LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

ANALISIS PENGARUH PAJAK EKSPOR TERHADAP KINERJA INDUSTRI KELAPA SAWIT OLEH: MARIA IRENE HUTABARAT A

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

KAJIAN KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN BEA KELUAR KOMODITAS PERTANIAN

RINGKASAN DWITA MEGA SARI. Analisis Daya Saing dan Strategi Ekspor Kelapa Sawit (CPO) Indonesia di Pasar Internasional (dibimbing oleh HENNY REINHARDT

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan sektor nonmigas. Dalam 5 (lima) tahun terakhir, peran penerimaan. tahun 2004 menjadi 74,9% pada tahun 2009.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kelapa sawit dan karet dan berperan dalam mendorong pengembangan. wilayah serta pengembangan agroindustry.

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

IMPLIKASI KEBIJAKAN BAGI PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT INDONESIA. Indonesia menetapkan kebijakan pada industri kelapa sawit dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai. meningkatkan perekonomian adalah kelapa sawit. Gambar 1.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. TINJAUAN PUSTAKA

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

NO. PENANYA PERTANYAAN JAWABAN 1. Andre Parlian Ciptadana Securities

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan secara nasional adalah kakao (Sufri, 2007; Faisal Assad dkk.,

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA Peringatan Hari Kakao Indonesia (Cocoa Day) ke 3 Tanggal September 2015 di Ambarukmo Plaza, Yogyakarta

INTEGRASI PASAR CPO DUNIA DAN DOMESTIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya

Gambaran Kakao Dunia

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.

2011, No Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar; Mengin

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAHAN MASUKAN PAPARAN DIRJEN PDN PADA LOKAKARYA KAKAO 2013 SESI MATERI: RANTAI TATA NIAGA KAKAO. Jakarta, 18 September 2013

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Bagi perekonomian Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KELAPA SAWIT. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS DAYA SAING INDUSTRI PENGOLAHAN DAN HASIL OLAHAN KAKAO INDONESIA OLEH : RIZA RAHMANU H

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN

Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman

IMPLIKASI KEBIJAKAN SMALL RESEARCH ISEI, 2015

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI Oleh : Sri Nuryanti Delima H. Azahari Erna M. Lokollo Andi Faisal Suddin PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012

PENDAHULUAN RINGKASAN EKSEKUTIF Latar Belakang 1. Pemerintah memberlakukan kebijakan pajak berupa BK untuk ekspor CPO dan produk turunannya serta biji kakao. Disamping itu dipungut juga PPN pembelian TBS untuk perusahaan sawit yang terintegrasi. BK yang diterapkan bersifat progresif. 2. Menurut definisinya, pajak memiliki tiga fungsi, yaitu revenue, repricing dan redistribution. Dari tiga fungsi pajak tersebut, fungsi ketiga belum tampak. Jastifikasi 3. Pemberlakuan BK CPO dan produk turunannya serta biji kakao yang diekspor dan pungutan PPN TBS merupakan fungsi revenue pajak pertanian. Kedua kebijakan pajak pertanian (BK dan PPN) yang berlaku belum menunjukkan fungsi redistribusi. 4. Fungsi repricing dari tujuan penerapan BK perlu dikaji lebih lanjut. Tujuan 5. Melakukan review pajak pertanian (BK dan PPN) untuk sawit dan kakao. 6. Menganalisis dampak pajak pertanian terhadap kinerja produksi, perdagangan, perdagangan, dan pendapatan petani. 7. Menduga besaran pajak pertanian yang layak untuk komoditi sawit dan kakao. Keluaran yang Diharapkan 8. Review BK dan PPN komoditi sawit dan kakao. 9. Profil produksi, ekspor, dan pendapatan petani dengan adanya BK dan PPN. 10. Perkiraan besaran BK dan PPN yang layak untuk sawit dan kakao. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran 11. Sebagai salah satu bentuk kebijakan fiskal, pajak pertanian berupa BK diperkirakan akan menurunkan harga pembelian komoditi di tingkat produsen, sehingga pendapatan petani menjadi lebih rendah. Potensi dampak BK diperkirakan akan mempengaruhi produksi TBS dan biji kakao dan produk turunannya karena BK secara implisit terkandung dalam harga pembelian TBS dan biji kakao pada petani. Apabila produksi berkurang, maka proporsi yang diperdagangkan pun akan turun baik untuk pasar domestik maupun ekspor. 12. Sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama terhadap semua WP, baik bagi usaha terpadu maupun tidak terpadu sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 16B ayat (1) Undang-Undang PPN. PM dalam rangka menghasilkan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan. PM atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan BKP, dapat dikreditkan. PM atas perolehan BKP atau JKP yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan BKP sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya.

Ruang Lingkup 13. Pajak pertanian yang dianalisis adalah BK yang berlaku untuk sawit (diwakili CPO) dan kakao (diwakili biji kakao) serta PPN untuk pembelian TBS pada industri sawit. Data 14. Data yang digunakan dalam penelitian adalah primer dan sekunder. Data primer dihimpun dari hasil wawancara dan diskusi dengan 69 responden dari enam provinsi contoh. Data sekunder dihimpun dari studi pustaka, penelusuran laman, dan dokumen yang berasal dari para responden. Metode Analisis 15. Review kebijakan pajak pertanian sawit dan kakao meliputi kinerja umum komoditi; jenis, sifat dan besaran BK serta PPN; cara menurunkan BK sampai dengan harga ekspor dan harga petani; kebijakan BK negara pesaing ekspor dan BM importir utama dunia; dan posisi persaingan komoditi di negara tujuan ekspor utama dunia. 16. Analisis dampak pajak pertanian terhadap produksi, perdagangan, dan pendapatan rumah tangga petani dilakukan dengan analisis keseimbangan parsial menggunakan model persamaan simultan melalui penyusunan persamaan penduga untuk komoditi sawit dan kakao. 17. Menduga besaran pajak pertanian (BK) optimal menggunakan parameter hasil estimasi persamaan simulasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Sawit 18. Produksi sawit didominasi oleh perkebunan swasta, disusul rakyat dan negara dengan kecenderungan terus meningkat dan produktivitas rata-rata di bawah 3 ton/ha/tahun. 19. Industri sawit di tiga provinsi contoh tidak didukung infrastruktur produksi dan pemasaran yang cukup, sehingga pemerintah provinsi mengharapkan redistribusi dana BK CPO. 20. Ekspor sawit didominasi oleh CPO (53,8%) dan pesaing utama Indonesia adalah Malaysia. Indonesia dan Malaysia memberlakukan pajak untuk CPO dalam bentuk ad valorem, di Indonesia disebut BK dan di Malaysia disebut pajak ekspor (PE). 21. Ekspor CPO berasal dari 19 provinsi dan yang terbesar adalah Riau, disusul Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Lampung. Tidak semua provinsi penghasil CPO mempunyai pelabuhan ekspor, misalnya Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. 22. Harga TBS petani plasma ditentukan di tingkat provinsi setidaknya satu kali dalam sebulan berdasarkan tujuh komponen data masukan untuk menghitung indeks k. Bersama nilai rendemen CPO dan PKO digunakan untuk menghitung harga TBS yang diturunkan dari harga ekspor yang telah mengandung besaran BK dengan merujuk harga referensi cif Rotterdam.

23. Negara importir utama antara lain China, India, Pakistan, dan Uni Eropah, termasuk Belanda dan Perancis. India menerapkan BM ad valorem, sedangkan Pakistan dan Perancis menerapkan BM spesifik. 24. Industri sawit menghadapi isu keberlanjutan dan banyak tantangan dalam pengembangan dari isu lingkungan. 25. Pajak pertambahan nilai tidak sesuai diterapkan untuk TBS karena merupakan bahan mentah. 26. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penerapan BK CPO berdampak pada penurunan harga ekspor CPO, secara langsung menyebabkan penurunan harga TBS, sehingga pendapatan petani berkurang. Penurunan BK CPO yang dilakukan pada saat Malaysia menurunkan PE CPO akan mendorong peningkatan volume produksi, meningkatkan pendapatan petani dan eksportir, menghilangkan kerugian keduanya. 27. Kebijakan ekspor negara pesaing utama, Malaysia, berpengaruh terhadap kinerja ekspor CPO Indonesia. 28. Provinsi yang tidak memiliki pelabuhan ekspor CPO menunjukkan persentase kenaikan harga TBS yang lebih tinggi sebagai respon terhadap penurunan atau penghapusan BK CPO. Hal ini mencerminkan perlunya perbaikan dan penyediaan infrastruktur pemasaran sawit. Kakao 29. Produksi kakao didominasi dari perkebunan rakyat dan terkonsentrasi di luar Jawa. Kakao yang dihasilkan petani berupa biji kakao asalan, fermentasi dan asalan tersertifikasi. 30. Pemasaran biji kakao dari daerah penghasil tujuannya di Pulau Jawa, yaitu Jakarta atau Tangerang, sehingga DKI Jakarta menjadi sumber ekspor kakao tertinggi di Indonesia. 31. Perkebunan kakao di daerah asal beberapa lokasi mengalami konversi ke jenis tanaman lain yang lebih menguntungkan, misalnya sawit. 32. Tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Malaysia. Pesaing utama ekspor kakao Indonesia adalah Ghana dan Pantai Gading di beberapa negara importir utama, yaitu Belanda, AS, dan Malaysia. 33. Selain dikurangi BK harga biji kakao yang diterima petani mengandung unsur diskon berjenjang berdasarkan harga rujukan New York. Rantai pemasaran biji kakao yang panjang menyebabkan harga yang diterima petani lebih rendah karena ada marjin keuntungan para middlemen. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 34. Selama implementasi kebijakan BK, CPO masih mendominasi ekspor sawit, mencapai 53,8%, dan berkontribusi 12% terhadap ekspor non migas. 35. Pemanfaatan CPO sebagai bahan baku industri mendorong sub sektor ekonomi lain, pengembangan wilayah industri, dan proses alih teknologi; memberi devisa negara; dan menciptakan lapangan kerja.

36. Pengembangan industri sawit menghadapi isu keberlanjutan dan harus ditangani pemerintah dan sektor swasta. 37. Terkait pengembangan industri pengolahan sawit, pembebasan PPN dapat menghambat pengembangan industri hilir karena PPN pembelian faktor produksi tidak dapat dikreditkan dan menjadi beban biaya. 38. Dalam industi sawit, PPN hanya cocok untuk pembelian penjualan minyak goreng, biodiesel dan produk akhir lain, bukan TBS yang merupakan bahan mentah. 39. Selama implementasi BK, ekspor produk hulu kakao terus menurun, sedangkan produk hilir cenderung meningkat, sehingga mencerminkan adanya hilirisasi industri kakao. 40. Pajak pertambahan nilai di industri kakao sudah tidak menimbulkan masalah, sedangkan BK masih menjadi masalah karena petani tidak saja dibebani BK namun juga biaya pemasaran dan keuntungan eksportir, sehingga harga yang diterima petani semakin rendah. 41. Penurunan harga di tingkat petani menyebabkan daya tarik kakao lebih rendah dibanding komoditi lain dan memicu konversi tanaman di beberapa daerah produsen kakao. 42. Penurunan produksi kakao di tingkat petani mengakibatkan produksi kakao domestik turun, sehingga industri pengolahan kakao mengalami kekurangan bahan baku dan beroperasi di bawah kapasitas optimal. 43. Selama implementasi BK progresif untuk CPO dan produk turunannya, petani sawit dan eksportir CPO mengalami kerugian masing-masing sebesar 15,05% (petani Riau), 10,94% (petani Sumatera Selatan), 13,28% (petani Kalimantan Barat), dan 9,51% (eksportir). Di lain pihak, dengan kebijakan BK tersebut, pemerintah diperkirakan menerima dana Rp 22,5 trilyun atau 46,21% lebih besar dibandingkan kerugian petani dan eksportir. 44. Kerugian yang diderita petani dicerminkan oleh penurunan pendapatan. Secara statistik terbukti bahwa harga ekspor CPO dengan BK menurunkan harga pembelian TBS, menurunkan pendapatan petani, menurunkan produksi TBS, dan volume ekspor CPO. 45. Selama implementasi kebijakan BK, provinsi dengan jarak pemasaran CPO untuk pasar lokal maupun ekspor yang lebih jauh menunjukkan harga TBS yang lebih rendah karena faktor biaya pemasaran dan transportasi dalam perhitungan harga CPO. 46. Kebijakan ekspor CPO negara pesaing, Malaysia, mempengaruhi ekspor CPO Indonesia, sehingga Indonesia harus menyesuaikan BK CPO apabila Malaysia menurunkan PE CPO. 47. Selama implementasi BK progresif untuk biji kakao, petani kakao dan eksportir biji kakao mengalami kerugian masing-masing sebesar 7,64% (petani Sulawesi Barat), 45,36% (petani Sulawesi Selatan), dan 2,29% (eksportir). Pada saat yang sama pemerintah menerima dana Rp 929 milyar atau 68,02% lebih besar dibandingkan kerugian petani dan eksportir. 48. Kerugian yang ditanggung petani kakao jauh lebih besar dibandingkan kerugian eksportir karena eksportir membebankan biaya pemasaran serta mengambil sejumlah keuntungan dengan mengurangi harga pembelian pada petani, sehingga pendapatan berkurang. Secara statistik terbukti bahwa harga ekspor biji kakai dengan BK menurunkan harga pembelian biji kakao yang

mengakibatkan pendapatan petani turun, sehingga menurunkan volume produksi dan volume ekspor biji kakao. 49. Penurunan volume produksi biji kakao secara teknis diakibatkan konversi tanaman kakao ke tanaman lain yang lebih menguntungkan, misalnya kelapa sawit. Pendugaan Besaran Pajak Pertanian 50. Besaran BK yang layak untuk CPO diperkirakan adalah flat 5% sedangkan untuk biji kakao harus lebih rendah dari 1,5%. Angka optimal untuk BK kedua komoditi tersebut masih harus dianalisis dan diuji lebih lanjut. Implikasi Kebijakan 50. Tantangan penurunan tarif pajak ekspor Malaysia harus dijawab dengan merestrukturisasi tarif BK CPO Indonesia dengan mengikuti kebijakan tarif pajak ekspor Malaysia, yaitu menjadi flat 5%. 51. Pemerintah perlu menurunkan BK biji kakao di bawah 1,5% agar beban kerugian petani kakao berkurang. 52. Diperlukan skema pemanfaatan pungutan dana BK yang untuk distribusikan kembali kepada daerah penghasil, guna mengurangi beban bagi petani melalui penyediaan infrastruktur produksi dan pemasaran sawit dan kakao yang lebih baik, sehingga kinerja produksi dan perdagangan menjadi lebih baik dengan biaya pemasaran dan transportasi yang efisien. 53. Diperlukan pengembangan areal kakao yang luas untuk menciptakan manajemen stock yang lebih dan dapat mengantisipasi perkembangan pasar, terutama perubahan harga. 54. Petani kakao perlu diberi sosialisasi tentang BK dan keterbukaan struktur penentuan harga sebagaimana petani sawit dalam menentukan harga TBS.