72% 66% 73% 77% 72% 79% 85% 1 1 biji hitam 4 9 10 12 7 9 5 9 8 2 1 biji hitam sebagian 6,5 5 7,5 3 5 4 4 5 4,5 3 1 biji hitam pecah 0 4 8,5 1 5 6,5 6 7,5 9 4 1 kopi gelondong 10 10 20 8 11 27 11 16 28 5 1 biji coklat 1,75 1,25 1,75 3 3,5 5 5,5 5 8,75 6 1 kulit kopi ukuran besar 2 0 1 0 0 3 4 3 4 7 1 kulit kopi ukuran sedang 3 4 6 2,5 4 9 4 7,5 4 8 1 kulit kopi ukuran kecil 2,4 2,6 4 2,4 5,6 7 7,4 9 18 9 1 biji berkulit tanduk 5 5,5 6,5 4,5 7.5 12,5 12 12,5 17,5 10 1 kulit tanduk ukuran besar 0 0 0 0 0 0,5 0,5 0,5 4,5 11 1 kulit tanduk ukuran sedang 0 0 0 0 0,4 0,4 0,2 0,2 2,6 12 1 kulit tanduk ukuran kecil 0 0 0,1 0,4 0,2 0,5 0,2 0,6 1 13 1 biji pecah 6,8 7,4 7,6 10 11 14 13,6 15,6 21 14 1 biji muda 2 1,6 1,8 4 2 2 1,8 2 3,2 15 1 biji berlubang satu 0,2 0,1 0,1 0 0 0,1 0,3 0,2 0,1 16 1 biji berlubang lebih dari 0,2 0 0,4 0,2 0 0,4 0 0,2 0,2 satu 17 1 biji bertutul-tutul 0 0,5 0,7 0 0,5 1,5 0 0,5 1,6 18 1 ranting, tanah atau batu berukuran besar 19 1 ranting, tanah atau batu berukuran sedang 20 1 ranting, tanah atau batu berukuran kecil 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 2 2 2 0 1 1 2 1 2 1 1 1 2 Total Nilai 44,85 51,95 77,95 56,00 64,70 105,40 78,50 97,30 137,95 Kategori Mutu 4A 4A 4B 4A 4B 5 4B 5 5 Hasil análisis mutu fisik biji kopi menunjukkan kesimpulan yang tidak jauh berbeda dengan hasil análisis uji lanjut Duncan. Minimisasi air pada tahap pengupasan dan pencucian masih dapat dilakukan pada perlakuan K2 dan C2. Meskipun nilai mutu yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan biji kopi dengan air maksimum, tetapi mutu biji kopi berada dalam kategori mutu sedang (4B).

Persentase Cacat Total Nilai Cacat Total Air Proses (m 3 /ton) 142 160 140 120 Nilai Cacat Total Air 5 4,0 3,5 3,0 100 80 60 40 20 4A 4A 4A 4B 4B 4B 5 5 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0 58 66 67 72 72 73 77 79 85 Persentase Minimisasi (%) Gambar 47 Hubungan minimisasi air dan nilai mutu 0,0 Perlakuan minimisasi air mempengaruhi persentase cacat biji kopi karena pengolahan (Gambar 48). Berdasarkan kategori Wibowo (1985), kerusakan selama pengolahan yang dapat menimbulkan cacat biji kopi adalah biji pecah, biji bertutul-tutul, biji berkulit tanduk dan biji coklat. Biji pecah dikategorikan sebagai biji cacat, karena jika disangrai bersama dengan biji utuh kemungkinan akan memberikan rasa terbakar pada kopi seduhan. Nilai cacat biji pecah menempati persentase terbesar yang hampir terjadi di setiap perlakuan (Gambar 49). Cacat biji pecah dapat terjadi pada saat proses pengupasan kulit buah kopi (pulping) karena karakteristik fisik buah kopi yang beragam dalam bentuk dan ukuran (Wahyudi et al. 1999). Proses sortasi ukuran awal pada buah kopi sebelum pulping dapat membantu mengurangi cacat biji karena pengolahan. 100% 4A 4A 4A 4B 4B 4B 5 5 5 80% 60% 40% 20% 0% 58 66 67 72 72 73 77 79 85 Persentase Minimisasi Air Cacat dari kebun Cacat karena pengolahan Benda asing Gambar 48 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air tahap 1

Persentase cacat (%) 143 60 50 40 30 20 10 0 58 66 67 72 72 73 77 79 85 Biji bertutul-tutul 0,00 0,00 0,96 0,90 0,00 0,77 1,42 0,51 1,16 Biji pecah 15,16 17,86 14,24 9,75 17,32 17,00 13,28 16,03 15,22 Biji berkulit tanduk 11,15 8,04 10,59 8,34 15,29 11,59 11,86 12,85 12,69 Biji coklat 3,90 5,36 2,41 2,25 7,01 5,41 4,74 5,14 6,34 Kopi gelondong 22,30 14,29 19,25 25,66 14,01 17,00 25,62 16,44 20,30 Persentase Minimisasi Air (%) Gambar 49 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap 1 Cacat biji pecah juga dapat terjadi selama pengupasan kulit majemuk, sebagaimana cacat biji berkulit tanduk. Cacat ini dapat terjadi jika kerja huller tidak sempurna, karena kadar air biji kopi HS yang lebih dari 12%. Menurut Mulato et al. (2006), mesin pengupas biji kopi HS terutama dirancang untuk mengupas biji kopi HS dengan kadar air mendekati 12%. Jika kadar air makin tinggi, kapasitas pengupasan akan turun, dan jumlah biji pecah akan sedikit meningkat. Kadar air berpengaruh pada ukuran biji kopi. Makin tinggi kadar air biji kopi, ukuran bijinya semakin besar. Oleh karena itu, lebar celah, dan ukuran saringan perlu dimodifikasi jika mesin pengupas tersebut akan dipakai untuk mengupas biji kopi dengan kadar air yang masih tinggi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengupasan sebaiknya dilakukan pada biji kopi yang telah dingin karena sifat fisiknya telah stabil. Biji kopi hasil pengeringan sebaiknya dianginkan [tempering] dahulu selama 24 jam. Cacat biji coklat umumnya terjadi karena pengeringan yang tidak benar, buah terlalu masak atau fermentasi yang berlebihan (over fermented) terutama ditemui pada biji kopi dengan perlakuan air pencucian paling minimum (C3). Hal ini diperkirakan terjadi karena lapisan lendir pada biji kopi perlakuan C3 tidak sepenuhnya hilang pada saat proses pencucian. Lendir terutama mengandung senyawa gula yang memiliki sifat higroskopis (menyerap air). Oleh karena itu

144 apabila biji kopi masih mengandung lendir yang tidak sepenuhnya hilang pada saat proses pencucian, biji kopi cenderung lembab yang dapat menghambat proses pengeringan. Gula juga menjadi media tumbuh bakteri yang sangat baik sehingga dapat merusak mutu biji kopi. Lendir juga dapat menyebabkan kotoran non kopi mudah lengket sehingga menghalangi proses pengeringan dan menyebabkan kontaminasi. Menurut Von Enden dan Calvert (2002), konsep dasar pengolahan basah pada kopi adalah menghilangkan lapisan lendir buah kopi untuk meningkatkan mutu biji. Oleh karena itu, semakin minim air pencucian yang digunakan, akan mempengaruhi mutu biji kopi. Akan tetapi semakin besar air pencucian yang digunakan akan meningkatkan volume pencemaran. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini berusaha mendapatkan volume air proses yang optimum dalam perlakuan minimisasi air. Menurut Yusianto dan Mulato (2002), kadar air awal biji yang beragam juga akan menyebabkan proses pengeringan tidak sempurna, sehingga terjadi cacat biji coklat. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya biji coklat, sebaiknya kadar air biji kopi diseragamkan terlebih dahulu misalnya dengan melakukan pengeringan awal (pre-drying) sebelum dimasukkan ke pengering mekanis. Pengeringan dengan suhu tinggi yang terlalu lama sebaiknya dihindari, agar tidak menimbulkan warna permukaan biji kopi kecoklatan. Cacat kopi gelondong cukup dominan terjadi yang diakibatkan proses pengupasan buah (pulping) yang tidak sempurna. Cacat kopi gelondong sangat tidak disukai konsumen, karena rasa pulp yang dominan dapat menimbulkan rasa serat terbakar pada kopi seduhan. b. Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Air Tahap 2. Perlakuan minimisasi air tahap pertama pada proses pengolahan kopi menunjukkan pengaruh terhadap mutu fisik biji kopi. Batas minimisasi air pada tahap pengupasan buah kopi dari hasil penelitian berkisar antara 0,73-0,78 m 3 /ton buah kopi (74%). Adapun perlakuan minimisasi air pada proses pencucian menunjukkan perbedaan mutu fisik untuk volume air di bawah 1,54 1,81 m 3 /ton biji kopi (70%).

145 Tabel 18 Mutu fisik biji kopi perlakuan minimisasi air proses pencucian No Jenis Cacat Jumlah Nilai Cacat Persentase Minimisasi Air 38a 50a 67a 73a 27b 50b 64b 73b 1 1 biji hitam 4 11 7 10 9 16 23 14 8 21 32 2 1 biji hitam sebagian 15 9 16 11 17 19,5 25,5 16 9 3 33 3 1 biji hitam pecah 0 2,5 0,5 8,5 4 4,5 3,5 6 8,5 3 9 4 1 kopi gelondong 12 12 11 10 30 26 21 14 0 44 0 5 1 biji coklat 5,75 6 5 1,75 3 5,25 4 8,5 3,5 0,5 7,5 6 1 kulit kopi ukuran besar 0 4 0 6 0 0 0 7 1 0 0 7 1 kulit kopi ukuran sedang 6,5 7 7 6 4 7,5 2,5 9,5 0 2 0,5 8 1 kulit kopi ukuran kecil 6,2 7,6 7,6 4,6 22,4 16,8 11 7,2 0,6 15,2 0,4 9 1 biji berkulit tanduk 7,5 6 4,5 6,5 6 1,5 8,5 4 9 0,5 0 10 1 kulit tanduk ukuran besar 0 0,5 0 0 0 0,5 0 0 5 0 0 11 1 kulit tanduk ukuran sedang 0 0,2 0 0 0 0,2 0 0 2,4 0 0 12 1 kulit tanduk ukuran kecil 0 0,1 0,2 0,2 0 0,2 0 0 0,9 3,6 0 13 1 biji pecah 6,4 5 10,6 9 7,4 9 8 10 6,6 74,6 21,8 14 1 biji muda 7,2 5,8 7 5,8 6 7,2 12,2 7,4 1 8,2 4,6 15 1 biji berlubang satu 0,2 0 0 0 0,1 0,2 0,1 0 0 1,5 6,4 16 1 biji berlubang lebih dari satu 0,2 0 0,4 0,6 0 0,4 0,4 0 0,2 5 12,6 17 1 biji bertutul-tutul 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 1 ranting, tanah atau batu berukuran besar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 20 19 1 ranting, tanah atau batu berukuran sedang 0 2 0 0 2 0 0 0 0 10 0 20 1 ranting, tanah atau batu berukuran kecil 0 1 2 0 0 1 0 1 0 2 4 Total Nilai 70,95 79,7 78,8 79,95 110,9 115,8 119,7 104,6 55,7 199,1 151,8 Kategori Mutu 4B 4B 4B 4B 5 5 5 5 4A 6 6 Keterangan: DP: Kopi olah kering WP : Kopi olah basah Kwg: Kebun Kaliwining (Puslitkoka) Smo: KUPK Sidomulyo WPSmo: penurunan air 26% a: periode panen puncak b: periode panen rampasan WPS mo Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh minimisasi air proses pencucian terhadap mutu biji kopi dilakukan analisis mutu fisik dan cita rasa biji kopi hasil perlakuan proses pencucian pada tahap minimisasi air kedua. Volume air proses pengupasan diupayakan konstan dengan persentase penurunan 74%. Volume air proses pencucian dengan persentase penurunan 57, 70, 0, dan 35 %. Penurunan 57 dan 70% diulang kembali pada minimisasi air tahap kedua. DPK wg DPS mo

Total Nilai Cacat Total Air Proses (m 3 /ton) 146 Pada tahap perlakuan ini juga dilakukan perlakuan minimisasi air untuk buah kopi yang berasal dari periode panen rampasan. Buah kopi panen rampasan adalah buah kopi yang dipanen pada saat akhir panen, dimana buah tersisa di pohon dipanen seluruhnya untuk memutus siklus hama buah kopi. Menurut Ciptadi dan Nasution (1985) ; (Mulato et al. 2006), perlakuan saat panen dapat mempengaruhi mutu kopi, dimana buah kopi yang dipanen saat panen rampasan diperkirakan memiliki karakteristik mutu yang lebih rendah dibandingkan dengan buah kopi yang dipanen saat panen raya. Kopi olah kering dan olah basah dari KUPK Sidomulyo merupakan kontrol terhadap perlakuan. Pada biji kopi hasil pengolahan basah di Kebun Sidomulyo (WP Smo) jumlah cacat yang ditemui lebih sedikit dibandingkan biji kopi dari Kebun Kaliwining (Gambar 50). Biji kopi yang berasal dari masa panen rampasan memiliki jumlah cacat lebih besar dibandingkan biji kopi yang berasal dari masa panen puncak. Hal ini karena mutu buah kopi dari Kebun Sidomulyo maupun Kebun Kaliwining pada masa panen puncak lebih baik dibandingkan mutu buah kopi masa panen rampasan. 250 8,0 200 Panen Puncak Panen Rampasan (Akhir) 6 Kontrol 7,0 6,0 150 6 5,0 4,0 100 50 4B 4B 4B 4B 5 5 5 5 4A 3,0 2,0 1,0 0 0,0 38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo Persentase Minimisasi Air (%) Total Nilai Cacat Total Air Proses Gambar 50 Mutu biji kopi antar perlakuan, jenis proses dan periode panen Perlakuan air yang lebih besar tidak sepenuhnya dapat meningkatkan mutu biji kopi apabila bahan baku yang diolah memiliki mutu rendah. Mutu biji kopi dipengaruhi oleh mutu buah kopi sejak di kebun. Buah kopi pada perlakuan tahap kedua memiliki persentase cacat yang timbul dari kebun lebih besar dibandingkan

Persentase Cacat (%) 147 buah kopi pada perlakuan tahap pertama (Gambar 51). Mutu biji kopi perlakuan olah basah tahap kedua lebih rendah (4B) dibandingkan mutu biji kopi perlakuan olah basah pada perlakuan tahap pertama (4A). Meskipun demikian perlakuan modifikasi olah basah menghasilkan mutu biji kopi yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan olah kering (Gambar 51). Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya sortasi buah merah yang selektif, proses fermentasi dan tahapan proses yang tepat menjamin keseragaman mutu biji dan cita rasa kopi dari perlakuan olah basah. 100 80 Panen Puncak Panen Rampasan (Akhir) Kontrol 4B 4B 4B 4B 6 6 4A 5 5 5 5 60 40 20 0 38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo Persentase Minimisasi Air (%) Cacat dari kebun Cacat karena pengolahan Benda asing Gambar 51 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air pencucian Biji kopi yang mendapat perlakuan olah basah memiliki pola cacat cenderung seragam dibandingkan biji kopi yang berasal dari proses pengolahan kering, meskipun berasal dari kebun kopi berbeda (Gambar 51). Sebaliknya pada kopi yang diolah menggunakan proses pengolahan kering, cacat biji kopi dapat memiliki pola berbeda. Hal ini dimungkinkan karena buah kopi yang diolah dengan proses olah basah melalui tahap sortasi awal untuk memilih buah kopi merah yang layak untuk diolah. Selanjutnya buah kopi yang tidak memenuhi syarat untuk diolah dengan proses basah, diolah dengan proses kering pada biji.

Persentase Cacat (%) 148 70 60 50 40 30 20 10 0 Panen Puncak Panen Akhir (Rampasan) Kontrol 38 50 67 73 27 50 64 73 Biji bertutul-tutul 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Biji pecah 9,02 6,27 13,45 11,26 6,67 7,78 6,68 9,56 37,47 14,36 11,85 DKw g Dsm o Wsm o Biji berkulit tanduk 10,57 7,53 5,71 8,13 5,41 1,30 7,10 3,82 0,25 0,00 16,16 Biji coklat 8,10 7,53 6,35 2,19 2,71 4,54 3,34 8,13 0,25 4,94 6,28 Kopi gelondong 16,91 15,06 13,96 12,51 27,05 22,46 17,54 13,38 22,10 0,00 0,00 Persentase Minimisasi Air (%) Gambar 52 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air tahap kedua Cacat kopi gelondong, biji pecah, dan biji berkulit tanduk adalah cacat dominan yang ditemui pada buah kopi dengan perlakuan olah basah (Gambar 52). Mutu buah kopi dari Kebun Kaliwining yang dianalisis pada perlakuan ulangan kedua diperkirakan mengalami penurunan sejak dari kebun dibandingkan buah kopi pada perlakuan tahap pertama, sehingga nilai mutunya menurun. Buah kopi hasil pengolahan kering umumnya hanya didominasi oleh 2 jenis cacat yaitu cacat biji pecah dan kopi gelondong. Buah kopi olah kering dari Kebun Kaliwining sebagian besar merupakan buah kopi yang tidak lolos tahap sortasi awal untuk proses olah basah. Oleh karena itu mutu buah kopi ini jauh berbeda dengan mutu buah kopi olah basah. Adapun buah kopi olah kering KUPK Sidomulyo merupakan buah kopi hasil panen yang langsung diolah tanpa proses sortasi. Karakteristik cacat biji kopi hasil olah kering dari Kebun Sidomulyo dan Kebun Kaliwining memiliki pola yang sedikit berbeda. Pada biji kopi Kebun Kaliwining, buah kopi yang tidak layak diolah secara basah, diolah kering. Pengeringan terutama dilakukan di atas lantai jemur semen yang diberi alas plastik/terpal. Apabila cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan penjemuran, proses pengeringan dilanjutkan menggunakan pengering mekanis, sehingga kadar air biji kopi terkontrol.

149 Buah kopi dari Kebun Sidomulyo yang diolah dengan proses kering umumnya mengalami tahap pemecahan buah terlebih dahulu sebelum dijemur (buah pecah kulit). Proses pemecahan buah kopi menggunakan alat pemecah sederhana (kneuzer). Setelah dipecah, buah kopi dijemur di atas alas plastik/terpal atau lantai jemur semen. Lama penjemuran kopi pecah kulit ini biasanya antara 8 10 hari ter gantung cuaca. Pada tahap pengeringan, buah kopi yang dijemur di lantai jemur harus dibolak-balik atau digaruk agar kering merata. Menurut Ismayadi dan Zaenudin (2003), proses pengolahan dengan pemecahan buah (kopi pecah kulit) lebih higienis dan cepat dibandingkan cara pengolahan biasa tanpa pemecahan buah. Akan tetapi pada daerah yang relatif basah atau sering terjadi hujan, proses pengeringan dengan pemecahan buah rawan terhadap kerusakan biji karena serangan jamur. Buah kopi yang telah dipecah tidak dapat dijemur di atas permukaan tanah karena akan menjadi kotor dan kusam. Selain itu kopi tidak dapat disimpan dalam bentuk masih berkulit. Oleh karena itu kopi hasil penjemuran biasanya langsung dikupas dengan mesin huller portabel atau yang dipasang pada rangka mobil. Menurut Yusianto dan Mulato (2002), penilaian biji kopi berdasarkan sifat fisik tidak sepenuhnya dapat menjamin mutu seduhan, tetapi dapat mengantisipasi sebagian besar cacat citarasa seduhan kopi. Kesalahan-kesalahan prakiraan citarasa seduhan kopi berdasarkan sifat fisik dapat diperkecil dengan uji seduhan (cup test). Bagaimanapun, hasil olahan akhir kopi adalah berupa seduhan, sehingga uji seduhan merupakan pelengkap yang sangat penting dari semua cara uji yang telah ada meskipun masih belum dapat distandardisasi. c. Analisis Cita Rasa (Cup Test) Kopi Perlakuan Minimisasi Tahap Kedua. Biji kopi hasil pengolahan merupakan bahan dasar utama seduhan kopi. Uji seduhan atau cita rasa (cup test) kopi Robusta meliputi pengujian fragrance, aroma, flavor, body, bitterness, astringency, aftertaste, clean cup, balance, dan preference. Uji cita rasa terutama dilakukan oleh panelis ahli dan panelis terlatih. Uji cita rasa cenderung subyektif, tergantung pada keahlian panelis dan pelatihan yang telah dilakukan. Uji cita rasa terutama dilakukan untuk mengevaluasi profil aroma dan flavor dari kopi. Meskipun demikian uji cita rasa juga dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya cacat pada kopi atau untuk membuat campuran kopi.