62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan Negara Indonesia dikatakan sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 (amandemen ketiga UUD 1945). Sebagai negara hukum, terdapat adanya pembatasan bagi segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan penguasa maupun warga negara berdasarkan hukum. Hal ini ditujukan agar warga negara terbebas dari tindakan sewenang-wenang dari para penguasa negara. 1 selain itu, unsur-unsur negara hukum yang dapat ditemukan di Indonesia adalah: a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara. b. Adanya pemisahan kekuasaan. c. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. d. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka. 2 Sebagai negara hukum, Indonesia meletakkan UUD NRI 1945 sebagai aturan dasar negara dalam Pasal 3 UU No. 12 tahun 2011. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini juga tercantum dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa, Undang-undang Dasar 1 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2004, h. 7 2 Ibid., h. 8
63 Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar Negara merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar. Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa hukum itu sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior) 3, dan norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pasa norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar lagi pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yakni Norma Dasar (Grundnorm). 4 Teori Hans Kelsen tersebut kemudian dikembangkan oleh muridnya, Hans Nawiasky dalam teorinya Die Theorie van Stufenordnung der Rechtsnormen. Hans Nawiasky berpendapat bahwa norma itu berlapis-lapis, berjenjang serta berkelompok dalam empat kelompok besar, yakni Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan 3 Ni matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, h. 50, dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translate by AndersWedberg, Russell & Russel, New York, 1973, H. 112-113. 4 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Muatan), Kanisius, Yogyakarta, 2007, h. 41, dikutip dari Op. Cit., h. 113.
64 Pokok Negara), Formell Gesetz (Undang-Undang), dan Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonom). 5 Negara Indonesia nampaknya mengadopsi teori dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut, hal ini tercermin dalam Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011, yakni: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dari pasal tersebut tentunya dapat diketahui bahwa Negara Indonesia juga menganut adanya hierarki dalam peraturan-perundang-undangan. UUD NRI 1945 memiliki kedudukan yang superior dibandingkan dengan peraturan perundangundangan lainnya. Manakala dihubungkan dengan teori Hans Nawiasky maka dapat diketahui UUD NRI 1945, tepatnya pada batang tubuh UUD NRI 1945, sebagai aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz) merupakan landasan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya (Formell Gesetz dan Verordnung & Autonome Satzung Hal ini membawa konsekuensi bahwa peraturan perundangundangan di bawah UUD NRI 1945 tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945. 5 Ibid., h. 45
65 Untuk menjaga agar kaidah-kaidah konstitusi yang terdapat dalam UUD NRI 1945 tidak dilanggar atau disimpangi perlu adanya judicial review yakni pengawasan kekuasaan kehakiman (judicial power) terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif.6 Kewenangan untuk menguji (judicial review) terdapat 2 (dua) macam, yakni pengujian formal (formele toetsingrecht) dan pengujian secara materiil (materiele toetsingrecht). Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislative telah dibuat sesuai dengan prosedur ataukah tidak serta kewenangan yang dimiliki untuk membuat peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai adanya pertentangan dari suatu perundang-undangan dengan peraturan yang lebih tinggi. 7 Di Indonesia, pengujian materiil terhadap Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan terhadap Peraturan Daerah, pengujian materiil tidak hanya dilakukan melalui judicial review, melainkan juga melalui executive review. Apabila terdapat Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Peraturan Daerah tersebut dapat dibatalkan oleh Pemerintah melalui mekanisme executive review 8, serta melalui judicial review ke Mahkamah Agung 9. Pembatalan Peraturan Daerah 6 Ni matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, 2012, h. 27. 7 Fatkurrohman, Dian Aminudin dan Sirajuddin, Op. Cit., h. 22 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 145 ayat (2) 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 11 Ayat (2), jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, Pasal 31 Ayat (1).
66 melalui mekanisme executive review ditetapkan melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah. Sedangkan Pembatalan oleh Mahkamah Agung ditetapkan dalam bentuk Putusan. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dalam hal pembatalan Peraturan Daerah diatur dalam: 10 a. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945; b. Pasal 11 ayat (2) huruf b dan Pasal 11 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman; c. Pasal 31 dan Pasal 31 A UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana dirubah dua kali dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009; d. Pasal 145 ayat (5) dan ayat (6) UU Pemerintahan Daerah. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu dari ciri negara hukum yang diterapkan di Indonesia. Sebelum adanya Perubahan UUD 1945, kewenangan judicial review terdapat pada Mahkamah Agung. Namun, hanya dibatasi pada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Setelah adanya perubahan Ketiga UUD 1945, muncul lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan judicial review pada Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan Mahkamah Agung tetap pada kewenangan semula. Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, 10 Sukardi, Pembatalan Peraturan Daerah dan Akibat Hukumnya, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2009, h. 144
67 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara serta sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah tonggak sejarah baru dalam perkembangan ketatanegaraan di Indonesia ketika MPR melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945 (9 November 2001). Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi menjadi dua cabang, yakni cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang memiliki wewenang untuk melakukan constitusional review atas produk peraturan perundang-undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. 11 Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kedudukan setara. Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar secara tegas tercantum dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 jo Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK). Berdasarkan Pasal 50 UU MK dapat diketahui bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji ialah undang-undang yang diundangkan setelah 11 Ni matul Huda, Op. Cit, h. 46
68 perubahan UUD NRI 1945. Para pemohon, sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan kewenangan konstisusionalnya yang dirugikan. Dalam hal ini adalah permohonan berkaitan dengan uji materiil, yakni materi muatan dalam ayat, pasal dan atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Permohonan dapat dikabulkan atau ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Permohonan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi manakala permohonan tersebut beralasan. Apabila mengabulkan maka dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi harus menyatakan dengan tegas bahwa materi muatan ayat, pasal dan atau bagian dari undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD NRI dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 56 jo Pasal 57 UU MK. Dan terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tersebut tidak dapat dimohonkan pengujian kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU MK karena Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang berwenang untuk mengadili pengujian UU terhadap UUD NRI pada tingkat pertama dan terakhir serta putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat berdasarkan Pasal 10 UU MK. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang memiliki sifat declaratoir constitutief. 12 Putusan hakim yang menyatakan bahwa undangundang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bersifat declaratoir dan yang meniadakan suatu keadaan hukum dengan menyatakan tidak berlakunya undangundang merupakan sifat constitutief. Putusan Mahkamah Konstitusi mampu 12 Maruar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 206
69 menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator, yang disebut Hans Kelsen adalah melalui suatu pernyataan. 3.1.1. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Daerah Putusan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum memiliki 3 (tiga) kekuatan, yakni kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. 13 Adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat yang tetap sejak saat diucapkan dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat ditempuh atas lahirnya putusan tersebut. Dengan adanya putusan yang telah menguji suatu undang-undang dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang telah memperoleh satu kekuatan pasti (gezag van gewisje) dimana hakim tidak boleh memutus perkara permohonan yang sebelumnya pernah diputus. Dan adanya kekuatan eksekutorial dari putusan Mahkamah Konstitusi diwujudkan dengan adanya pengumuman putusan dalam Berita Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) UU MK. Akibat hukum yang timbul dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang terhadap UUD NRI diatur dalam Pasal 58 UU MK, yaitu Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut 13 Maruar Siahaan, Op.Cit., h. 214
70 bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal ini menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat itu tidak berlaku surut. Akibat hukum dari putusan baru timbul setelah putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sedangkan sebelum putusan diucapkan, undang-undang yang dimohonkan judicial review masih memiliki kekuatan mengikat. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi, suatu Undang-undang dinyatakan Batal Demi Hukum seluruh atau sebagian. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu pasal tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan sebagaimana diatur dalam pasal 57 ayat (3) UU MK. Dan dengan adanya pemuatan dalam Berita Negara maka setiap warga negara Indonesia diharapkan telah mengetahui adanya pencabutan keberlakuan dari Undang-Undang tersebut. Tiap-tiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri berdasarkan sifat dan karakteristik yang khas dari daerah tersebut berdasarkan asas otonomi daerah sebagaimana diterangkan dalam bab sebelumnya. Untuk mengatur daerahnya, pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan atribusi yang diberikan oleh Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945 jo Pasal 136 UU Pemerintahan Daerah untuk membuat Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Menurut Pasal 1 angka 8 UU No. 12 tahun 2011, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang
71 dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Adapun materi muatan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/kota berdasarkan Pasal 14 UU No. 12 tahun 2011 adalah berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah memiliki beberapa fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 136 UU Pemerintahan Daerah, yakni: 14 a. Menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan b. Menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum d. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan daerah, yang dalam hal ini adalah Peraturan Daerah Kabupaten/kota tentunya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tersebut. Mengingat adanya asas Lex Superiori derogate legi inferiori dimana ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Sebelum membuat suatu Peraturan Daerah, Bupati/Walikota serta DPRD wajib memperhatikan ketentuan yang lebih tinggi. 14 Maria Farida, Op. Cit, h. 232
72 Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011 membawa konsekuensi bagi keberlakuan Pasal tersebut dalam hal pengenaan pajak hiburan golf. Pajak hiburan golf tidak lagi dapat dikenakan karena golf tidak lagi digolongkan sebagai objek pajak hiburan telah dihapus keberlakuannya oleh Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Dalam amar putusannya, hakim Konstitusi juga memerintahkan untuk memuat putusan tersebut dalam Berita Negara. Adanya pemuatan pada Berita Negara ditujukan sebagai sarana publikasi bagi warga negara dan pemerintah yang akan membuat peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah agar peraturan yang akan mereka buat tidak lagi mengenakan pajak hiburan golf karena dasar kewenangan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g telah dihapuskan. 3.2. Konsekuensi Yuridis Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2010 tentang Pajak Hiburan setelah berlaknya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-IX/2011 Peraturan daerah merupakan suatu penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masingmasing daerah dan perlu diperhatikan pula oleh pemerintah bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana tercantum dalam Pasal 136 ayat (2) UU No. 32 tahun
73 2004. Pemerintahan Daerah kota Batu, dalam hal ini adalah Bupati dan DPRD menindaklanjuti adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g UU PDRD dengan membuat Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2010 tentang Pajak Hiburan. Golf digolongkan sebagai objek pajak hiburan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 6 tahun 2010 tentang Pajak Hiburan yang berbunyi: Pasal 2 (1). Dengan Nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas penyelenggaraan usaha hiburan di Daerah. (2). Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran. (3). Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: g. golf Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 6 tahun 2010 tentang Pajak Hiburan tersebut ditetapkan dan diundangkan oleh Walikota Batu dan Sekretaris Daerah Kota Batu Pada tanggal 23 Agustus tahun 2010. Pada tahun 2010, kata golf dalam pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 masih berlaku karena belum lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU- IX/2011 yang menghapuskan golf sebagai objek dari pajak hiburan yang berdampak pada dilarangnya pemungutan pajak hiburan golf. Dengan eksistensi Pasal 42 ayat (2) huruf g UU PDRD tersebut, maka aturan tersebut dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah untuk memungut pajak hiburan golf di kota Batu. Pemungutan pajak hiburan golf tetap lahir kembali dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 2 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
74 Kota Batu Nomor 6 tahun 2010 tentang Pajak Hiburan sebagaimana dimaksud di bawah ini. Pasal 6 (1) Besarnya Tarif Pajak untuk setiap jenis hiburan adalah : n. Permainan golf dan bowling dikenakan pajak 25% (dua puluh lima persen); Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf j Peraturan Daerah tersebut, dapat diketahui bahwa Pemerintah Daerah Kota Batu masih tetap menggolongkan golf sebagai objek dari pajak hiburan. Hal ini tentunya menyimpangi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011 yang telah menghapuskan golf sebagai objek pajak hiburan. Perlu ditelisik kembali lahirnya Peraturan Daerah tersebut dan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi. Peraturan Daerah tersebut ditetapkan Pada tanggal 26 Januari 2012 dan diundangkan pada tanggal 1 Februari 2012. Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011 disahkan pada tanggal 10 Juli 2012. Apabila dihubungkan, maka Peraturan Daerah ini lahir sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ini diputus, yakni pada saat Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sedang dalam proses pengujian oleh Mahkamah Konstitusi. Manakala Putusan judicial review belum ada, maka Pasal 42 ayat (2) huruf g tersebut masih tetap berlaku dengan merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 58 UU MK yang mengatakan bahwa Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undangundang tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik
75 Indonesia tahun 1945. Dengan demikian maka Pemerintah Daerah tetap dapat menggolongkan golf sebagai objek pajak hiburan. Konsekuensi yuridis adanya Putusan MK No. 52/PUU-IX/2011 menjadikan Peraturan Daerah Kota Batu Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2010 tentang Pajak Hiburan yang menyebutkan bahwa golf sebagai pajak hiburan adalah Batal Demi Hukum. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya pencabutan, aturan tersebut tidak secara otomatis berlaku karena dari awal telah dianggap tidak terjadi perbuatan hukum.