Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma"

Transkripsi

1 1 KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ABSTRAK Peraturan perundang-undangan memiliki fungsi yang sangat penting dalam negara hukum. Fungsi dari peraturan perundang-undangan tersebut untuk memerintah, memberikan kewenangan (authorizing), mengizinkan dan penderogasian. Pasal 3 ayat 3 Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah mengizinkan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara membakar hingga 5 hektar. Pengaturan tersebut seharusnya sejalan dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembentukan norma pelaksana dari norma yang yang lebih tinggi harus memiliki kesesuaian isi atau materi pengaturannya. Karena keberadaannya merupakan bentuk dari pendelegasian kewenangan membentuk aturan dari yang lebih tinggi ke lebih rendah. Sebagai konsekuensinya tidak boleh timbul perluasan makna dari ketentuan yang sudah diatur didalam aturan yang terdahulu. Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

2 2 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan tertulis merupakan aspek yang sangat penting dalam negara hukum yang menganut civil law. Peraturan tertulis atau norma hukum memiliki fungsi memerintah, memberikan kewenangan (authorizing), mengizinkan dan penderogasian. 1 Keempat fungsi yang terdapat dalam peraturan tertulis ditujukan dan mengikat bagi setiap warga negara. Istilah peraturan tertulis atau norma hukum sering disebut dengan peraturan perundang-undangan. Bagir manan memberikan pengertian peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 2 1. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum. 2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan. 3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu. 4. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundangundangan lazim disebut dengan wet in materiele zin, atau sering juga disebut dengan algemeen verbindende voorschrift. Pasal 1 angka 2 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan berbunyi bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Uraian pengertian peraturan perundang-undangan tersebut telah menetapkan bentuk perundang-undangan merupakan norma yang berbentuk umum-abstrak. Bersifat umum artinya aturan tersebut ditujukan untuk khalayak masyarakat umum dalam wilayah tertentu tergantung jenis atau hierarki peraturan perundang-undangan. Sedangkan abstrak bahwa perundang-undangan itu tidak menunjuk peristiwa konkret. Masyarakat umumnya lebih banyak mengenal dan menyebut hukum yaitu dalam bentuk umum-abstrak, namun tidak mengenal hierarki ataupun jenis-jenis dari perundang-undangan yang ada. 1 B. Arief Sidharta, Hukum dan Logika, (Bandung: Alumni, 2013), halaman Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), (Yogyakarta: Kanisius, 2007), halaman

3 3 Selain itu unsur yang penting untuk dipahami bentuk dari peraturan perundang-undangan yaitu dibentuk oleh lembaga yang berwenang. Domain pembentukan perundang-undangan berbeda-beda tergantung jenis atau hierarki peraturan perundang-undangan tersebut. Pasal 7 ayat 1 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang memiliki jenis diantaranya yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan hierarki perundang-undangan tersebut maka lembaga berwenang yang membentuknya akan berbeda satu sama lain. Jika merujuk pada doktrin dari montesquie mengenai pembagian kekuasaan dalam cabang legislatif, eksekutif, dan yudisial, maka pada dasarnya perundangundangan akan dibentuk oleh lembaga legislatif. Hal ini juga berlaku dalam pembentukan Undang- Undang yang dilakukan oleh DPR dengan persetujuan oleh Presiden. Namun lembaga yang lain juga diberikan kewenangan membentuk peraturan yang berbentuk umum abstrak, dengan syarat adanya pendelegasian dari undang-undang yang dibentuk oleh DPR. Misalnya saja dalam pembentukan Peraturan Pemerintah, peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebelumnya telah ada pendelegasian kewenangan untuk membentuknya. Untuk peraturan daerah khususnya Peraturan Daerah Provinsi dibentuk berdasarkan asas otonomi daerah yang diberikan kebebasan mengatur daerahnya secara mandiri. Akan tetapi pembentukan Peraturan Daerah dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan hierarki perundangundangan bertingkat-tingkat. Daerah setingkat Provinsi yang membentuk peraturan daerah yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dan Gubernur biasanya pengaturan materinya masih bersifat umum sehingga dalam pembentukannya masih mendelegasikan pengaturannya lebih lanjut dalam peraturan gubernur. Itu artinya walaupun dalam sistem hierarki perundang-undangan pada UU No.12 Tahun 2011 tidak ada menyebutkan peraturan gubernur sebagai bagian dari bentuk perundang-undangan, maka hal

4 4 tersebut bukan berarti peraturan gubernur tidak memiliki fungsi perundang-undangan. Pendelegasian kewenangan kepada gubernur tidak dapat dihindarkan karena bagaimanapun juga lembaga pemerintah yang mengerti kebutuhan masyarakat lebih terperinci. Sebagaimana fungsi dari pemerintah dalam negara hukum kesejahteraan selain melayani masyarakat, juga melakukan tindakan mengatur. Tindakan mengatur merupakan tindakan terlebih dahulu yang dilakukan oleh pemerintah sebelum melakukan pelayanan. Karena pada dasarnya bentuk peraturan daerah masih mengatur hal-hal yang sifatnya abstrak, sehingga seringkali pengaturan lebih lanjut biasanya diserahkan kepada peraturan gubernur. Dengan demikian keberadaan dari Peraturan Gubernur merupakan peraturan setingkat daarah provinsi untuk melaksanakan peraturan daerah. Sifatnya sebagai peraturan pelaksana maka materinya pun tidak boleh melebihi pengaturan dalam peraturan daerah tersebut. Maksudnya adalah apabila didalam peraturan gubernur materi yang diatur melebihi pengaturan yang ada dalam Peraturan Gubernur, maka dengan sendirinya Gubernur telah melebihi atribusi kewenangan yang diberikan kepadanya dalam membentuk perundangundangan tertentu. Konsekuensi demikian maka keberlakuan norma tersebut menjadi prroblematika dalam sistem perundang-undangan. Salah satu perundang-undangan yang pengaturan normanya melebihi dari pengaturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Lahirnya Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 tersebut merupakan perubahan atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Perubahan yang diinginkan pada Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 didasarkan pada UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan. Hal ini dapat terlihat pada bagian konsideran Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 tersebu. Konsekuensi dasar hukum pembentukan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 yang berpijak UU No.32 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 adalah pengaturan norma-norma dalam batang tubuh Peraturan

5 5 Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 tidak boleh bertentangan pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010, bahkan dari UU No.32 Tahun Mencermati isi dalam Pasal 3 Pergub No.15 Tahun 2010 yang berbunyi bahwa: 1. setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan perkarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari pejabat berwenang sebagaimana tercantum dalam pergub ini. 2. pejabat yang berwenang memberikan izin adalah Bupati/Walikota. 3. kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dengan luas lahan dibawah 5 Ha, dilimpahkan kepada: a. camat, untuk luas lahan diatas 2 Ha sampai dengan 5 Ha; b. Lurah/Kepala Desa, untuk wilayah diatas 1 Ha sampai dengan 2 Ha; c. Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 ha. 4.pemberian izin untuk pembakaran secara komulatif pada wilayah dan hari yang sama: a. Tingkat Kecamatan maksimal 100 ha atau, b. Tingkat Kelurahan/Desa maksimal 25 Ha. Berbeda dengan pengaturan yang ada dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan berbunyi bahwa: 1. Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. 2. Kepala desa menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota. 3. Pembakaran lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering. 4. Kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan publikasi dari lembaga non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang meteorologi klimatologi dan geofisika. Hal yang sama juga terdapat perbedaan pengaturan dalam Pasal 69 Ayat 1 Huruf (h)

6 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi bahwa setiap orang dilarang: melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Selanjutnya dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Penjelasan dalam ayat 2 diartikan definisi Kearifan lokal ini adalah "Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 dalam pengaturan normanya masih berpedoman pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dimana dalam pembukaan lahan dengan cara membakar dengan luas lahan maksimal 2 hektar. Berbeda dengan Pergub No.15 Tahun 2010 dapat membuka lahan hingga 5 hektar. Norma yang ada dalam Pergub No.15 Tahun 2010 berbeda dengan norma dari perundang-undangan yang lebih tinggi. B. Rumusan Masalah Sehingga problematikanya adalah apakah Norma dalam Pasal 3 Pergub No.15 Tahun 2010 sudah sesuai dengan perspektif peraturan perundang-undangan? C. Literatur Review 1. Negara Hukum Konsep negara hukum berawal dari Ajaran John Locke yang sangat penting adalah gagasan persamaan kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Lahirnya pemikiran tersebut dikarenakan timbulnya kesewenang-weangan penguasa kepada rakyat. Selain itu, Ajaran yang mendukung lahirnya konsep negara hukum adalah ajaran yang dikemukakan oleh Montesquieu yang menghendaki pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan merupakan bentuk dari kontrol kekuasaan kepada kekuasaan pemerintahan. Baik Ajaran John Locke dan Montesquieu menjadi awal dari konsep negara hukum yang berkembang pada saat itu dikenal dengan negara hukum penjaga malam yang memiliki tugas yaitu untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Kekuasaan negara sebagai penjaga keamanan dan ketertiban ternyata membuat pemerintah tersbut bersifat pasif. Artinya rakyat dibiarkan berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan sosialnya tanpa adanya campur tangan pemerintah. Pemerintah akan ikut campur tangan apabila timbul

7 7 masalah dibidang keamanan dan ketertiban. Situasi demikian dalam perkembangannya membuat kekuasaan pemerintah kaku karena dalam memenuhi kehidupan sosialnya rakyat yang tidak berdaya kalah bersaing dengan pemilik modal. Sehingga lahirlah ajaran negara hukum formal yang dikemukakan oleh Julius Stahl, antara lain: 3 Pertama, Perlindungan hak-hak asasi manusia; Kedua, Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; Ketiga, Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan Keempat, Peradilan administrasi dalam perselisihan. Ajaran negara hukum formal merupakan perkembangan dari ajaran negara hukum penjaga malam. Artinya bahwa perlindungan hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan merupakan aspek utama dalam suatu negara. Untuk mendukung kedua hal tersebut, Julius Stahl menambahkan suatu tindakan Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam negara hukum ini, setelah adanya pemisahan kekuasaan atau setelah pembagian kewenangan lembaga negara berdasarkan bidangnya masing-masing. Maka kewenangan pemerintah bertindak dalam menyelenggarakan pemerintahan tidak boleh melebihi kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan ini merupakan bentuk kontrol pada setiap kekuasaan bertindak pemerintah. Apabila terdapat tindakan pemerintah tidak berdasarkan kewenangannya maka tindakan tersebut dapat diuji di peradilan administrasi. Jika segala bentuk tindakan penyelenggaraan pemerintahan yang harus dipedomani suatu pengaturan dalam perundangundangan terlebih dahulu, maka dapat dikatakan pemerintah akan kaku dan lamban dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Tindakan pelayanan Pemerintah yang lamban kepada masyarakat mendorong lahirnya konsep negara hukum kesejahteraan. Dalam konteks ini dikatakan bahwa konsep negara hukum kesejahteraan merupakan bentuk penyempurnaan negara hukum formal atau disebut dengan negara hukum materiil. 4 Perbedaan negara hukum kesejahteraan dan negara hukum sebelumnya terletak pada kedudukannya yang berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, di satu pihak, pemerintah berkedudukan sebagai penguasa yang berwenang membuat aturan; Kedua, Pemerintah berkedudukan sebagai pelayan masyarakat (public servant) yang bertugas mengurus, menyelenggarakan, dan melayani segenap urusan dan kepentingan masyarakat. 5 3 Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm Ibid., hlm Ibid., hlm. 42.

8 8 Baik negara hukum formal dan materiil memiliki persamaan, namun bentuk negara hukum materiil lebih luas. Dalam negara hukum materiil, Pemerintah berkedudukan sebagai penguasa harus diperhadapkan bertindak untuk mengatur masyarakat, baru kemudian melakukan tindakan untuk melayani segenap kepentingan masyarakat guna mencapai titik kesejahteraan masyarakat tersebut. Artinya baik negara hukum formal maupun negara hukum materiil bertitik tolak suatu tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu tindakan untuk mengatur masyarakat dengan membentuk aturan. Umumnya dalam masyarakat mengetahui bahwa proses pembentukan aturan hanya dibentuk lembaga legislatif atau dibentuk lembaga legislatif dengan persetujuan Presiden (eksekutif). Dalam perkembangannya pemerintah dalam hal ini eksekutif dapat membentuk aturan. Tugas pembentukan aturan kepada lembaga eksekutif tersebut merupakan bentuk pendelegasian kewenangan dalam pembentukan aturan positif. Dasar pendelegasian yaitu dikarenakan pemerintah sebagai pelayan masyarakat, diasumsikan hanya pemerintah yang mengetahui kebutuhan masyarakat tersebut dan pemerintah yang langsung bertemu dengan masyarakat. Tindakan melayani pemerintah kepada masyarakat harus didasarkan peraturan perundangundangan terlebih dahulu, karena disamping itu dapat bertindak diluar peraturan perundangundangan yang berlaku. Untuk itu disaat pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dirasa belum ada aturan yang mendasarinya, maka Pemerintah dapat membuat aturan perundangundangan sebagai dasar bertindak. Akan tetapi perlu diperhatikan kewenangan apa yang didelegasikan kepada pemerintah yang dapat dibentuk secara otonom oleh pemerintah tersebut. Karena kewenangan pembentukan perundang-undangan yang didelegasikan kepada pemerintah tersebut terbatas. Konsekuensinya adalah disaat pemerintah membentuk peraturan perundangundangan secara otonom bagaimanapun juga tidak boleh menyimpang dari perundang-undangan yang telah dibentuk lembaga legislatif bersama dengan eksekutif. Untuk itu pemerintah harus memahami sistem tata urutan perundang-undangan yang berlaku agar timbul kesesuaian isi dan tujuan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan kebutuhan masyarakat dalam negara hukum kesejahteraan. 2. Hierarkhi peraturan perundang-undangan Membahas Hierarkhi peraturan perundang-undangan maka tidak akan pernah lepas dari

9 9 teori jenjang norma hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). 6 Selanjutnya Hans Nawiasky mengembangkan teori Hans Kelsen yang dalam bukunya berjudul Allgemeine Rechtslehre bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu: Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) Kelompok II : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara) Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang Formal) Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom) 7 Setiap negara yang berdasarkan hukum dewasa ini turut serta dalam mengelompokkan norma-norma. Sama halnya dengan Indonesia yang menganut pengelompokan norma tersebut. Pasal 7 ayat 1 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Diperhadapkan pada teori yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky dengan UU No.12 Tahun 2011 maka hierarki perundang-undangan sebagai berikut: Hans Nawiasky UU No.12 Tahun 2011 Kelompok I Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan sumber (Norma fundamental Negara) segala sumber hukum negara (Pasal 2) yang terdapat dalam 6 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), (Yogyakarta: Kanisius, 2007), halaman Ibid., halaman

10 10 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Kelompok II Staatsgrundgesetz (Aturan UUD 1945 Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara) Kelompok III Formell Gesetz (Undang- Undang-Undang/Peraturan Undang Formal) Pemerintah Pengganti Undang- Undang Kelompok IV Verordnung & Autonome 1. Peraturan Pemerintah; Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom) 2. Peraturan Presiden; 3. Peraturan Daerah Provinsi; dan 4. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pembagian tersebut dapat memperlihatkan bahwa dalam doktrin yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky bahwa peraturan gubernur berada dalam kelompok keempat. Sebagai kelompok IV, Peraturan Gubernur tidak diperbolehkan bertentangan dengan kelompok III yang terdapat undangundang. Fungsi pengaturan yang didelegasikan kepada peraturan gubernur harus memuat kejelasan yang terperinci. Jangan sampai menimbulkan norma baru yang justru dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda dengan pengaturan diatasnya. A. Hamid S. Attamimi menyebutkan bahwa dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pendelegasian peraturan perundang-undangan diantaranya: 8 a. Asas delegasi yang tidak dibenarkan dan delegasi yang diharapkan: ada kalanya delegasi pengaturan dari undang-undang misalnya, kepada peraturan pemerintah dianggap tidak pada tempatnya. Hal-hal itu terutama mengenai pengaturan yang harus dilakukan oleh undang-undang sendiri, seperti perlindungan hak-hak dasar manusia dan warga negara, jaminan persamaan di depan hukum, penetapan pajak, dll. b. Asas delegatus non potest delegari: penerima delegasi tidak berwenang mendelegasikan lagi tanpa persetujuan pemberi delegasi. 8 A. Hamid S. Attamimi, Disertasi: Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pascasarjana, Jakarta, 1990, halaman

11 11 c. Asas menjalankan undang-undang: wewenang pembentukan peraturan yang didelegasikan oleh suatu atau beberapa undang-undang kepada suatu atau beberapa peraturan pemerintah adalah terbatas, yaitu hanya untuk maksud tertentu saja. 3. Asas-asas Pembentukan Perundang-undangan Asas-asas dalam pembentukan perundang-undangan pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu yaitu asas-asas formal dan asas-asas material. Oleh A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya dijelaskan sebagai berikut: 9 Dalam asas-asas formal terbagi dalam: 1. Asas tujuan yang jelas, dalam asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai ketepatan letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan perundang-undangan yang dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian peraturan perundang-unangan yang akan dibentuk tersebut. 2. Asas perlunya pengaturan, asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif atau alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan. 3. Asas organ/lembaga yang tepat, memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga-lembaga yang menetapkan peraturan perundangundangan yang bersangkutan. 4. Asas materi muatan yang tepat. Sedangkan untuk asas-asas material memiliki perincian sebagai berikut: 1. Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara; 2. Asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara; 3. Asas sesuai dengan prinsip-prinip negara berdasar atas hukum; 4. Asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasr sistem konstitusi. D. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum doktrinal (normatif), maka sumber datanya disebut bahan hukum. Bahan hukum adalah segala sesuatu yang dapat 9 Ibid., halaman 336.

12 12 dipakai atau diperlukan untuk tujuan menganalisis hukum yang berlaku. 10 Baham hukum dimaksud bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu data sekunder. Maka jenis data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian antara lain yaitu a. bahan hukum primer adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan, dan Pergub No.15 Tahun 2010; bahan hukum sekunder yaitu buku-buku referensi, hasil karya ilmiah para sarjana; serta bahan hukum tersiernya yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti misalnya kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. E. Pembahasan Pergub Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 pada dasarnya dibentuk hanya untuk merubah ketentuan Pasal 3 dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masayarakat di Kalimantan Tengah. Konsekuensinya bahwa keberadaan Pergub Kalimantan Tengah No.52 Tahun 2008 masih tetap berlaku selain ketentuan pengaturan pasal 3. Dalam sistem ilmu perundang-undangan hal demikian tidak akan menjadi masalah, namun perlu diperhatikan materi pengaturannya jangan sampai menimbulkan prolematika hukum. Perubahan yang terjadi dalam pasal 3 berbunyi bahwa: 1. setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan perkarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapatkan izin dari pejabat berwenang sebagaimana tercantum dalam pergub ini. 2. pejabat yang berwenang memberikan izin adalah Bupati/Walikota. 3. kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dengan luas lahan dibawah 5 Ha, dilimpahkan kepada: a. camat, untuk luas lahan diatas 2 Ha sampai dengan 5 Ha; b. Lurah/Kepala Desa, untuk wilayah diatas 1 Ha sampai dengan 2 Ha; c. Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 ha. 4. pemberian izin untuk pembakaran secara komulatif pada wilayah dan hari yang sama: 10 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013) halaman 16.

13 13 a. Tingkat Kecamatan maksimal 100 ha atau, b. Tingkat Kelurahan/Desa maksimal 25 Ha. Pengaturan demikian berbeda dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan berbunyi bahwa: 1. Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. 2. Kepala desa menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota. 3. Pembakaran lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering. 4. Kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan publikasi dari lembaga non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang meteorologi klimatologi dan geofisika. Secara substansi Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 menyebutkan bahwa Masyarakat hukum adat akan diperbolehkan melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga, berbeda dengan Pergub Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 menambahkan hingga luas maksimum 5 hektar. Pergub Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 merupakan aturan pelaksana dari Perda Kalimantan Tengah No.5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Sebagai peraturan pelaksana maka keberadaannya merupakan bentuk dari pendelegasian kewenangan membentuk aturan dari yang lebih tinggi ke lebih rendah. Sebagai konsekuensinya tidak boleh timbul perluasan makna dari ketentuan yang sudah diatur sebelumnya dalam aturan yang terdahulu. Penjelasan dalam ayat 2 UU No.32 Tahun 2009 dalam memberikan definisi Kearifan lokal memperbolehkan melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Adanya pembatasan hingga 2 hentar sebenarnya

14 14 untuk mengimbangi pelarangan pembukaan lahan dengan cara membakar agar tidak terjadi bencana asap sebagai akibat maraknya pembakaran hutan yang sering terjadi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 69 Ayat 1 Huruf (h) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi bahwa setiap orang dilarang: melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Akan tetapi diberikan pengecualian bagi kearifan lokal untuk pembukaan lahan dengan cara membakar, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Berdasarkan ketentuan materi pengaturan perundang-undangan sebagai pelaksana aturan dari atasnya, maka sudah ada pembatasan norma untuk diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksana. Oleh sebab itu hak untuk membakar diberikan sepanjang berpedoman pada kearifan lokal yang terjadi dalam satuan masyarakat di wilayah tertentu. Untuk tidak terdapat suatu asas materi muatan yang tepat oleh pembentuk Pergub tersebut. F. Kasimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Uraian dan rangkaian yang penulis sudah paparkan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Bahwa Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah telah bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undanga diatasnya. Pembukaan lahan dengan cara membakar pada dasarnya dilarang namun diberikan pengecualian bagi kearifan lokal. Walaupun demikian dibatasi hingga 2 hektar. Akan tetapi didalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 memperluas pengaturannya yang memperbolehkan hingga 5 hektar. b. Adanya perluasan pengaturan pembukaan lahan dengan cara membakar hingga 5 hektar tidak sesuai dengan asas formal dalam pembentukan perundang-undangan yang harus memperhatikan Asas materi muatan yang tepat. Maksudnya adalah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus diseuaikan dengan kesesuaian hierarki perundangundangannya yang tentunya berimplikasi terhadap materi yang akan diatur dalam bentuk

15 15 peraturan pelaksana. 2. Saran a. Ketentuan dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah harus diubah dan disesuaikan materi muatannya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup agar sesuai dengan ketentuan pembentukan perundang-undangan.

16 16 DAFTAR PUSTAKA Buku dan Karya Ilmiah: A. Hamid S. Attamimi, Disertasi: Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pascasarjana, Jakarta, Farida Indrati S, Maria, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi, Materi Muatan), (Yogyakarta: Kanisius, 2007). Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003). Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013) Sidharta, B. Arief, Hukum dan Logika, (Bandung: Alumni, 2013). Peraturan Perundang-Undangan: UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan/Atau Lahan. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 Tahun 2010 Perubahan Atas peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah.

KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan

KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan 1 KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan ABSTRAK Peraturan perundang-undangan memiliki fungsi yang sangat penting dalam negara

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia Hierarki Peraturan R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Mata Kuliah: Hukum Perundang-Undangan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 18 September 2007 Pokok Bahasan Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Nindya Chairunnisa Zahra, Sony Maulana Sikumbang Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat 1. Norma Hukum Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, maka keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan di Indonesia sebenarnya telah mulai

Lebih terperinci

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH 1 DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH Abstract Oleh : Petrus Kadek Suherman, S.H., M.Hum Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pertama Kantor Wilayah

Lebih terperinci

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN Depok, 16 Mei 2014 TIM PENGAJAR ILMU PERUNDANG-UNDANGAN Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH Sony Maulana Sikumbang, SH., MH. Fitriani Achlan Sjarif, SH., MH. Muhammad

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010.

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010. rendah) ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi untuk selanjutnya pembentukan norma hukum ini berakhir pada suatu norma dasar yang paling tinggi sehingga menjadi nomr dasar tertinggi dari keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia,

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Konstitusi Republik Indonesia dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, 1 yang mempunyai tujuan untuk menciptakan tata tertib hukum dan kepastian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pergerakan reformasi yang digalakkan oleh mahasiswa dan masyarakat secara bersama-sama pada tahun 1998 membawa perubahan yang sangat luar biasa dalam kehidupan berbangsa

Lebih terperinci

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011 REPOSISI PERATURAN DESA DALAM KAJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 1 Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum 2 Pendahuluan Ada hal yang menarik tentang

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa 16 BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Dalam

Lebih terperinci

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 Memahami kedudukan TAP MPR pasca pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2011 Memahami implikasi pemberlakuan kembali

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Abstrak Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, mengatakan pemerintah

Lebih terperinci

SRI HERLINA NIM. R

SRI HERLINA NIM. R KEDUDUKAN KEUANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN PENYELENGGARAANNYA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN KARANGANYAR NASKAH PUBLIKASI Oleh : SRI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk

BAB I PENDAHULUAN. tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Hak konstitusional adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia untuk dikelola, digunakan, dan dipelihara sebaik-baiknya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.

Lebih terperinci

Pengujian Peraturan Daerah

Pengujian Peraturan Daerah Pengujian Peraturan Daerah I. Latar Belakang Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Peraturan Perundang-undangan Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk politik semestinya ditempatkan sebagai norma yang digali bersumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, hal ini dinyatakan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan Negara

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, BAB III TINJAUAN TEORITIS 1.1. Peraturan Daerah Di Indonesia Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, Marsdiasmo, menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar,

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Widayati, Absori, & Aidul Fitriciada Azhari Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta. Email: widayati.winanto@gmail.com

Lebih terperinci

OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H. PENDAHULUAN. law as a tool of social engineering

OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H. PENDAHULUAN. law as a tool of social engineering TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM DAN IMPLIKASI PERSETUJUAN MENTERI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN OLEH: DR. WICIPTO SETIADI, S.H., M.H.

Lebih terperinci

Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pembentukan Peraturan BPK

Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pembentukan Peraturan BPK Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pembentukan Peraturan BPK M. Luqman Fadlli dan Sony Maulana Sikumbang Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena itu segala tindakan dan kewenangan pemerintah harus berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. karena itu segala tindakan dan kewenangan pemerintah harus berdasarkan atas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu segala

Lebih terperinci

EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D

EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 1, Volume 3, Tahun 2015 EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D 101 10 362 ABSTRAK Tujuan penulis

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENCEGAHAN PENCEMARAN DAN/ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN/ATAU LAHAN MENTERI

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

KEDUDUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH DALAM TATA HUKUM INDONESIA

KEDUDUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH DALAM TATA HUKUM INDONESIA 1 KEDUDUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH DALAM TATA HUKUM INDONESIA Oleh : Mas ud,. SH,. MSi,. MHum Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRACT Study background to domicile region head regulation In

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan yang terlepas dari kekuasaan eksekutif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya mengenai hak angket terdapat pada perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan galian itu, meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi ( Migas ), batubara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan negara (pemerintah) serta memberi perlindungan hukum bagi rakyat. Salah

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan negara (pemerintah) serta memberi perlindungan hukum bagi rakyat. Salah A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Sistem Konstitusi sebagai perwujudan negara hukum di Indonesia tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat dan berlaku untuk membatasi kekuasaan negara

Lebih terperinci

BAB III. Kedudukan, Fungsi, dan Eksistensi Peraturan Desa Sebagai Wujud. Demokratisasi di Desa Dalam Kaitannya Dengan Otonomi Desa

BAB III. Kedudukan, Fungsi, dan Eksistensi Peraturan Desa Sebagai Wujud. Demokratisasi di Desa Dalam Kaitannya Dengan Otonomi Desa BAB III Kedudukan, Fungsi, dan Eksistensi Peraturan Desa Sebagai Wujud Demokratisasi di Desa Dalam Kaitannya Dengan Otonomi Desa Untuk memahami bagaimana lembaga demokratisasi di desa dalam kaitannya dengan

Lebih terperinci

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Pendahuluan Program Legislasi Nasional sebagai landasan operasional pembangunan hukum

Lebih terperinci

Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i

Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Hukum Perundang-Undangan (HPU) Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Rabu, 16 April 2008

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Kewenangan pembatalan peraturan daerah Kewenangan pembatalan peraturan daerah Oleh : Dadang Gandhi, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang Email: dadanggandhi@yahoo.co.id Abstrak Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah

BAB I PENDAHULUAN. yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan daerah (selanjutnya diringkas perda) adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA. A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang-

BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA. A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang- 92 BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang- Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pemerintahan desa yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN. Abstrak

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN. Abstrak PROBLEMATIKA PENGATURAN RPJMD DALAM PERSPEKTIF ILMU PERUNDANG-UNDANGAN Abstrak Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Daerah (RPJPD), rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). RPJPD memuat visi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undangundang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya terhadap kebijakan penegakan hukum Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026 BAB

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM. diprogramkan. Sedangkan menurut M. Efendi efektifitas adalah indikator dalam tercapainya

BAB III TINJAUAN UMUM. diprogramkan. Sedangkan menurut M. Efendi efektifitas adalah indikator dalam tercapainya BAB III TINJAUAN UMUM A. Pengertian Efektifitas dan Syarat Efektifnya Suatu Undang-Undang Efektifitas adalah segala sesuatu yang aplikasinya berjalan sesuai dengan yang diprogramkan. Sedangkan menurut

Lebih terperinci

LAMPIRAN IV PANDUAN PENYIAPAN LAHAN DENGAN PEMBAKARAN UNTUK MASYARAKAT ADAT/TRADISIOANAL

LAMPIRAN IV PANDUAN PENYIAPAN LAHAN DENGAN PEMBAKARAN UNTUK MASYARAKAT ADAT/TRADISIOANAL LAMPIRAN IV PANDUAN PENYIAPAN LAHAN DENGAN PEMBAKARAN UNTUK MASYARAKAT ADAT/TRADISIOANAL 1. Pengertian Penyiapan lahan dengan pembakaran adalah upaya yang dilakukan dalam rangka untuk melakukan penyiapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law).

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa : Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat Indonesia Pasal

Lebih terperinci

11/16/2015 F A K U L T A S HUKUM ADMINISTRASI NEGARA INSTRUMEN PEMERINTAH. By. Fauzul H U K U M FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JAWA TIMUR

11/16/2015 F A K U L T A S HUKUM ADMINISTRASI NEGARA INSTRUMEN PEMERINTAH. By. Fauzul H U K U M FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JAWA TIMUR F A K U L T A S H U K U M HUKUM ADMINISTRASI NEGARA INSTRUMEN PEMERINTAH By. Fauzul FAKULTAS HUKUM UPN VETERAN JAWA TIMUR 2 November 2015 1 POKOK BAHASAN: PENGERTIAN INSTRUMEN PEMERINTAH MACAM-MACAM INSTRUMEN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 I.PENDAHULUAN Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2004, Indonesia sebagai Negara

Lebih terperinci

EKSISTENSI PERATURAN DESA PASCA BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 SAIFUL / D

EKSISTENSI PERATURAN DESA PASCA BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 SAIFUL / D EKSISTENSI PERATURAN DESA PASCA BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 SAIFUL / D 101 07 461 ABSTRAK Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengkajian

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online PENGHAPUSAN KEWENANGAN PEMERINTAH UNTUK MEMBATALKAN PERDA; MOMENTUM MENGEFEKTIFKAN PENGAWASAN PREVENTIF DAN PELAKSANAAN HAK UJI MATERIIL MA Oleh: M. Nur Sholikin * Naskah diterima: 24 pril 2017; disetujui:

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD KABUPATEN/KOTA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 22 April 2016 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat agar dapat berjalan tertib dan teratur PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Adalah peraturan

Lebih terperinci

Page 1 of 10 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 37 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH

PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 DEVELOPMENT OF REGULATORY AUTHORITY

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA BERDASAR UU PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DEFINISI UU PERATUN UU 51/2009 Psl. 1 angka 9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis

Lebih terperinci

URGENSI PERDA DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

URGENSI PERDA DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH URGENSI PERDA DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH Oleh Hj. Maryati, SH, MH. Abstract Regulation is an inherent with the system of regional autonomy. Because the essence of local autonomy itself is independence

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan norma-norma agar hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan norma-norma agar hubungan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia mempunyai kecendrungan untuk senantiasa hidup bersama. Dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan norma-norma agar hubungan antar manusia dapat berlangsung

Lebih terperinci

Sistem Pembagian Kekuasaan Negara

Sistem Pembagian Kekuasaan Negara KOMPETENSI DASAR Mensyukuri nilai-nilai Pancasila dalam Praktik penyelenggaraan pemerintahan negara sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam

Lebih terperinci

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA Bambang Antariksa Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Email: bambangantariksa.sh.mh@gmail.com Abstract: Based

Lebih terperinci

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH

ASAS HUKUM TATA NEGARA. Riana Susmayanti, SH.MH ASAS HUKUM TATA NEGARA Riana Susmayanti, SH.MH SUMBER HTN Sumber hukum materiil, yaitu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah negara. Sumber hukum formil, (menurut Pasal7 UU No.

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA Angga Setiawan P.U Ari Widido Bayu Gilang Purnomo Arsyadani Hasan Binabar Sungging L Dini Putri P K2510009 K2510011 K2510019 K2111007 K2511011 K2511017 N E G A R

Lebih terperinci

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR 2, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. implementasi dari pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. implementasi dari pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah sistem pemerintahan di daerah dengan penguatan sistem desentralisasi (Otonomi Daerah). Perubahan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETET APAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NO. IVIMPR/1983 TENTANG REFERENDUM. Yuli Indrawati

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETET APAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NO. IVIMPR/1983 TENTANG REFERENDUM. Yuli Indrawati 492 Hukum dan Pembangunan TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETET APAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NO. IVIMPR/1983 TENTANG REFERENDUM Yuli Indrawati Pasol37 Undong Undong Dasar 1945 memberikan kewenangan kepado

Lebih terperinci

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 Oleh: Siti Awaliyah, S.Pd, S.H, M.Hum Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang A. Pengantar Kedaulatan merupakan salahsatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 1. Hal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA HUKUM UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PROBLEMATIKA HUKUM UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PROBLEMATIKA HUKUM UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Retno Saraswati Fakultas Hukum Universitas diponegoro Semarang Email: saraswariretno@yahoo.co.id Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan

BAB I PENDAHULUAN. cita-cita, gagasan, konsep, bahkan ideologi. Cita-cita, gagasan, konsep bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia merupakan negara yang merdeka dan berdaulat bukan sekedar antithesis terhadap kolonialisme, melainkan membawa berbagai cita-cita, gagasan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah

BAB V PENUTUP. 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah 137 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisis sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kewenangan Pengawasan Produk Hukum Daerah oleh Pemerintah Keberadaan produk

Lebih terperinci

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG Achmad Edi Subiyanto Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Jakarta Pusat subimk71@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci