KEYNOTE SPEECH MENTERI PERDAGANGAN SEMINAR RETAIL NASIONAL 2006 (RETAILER DAY & AWARD 2006) JAKARTA, 25 Januari 2007 ========================= Yth. Ketua Umum APRINDO dan jajarannya, Yth. Ketua Komisi VI DPR, Yth. Para Pejabat Pemerintahan yang hadir pagi ini Para Pembicara yang kami muliakan Ibu-ibu,Bapak-bapak dan para hadirin sekalian Selamat pagi. Perbaikan kondisi ekonomi beberapa tahun terakhir telah mendorong pertumbuhan usaha ritel yang pesat terutama di kota-kota besar. Kalangan dunia usaha pun menyadari bahwa usaha ritel dan pasar moderen memiliki prospek yang cukup menjanjikan dan berpotensi untuk berkembang pesat mengimbangi kebutuhan masyarakat perkotaan yang dinamis. Di samping itu, usaha ini memiliki multi-peran yang strategis, tidak saja menyangkut kepentingan produsen, distributor dan konsumen tetapi juga dalam menyerap tenaga kerja. Bidang usaha ini juga merupakan sarana yang efisien dan efektif dalam pemasaran hasil produksi sekaligus mengetahui citra suatu produk di pasar, termasuk referensi yang dikehendaki oleh pihak konsumen. Bagi Indonesia, dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta, ditambah kunjungan wisatawan mancanegara sekitar 5 juta per tahun merupakan pasar yang sangat potensial bagi peritel nasional maupun peritel asing. Besarnya jumlah penduduk turut menentukan keberhasilan usaha ritel., Terbukti bahwa setiap ada pusat pertokoan dan perbelanjaan baru, hampir dipastikan akan selalu ramai dibanjiri masyarakat entah untuk berbelanja kebutuhan atau hanya sekedar ingin mengetahui saja (window shopping). Dari hasil sementara berdasarkan Sensus Ekonomi 2006 (SE 2006) tercatat sebanyak 22,71 juta perusahaan/usaha dengan komposisi sebanyak 9,8 juta perusahaan (43,03%) berusaha pada lokasi tidak permanen dan 12,9 juta perusahaan (56,97%) berusaha pada lokasi permanen. Bila dibandingkan dengan Sensus Ekonomi 1996 maka terjadi peningkatan dari 16,40 juta menjadi 22,73 juta usaha.
Data sementara SE 2006 pun menunjukkan adanya sekitar 10,3 juta usaha/perusahaan perdagangan besar dan eceran atau 45,28% dari seluruh usaha/perusahaan yang ada di Indonesia. Dari sisi penyebaran daerah usaha, data sementara SE 2006 menyebutkan konsentrasi usaha/perusahaan perdagangan besar dan eceran di Pulau Jawa sebanyak 6,25 juta atau 60,72% dari perusahaan perdagangan yang tersebar di Indonesia. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah usaha/perusahaan yang paling banyak yaitu 1,1 juta atau sekitar 5%. Meski tercatat peningkatan jumlah perusahaan yang signifikan dalam kurun 10 tahun terakhir, namun kondisi perdagangan baik tradisional maupun ritel saat ini juga dihadapkan pada persaingan yang semakin ketat, terlebih dengan kehadiran peritel yang datang dari luar negeri maupun dalam negeri. Hypermarket asing pun semakin agresif melakukan ekspansi untuk memperluas jaringan gerainya, khususnya di Jakarta dan sekitarnya serta beberapa kota besar lainnya di Indonesia Ekspansi tersebut pada satu sisi dapat menjadi ancaman bagi peritel nasional, tetapi dalam kenyataannya tidak terlalu mengkhawatirkan beberapa peritel lokal, karena selain situasi ekonomi Indonesia sekarang cukup prospektif untuk menambah gerai ritel baru, para pelaku usaha ritel juga menyadari bahwa masing-masing format ritel seperti hypermarket, supermarket dan minimarket memiliki kekuatan dan strategi pasar khusus. Maraknya konsumen di kota-kota besar berbelanja ke gerai ritel moderen khususnya hypermarket yang didukung modal asing, lebih disebabkan oleh gencarnya iklan maupun promosi mengenai produk tertentu yang dijual dengan perbedaan harga yang signifikan dibandingkan perusahaan ritel lokal. Perbedaan harga tersebut diperkirakan karena faktor efisiensi dan skala ekonomis yang berbeda, disamping adanya strategi pemasaran yang diterapkan oleh peritel asing yang lebih menekankan pada volume penjualan yang besar, dengan margin/unit barang kecil sehingga harga jual menjadi lebih murah. Meskipun perusahaan ritel lokal dan asing berada dalam pembinaan Pemerintah, akan tetapi intervensi pemerintah tidak sampai pada mekanisme penentuan harga antar perusahaan ritel yang ada. Dengan kata lain, harga jual yang ditetapkan oleh peritel baik lokal maupun asing sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Hal lain yang patut kita semua sadari adalah adanya bergesernya budaya berbelanja konsumen, dan ini merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan ritel dan pasar moderen. Memang kenyataan saat ini merupakan konsekuensi dan tuntutan konsumen apalagi di era pasar bebas, namun keberadaan ritel dan pasar moderen perlu didukung agar sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan pasar tradisional yang digerakkan oleh pedagang kecil dan menengah. Kemitraan antara pasar moderen dengan pasar tradisional dan peritel kecil/ menengah dan koperasi perlu difasilitasi Pemerintah Pusat/Daerah, tanpa harus membebani atau memanjakan salah satunya. 2
KEBIJAKAN DI BIDANG RITEL Dukungan Pemerintah terhadap keberadaan dan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat diwujudkan melalui beberapa kebijakan yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan usaha di sektor ritel antara lain tentang: 1. Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal kecuali: Perdagangan Eceran skala Besar (Mall, Supermarket, Department Store, Pusat Pertokoan/Perbelanjaan), Perdagangan Besar (Distributor/Wholesaler, Perdagangan Ekspor dan Impor), Jasa Pameran/Konvensi, Jasa Sertifikasi Mutu, Jasa Penelitian Pasar, Jasa Pergudangan di luar Lini I dan Pelabuhan, dan Jasa Pelayanan Purna Jual. 2. Lembaga-lembaga Usaha Perdagangan, dimana dijelaskan bahwa Pedagang Pengecer (Retailer) adalah perorangan atau badan usaha yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir dalam partai kecil. 3. Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, melalui peraturan ini ditetapkan bahwa Pemerintah Daerah bertanggungjawab mengatur mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) termasuk pengaturan wilayah bagi pengembangan pasar tradisional, pertokoan, ritel skala kecil, menengah maupun besar. Namun, sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sesuai Undang-undang No. 32 Tahun 2002, maka ketentuan tersebut dipandang perlu disesuaikan dan ditingkatkan statusnya menjadi peraturan yang lebih tinggi (Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah) sehingga Pemerintah Daerah memiliki panduan kebijakan dalam rangka pembinaan dan penataan perpasaran. Harmonisasi kebijakan tersebut perlu dilakukan agar peran sektor ritel nasional tetap eksis, apalagi mengingat bahwa saat ini pelaku usaha ritel harus menghadapi berbagai permasalahan yang cukup berat seperti : persaingan yang semakin ketat, menurunnya sales dan gross profit serta membengkaknya operational cost (listrik, gas, air, dan operasional keamanan). Selanjutnya, peran pedagang kecil dan menengah sebagai unit usaha yang menggerakkan kegiatan pasar tradisional, perlu lebih diberdayakan bukan saja di wilayah perkotaan, tetapi juga di wilayah pedesaan/kecamatan untuk menggerakkan roda perekonomian. Pasar Tradisional harus dibina dan dikembangkan secara tepat sehingga dapat mengikuti perkembangan ekonomi dan tuntutan konsumen. Dengan demikian kekhawatiran akan terpuruknya pasar tradisional dari pasar moderen akan dapat dihilangkan. Pembinaan dan pemberdayaan pedagang kecil dan menengah, koperasi serta pasar tradisional dilakukan agar keseluruhan komponen menjadi tangguh, maju dan mandiri, serta dapat hidup bersinergi dengan pasar moderen. Selain itu pola/program kemitraan yang merupakan prasyarat operasional pasar moderen, harus ditindaklanjuti secara bertanggungjawab dengan keterlibatan Pemerintah secara proporsional. 3
Kemitraan antara usaha kecil/menengah dan besar yang di dalam bisnis ritel diperankan oleh pemasok (produsen/pengrajin/petani) pengusaha ritel pemilik properti (Pusat Pertokoan/Perpasaran, Mall) adalah sesuatu yang mutlak bagi prinsip usaha yang mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas. Kami menyadari adanya aturan dan ketentuan Pemerintah yang jelas dan tegas memang sangat diperlukan agar pertumbuhan pasar moderen menjadi seimbang dengan pertumbuhan pasar tradisional. Keseimbangan yang terjadi pada akhirnya akan menciptakan kondisi yang saling menguntungkan, dimana kehadiran Pasar Moderen dirasakan oleh pengusaha kecil dan menengah, koperasi dan Pasar Tradisional tidak sebagai saingannya, melainkan menjadi komplementer yang sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat. Dalam rangka menunjang upaya reformasi dan restrukturisasi sistem perekonomian nasional, memperlancar arus barang, menciptakan persaingan usaha yang semakin sehat serta liberalisasi perdagangan, Pemerintah sejak tahun 1998 telah membuka sebagian sektor perdagangan untuk Penanaman Modal Asing (PMA) seperti perdagangan eceran skala besar (Mall, Supermarket, Department Store, Pusat Pertokoan/Perbelanjaan) dan perdagangan besar (Distributor / Wholesaler, perdagangan ekspor dan impor). Pemerintah pada prinsipnya telah mengatur ketentuan mengenai masuknya peritel asing ke Indonesia. Meski demikian, perdagangan bebas seyogyanya tidak diartikan dengan perdagangan tanpa aturan (free flow), karena prinsip dasar pemberian komitmen suatu negara dalam negosiasi dan implementasi free trade adalah senantiasa didasarkan pada National Policy Objective dan UKM - sebagai mayoritas peritel nasional - adalah kelompok yang harus dilindungi. Karena itu peraturan/perundangan di sektor ritel harus segera disesuaikan guna mewujudkan harmonisasi sektor usaha. PERKEMBANGAN RITEL MODEREN Sampai akhir tahun 2002, jaringan ritel di Indonesia telah mencapai 2.069 gerai yang tersebar diseluruh Indonesia, terdiri dari minimarket 972 gerai, supermarket 683 gerai, department store 376 gerai, dan hypermarket 38 gerai. Perkembangan pasar moderen yang pesat tersebut ternyata belum diikuti oleh perkembangan pasar tradisional. Jumlah pasar tradisional yang ada pada tahun 1997 sebanyak 10.381 buah dan bertambah di tahun 1999 menjadi 10.430 buah atau meningkat hanya 0,47%. Sedangkan data pasar tradisional sejak tahun 2000-an semakin sulit diperoleh akibat implementasi otonomi daerah. Penerapan otonomi daerah juga sangat memungkinkan diterbitkannya kebijakan pemerintah daerah tentang perpasaran - yang bersifat lokal (daerah sentris) - yang seringkali mendapat penolakan dari pelaku usaha ritel seperti halnya dengan salah satu Perda yang di PTUN-kan. Dengan demikian maka kebijakan di sektor ritel yang bersifat nasional perlu segera direalisasikan. Prospek usaha ritel di tahun mendatang secara umum tetap menjanjikan, namun tantangan yang harus dihadapi juga tidaklah ringan, beberapa kebijakan Pemerintah 4
seperti perpajakan, tarif dasar listrik, telepon, air dan ketenagakerjaan, isu yang terkait masalah keamanan (seperti : terorisme) akan sangat mempengaruhi eksistensi usaha ritel nasional, untuk itu perlu disiasati strateginya. Secara mikro masing-masing pelaku usaha ritel sangat memahami secara mendalam sesuai format ritelnya, lokasi dan konsumennya, dan secara makro strategi untuk tetap mampu bertahan di bidang usaha ritel adalah: Positioning, Innovations, Knowledge & People serta Resources. Pada kesempatan ini saya mengharapkan bahwa tumbuh dan berkembangnya usaha ritel yang semakin pesat di Indonesia akan dapat mendorong semua pelaku usaha dan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk: a. Mewujudkan pola distribusi nasional yang lebih lancar, efisien dan efektif; b. Memberdayakan pedagang kecil dan menengah serta Koperasi menjadi tangguh, maju dan mandiri; c. Menjadi sarana distribusi / peningkatan pemasaran produk-produk dalam negeri; d. Menciptakan banyak lapangan perkerjaan baru sehingga semakin banyak menyerap tenaga kerja. Akhir kata, saya ucapkan selamat mengikuti Seminar dan semoga pertemuan strategis hari ini dapat menghasilkan inovasi dan pemikiran-pemikiran yang akan dijadikan bahan masukan bagi penyusunan kebijakan dalam pengembangan usaha ritel di Indonesia maupun untuk kepentingan pengembangan usaha ritel oleh dunia usaha sendiri. Terima kasih. Jakarta, Januari 2007 MENTERI PERDAGANGAN MARI ELKA PANGESTU 5